Ads

Jumat, 25 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 064

Melihat ini, Suma Hoat memandang pula dan diam-diam ia menaruh perhatian karena dapat menduga dari langkah-langkah kaki dan sikap lima orang itu bahwa mereka adalah orang-orang penting dan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Mereka itu terdiri dari dua orang yang pakaiannya seperti perwira tinggi, dua orang pula berpakaian sebagai orang-orang kang-ouw dengan pedang di punggung, dan seorang lagi adalah hwesio berkepala gundul dan berpakaian serba kuning. Pada waktu sekacau itu, melihat seorang pendeta hwesio memasuki restoran bukan merupakan penglihatan aneh. Lima orang itu memasuki ruangan sambil bercakap-cakap dan tertawa-tawa, sedangkan Si Pelayan yang menyambut segera berkata,

“Selamat datang, Ngo-wi (Tuan Berlima) yang terhormat! Pesanan ciangkun kemarin telah kami sediakan. Silakan, di sanalah tempat terhormat Ngo-wi!”

Pelayan itu dengan bantuan beberapa orang temannya lalu mengatur meja, tiga meja disatukan di tengah ruangan itu, di depan meja Suma Hoat dan orang bertelanjang kaki. Dengan sikap angkuh lima orang itu menarik kursi dan duduk mengelilingi meja, dua orang perwira membelakangi Suma Hoat dan Si Tosu membelakangi meja laki-laki berkaki telanjang.

Suma Hoat mulai makan, akan tetapi diam-diam ia memperhatikan lima orang itu, dan juga memperhatikan Si Kaki Telanjang yang masih belum memesan makanan karena ditinggalkan pelayan yang kini sibuk melayani lima orang itu. Karena lima orang itu menanti pesanan makanan mereka yang amat banyak sambil bercakap-cakap perlahan, Suma Hoat sambil makan memasang telinga dan menangkap percakapan mereka.

“Sungguh menjemukan sekali keledai-keledai gundul itu!” kata seorang perwira yang bertubuh tinggi besar. “Akan tetapi, mulai malam nanti mereka tidak akan dapat tinggal diam lagi!” kata perwira kurus sambil tertawa.

“Kabarnya mereka lihai,” kata orang yang berpakaian tokoh kang-ouw, bajunya berwarna biru.

“Aahh, yang lihai hanya ketuanya, dan pinto sanggup melawannya,” kata Si Tosu dengan suara rendah. “Pinto akan memperkenalkan diri sebagai tokoh Hoasan....”

“Sstt, harap Totiang hati-hati,” perwira gemuk mencela dan menoleh ke kanan kiri.

“Takut apa?” Tosu itu berseru dan melirik ke arah Suma Hoat yang masih makan dan berpura-pura tidak mendengar. “Semua sudah diatur baik.”

“Memang Hoa-totiang benar. Kalau pusat perkumpulan mereka mendengar bahwa cabang mereka terbasmi oleh perwira Sung dan tokoh Hoa-san, hendak kulihat apakah ketua pusatnya akan tetap dingin saja,” kata pula perwira kurus.

Percakapan mereka terhenti karena munculnya empat orang pelayan yang membawa hidangan yang mereka pesan. Banyak benar hidangan itu dan mereka sudah mempersiapkan sumpit ketika mereka dikejutkan oleh suara orang menggebrak meja sambil berseru,

“He, Bung Pelayan yang tidak adil! Aku sudah datang lebih dulu dan pesan lebih dulu, mengapa orang-orang lain yang datang belakangan dilayani lebih dulu? Sungguh menjemukan!”

“Sicu, harap bersabar....!” Pelayan membujuk dengan wajah ketakutan, bukan takut terhadap Si Kaki Telanjang, melainkan takut kepada rombongan lima orang itu karena ia membungkuk-bungkuk kepada dua orang perwira sambil menggumam, “Ciangkun, maafkan....!”

Melihat ini, Suma Hoat menjadi panas perutnya dan ia pun berkata,
“Pelayan, tugasmu melayani tamu yang sama-sama membayar tanpa pilih kedudukan dan pilih kasih!”

Pelayan itu makin ketakutan dan empat orang pelayan mundur-mundur ketika melihat betapa lima orang itu melototkan mata mereka. Si Perwira kurus memencet hidungnya dan berkata,

“Wah-wah, banyak sekali lalat di sini! Membikin orang kurang bernafsu makan saja! Biar kubasmi lalat-lalat ini!”

Katanya dan menyambar kain lap dari pundak seorang pelayan, kain itu ia gerakkan ke atas, ke kanan kiri dan.... belasan ekor lalat yang memang banyak terdapat di situ terkena sambaran angin pukulan, runtuh semua ke atas meja Si Kaki Telanjang!






Si Kaki Telanjang melihat bangkai belasan ekor lalat di atas mejanya dan terdengarlah suara ketawa lima orang itu terbahak-bahak,

“Ha-ha-ha!” Si Perwira Kurus yang memperlihatkan kepandaiannya itu tertawa. “Kalau sudah amat kelaparan, lalat pun merupakan hidangan yang lumayan!”

“Ha-ha-ha-ha!”

Lima orang itu bertawa lagi, yang paling keras ketawanya adalah Si Perwira Kurus karena ia sengaja hendak menghina Si Kaki telanjang yang menoleh sambil tertawa mangerling ke arah Si Kaki Telanjang.

“Ha-ha-ha-hauuup....!”

Tiba-tiba Si Perwira kurus menghentikan ketawanya, matanya mendelik, ia terbatuk-batuk dan berusaha mengeluarkan tiga ekor lalat yang menyambar memasuki mulutnya yang tadi tertawa dan kini bersarang ke tenggorokkannya.

“Haaak-agghh.... haaakk-huaaakkk!”

“Eh, kau kenapa?”

Temannya, Si Perwira Gemuk, bertanya, juga tiga orang lainnya memandang heran, menghentikan ketawa mereka.

“Ughh-ughh...., lalat...., masuk mulut...., si bedebah!”

Perwira kurus itu terbatuk-batuk dan empat orang temannya tertawa-tawa geli, akan tetapi mereka itu menjadi terheran-heran juga mengapa ada lalat bisa masuk ke mulut teman mereka.

“Tiga ekor...., ihh, huakk, si keparat!”

Perwira itu menyumpah-nyumpah dan terpaksa menelan tiga ekor lalat itu karena tidak berhasil mengeluarkannya. Empat orang temannya makin terheran.

Suma Hoat memandang dengan kagum. Ia melihat tadi betapa Si Kaki Telanjang itu menggunakan telunjuk kirinya menyentil tiga ekor bangkai lalat dari atas mejanya dan menerbangkan bangkai tiga ekor lalat itu memasuki mulut Si Perwira Kurus. Dia ikut merasa gembira dan tak dapat menahan ketawanya.

“Ha-ha-ha, memang bagi yang kelaparan, tiga ekor bangkai lalat juga merupakan hidangan lumayan!”

Lima orang itu semua menengok kepada Suma Hoat, dan Si Perwira Gemuk lalu minum araknya setelah berkata,

“Menangkap lalat banyak caranya, aku suka dengan cara ini!”

Setelah minum arak semulut penuh, ia lalu menyemburkan arak dari mulutnya ke arah lalat-lalat yang beterbangan. Belasan ekor lalat disambar percikan arak, dan berikut percikan araknya, bangkai-bangkai lalat itu menyambar ke arah Suma Hoat! Ini pun merupakan demonstrasi kepandaian yang tidak rendah karena seperti halnya Si Perwira Kurus tadi, Si Gemuk itu pun menyembur dengan pengerahan tenaga sin-kang yang kuat.

Dengan tenang Suma Hoat melambaikan tangan kirinya dan percikan arak bersama bangkai-bangkai lalat itu terputar-putar kemudian ia mengangkat mangkok kuah dan semua percikan arak berikut bangkai lalat masuk ke dalam mangkok itu, semua masuk dengan tepat seolah-olah dituangkan ke situ. Suma Hoat memandang kepada Si Gemuk dan berkata,

“Kalau orang gemar kuah daging lalat, silakan minum!” Maka terbanglah mangkok dan kuah itu ke arah Si Perwira Gemuk.

“Setan....!”

Si Perwira berseru dan mengelak dengan jalan melempar tubuh ke belakang, akan tetapi mangkok itu melayang dari atas dan mengguyur kepalanya sehingga kepalanya dan mukanya tersiram kuah dan bangkai-bangkai lalat. Biarpun ia gelagapan dan mukanya terasa perih, tangan perwira gemuk itu masih berhasil menangkap mangkok dan sekali remas mangkok itu hancur berkeping-keping!

“Ha-ha-ha! Hebat! Hebat! Ada yang suka mengganyang lalat mentah-mentah, ada pula yang suka mandi kuah lalat, ha-ha-ha!”

Kini Si Kaki Telanjang yang berjingkrak dan bertepuk tangan, diam-diam ia kagum sekali menyaksikan kepandaian pemuda pesolek tampan yang tadi sudah menarik perhatiannya itu.

“Makanlah!”

Si Perwira Kurus menyambar dua buah mangkok sayurnya yang belum dimakan sesendok pun, dilemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Akan tetapi orang aneh ini menerima dua buah mangkok itu dengan kedua tangannya, tangkas sekali gerakannya sehingga ketika ia meletakkan dua buah mangkok itu, tidak ada setetes pun kuahnya tumpah.

“Ha-ha-ha, lagi! Lagi....!” katanya gembira.

Dua orang kang-ouw yang melihat ini menjadi penasaran, mereka pun menyambar mangkok-mangkok masakan dan melemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Cepat sekali sambaran mangkok-mangkok itu, namun Si Kaki Telanjang lebih cepat lagi menerima mangkok-mangkok itu seperti seorang pemain akrobat yang mahir dan susulan mangkok-mangkok berikutnya diterima semua sampai semua hidangan dari atas meja lima orang itu kini pindah ke mejanya.

“Singggg....!”

Tiba-tiba tampak sinar berkelebat, sinar putih yang menyambar cepat bukan main ke arah Si Kaki Telanjang. Melihat ini, Suma Hoat terkejut. Yang melempar itu adalah Si Tosu dan yang dilemparkan sebuah piring sehingga “senjata rahasia” itu menyambar cepat bukan main, padahal saat itu, Si Kaki Telanjang sedang sibuk menerima sambaran mangkok-mangkok terakhir.

“Kesini....!”

Suma Hoat membentak, tangannya diulur ke depan dengan pengerahan sin-kangnya yang kuat dan...., piring yang berubah menjadi sinar putih itu seperti bernyawa, berputaran dan melayang ke arah tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan tenang meletakannya ke atas meja.

Lima orang itu terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa di dalam restoran itu terdapat dua orang yang demikian lihai. Mereka tahu diri, bahkan Si Tosu yang memiliki kepandaian tertinggi di antara mereka cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat.

“Maafkan pinto dan teman-teman yang tidak melihat dua buah Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan mata.” Ucapan ini biasa dilakukan oleh orang-orang kang-ouw yang mengakui keunggulan orang pandai.

Empat orang temannya juga sudah bangkit berdiri dan menjura. Akan tetapi Suma Hoat dan Si Kaki Telanjang itu sama sekali tidak berdiri, tetap duduk dengan tenang.

“Mohon tanya, Ji-wi-enghiong dari aliran manakah?” Tiba-tiba Si Kurus, perwira yang tadi mengganyang tiga ekor lalat, bertanya.

“Aku bukan dari aliran apapun juga dan tidak mempunyai urusan dengan siapapun juga,” kata Suma Hoat acuh.

“Heh-heh, dan aku pun hanya seorang perantau yang tidak mempunyai backing (sandaran), seorang manusia biasa biarpun bukan tergolong lalat hijau,” kata Si Kaki Telanjang sambil tertawa.

“Kalau begitu, sekali lagi maaf,” kata Si Perwira Kurus. “Karena belum mengenal, kami telah bersikap lancang, dan harap Ji-wi tidak mencampuri urusan kami.”

“Ha-ha-ha, sahabat yang baik, engkau terlalu merendah. Setelah menjamu kami dengan hidangan-hidangan yang begitu komplit, siapa bilang bahwa kalian belum mengenal kami? Terima kasih, ya?”

Perwira Gemuk yang kini bersikap hormat dan berhati-hati, menjura ke arah Si Kaki Telanjang sambil berkata,

“Hidangan kami hanya sekedarnya, harap Ji-wi-enghiong suka menerimanya dengan senang hati. Kami mohon diri!” Lima orang itu lalu menjura dan membalikkan tubuh hendak meninggalkan restoran itu.

“Eh, eh, sahabat-sahabat baik, nanti dulu!” Si Kaki Telanjang bangkit berdiri dan menggapai. “Harap jangan mempermainkan aku orang miskin, dan jangan akal-akalan, ya? Hidangan ini belum dibayar, kalau kalian pergi tanpa membayar, tentu aku yang ditagih, bisa repot aku membayarnya!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar