Hati Han Ki menjadi lega karena tangis menandakan bahwa Maya tidak menderita sesuatu, akan tetapi sikap dan pertanyaan Maya membuat ia merasa aneh.
“Tentu saja aku sayang padamu, Sumoi,”
Jawabnya dengan cepat, karena memang tentu saja dia sayang kepada sumoinya, baik Maya maupun Siauw Bwee.
Jawaban ini dijawab dengan rangkulan yang lebih ketat lagi sehingga ia merasa tidak enak sendiri, lalu berusaha melepaskan rangkulan Maya. Akan tetapi, kedua lengan itu merangkul makin ketat dan mulut Maya berbisik,
“Peluklah aku erat-erat.... Suheng...., jangan lepaskan lagi....!”
“Maya....!” Han Ki berseru kaget dan jantungnya berdebar.
“Suheng.... aku cinta padamu, Suheng.... ahhh....!”
Kini Maya mengangkat mulutnya dan membuat gerakan hendak mencium pipi Han Ki. Pemuda itu terkejut seperti diserang ular berbisa. Melihat mata yang penuh gairah dari sumoinya, ia mengerti bahwa tentu uap putih harum itu yang mengandung racun aneh sehingga mempengaruhi watak Maya yang luar biasa ini, seolah-olah gadis cilik itu berubah menjadi seorang wanita yang penuh nafsu berahi! Cepat ia menotok tubuh sumoinya sehingga Maya mengeluh dan terkulai lemas, kemudian ia memondongnya dan membawanya lari naik.
“Suheng....! Suci kenapa....?”
Siauw Bwee ternyata mencari sucinya dan berhasil menemukan lubang rahasia. lalu memasukinya. Kini dia melihat Han Ki berlari naik dari bawah memondong tubuh sucinya yang terkulai lemas.
“Khu-sumoi, lekas kembali! Di sini berbahaya!” kata Han Ki.
Ucapan ini mengejutkan Siauw Bwee dan bersama-sama mereka lari naik dan keluar dari lubang di lantai ruangan bawah. Karena lubang itu kecil, maka Siauw Bwee yang keluar lebih dahulu membantu tubuh Maya yang didorong keluar dari bawah oleh Han Ki. Kemudian Han Ki memondong tubuh itu dibawa ke dalam kamar Maya yang berada di sebelah kamar Siauw Bwee.
“Di bawah banyak ular merah beracun. Agaknya dia terkena racun uap putih yang keluar dari mulut ular-ular itu,” kata Han Ki sambil menotok beberapa jalan darah di tubuh Maya. Gadis itu segera tertidur pulas, “Dia perlu beristirahat, biarkan dia tidur agar hawa beracun lenyap dari tubuhnya.”
Sehari semalam Maya tidur pulas, bahkan dia tidak terbangun ketika Siauw Bwee menuangkan air obat yang dibuat oleh Han Ki. Setelah memberi obat, Han Ki duduk bersila dan menempelkan telapak tangannya di punggung Maya, menggunakan sin-kangnya untuk “membersihkan” tubuh sumoinya dari pengaruh hawa beracun. Pada keesokan harinya, Maya terbangun dan ia bangkit duduk, mengusap-usap matanya dan memandang kepada Siauw Bwee.
“Ular.... banyak sekali...., ular merah....!” katanya gugup.
Siauw Bwee merangkulnya dengan hati lega.
“Engkau sudah aman, Suci. Suheng menyelamatkanmu.”
“Aku disini, Sumoi,”
Han Ki memasuki kamar, menekan perasaannya agar guncangan hatinya tidak terlihat di wajahnya. Diapun menekan kemarahannya atas perbuatan Maya yang membingungkan dia dan Siauw Bwee semalam suntuk.
“Ahhh, kini aku teringat.... lubang rahasia di bawah arca.... lorong di bawah tanah.... dan ular-ular merah! Hiiih, menjijikkan! Suheng, kau maafkan aku, ya?”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Aku girang bahwa engkau selamat. Ular-ular itu berbahaya sekali, entah bagaimana bisa berada di bawah sana. Harus dibasmi.”
“Aku ikut, Suheng!” Siauw Bwee berkata penuh semangat.
“Aku juga ikut!”
Kata Maya sambil melompat turun dari pembaringan. Han Ki tersenyum. Maya telah pulih kembali, telah memperlihatkan sikap tidak mau mengalah seperti biasa.
“Memang aku akan mengajak kalian akan tetapi kita makan dulu. Siapakah yang sudah makan malam tadi?”
“Aku belum!” Jawab Maya, mendadak merasa betapa perutnya lapar sekali. “Bukan hanya semalam, sudah dua hari dua malam aku tidak makan!”
“Aku juga belum sama sekali!” Siauw Bwee berkata.
“Aihh! Mengapa Sumoi?”, Maya bertanya.
“Dia gelisah memikirkanmu, mana bisa makan?” Han Ki berkata.
Maya memandang Siauw Bwee, lalu merangkul dan mencium pipi sumoinya. Melihat ini, Han Ki berdebar, teringat akan perbuatan Maya seperti itu terhadapnya ketika Maya dikuasai racun ular.
“Sumoi, kau baik sekali! Aku sungguh sayang kepadamu, Sumoi!”
Siauw Bwee balas memeluk.
“Maka jangan kau pergi lagi, Suci. Aku tidak bisa makan dan tidur kalau kau pergi,” jawab Siauw Bwee.
Tiba-tiba Maya menoleh kepada Han Ki.
“Dan engkau pun tidak makan tidak tidur, Suheng?”
Jantung Han Ki berdebar. Ia seperti melihat betapa sinar mata Maya ini berbeda dari biasanya, bukan pandang mata kanak-kanak lagi, melainkan pandang mata seorang gadis yang sudah mulai dewasa, pandang mata seorang wanita! Ia menekan debar jantungnya dan memasang muka cemberut, menjawab,
“Aku setengah mati mencarimu, mana ingat makan dan tidur?”
“Aihh! Aku membikin susah kalian! Maafkan saja. Biar kumasakkan yang enak untuk kalian!” Maya berlari ke dapur dan Siauw Bwee tertawa, menoleh kepada Han Ki, berkata,
“Lihat! Suci begitu baik, mana bisa dibilang nakal?” Dan ia pun lari mengejar untuk membantu Maya mempersiapkan makanan.
Setelah makan, tiga orang itu lalu bersama memasuki lorong rahasia di bawah tanah. Tadinya Siauw Bwee dan Maya membawa sebatang pedang karena mereka bermaksud untuk membunuh ular-ular berbahaya itu. Akan tetapi mereka dilarang oleh Han Ki yang berkata,
“Ular-ular itu berbahaya sekali. Baru uap yang keluar dari mulut mereka saja sudah amat berbahaya. Tidak mungkin kita dapat mendekati binatang-binatang itu untuk membunuhnya.”
“Habis, bagaimana baiknya, Suheng?”
Tanya Maya yang masih belum tahu bahwa dia nyaris menjadi korban uap beracun. Bahkan sesungguhnya, akibat racun ular merah itu masih belum lenyap sama sekali dari tubuhnya, yang membuat ia kini merasa ada sesuatu yang aneh dalam hatinya terhadap Han Ki, yang mendatangkan gairah dan rangsangan berahi namun belum dimengerti benar oleh hatinya yang masih belum matang.
“Aku akan menggunakan api. Tidak mungkin ular-ular itu berada di sana tadinya. Suhu tentu tidak akan membiarkan ular-ular berbahaya itu memenuhi ruangan. Tentu ular-ular itu datang dari lain tempat, maka biarlah kuusir mereka itu dari ruangan bawah tanah. Kalau tidak mau pergi, binatang-binatang itu akan kubasmi dengan api.“
Selama tinggal di Pulau Es, Han Ki beberapa kali pergi menggunakan perahu untuk mencari bahan makanan, binatang buruan, buah-buahan dan sayur-sayuran, juga ranting-ranting kering untuk bahan bakar dari pulau-pulau yang berdekatan. Kini ia merrrbawa ranting-ranting dan daun kering serta menyalakan obor memasuki lorong rahasia itu bersama kedua orang sumoinya yang juga membawa ranting-ranting kering.
Dengan hati-hati mereka menuruni anak tangga, dan dari atas tampaklah oleh mereka ular-ular itu dengan uap yang harum.
“Kita nyalakan ranting-ranting dan melemparkan ke bawah. Akan tetapi hati-hatilah, kalau mendekat ke sana harus menahan napas. Jika sudah tidak tertahan, segera naik lagi dan bernapas di tempat yang tak ada uap putihnya. Uap itu berbahaya sekali!” Han Ki berkata, “Akan tetapi, lemparkan ranting-ranting berapi di dekat anak tangga agar jangan sampai menimbulkan kebakaran. Kulihat di sudut ruangan itu ada lemari dan meja, jangan sampai barang-barang itu terbakar. Siapa tahu kalau-kalau Suhu menyimpan sesuatu di sana.”
Tiga orang itu membakar ranting dan melemparkan ke bawah. Melihat menyambarnya ranting-ranting berapi itu, beberapa ekor ular lalu menerjang dan tentu saja mereka bertemu dengan api dan seketika mereka berkelojotan.
Han Ki dan kedua orang sumoinya melemparkan lagi beberapa batang ranting berapi. Kembali ular-ular itu menyerang sambil mendesis-desis dan begitu bertemu api, binatang-binatang itu berkelojotan dan menyerang kawan sendiri membabi buta. Akhirnya mereka itu agaknya baru tahu bahwa benda-benda bernyala itu berbahaya. Mulailah ular-ular itu menjadi panik, bergerak saling terjang, saling belit dan berlumba lari memasuki sebuah lubang yang terdapat di sudut ruangan itu.
Dua tiga kali Maya dan Siauw Bwee, meloncat naik ke atas menjauhi uap beracun untuk bernapas, sedangkan Han Ki yang lebih kuat masih bertahan terus.
“Lihat, mereka lari dari sebuah lubang. Sudah kuduga, tentu ada lubangnya yang menembus ruangan itu. Mereka menggunakan ruangan itu sebagai sarang!”
Dengan hati penuh rasa jijik dan ngeri Maya dan Siauw Bwee melihat ular-ular itu bergerak pergi dan tak lama kemudian di ruangan itu hanya tinggal belasan ekor ular yang mati dan ada yang masih berkelojotan. Uap putih yang tadi memenuhi ruangan bawah itu kini telah lenyap pula, keluar dari lubang-lubang di atas dari mana sinar matahari menerobos masuk. Agaknya lubang-tubang di atas itu memang sengaja dibuat untuk lubang hawa dan lubang memasukkan sinar matahari.
“Tentu saja aku sayang padamu, Sumoi,”
Jawabnya dengan cepat, karena memang tentu saja dia sayang kepada sumoinya, baik Maya maupun Siauw Bwee.
Jawaban ini dijawab dengan rangkulan yang lebih ketat lagi sehingga ia merasa tidak enak sendiri, lalu berusaha melepaskan rangkulan Maya. Akan tetapi, kedua lengan itu merangkul makin ketat dan mulut Maya berbisik,
“Peluklah aku erat-erat.... Suheng...., jangan lepaskan lagi....!”
“Maya....!” Han Ki berseru kaget dan jantungnya berdebar.
“Suheng.... aku cinta padamu, Suheng.... ahhh....!”
Kini Maya mengangkat mulutnya dan membuat gerakan hendak mencium pipi Han Ki. Pemuda itu terkejut seperti diserang ular berbisa. Melihat mata yang penuh gairah dari sumoinya, ia mengerti bahwa tentu uap putih harum itu yang mengandung racun aneh sehingga mempengaruhi watak Maya yang luar biasa ini, seolah-olah gadis cilik itu berubah menjadi seorang wanita yang penuh nafsu berahi! Cepat ia menotok tubuh sumoinya sehingga Maya mengeluh dan terkulai lemas, kemudian ia memondongnya dan membawanya lari naik.
“Suheng....! Suci kenapa....?”
Siauw Bwee ternyata mencari sucinya dan berhasil menemukan lubang rahasia. lalu memasukinya. Kini dia melihat Han Ki berlari naik dari bawah memondong tubuh sucinya yang terkulai lemas.
“Khu-sumoi, lekas kembali! Di sini berbahaya!” kata Han Ki.
Ucapan ini mengejutkan Siauw Bwee dan bersama-sama mereka lari naik dan keluar dari lubang di lantai ruangan bawah. Karena lubang itu kecil, maka Siauw Bwee yang keluar lebih dahulu membantu tubuh Maya yang didorong keluar dari bawah oleh Han Ki. Kemudian Han Ki memondong tubuh itu dibawa ke dalam kamar Maya yang berada di sebelah kamar Siauw Bwee.
“Di bawah banyak ular merah beracun. Agaknya dia terkena racun uap putih yang keluar dari mulut ular-ular itu,” kata Han Ki sambil menotok beberapa jalan darah di tubuh Maya. Gadis itu segera tertidur pulas, “Dia perlu beristirahat, biarkan dia tidur agar hawa beracun lenyap dari tubuhnya.”
Sehari semalam Maya tidur pulas, bahkan dia tidak terbangun ketika Siauw Bwee menuangkan air obat yang dibuat oleh Han Ki. Setelah memberi obat, Han Ki duduk bersila dan menempelkan telapak tangannya di punggung Maya, menggunakan sin-kangnya untuk “membersihkan” tubuh sumoinya dari pengaruh hawa beracun. Pada keesokan harinya, Maya terbangun dan ia bangkit duduk, mengusap-usap matanya dan memandang kepada Siauw Bwee.
“Ular.... banyak sekali...., ular merah....!” katanya gugup.
Siauw Bwee merangkulnya dengan hati lega.
“Engkau sudah aman, Suci. Suheng menyelamatkanmu.”
“Aku disini, Sumoi,”
Han Ki memasuki kamar, menekan perasaannya agar guncangan hatinya tidak terlihat di wajahnya. Diapun menekan kemarahannya atas perbuatan Maya yang membingungkan dia dan Siauw Bwee semalam suntuk.
“Ahhh, kini aku teringat.... lubang rahasia di bawah arca.... lorong di bawah tanah.... dan ular-ular merah! Hiiih, menjijikkan! Suheng, kau maafkan aku, ya?”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Aku girang bahwa engkau selamat. Ular-ular itu berbahaya sekali, entah bagaimana bisa berada di bawah sana. Harus dibasmi.”
“Aku ikut, Suheng!” Siauw Bwee berkata penuh semangat.
“Aku juga ikut!”
Kata Maya sambil melompat turun dari pembaringan. Han Ki tersenyum. Maya telah pulih kembali, telah memperlihatkan sikap tidak mau mengalah seperti biasa.
“Memang aku akan mengajak kalian akan tetapi kita makan dulu. Siapakah yang sudah makan malam tadi?”
“Aku belum!” Jawab Maya, mendadak merasa betapa perutnya lapar sekali. “Bukan hanya semalam, sudah dua hari dua malam aku tidak makan!”
“Aku juga belum sama sekali!” Siauw Bwee berkata.
“Aihh! Mengapa Sumoi?”, Maya bertanya.
“Dia gelisah memikirkanmu, mana bisa makan?” Han Ki berkata.
Maya memandang Siauw Bwee, lalu merangkul dan mencium pipi sumoinya. Melihat ini, Han Ki berdebar, teringat akan perbuatan Maya seperti itu terhadapnya ketika Maya dikuasai racun ular.
“Sumoi, kau baik sekali! Aku sungguh sayang kepadamu, Sumoi!”
Siauw Bwee balas memeluk.
“Maka jangan kau pergi lagi, Suci. Aku tidak bisa makan dan tidur kalau kau pergi,” jawab Siauw Bwee.
Tiba-tiba Maya menoleh kepada Han Ki.
“Dan engkau pun tidak makan tidak tidur, Suheng?”
Jantung Han Ki berdebar. Ia seperti melihat betapa sinar mata Maya ini berbeda dari biasanya, bukan pandang mata kanak-kanak lagi, melainkan pandang mata seorang gadis yang sudah mulai dewasa, pandang mata seorang wanita! Ia menekan debar jantungnya dan memasang muka cemberut, menjawab,
“Aku setengah mati mencarimu, mana ingat makan dan tidur?”
“Aihh! Aku membikin susah kalian! Maafkan saja. Biar kumasakkan yang enak untuk kalian!” Maya berlari ke dapur dan Siauw Bwee tertawa, menoleh kepada Han Ki, berkata,
“Lihat! Suci begitu baik, mana bisa dibilang nakal?” Dan ia pun lari mengejar untuk membantu Maya mempersiapkan makanan.
Setelah makan, tiga orang itu lalu bersama memasuki lorong rahasia di bawah tanah. Tadinya Siauw Bwee dan Maya membawa sebatang pedang karena mereka bermaksud untuk membunuh ular-ular berbahaya itu. Akan tetapi mereka dilarang oleh Han Ki yang berkata,
“Ular-ular itu berbahaya sekali. Baru uap yang keluar dari mulut mereka saja sudah amat berbahaya. Tidak mungkin kita dapat mendekati binatang-binatang itu untuk membunuhnya.”
“Habis, bagaimana baiknya, Suheng?”
Tanya Maya yang masih belum tahu bahwa dia nyaris menjadi korban uap beracun. Bahkan sesungguhnya, akibat racun ular merah itu masih belum lenyap sama sekali dari tubuhnya, yang membuat ia kini merasa ada sesuatu yang aneh dalam hatinya terhadap Han Ki, yang mendatangkan gairah dan rangsangan berahi namun belum dimengerti benar oleh hatinya yang masih belum matang.
“Aku akan menggunakan api. Tidak mungkin ular-ular itu berada di sana tadinya. Suhu tentu tidak akan membiarkan ular-ular berbahaya itu memenuhi ruangan. Tentu ular-ular itu datang dari lain tempat, maka biarlah kuusir mereka itu dari ruangan bawah tanah. Kalau tidak mau pergi, binatang-binatang itu akan kubasmi dengan api.“
Selama tinggal di Pulau Es, Han Ki beberapa kali pergi menggunakan perahu untuk mencari bahan makanan, binatang buruan, buah-buahan dan sayur-sayuran, juga ranting-ranting kering untuk bahan bakar dari pulau-pulau yang berdekatan. Kini ia merrrbawa ranting-ranting dan daun kering serta menyalakan obor memasuki lorong rahasia itu bersama kedua orang sumoinya yang juga membawa ranting-ranting kering.
Dengan hati-hati mereka menuruni anak tangga, dan dari atas tampaklah oleh mereka ular-ular itu dengan uap yang harum.
“Kita nyalakan ranting-ranting dan melemparkan ke bawah. Akan tetapi hati-hatilah, kalau mendekat ke sana harus menahan napas. Jika sudah tidak tertahan, segera naik lagi dan bernapas di tempat yang tak ada uap putihnya. Uap itu berbahaya sekali!” Han Ki berkata, “Akan tetapi, lemparkan ranting-ranting berapi di dekat anak tangga agar jangan sampai menimbulkan kebakaran. Kulihat di sudut ruangan itu ada lemari dan meja, jangan sampai barang-barang itu terbakar. Siapa tahu kalau-kalau Suhu menyimpan sesuatu di sana.”
Tiga orang itu membakar ranting dan melemparkan ke bawah. Melihat menyambarnya ranting-ranting berapi itu, beberapa ekor ular lalu menerjang dan tentu saja mereka bertemu dengan api dan seketika mereka berkelojotan.
Han Ki dan kedua orang sumoinya melemparkan lagi beberapa batang ranting berapi. Kembali ular-ular itu menyerang sambil mendesis-desis dan begitu bertemu api, binatang-binatang itu berkelojotan dan menyerang kawan sendiri membabi buta. Akhirnya mereka itu agaknya baru tahu bahwa benda-benda bernyala itu berbahaya. Mulailah ular-ular itu menjadi panik, bergerak saling terjang, saling belit dan berlumba lari memasuki sebuah lubang yang terdapat di sudut ruangan itu.
Dua tiga kali Maya dan Siauw Bwee, meloncat naik ke atas menjauhi uap beracun untuk bernapas, sedangkan Han Ki yang lebih kuat masih bertahan terus.
“Lihat, mereka lari dari sebuah lubang. Sudah kuduga, tentu ada lubangnya yang menembus ruangan itu. Mereka menggunakan ruangan itu sebagai sarang!”
Dengan hati penuh rasa jijik dan ngeri Maya dan Siauw Bwee melihat ular-ular itu bergerak pergi dan tak lama kemudian di ruangan itu hanya tinggal belasan ekor ular yang mati dan ada yang masih berkelojotan. Uap putih yang tadi memenuhi ruangan bawah itu kini telah lenyap pula, keluar dari lubang-lubang di atas dari mana sinar matahari menerobos masuk. Agaknya lubang-tubang di atas itu memang sengaja dibuat untuk lubang hawa dan lubang memasukkan sinar matahari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar