Ads

Jumat, 25 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 065

“Sahabat, biarlah aku yang membayarnya!” Suma Hoat berkata, menganggap Si Kaki Telanjang itu keterlaluan sekali.

“Tidak, mereka memberi hadiah, kenapa harus kita bayar sendiri?” Si Kaki Telanjang berkata membantah.

Perwira gemuk merogoh kantung bajunya dan menggapai pelayan yang datang membungkuk-bungkuk,

“Ini bayaran hidangan!” kata Si Perwira mengeluarkan beberapa buah uang perak dan memberikan kepada Si Pelayan.

Si Pelayan menerima dan matanya terbelalak. Uang itu terlampau banyak, akan tetapi dia bergidik ketika menerimanya. Perwira itu tidak peduli dan pergilah dia bersama empat temannya meninggalkan restoran.

“Heii! Kenapa kau bengong? Apakah bayarannya kurang?” Si Kaki Telanjang menegur pelayan. “Kalau kurang bilang saja, mereka harus menambahnya!”

“Tidak...., tidak kurang malah lebih...., akan tetapi....“

Pelayan itu memperlihatkan perak yang berada di telapak tangannya dan ternyata bahwa potongan-potongan uang perak itu kini telah menjadi satu seperti dijepit jepitan baja yang amat kuat!

Si Kaki Telanjang tertawa,
“Bagus, kalau lebih, berikan kelebihannya untuk menambah arak!”

Pelayan ini pergi tanpa berani membantah karena kalau lima orang itu saja bersikap mengalah dan gentar terhadap dua orang aneh ini, apalagi dia!

“Mari, sahabat yang tampan. Kita makan bersama!”

Suma Hoat menjawab,
“Makanlah sendiri. Aku tidak rakus!”

Si Kaki Telanjang terbelalak, kemudian bangkit berdiri dan membungkuk.
“Aihh...., dasar aku si tukang rakus! Perkenalkan, aku tidak mempunyai nama, akan tetapi orang-orang sinting di dunia ini menyebutku Im-yang Seng-cu.”

Suma Hoat terkejut. Dia sudah mendengar nama besar orang aneh ini dan sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa orangnya masih begitu muda, namun namanya sudah menggemparkan dunia persilatan. Menurut kabar yang ia peroleh, Im-yang Seng-cu adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang dianggap “murtad”, menjadi seorang perantau yang ilmunya tinggi, wataknya aneh dan gila-gilaan akan tetapi selalu menindas kejahatan. Ia pun menjura dan berkata,

“Aku pun tidak mempunyai nama, dan orang-orang suci di dunia ini menyebutku Jai-hwa-sian!”

“Haiii!” Im-yang Seng-cu meloncat bangun, kemudian menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangannya, “Jangan berkelakar, kawan. Orang seperti engkau ini tidak patut disebut Jai-hwa-sian!”

“Akan tetapi memang benar akulah Jai-hwa-sian, dan kalau engkau merasa terlalu suci untuk berdekatan dengan....”

“Wah-wah, stop! Biar engkau Jai-hwa-sian atau Jai-hwa-kwi (setan) aku tidak peduli. Yang penting kita berdua hari ini bertemu secara kebetulan dan menyenangkan sekali. Kupersilakan engkau sudi menemaniku, makanan di mejamu tentu sudah kotor kena percikan arak bau dari mulut orang tadi!”

Suma Hoat memang tertarik sekali untuk berkenalan dengan orang aneh yang telah ia lihat sendiri kelihaiannya tadi, maka ia lalu bangkit berdiri dan pindah duduk, menghadapi meja Si Kaki Telanjang. Mereka lalu makan minum, dan karena Im-yang Seng-cu makan dengan lahapnya tanpa bicara, Suma Hoat juga makan tanpa berkata sesuatu.

“Benarkah engkau Jai-hwa-sian?” Tiba-tiba Im-yang Seng-cu bertanya.

“Kalau benar mengapa?” Suma Hoat balas bertanya.






Im-yang Seng-cu tertawa.
“Engkau jantan sejati. Akan tetapi aku masih tak bisa percaya. Akan tetapi aku tidak bisa percaya bahwa engkau adalah Jai-hwa-sian yang tersohor itu.”

“Kalau engkau ragu-ragu, aku pun meragukan apakah benar engkau ini Im-Yang Seng-cu yang terkenal.”

“Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Apakah artinya nama julukan? Yang penting kecocokan hati, dan aku cocok sekali denganmu. Biarlah kita saling menutup mata terhadap nama. Eh, sahabat, bagaimana pendapatmu tentang lima orang tadi?”

“Mereka lihai, akan tetapi sombong.”

Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk.
“Mereka merupakan lawan-lawan tangguh, terutama si tosu bau yang hendak menodai nama Hoa-san-pai tadi. Dan Si Gemuk yang mencengkeram uang perak membuktikan bahwa sin-kangnya tinggi. Eh, apa yang hendak kau lakukan terhadap rencana mereka?”

“Rencana yang mana? Tentang niat mereka menyerbu kelenteng? Aku tidak mengerti dan tidak peduli,” jawab Suma Hoat.

“Aihhh! Engkau sudah tahu mereka akan menyerbu kelenteng dan membasmi hwesio-hwesio di sana, dan masih tidak peduli? Dengar baik-baik, yang hendak mereka serbu adalah kelenteng cabang Siauw-lim-pai, dan mereka itu hendak membakar hati tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, terutama Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang!”

Biarpun Im-yang Seng-cu bicara penuh gairah dan semangat, Suma Hoat mendengarkan dengan sikap dingin dan melanjutkan menyumpit dan makan potongan daging.

“Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,” jawabnya.

“Apa?” Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya. “Jai-Hwa-sian, kalau benar kau Jai-hwa-sian, salahkan pendengaranku selama ini bahwa di samping.... eh.... kebiasaanmu yang tidak terpuji, engkau adalah seorang pendekar yang selalu siap mengulurkan tangan menentang kejahatan?”

Mendengar ini, Suma Hoat menunda sumpitnya dan memandang tajam.
“Im-yang Seng-cu, tentang kebiasaanku, itu adalah urusan pribadi. Dan tentang sifat pendekar, aku bukan seorang pendekar, akan tetapi aku bukan pula seorang yang suka mencampuri urusan permusuhan orang lain, sedangkan aku belum tahu siapa salah dan siapa yang benar.”

Im-yang Seng-cu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Aih-aihh...., sampai begitu jauhkah engkau mengerti tentang keadaan di dunia kang-ouw dan kerajaan?”

“Aku tidak ada urusan dengan kerajaan dan dunia kang-ouw.”

“Kalau begitu, engkau perlu mengerti. Dengarlah baik-baik,”

Im-yang Seng-cu lalu menceritakan pendirian Siauw-lim-pai tentang pertentangan-pertentangan yang timbul antara Kerajaan Sung dan banyak pembesar-pembesar daerah yang hendak berdiri sendiri. Kemudian ia menambahkan,

“Nah, siapakah yang tidak kagum akan kebijaksanaan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti itu? Akan tetapi sekarang, lima orang cecunguk tadi hendak merusak pendiriannya yang bijaksana itu. Si Tosu hendak menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai membunuh ketua cabang Siauw-lim-si, hal ini berarti mereka hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kemudian, dua orang perwira tadi hendak menyamar sebagai perwira-perwira Sung, ini berarti orang-orang ini hendak melawan Kerajaan Sung dan membantu para pemberontak! Tidak kasihankah engkau kepada pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang tidak berdosa dan tidak sayangkah engkau kalau melihat pendirian yang bijaksana itu menjadi berantakan?”

Suma Hoat tertarik sekali. Dia sudah mendengar bahwa di antara para tokoh besar, kedudukan Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, amatlah tinggi dan kesaktiannya dapat disejajarkan dengan paman tuanya, Menteri Kam Liong. Dia sudah mendengar pula bahwa Menteri Kam telah tewas dikeroyok pasukan kerajaan di bawah pimpinan ayahnya sendiri, hal yang amat menyesalkan hatinya.

“Im-yang Seng-cu, bagaimana engkau bisa tahu bahwa mereka tadi hendak membasmi para hwesio kelenteng Siauw-lim-si ?”

Yang ditanya tertawa,
“Biarpun dalam hal ilmu kepandaian aku masih kalah jauh dibandingkan denganmu, akan tetapi agaknya tentang dunia kang-ouw aku lebih tahu. Mereka bicara tentang keledai-keledai gundul yang berarti hwesio, dan di kota Lo-kiu ini satu-satunya kelenteng yang memiliki hwesio-hwesio lihai hanyalah kelenteng Siauw-lim-si di sebelah barat kota. Dan percakapan mereka tadi cocok dengan keadaan pada waktu ini. Sudahlah, kalau memang engkau tidak memiliki kegagahan biar aku sendiri yang akan membela para hwesio Siauw-lim-pai!”

Suma Hoat tersenyum dingin.
“Silakan!”

Im-yang Seng-cu menenggak araknya, lalu bangkit berdiri dengan sikap marah.
“Sebaiknya mulai saat ini, julukanmu dirubah menjadi Jai-hwa-kwi (Setan Pemetik Bunga) saja! Selamat tinggal!”

Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan Suma Hoat dan pergi dengan cepat, memanggul tongkat dan buntalan pakaiannya. Tak lama kemudian, Suma Hoat juga meninggalkan restoran itu setelah membayar makanan yang dipesannya tadi.

Im-yang Seng-cu yang maklum bahwa seorang diri saja dia akan kurang kuat untuk menghadapi lima orang lihai yang hendak menyerang Siauw-lim-si, maka ia lalu langsung pergi ke kuil itu yang berada di sebelah barat, di ujung kota.

”Saya mohon bertemu dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini”, katanya kepada penjaga kuil.

Penjaga kuil itu, seorang hwesio muda, memandang Im-yang Seng-cu penuh kecurigaan dan menjawab,

“Suhu sedang bersamadhi, tidak boleh diganggu. Kalau Sicu hendak bersembahyang, siauw-ceng dapat melayani Sicu”.

Im-yang Seng-cu menjadi tidak sabar menyaksikan pandang mata hwesio muda itu mengandung kecurigaan, maka katanya keras,

“Aku mempunyai urusan penting sekali dengan Gin Sim Hwesio, urusan yang menyangkut persoalan jatuh bangunnya Siauw-lim-si ini, dan juga termasuk urusan mati hidupmu. Harap jangan banyak curiga dan lekas minta Gin Sim Hwesio keluar menemuiku!”

Alis hwesio itu berkerut. Tamu ini biarpun aneh dan tidak bersepatu, usianya hanya sebaya dengan dia, mengapa sikapnya begini angkuh?

“Maaf Sicu,” jawabnya dengan sikap yang sopan namun keras. “Urusan jatuh bangunnya Siauw-lim-si adalah tanggung jawab kami sendiri, adapun urusan mati hidup siauwceng adalah urusan Tuhan. Sicu tidak ada hubungannya dengan itu. Kami di sini selalu mengutamakan hidup suci dan damai, dan hanya melayani orang-orang yang ingin menikmati sinar kasih Sang Budda dan bersembahyang.”

Bukan main jengkelnya hati Im-yang Seng-cu melihat kekerasan hati hwesio muda itu. Diam-diam ia memaki diri sendiri yang suka mencampuri urusan orang. Apakah dia keliru dan Jai-hwa-sian yang benar? Dia penasaran dan berkata lagi,

“Engkau sungguh terlalu curiga dan keras kepala! Katakanlah kepada suhumu bahwa aku Im-yang Seng-cu mohon bertemu!”

Sepasang mata hwesio itu terbelalak. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai bukanlah pendeta-pendeta sembarangan dan telinga serta mata mereka tajam, pengertian mereka tentang dunia kang-ouw luas karena hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga terkenal di dunia kang-ouw. Sambil menjura hwesio itu berkata,

“Omitohud..., kiranya orang gagah Im-yang Seng-cu yang datang? Maafkan Sicu, Siauw-ceng rasa bahwa Siauw-lim-pai tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Hoa-san-pai.”

“Aku tidak datang sebagai utusan Hoa-san-pai, melainkan karena maksud pribadi, dan yang hendak kubicarakan adalah hal penting yang menyangkut keselamatan Siauw-lim-pai, bukan hanya mengenai kuil ini, melainkan mengenai Siauw-lim-pai seluruhnya. Lekas kau beritahukan kepada suhumu sebelum terlambat.”

Tiba-tiba dari sebelah dalam terdengar suara. halus,
“Siapakah yang ingin berjumpa dengan pinceng?”

Im-yang Seng-cu memandang. Yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi kurus yang usianya sudah empat puluh tahun lebih, bersikap gagah dan tangan kirinya membawa seuntai tasbeh. Ia cepat menjura dan bertanya.

“Apakah aku berhadapan dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini?”.

“Benar, Sicu.” Hwesio itu berkata dan balas menjura dengan hormat.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar