“Heii, di lemari itu ada kitab-kitab!” Maya berseru dan hendak berlari turun. Akan tetapi, Han Ki memegang lengannya mencegah,
“Hati-hati, Sumoi. Biarpun ular-ular telah pergi dan uap telah lenyap, tempat masih amat berbahaya, penuh racun bekas ular. Biarkan aku saja yang turun membersihkan tempat itu dan memeriksa kitab-kitab.”
Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Han Ki menuruni anak tangga dan menggunakan kakinya melernpar-lemparkan bangkai dan tubuh ular yang berkelojotan keluar dari lubang kecil di sudut ruangan. Kemudian pemuda ini mencabut pedang, memotong dinding batu yang cukup besar lalu menggunakan sebongkah batu itu menutupi lubang dari mana ular-ular tadi meninggalkan ruangan.
Dengan pengerahan tenaganya, ia mendorongkan batu sebesar lubang itu lebih dulu sebagai penyumbat, baru meletakkan batu besar itu di luar lubang. Kemudian ia menghampiri lemari yang daun pintunya terbuka separuh memperlihatkan beberapa jilid kitab tua.
Akan tetapi, baru saja tiba di depan lemari, ia melihat bahwa lemari itu tadinya tertutup dan “disegel' dengan sepotong kain sutera yang ada tulisannya. Agaknya karena tua dan lapuk, terutama sekali karena bisa ular, kain itu robek dan daun pintunya terbuka separuh.
Han Ki mengenal tulisan di atas kain, yaitu tulisan tangan suhunya dengan huruf-huruf kembang yang amat rapi, maka dia tidak berani berlaku lancang. Dipegangnya kain sutera itu, disambungkannya kembali baru dibaca. Kagetlah ia ketika membaca tulisan suhunya itu!
“Ilmu-ilmu silat dalam kitab-kitab ini amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka, tidak patut dipelajari pembela-pembela kebenaran dan keadilan.”
Membaca tulisan suhunya itu, Han Ki cepat menutupkan kembali daun pintu lemari, kemudian ia meloncat naik menghampiri kedua orang sumoinya yang memandang dengan heran.
“Suheng, kitab-kitab apakah itu?”
Siauw Bwee bertanya tidak sabar. Seperti juga sucinya, dia selalu ingin sekali melihat dan mempelajari ilmu-ilmu baru dari kitab-kitab yang berada di istana itu.
“Kenapa tidak diambil, bahkan tidak kau periksa isinya, Suheng?” Maya juga bertanya.
“Mari kita kembali ke atas, nanti kuceritakan,”
Kata Han Ki dan kedua orang sumoinya tidak banyak bertanya lagi karena melihat wajah serius suheng mereka, setelah tiba di atas, barulah Han Ki menarik napas panjang dan berkata.
“Memang ruangan di bawah itu hanya pantas menjadi sarang ular. Kitab-kitab itu ternyata lebih berbahaya dari pada sekumpulan ular berbisa itu.”
“Ah, kitab-kitab apakah itu, Suheng?” tanya Maya.
“Kitab-kitab itu sengaja disembunyikan oleh Siansu agar jangan dibaca orang dan lemari itu tadinya dipasangi tulisan suhu yang melarang orang membaca kitab-kitab yang katanya amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka dan tidak patut dipelajari oleh orang-orang gagah pembela kebenaran dan keadilan.”
“Orang buangan di Pulau Neraka? Siapakah itu, Suheng?” Siauw Bwee bertanya.
“Aku sendiri pun tidak tahu jelas, Akan tetapi ada disebut sedikit di dalam kitab yang kubaca ditempat keramat penghuni Pulau Nelayan. Ketika kerajaan kecil di Pulau Es ini masih berdiri, yang istananya kini kita tempati, terdapat orang-orang yang melanggar peraturan dan dihukum buang ke sebuah pulau yang merupakan neraka dunia, sukar, bahkan tak mungkin orang hidup di sana, disebut Pulau Neraka. Tentu hanya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji saja yang dibuang di sana, dan melihat betapa rakyat Pulau Es itu saja sudah amat lihai seperti kita buktikan pada keturunan mereka di Pulau Nelayan, maka para penjahatnya amat lihai. Kitab-kitab dalam lemari itu adalah ciptaan orang-orang yang menjadi tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka, tentu saja amat lihai akan tetapi keji bukan main. Setelah Suhu kita sendiri melarang, perlu apa kita melihat kitab-kitab keji seperti itu?”
Sekali ini, kedua orang gadis remaja itu tidak membantah. Akan tetapi diam-diam Maya merasa penasaran dan tidak setuju. Apa sih kejinya ilmu? Tergantung kepada orangnya! Akan tetapi ia takut untuk membantah, apalagi mengingat bahwa terdapat larangan oleh suhunya sendiri.
Semenjak peristiwa itu, Maya tidak banyak rewel seperti biasa akan tetapi ada perubahan yang membuat hati Han Ki makin khawatir, yaitu bahwa sering kali pandang mata Maya kepadanya mengingatkan ia akan pandang mata Puteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, memandangnya penuh cinta kasih!
Dia tidak tahu bahwa diam-diam, sesuai dengan wataknya yang halus, Siauw Bwee juga sering kali memandangnya seperti itu. Cinta kasih bersemi di dalam lubuk hati kedua orang gadis remaja itu terhadap suheng mereka. Dan perlumbaan di antara mereka dahulu untuk menarik perhatian suheng mereka, kini diam-diam mereka melanjutkan dengan perlumbaan mencinta pemuda itu!
Hal ini terjadi dengan diam-diam karena kedua orang gadis yang berangkat dewasa itu mempunyai perasaan kewanitaan yang halus, yang membuat mereka saling mengerti bahwa mereka mencinta Han Ki, bukan kasih sayang seorang sumoi terhadap suhengnya, melainkan kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria.
Biarpun keduanya tidak pernah membuka rahasia hati dari mulut mereka, namun keduanya saling mengerti. Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Han Ki dan masih ada lagi hal yang tidak diketahui Han Ki, yaitu bahwa diam-diam Maya telah turun ke dalam ruangan rahasia itu dan diam-diam membuka dan membaca kitab-kitab ciptaan tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka!
Yang diketahui oleh Han Ki hanyalah bahwa kedua orang sumoinya itu belajar Ilmu dengan amat tekunnya sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat dan semua ini membuat hatinya gembira sekali karena ia merasa bahwa dia telah memenuhi tugas yang dibebankan suhunya dengan baik.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka bertiga telah tinggal di atas Pulau Es selama lima tahun, Kini Maya telah menjadi seorang dara jelita berusia delapan belas tahun sedangkan Siauw Bwee menjadi seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun.
Biarpun mereka bertiga tinggal di atas pulau yang kosong, namun untuk kepentingan mereka, Han Ki pergi menggunakan perahunya membeli bahan-bahan pakaian untuk mereka sehingga mereka selalu dapat berpakaian dengan baik, seperti telah dapat diduga sebelumnya oleh Han Ki, setelah kini kepandaian kedua orang sumoinya itu menjadi matang, Siauw Bwee memiliki gin-kang yang luar biasa sekali, yang memungkinkannya bergerak seperti seekor burung walet dan pandai pula menggerakkan tenaga sin-kangnya menjadi tenaga halus yang memungkinkan dara ini mempergunakan telapak tangannya menghadapi senjata lawan yang keras dan tajam.
Di lain pihak, Maya juga memperoleh kemajuan luar biasa, tenaga sin-kangnya mengagumkan, kuat sekali, terutama sekali tenaga Yang-kang sehingga kalau Maya memainkan ilmu silat yang sifatnya panas, dari kedua telapak tangannya menyambar hawa yang panas seperti api membara! Juga Maya dapat bersilat dengan gerakan indah seperti menari-nari sehingga dara yang memiliki kecantikan luar biasa dan khas Khitan itu tampak seperti bidadari kahyangan menari-nari.
Han Ki sendiri memperoleh kemajuan yang sukar diukur lagi. Dia menjadi seorang pendekar sakti yang sukar dicari tandingnya di waktu itu. Usianyn sudah tiga puluh tahun, namun sikapnya sudah seperti seorang tua, pendiam dan sering kali bersamadhi.
Di samping kepandaian silatnya, juga kepandaiannya mengukir batu memperoleh kemajuan karena sering ia latih. Dan pada waktu kedua orang sumoinya telah menjadi dara-dara dewasa, Han Ki mencari tiga bongkah batu karang yang seperti batu pualam putih dan amat indah. Mulailah ia mengukir batu-batu itu, membuat tiga buah arca mereka dengan penuh ketelitian dan hati-hati.
“Hati-hati, Sumoi. Biarpun ular-ular telah pergi dan uap telah lenyap, tempat masih amat berbahaya, penuh racun bekas ular. Biarkan aku saja yang turun membersihkan tempat itu dan memeriksa kitab-kitab.”
Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Han Ki menuruni anak tangga dan menggunakan kakinya melernpar-lemparkan bangkai dan tubuh ular yang berkelojotan keluar dari lubang kecil di sudut ruangan. Kemudian pemuda ini mencabut pedang, memotong dinding batu yang cukup besar lalu menggunakan sebongkah batu itu menutupi lubang dari mana ular-ular tadi meninggalkan ruangan.
Dengan pengerahan tenaganya, ia mendorongkan batu sebesar lubang itu lebih dulu sebagai penyumbat, baru meletakkan batu besar itu di luar lubang. Kemudian ia menghampiri lemari yang daun pintunya terbuka separuh memperlihatkan beberapa jilid kitab tua.
Akan tetapi, baru saja tiba di depan lemari, ia melihat bahwa lemari itu tadinya tertutup dan “disegel' dengan sepotong kain sutera yang ada tulisannya. Agaknya karena tua dan lapuk, terutama sekali karena bisa ular, kain itu robek dan daun pintunya terbuka separuh.
Han Ki mengenal tulisan di atas kain, yaitu tulisan tangan suhunya dengan huruf-huruf kembang yang amat rapi, maka dia tidak berani berlaku lancang. Dipegangnya kain sutera itu, disambungkannya kembali baru dibaca. Kagetlah ia ketika membaca tulisan suhunya itu!
“Ilmu-ilmu silat dalam kitab-kitab ini amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka, tidak patut dipelajari pembela-pembela kebenaran dan keadilan.”
Membaca tulisan suhunya itu, Han Ki cepat menutupkan kembali daun pintu lemari, kemudian ia meloncat naik menghampiri kedua orang sumoinya yang memandang dengan heran.
“Suheng, kitab-kitab apakah itu?”
Siauw Bwee bertanya tidak sabar. Seperti juga sucinya, dia selalu ingin sekali melihat dan mempelajari ilmu-ilmu baru dari kitab-kitab yang berada di istana itu.
“Kenapa tidak diambil, bahkan tidak kau periksa isinya, Suheng?” Maya juga bertanya.
“Mari kita kembali ke atas, nanti kuceritakan,”
Kata Han Ki dan kedua orang sumoinya tidak banyak bertanya lagi karena melihat wajah serius suheng mereka, setelah tiba di atas, barulah Han Ki menarik napas panjang dan berkata.
“Memang ruangan di bawah itu hanya pantas menjadi sarang ular. Kitab-kitab itu ternyata lebih berbahaya dari pada sekumpulan ular berbisa itu.”
“Ah, kitab-kitab apakah itu, Suheng?” tanya Maya.
“Kitab-kitab itu sengaja disembunyikan oleh Siansu agar jangan dibaca orang dan lemari itu tadinya dipasangi tulisan suhu yang melarang orang membaca kitab-kitab yang katanya amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka dan tidak patut dipelajari oleh orang-orang gagah pembela kebenaran dan keadilan.”
“Orang buangan di Pulau Neraka? Siapakah itu, Suheng?” Siauw Bwee bertanya.
“Aku sendiri pun tidak tahu jelas, Akan tetapi ada disebut sedikit di dalam kitab yang kubaca ditempat keramat penghuni Pulau Nelayan. Ketika kerajaan kecil di Pulau Es ini masih berdiri, yang istananya kini kita tempati, terdapat orang-orang yang melanggar peraturan dan dihukum buang ke sebuah pulau yang merupakan neraka dunia, sukar, bahkan tak mungkin orang hidup di sana, disebut Pulau Neraka. Tentu hanya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji saja yang dibuang di sana, dan melihat betapa rakyat Pulau Es itu saja sudah amat lihai seperti kita buktikan pada keturunan mereka di Pulau Nelayan, maka para penjahatnya amat lihai. Kitab-kitab dalam lemari itu adalah ciptaan orang-orang yang menjadi tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka, tentu saja amat lihai akan tetapi keji bukan main. Setelah Suhu kita sendiri melarang, perlu apa kita melihat kitab-kitab keji seperti itu?”
Sekali ini, kedua orang gadis remaja itu tidak membantah. Akan tetapi diam-diam Maya merasa penasaran dan tidak setuju. Apa sih kejinya ilmu? Tergantung kepada orangnya! Akan tetapi ia takut untuk membantah, apalagi mengingat bahwa terdapat larangan oleh suhunya sendiri.
Semenjak peristiwa itu, Maya tidak banyak rewel seperti biasa akan tetapi ada perubahan yang membuat hati Han Ki makin khawatir, yaitu bahwa sering kali pandang mata Maya kepadanya mengingatkan ia akan pandang mata Puteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, memandangnya penuh cinta kasih!
Dia tidak tahu bahwa diam-diam, sesuai dengan wataknya yang halus, Siauw Bwee juga sering kali memandangnya seperti itu. Cinta kasih bersemi di dalam lubuk hati kedua orang gadis remaja itu terhadap suheng mereka. Dan perlumbaan di antara mereka dahulu untuk menarik perhatian suheng mereka, kini diam-diam mereka melanjutkan dengan perlumbaan mencinta pemuda itu!
Hal ini terjadi dengan diam-diam karena kedua orang gadis yang berangkat dewasa itu mempunyai perasaan kewanitaan yang halus, yang membuat mereka saling mengerti bahwa mereka mencinta Han Ki, bukan kasih sayang seorang sumoi terhadap suhengnya, melainkan kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria.
Biarpun keduanya tidak pernah membuka rahasia hati dari mulut mereka, namun keduanya saling mengerti. Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Han Ki dan masih ada lagi hal yang tidak diketahui Han Ki, yaitu bahwa diam-diam Maya telah turun ke dalam ruangan rahasia itu dan diam-diam membuka dan membaca kitab-kitab ciptaan tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka!
Yang diketahui oleh Han Ki hanyalah bahwa kedua orang sumoinya itu belajar Ilmu dengan amat tekunnya sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat dan semua ini membuat hatinya gembira sekali karena ia merasa bahwa dia telah memenuhi tugas yang dibebankan suhunya dengan baik.
Waktu berjalan dengan amat cepatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka bertiga telah tinggal di atas Pulau Es selama lima tahun, Kini Maya telah menjadi seorang dara jelita berusia delapan belas tahun sedangkan Siauw Bwee menjadi seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun.
Biarpun mereka bertiga tinggal di atas pulau yang kosong, namun untuk kepentingan mereka, Han Ki pergi menggunakan perahunya membeli bahan-bahan pakaian untuk mereka sehingga mereka selalu dapat berpakaian dengan baik, seperti telah dapat diduga sebelumnya oleh Han Ki, setelah kini kepandaian kedua orang sumoinya itu menjadi matang, Siauw Bwee memiliki gin-kang yang luar biasa sekali, yang memungkinkannya bergerak seperti seekor burung walet dan pandai pula menggerakkan tenaga sin-kangnya menjadi tenaga halus yang memungkinkan dara ini mempergunakan telapak tangannya menghadapi senjata lawan yang keras dan tajam.
Di lain pihak, Maya juga memperoleh kemajuan luar biasa, tenaga sin-kangnya mengagumkan, kuat sekali, terutama sekali tenaga Yang-kang sehingga kalau Maya memainkan ilmu silat yang sifatnya panas, dari kedua telapak tangannya menyambar hawa yang panas seperti api membara! Juga Maya dapat bersilat dengan gerakan indah seperti menari-nari sehingga dara yang memiliki kecantikan luar biasa dan khas Khitan itu tampak seperti bidadari kahyangan menari-nari.
Han Ki sendiri memperoleh kemajuan yang sukar diukur lagi. Dia menjadi seorang pendekar sakti yang sukar dicari tandingnya di waktu itu. Usianyn sudah tiga puluh tahun, namun sikapnya sudah seperti seorang tua, pendiam dan sering kali bersamadhi.
Di samping kepandaian silatnya, juga kepandaiannya mengukir batu memperoleh kemajuan karena sering ia latih. Dan pada waktu kedua orang sumoinya telah menjadi dara-dara dewasa, Han Ki mencari tiga bongkah batu karang yang seperti batu pualam putih dan amat indah. Mulailah ia mengukir batu-batu itu, membuat tiga buah arca mereka dengan penuh ketelitian dan hati-hati.
**** 061 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar