Setelah berkata demikian, tubuh yang berkaki satu mencelat ke atas, tongkatnya membabat dan “brettt!” Tali yang menggantung tubuh Hok Sun putus dan tubuh Si Kasar itu melayang jatuh ke bawah. Akan tetapi, ternyata gin-kang Hok Sun sudah cukup tinggi sehingga dia tidak terbanting jatuh, melainkan turun dengan kedua kakinya ringan menyentuh tanah.
Setelah membuang jerat dari tubuhnya, Hok Sun menggerakkan tubuh hendak meloncat pergi karena dia tidak ingin membalas kepada belasan orang yang ia tahu lihai itu. Akan tetapi, begitu meloncat, tampak sinar berkelebat dan tongkat kakek kaki buntung bergerak, tahu-tahu tubuh Hok Sun jatuh tersungkur! Si Kaki Buntung yang kasar tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha! Pergilah! Pergilah, hendak kulihat bagaimana engkau dapat pergi!”
Liem Hok Sun meloncat bangun, mukanya merah saking marahnya.
“Eh kalian ini orang-orang buntung kaki mengapa begini tidak tahu aturan? Apakah kalian mau menantang berkelahi?”
Kakek yang menjadi susiok rombongan itu manjawab, suaranya halus namun nadanya keren.
“Kami tidak ingin berkelahi, akan tetapi engkau harus ikut bersama kami, untuk sementara menjadi tawanan kami sebelum menerima keputusan ketua kami.”
“Aku tidak peduli keputusan ketua kalian! Apa salahku kalian hendak menangkapku?" bantah Hok Sun.
"Kau sudah melanggar wilayah kami, masih pura-pura bodoh ataukah memang engkau ini bodoh melebihi kerbau?"
"Kalian sungguh tidak memandang aku Si Garuda Terbang!" bentak Hok Sun dan ia sudah menerjang Si Kaki Buntung yang kasar.
Dari tempat persembunyiannya, Siauw Bwee mendapat kenyataan bahwa julukan si kasar itu bukanlah kosong belaka. Gerakannya tangkas penuh tenaga dan terjangannya memang seperti seekor garuda terbang, menyerang lawan dari atas. Dan memang orang kasar berjuluk garuda tebang ini adalah seorang murid pertapa di Go-bi-san yang lihai, wataknya kasar, dogol dan jujur, akan tetapi ilmu kepandaiannya juga tinggi.
Menghadapi serangan ini, Si Kaki Buntung yang juga sama kasarnya itu cepat menangkis dengan lengan kiri ke arah kaki Hok Sun yang menendang sedangkan tongkatnya sudah menotok ke arah leher.
Namun Hok Sun benar-benar memiliki gin-kang yang hebat. Biarpun tubuhnya masih terapung di udara dan sekaligus lawannya menangkis sambil menyerang, namun dia tidak menjadi gugup. Tubuhnya sudah berjungkir balik dan dengan gerakan tangkas dia telah berhasil menangkap ujung tongkat yang menotok lehernya, kemudian sambil meluncur turun ia mengerahkan tenaganya menarik sehingga lawannya roboh tersungkur!
"Hemm, manusia bandel!"
Kakek yang menjadi pimpinan rombongan sudah mencelat ke depan. Siauw Bwee yang menyaksikan kecepatan gerakan kakek itu menjadi kagum. Memang hebat sekali gerakannya dan sekaligus kakek buntung ini menggerakkan kedua lengannya, jari-jari tangannya sudah mengirim serangan totokan bertubi-tubi dengan kecepatan yang membingungkan Hok Sun.
Biarpun murid dari Go-bi-san ini berusaha menangkis dan mengelak namun ia kalah cepat, apalagi memang gerakan kedua tangan kakek yang menyerang sambil mengempit tongkatnya itu luar biasa anehnya sehingga tahu-tahu Hok Sun sudah tertotok dan roboh tak dapat berkutik lagi!
"Curang! Kalian manusia-manusia curang. Main keroyokan!"
Liem Hok Sun berteriak-teriak, akan tetapi rombongan itu tidak mempedulikan. Dia digotong seperti seekor celeng (babi hutan) yang meraung-raung, dibawa pergi dari tempat itu.
Ada yang menarik dalam gerak-gerik para orang buntung itu dan yang membuat Siauw Bwee menahan keinginan hatinya untuk menolong si manusia kasar Hok Sun. Sikap para orang buntung itu bukan seperti sikap orang-orang jahat yang kejam melainkan seperti sikap anak buah perkumpulan yang berdisiplin.
Pula, dia tertarik menyaksikan gerak tangan kakek buntung tadi, gerak silat yang amat aneh sehingga ingin dia lebih banyak mengetahui tentang orang-orang ini sebelum menolong Si Garuda Terbang. Maka ia tidak tergesa-gesa menolongnya, melainkan mengikuti rombongan yang menggotong tubuh Hok Sun itu dari jauh. Mereka menyeberangi hutan yang besar dan lebat sekali, kemudian memasuki hutan kecil yang menyambung hutan itu di kaki bukit.
Di tengah hutan kecil itu terdapat bangunan yang bentuknya aneh sekali. Hanya ada sebuah, tidak terlalu besar dan dari jauh kelihatan seperti bukit gundul setengah bundar. Ke arah bangunan inilah rombongan itu membawa Hok Sun. Siauw Bwee mengintai penuh perhatian, melihat betapa rombongan orang itu mendekati bangunan aneh, kemudian melompat dan lenyap!
Kakek pimpinan rombongan mengempit tubuh Hok Sun, melompat lebih dulu dan lenyap pula. Setelah semua orang tidak tampak lagi, Siauw Bwee berindap menghampiri bangunan itu dan ia terheran-heran.
Bangunan itu merupakan dinding batu yang amat tebal dan kuat, berbentuk bundar dan sama sekali tidak ada lubangnya! Namun, semua orang tadi begitu meloncat terus lenyap! Siauw Bwee merasa penasaran sekali. Ia melayang ke atas bangunan, merayap sampai ke puncak, memeriksa seluruh permukaan yang setengah bundar, akan tetapi tetap saja dia tidak melihat adanya lubang sedikit pun! Kemanakah perginya rombongan orang kaki buntung tadi? Tentu ada pintu rahasianya, pikir Siauw Bwee. Akan tetapi, andaikata ada pintu rahasianya, bagaimana begitu banyak orang dapat masuk semua ke bangunan kecil ini!
Tiba-tiba Siauw Bwee melayang turun dengan cepat, lalu mencari tempat sembunyi. Dari atas puncak bangunan itu dia tadi melihat serombongan orang berjalan cepat menghampiri bangunan. Ia menyelinap dan mengintai dan sekali ini Siauw Bwee benar-benar tak dapat menahan keheranan hatinya.
"Ohh...., tidak....! Mimpi burukkah aku....?" Dia mencubit pahanya sendiri, terasa panas. Tidak, dia tidak mimpi.
Akan tetapi, adakah yang lebih aneh daripada semua ini? Tadi ia melihat serombongan orang buntung sebelah kaki kanan, semua buntung dan begitu sama keadaannya seolah-olah kebuntungan mereka merupakan keseragaman! Dan orang-orang berkaki buntung itu mempunyai tempat yang begini aneh, begitu kecil tanpa lubang pintu atau jendela, namun dapat menampung begitu banyak orang!
Dan sebelum semua keanehan itu terbuka rahasianya, kini ia menyaksikan lima orang, empat laki-laki dan seorang wanita, yang kesemuanya buntung lengan kirinya! Begitu sama keadaannya, lengan kiri buntung sebatas pundak, dengan lengan baju sebelah kiri kosong kempis tergantung lepas. Mengerikan!
Seorang diantara lima orang lengan buntung itu membawa sebatang tongkat yang biasa dipakai anak buah rombongan kaki buntung, dan dia agaknya menjadi pemimpin rombongan, karena selain dia paling tua berjenggot panjang dan bersikap angker, juga gerakan kedua kakinya paling ringan dan lincah. Adapun di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki muda tinggi besar yang juga buntung lengan kirinya, menggunakan lengan kanan mengempit tubuh seorang anggauta rombongan kaki buntung!
Diam-diam Siauw Bwee memandang penuh perhatian, dan ia mendapat kenyataan bahwa gerakan kaki lima orang itu luar biasa sekali. Ringan dan langkah mereka teratur, begitu tegap, begitu kuat dan kokoh, namun begitu ringan membuat dia kagum bukan main!
Pemimpin rombongan itu, kakek yang berjenggot dan memegang tongkat Si Kaki Buntung, menggunakan ujung tongkat itu mengetuk tujuh kali ke atas dinding bangunan bundar, kemudian meloncat ke belakang. Tak lama kemudian, terbukalah lubang di sebelah atas depan bangunan itu dan dari dalam lubang melayang keluar tiga orang berkaki buntung, yang paling depan adalah kakek yang memimpin rombongan penawan Liem Hok Sun tadi. Kemudian, dari belakang bangunan itu keluar pula beberapa orang berkaki buntung, agaknya keluar dari lubang rahasia lain di sebelah belakang. Suasana menjadi tegang dan Siauw Bwee memandang penuh perhatian.
Laki-laki tangan buntung yang tinggi besar tadi melemparkan tubuh Si Kaki Buntung yang dikempitnya sehingga Si Kaki Buntung itu terguling di atas tanah, dan secepat kilat pimpinan rombongan lengan buntung menodongkan ujung tongkatnya, yaitu tongkat Si Kaki Buntung yang tertawan, ke jalan darah di punggung orang berkaki buntung itu yang jatuh berlutut dan tidak berani berkutik.
Keadaan masih hening, tidak ada seorang pun dari kedua pihak orang-orang bercacad itu yang mengeluarkan suara. Yang paling merasa tegang adalah Siauw Bwee yang mengintai dan melihat semua itu dari tempat persembunyiannya.
Tiba-tiba wanita berkaki buntung yang ikut meloncat keluar, menggerakkan tangan kirinya, dan ternyata bahwa dialah yang mewakili pihak tuan rumah, karena ia sudah menegur, suaranya penuh kebencian, keras dan dingin,
"Apakah kaum lengan buntung kini sudah menambah sebuah watak buruk baru lagi, tidak mematuhi janji? Hari pertandingan masih tiga bulan lagi, kenapa sekarang sudah turun tangan memancing keributan dengan menawan seorang anggauta kami?"
Kakek yang menodong punggung orang berkaki buntung yang dibawa mereka sebagai tawanan itu tersenyum mengejek, lalu menjawab, suaranya tidak kalah keras dan dinginnya, mengandung kebencian yang sama,
"Agaknya di dalam pondok kalian yang buruk tidak terdapat cermin sehingga kalian orang-orang berkaki buntung suka menjelekkan kami yang berlengan buntung. Memang mudah melontarkan tuduhan, mudah menunjuk cacad orang tanpa melihat akan besarnya cacad sendiri, semudah menggoyang lidah yang tidak bertulang, kami kaum lengan buntung bukanlah orang-orang hina yang suka melanggar janji, melainkan kalianlah yang tidak memenuhi janji sendiri. Memang tepat sekali, hari pertandingan masih tiga bulan lagi, akan tetapi mengapa seorang anggauta kalian yang tidak terhormat ini melanggar wilayah kami dan melakukan penyelidikan?"
Alis empat orang berkaki buntung itu berkerut dan Si Wanita bersama Si Kakek memandang kepada anak buah mereka dengan mata penuh pertanyaan. Tawanan itu kelihatan ketakutan dan diam-diam Siauw Bwee merasa heran sekali. Tadi ketika menjadi tawanan kaum lengan buntung, tawanan itu tidak kelihatan begitu takut. Dia dapat menduga bahwa tentu kaum kaki buntung itu mempunyai peraturan dan hukum yang keras sekali terhadap anak buahnya yang melanggar peraturan.
"Tidak.... tidak.... Suci.... dan Suheng.... aku tidak melanggar wilayah mereka. Aku tidak melakukan penyelidikan seperti yang mereka tuduhkan. Aku sedang memburu hewan seperti biasa. Aku berhasil melukai seekor kijang yang masih dapat berlari maka aku melakukan pengejaran. Tahu-tahu mereka ini merobohkan aku dengan jalan mengeroyok dan menawanku!" Si Tawanan membantah.
Kakek berlengan satu tertawa mengejek,
"Hemm, mana ada maling mau mengaku?"
Si Wanita Berkaki Satu menggerakkan tangan kirinya ke atas dan berkata, suaranya mantap dan berwibawa,
"Menghadapi perkara, tidak boleh mendengar keterangan sepihak saja. Kalau keterangan dua pihak berlawanan, satu-satunya jalan hanya melihat bukti!"
"Baik!" kata kakek lengan satu. "Mari kita lihat buktinya dimana kami menawan anak buahmu!"
Tanpa banyak cakap lagi, rombongan lengan buntung sebanyak lima orang dan rombongan kaki buntung yang bersama Si Bekas Tawanan juga berjumlah lima orang sudah pergi meninggalkan tempat itu memasuki hutan!
Siauw Bwee tertarik sekali dan ingin menyaksikan kelanjutan perkara itu, akan tetapi mengingat akan nasib Si Garuda Terbang yang dibawa masuk ke dalam bangunan bundar dan melihat kesempatan baik selagi lubang itu belum tertutup, cepat meloncat dan sekaligus menerobos masuk ke dalam lubang itu. Ketika ia turun di sebelah dalam, ia tiba di ruangan berlantai dan di sudut terdapat dua buah anak tangga yang menurun ke bawah.
Tahulah ia sekarang bahwa kiranya bangunan di luar itu hanya merupakan "pintu gerbang" saja yang menyembunyikan tempat tinggal yang agaknya luas sekali, yang tersembunyi di sebelah bawah! Ia menjadi bingung. Tangga batu yang manakah yang akan membawanya ke tempat Si Kasar itu ditahan? Karena tidak ada jalan lain, Siauw Bwee lalu menuruni tangga yang sebelah kiri. Tak lama kemudian ia mendapat kenyataan bahwa tepat seperti diduganya, bagian bawah terdapat ruangan-ruangan yang luas sekali, lorong-lorong yang terbuat daripada batu dan keadaan di bawah itu merupakan bangunan di bawah tanah seperti istana!
Siauw Bwee menuruni tangga dengan hati-hati sekali, akan tetapi dia tidak mendengar gerakan apa-apa, juga tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Jelas ia melihat rombongan yang menawan Liem Hok Sun tadi memasuki bangunan ini, sedangkan tadi yang keluar hanyalah empat orang. Di manakah adanya orang-orang lain? Apakah mereka telah keluar lagi dari pintu rahasia yang lain? Apakah tempat itu kosong?
Setelah membuang jerat dari tubuhnya, Hok Sun menggerakkan tubuh hendak meloncat pergi karena dia tidak ingin membalas kepada belasan orang yang ia tahu lihai itu. Akan tetapi, begitu meloncat, tampak sinar berkelebat dan tongkat kakek kaki buntung bergerak, tahu-tahu tubuh Hok Sun jatuh tersungkur! Si Kaki Buntung yang kasar tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha! Pergilah! Pergilah, hendak kulihat bagaimana engkau dapat pergi!”
Liem Hok Sun meloncat bangun, mukanya merah saking marahnya.
“Eh kalian ini orang-orang buntung kaki mengapa begini tidak tahu aturan? Apakah kalian mau menantang berkelahi?”
Kakek yang menjadi susiok rombongan itu manjawab, suaranya halus namun nadanya keren.
“Kami tidak ingin berkelahi, akan tetapi engkau harus ikut bersama kami, untuk sementara menjadi tawanan kami sebelum menerima keputusan ketua kami.”
“Aku tidak peduli keputusan ketua kalian! Apa salahku kalian hendak menangkapku?" bantah Hok Sun.
"Kau sudah melanggar wilayah kami, masih pura-pura bodoh ataukah memang engkau ini bodoh melebihi kerbau?"
"Kalian sungguh tidak memandang aku Si Garuda Terbang!" bentak Hok Sun dan ia sudah menerjang Si Kaki Buntung yang kasar.
Dari tempat persembunyiannya, Siauw Bwee mendapat kenyataan bahwa julukan si kasar itu bukanlah kosong belaka. Gerakannya tangkas penuh tenaga dan terjangannya memang seperti seekor garuda terbang, menyerang lawan dari atas. Dan memang orang kasar berjuluk garuda tebang ini adalah seorang murid pertapa di Go-bi-san yang lihai, wataknya kasar, dogol dan jujur, akan tetapi ilmu kepandaiannya juga tinggi.
Menghadapi serangan ini, Si Kaki Buntung yang juga sama kasarnya itu cepat menangkis dengan lengan kiri ke arah kaki Hok Sun yang menendang sedangkan tongkatnya sudah menotok ke arah leher.
Namun Hok Sun benar-benar memiliki gin-kang yang hebat. Biarpun tubuhnya masih terapung di udara dan sekaligus lawannya menangkis sambil menyerang, namun dia tidak menjadi gugup. Tubuhnya sudah berjungkir balik dan dengan gerakan tangkas dia telah berhasil menangkap ujung tongkat yang menotok lehernya, kemudian sambil meluncur turun ia mengerahkan tenaganya menarik sehingga lawannya roboh tersungkur!
"Hemm, manusia bandel!"
Kakek yang menjadi pimpinan rombongan sudah mencelat ke depan. Siauw Bwee yang menyaksikan kecepatan gerakan kakek itu menjadi kagum. Memang hebat sekali gerakannya dan sekaligus kakek buntung ini menggerakkan kedua lengannya, jari-jari tangannya sudah mengirim serangan totokan bertubi-tubi dengan kecepatan yang membingungkan Hok Sun.
Biarpun murid dari Go-bi-san ini berusaha menangkis dan mengelak namun ia kalah cepat, apalagi memang gerakan kedua tangan kakek yang menyerang sambil mengempit tongkatnya itu luar biasa anehnya sehingga tahu-tahu Hok Sun sudah tertotok dan roboh tak dapat berkutik lagi!
"Curang! Kalian manusia-manusia curang. Main keroyokan!"
Liem Hok Sun berteriak-teriak, akan tetapi rombongan itu tidak mempedulikan. Dia digotong seperti seekor celeng (babi hutan) yang meraung-raung, dibawa pergi dari tempat itu.
Ada yang menarik dalam gerak-gerik para orang buntung itu dan yang membuat Siauw Bwee menahan keinginan hatinya untuk menolong si manusia kasar Hok Sun. Sikap para orang buntung itu bukan seperti sikap orang-orang jahat yang kejam melainkan seperti sikap anak buah perkumpulan yang berdisiplin.
Pula, dia tertarik menyaksikan gerak tangan kakek buntung tadi, gerak silat yang amat aneh sehingga ingin dia lebih banyak mengetahui tentang orang-orang ini sebelum menolong Si Garuda Terbang. Maka ia tidak tergesa-gesa menolongnya, melainkan mengikuti rombongan yang menggotong tubuh Hok Sun itu dari jauh. Mereka menyeberangi hutan yang besar dan lebat sekali, kemudian memasuki hutan kecil yang menyambung hutan itu di kaki bukit.
Di tengah hutan kecil itu terdapat bangunan yang bentuknya aneh sekali. Hanya ada sebuah, tidak terlalu besar dan dari jauh kelihatan seperti bukit gundul setengah bundar. Ke arah bangunan inilah rombongan itu membawa Hok Sun. Siauw Bwee mengintai penuh perhatian, melihat betapa rombongan orang itu mendekati bangunan aneh, kemudian melompat dan lenyap!
Kakek pimpinan rombongan mengempit tubuh Hok Sun, melompat lebih dulu dan lenyap pula. Setelah semua orang tidak tampak lagi, Siauw Bwee berindap menghampiri bangunan itu dan ia terheran-heran.
Bangunan itu merupakan dinding batu yang amat tebal dan kuat, berbentuk bundar dan sama sekali tidak ada lubangnya! Namun, semua orang tadi begitu meloncat terus lenyap! Siauw Bwee merasa penasaran sekali. Ia melayang ke atas bangunan, merayap sampai ke puncak, memeriksa seluruh permukaan yang setengah bundar, akan tetapi tetap saja dia tidak melihat adanya lubang sedikit pun! Kemanakah perginya rombongan orang kaki buntung tadi? Tentu ada pintu rahasianya, pikir Siauw Bwee. Akan tetapi, andaikata ada pintu rahasianya, bagaimana begitu banyak orang dapat masuk semua ke bangunan kecil ini!
Tiba-tiba Siauw Bwee melayang turun dengan cepat, lalu mencari tempat sembunyi. Dari atas puncak bangunan itu dia tadi melihat serombongan orang berjalan cepat menghampiri bangunan. Ia menyelinap dan mengintai dan sekali ini Siauw Bwee benar-benar tak dapat menahan keheranan hatinya.
"Ohh...., tidak....! Mimpi burukkah aku....?" Dia mencubit pahanya sendiri, terasa panas. Tidak, dia tidak mimpi.
Akan tetapi, adakah yang lebih aneh daripada semua ini? Tadi ia melihat serombongan orang buntung sebelah kaki kanan, semua buntung dan begitu sama keadaannya seolah-olah kebuntungan mereka merupakan keseragaman! Dan orang-orang berkaki buntung itu mempunyai tempat yang begini aneh, begitu kecil tanpa lubang pintu atau jendela, namun dapat menampung begitu banyak orang!
Dan sebelum semua keanehan itu terbuka rahasianya, kini ia menyaksikan lima orang, empat laki-laki dan seorang wanita, yang kesemuanya buntung lengan kirinya! Begitu sama keadaannya, lengan kiri buntung sebatas pundak, dengan lengan baju sebelah kiri kosong kempis tergantung lepas. Mengerikan!
Seorang diantara lima orang lengan buntung itu membawa sebatang tongkat yang biasa dipakai anak buah rombongan kaki buntung, dan dia agaknya menjadi pemimpin rombongan, karena selain dia paling tua berjenggot panjang dan bersikap angker, juga gerakan kedua kakinya paling ringan dan lincah. Adapun di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki muda tinggi besar yang juga buntung lengan kirinya, menggunakan lengan kanan mengempit tubuh seorang anggauta rombongan kaki buntung!
Diam-diam Siauw Bwee memandang penuh perhatian, dan ia mendapat kenyataan bahwa gerakan kaki lima orang itu luar biasa sekali. Ringan dan langkah mereka teratur, begitu tegap, begitu kuat dan kokoh, namun begitu ringan membuat dia kagum bukan main!
Pemimpin rombongan itu, kakek yang berjenggot dan memegang tongkat Si Kaki Buntung, menggunakan ujung tongkat itu mengetuk tujuh kali ke atas dinding bangunan bundar, kemudian meloncat ke belakang. Tak lama kemudian, terbukalah lubang di sebelah atas depan bangunan itu dan dari dalam lubang melayang keluar tiga orang berkaki buntung, yang paling depan adalah kakek yang memimpin rombongan penawan Liem Hok Sun tadi. Kemudian, dari belakang bangunan itu keluar pula beberapa orang berkaki buntung, agaknya keluar dari lubang rahasia lain di sebelah belakang. Suasana menjadi tegang dan Siauw Bwee memandang penuh perhatian.
Laki-laki tangan buntung yang tinggi besar tadi melemparkan tubuh Si Kaki Buntung yang dikempitnya sehingga Si Kaki Buntung itu terguling di atas tanah, dan secepat kilat pimpinan rombongan lengan buntung menodongkan ujung tongkatnya, yaitu tongkat Si Kaki Buntung yang tertawan, ke jalan darah di punggung orang berkaki buntung itu yang jatuh berlutut dan tidak berani berkutik.
Keadaan masih hening, tidak ada seorang pun dari kedua pihak orang-orang bercacad itu yang mengeluarkan suara. Yang paling merasa tegang adalah Siauw Bwee yang mengintai dan melihat semua itu dari tempat persembunyiannya.
Tiba-tiba wanita berkaki buntung yang ikut meloncat keluar, menggerakkan tangan kirinya, dan ternyata bahwa dialah yang mewakili pihak tuan rumah, karena ia sudah menegur, suaranya penuh kebencian, keras dan dingin,
"Apakah kaum lengan buntung kini sudah menambah sebuah watak buruk baru lagi, tidak mematuhi janji? Hari pertandingan masih tiga bulan lagi, kenapa sekarang sudah turun tangan memancing keributan dengan menawan seorang anggauta kami?"
Kakek yang menodong punggung orang berkaki buntung yang dibawa mereka sebagai tawanan itu tersenyum mengejek, lalu menjawab, suaranya tidak kalah keras dan dinginnya, mengandung kebencian yang sama,
"Agaknya di dalam pondok kalian yang buruk tidak terdapat cermin sehingga kalian orang-orang berkaki buntung suka menjelekkan kami yang berlengan buntung. Memang mudah melontarkan tuduhan, mudah menunjuk cacad orang tanpa melihat akan besarnya cacad sendiri, semudah menggoyang lidah yang tidak bertulang, kami kaum lengan buntung bukanlah orang-orang hina yang suka melanggar janji, melainkan kalianlah yang tidak memenuhi janji sendiri. Memang tepat sekali, hari pertandingan masih tiga bulan lagi, akan tetapi mengapa seorang anggauta kalian yang tidak terhormat ini melanggar wilayah kami dan melakukan penyelidikan?"
Alis empat orang berkaki buntung itu berkerut dan Si Wanita bersama Si Kakek memandang kepada anak buah mereka dengan mata penuh pertanyaan. Tawanan itu kelihatan ketakutan dan diam-diam Siauw Bwee merasa heran sekali. Tadi ketika menjadi tawanan kaum lengan buntung, tawanan itu tidak kelihatan begitu takut. Dia dapat menduga bahwa tentu kaum kaki buntung itu mempunyai peraturan dan hukum yang keras sekali terhadap anak buahnya yang melanggar peraturan.
"Tidak.... tidak.... Suci.... dan Suheng.... aku tidak melanggar wilayah mereka. Aku tidak melakukan penyelidikan seperti yang mereka tuduhkan. Aku sedang memburu hewan seperti biasa. Aku berhasil melukai seekor kijang yang masih dapat berlari maka aku melakukan pengejaran. Tahu-tahu mereka ini merobohkan aku dengan jalan mengeroyok dan menawanku!" Si Tawanan membantah.
Kakek berlengan satu tertawa mengejek,
"Hemm, mana ada maling mau mengaku?"
Si Wanita Berkaki Satu menggerakkan tangan kirinya ke atas dan berkata, suaranya mantap dan berwibawa,
"Menghadapi perkara, tidak boleh mendengar keterangan sepihak saja. Kalau keterangan dua pihak berlawanan, satu-satunya jalan hanya melihat bukti!"
"Baik!" kata kakek lengan satu. "Mari kita lihat buktinya dimana kami menawan anak buahmu!"
Tanpa banyak cakap lagi, rombongan lengan buntung sebanyak lima orang dan rombongan kaki buntung yang bersama Si Bekas Tawanan juga berjumlah lima orang sudah pergi meninggalkan tempat itu memasuki hutan!
Siauw Bwee tertarik sekali dan ingin menyaksikan kelanjutan perkara itu, akan tetapi mengingat akan nasib Si Garuda Terbang yang dibawa masuk ke dalam bangunan bundar dan melihat kesempatan baik selagi lubang itu belum tertutup, cepat meloncat dan sekaligus menerobos masuk ke dalam lubang itu. Ketika ia turun di sebelah dalam, ia tiba di ruangan berlantai dan di sudut terdapat dua buah anak tangga yang menurun ke bawah.
Tahulah ia sekarang bahwa kiranya bangunan di luar itu hanya merupakan "pintu gerbang" saja yang menyembunyikan tempat tinggal yang agaknya luas sekali, yang tersembunyi di sebelah bawah! Ia menjadi bingung. Tangga batu yang manakah yang akan membawanya ke tempat Si Kasar itu ditahan? Karena tidak ada jalan lain, Siauw Bwee lalu menuruni tangga yang sebelah kiri. Tak lama kemudian ia mendapat kenyataan bahwa tepat seperti diduganya, bagian bawah terdapat ruangan-ruangan yang luas sekali, lorong-lorong yang terbuat daripada batu dan keadaan di bawah itu merupakan bangunan di bawah tanah seperti istana!
Siauw Bwee menuruni tangga dengan hati-hati sekali, akan tetapi dia tidak mendengar gerakan apa-apa, juga tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Jelas ia melihat rombongan yang menawan Liem Hok Sun tadi memasuki bangunan ini, sedangkan tadi yang keluar hanyalah empat orang. Di manakah adanya orang-orang lain? Apakah mereka telah keluar lagi dari pintu rahasia yang lain? Apakah tempat itu kosong?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar