Dengan sikap hati-hati ia melangkah terus dan tibalah dia di sebuah ruangan yang luas dan bersih sekali, lantainya dari batu putih dan di sudut terdapat sebuah arca yang melukiskan seorang laki-laki tua bermuka kasar, berdiri dengan tegak akan tetapi kakinya hanya satu karena kaki kanan arca ini pun buntung. Melihat arca ini, Siauw Bwee menduga bahwa agaknya arca inilah arca nenek moyang kaum kaki buntung yang lihai ini.
Tiba-tiba terdengar gerakan halus, Siauw Bwee memutar tubuhnya, siap waspada dan ternyata dari sekeliling ruangan itu muncul dua puluh orang lebih, laki-laki dan perempuan, semua buntung kaki kanannya, akan tetapi mereka itu hanya mengepung dan tidak bergerak, berdiri dibantu tongkat masing-masing dan sikap mereka menanti, menanti perintah seorang di antara mereka, yaitu seorang kakek buntung pula yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih dan sikapnya berwibawa sekali. Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kakek inilah yang menjadi ketua mereka, maka ia cepat mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata,
"Apakah Locianpwe ketua dari kaum.... eh, kaki buntung ini?"
Kakek itu memandang tajam, mengerutkan keningnya dan menjawab singkat,
"Benar. Aku adalah Liong Ki Bok, ketua kaum kaki buntung."
"Maaf, Liong-locianpwe, kalau aku lancang memasuki tempat kediaman kalian ini. Kedatanganku tidak bermaksud buruk, hanya ingin minta pertimbanganmu agar kalian suka membebaskan si kasar Hui-eng Liem Hok Sun yang sesungguhnya tidak mempunyai kesalahan apa-apa."
"Tidak mempunyai kesalahan? Hemm.... hal itu harus diputuskan kelak setelah hari pertandingan. Kalau kelak ternyata diakui oleh pihak Si Lengan Buntung bahwa dia bukan mata-mata mereka, kami pun tidak akan mengganggu orang yang tidak berdosa. Akan tetapi, selama ini, sampai hari pertandingan tiba di mana persoalan dibikin terang, dia akan menjadi tawanan kami. Juga engkau, Nona."
Siauw Bwee mengerutkan alisnya,
"Apa? Menjadi tawanan selama tiga bulan?"
"Terpaksa, begitulah. Sekarang kami belum dapat mengetahui apakah dia dan engkau pembantu mereka atau bukan. Dia sudah kami tawan dan tak seorang pun dapat membebaskannya. Engkau pun sebaiknya menyerah menjadi tawanan kami."
"Eh, nanti dulu! Liong-locianpwe, aku tidak mempunyai permusuhan dengan kaum kaki buntung, juga tidak mengenal siapa adanya kaum lengan buntung. Aku hanya minta kau membebaskan orang yang tidak bersalah, dan kalau engkau hendak menawanku, hemmm.... kurasa tidak akan begitu mudah."
Terdengar seruan-seruan marah dari semua kaum kaki buntung, dan sepasang mata kakek itu mengeluarkan sinar tajam,
"Engkau siapa, Nona? Apakah engkau juga murid Go-bi-san seperti orang she Liem itu? Dan dari aliran manakah engkau? Kami tidak ingin bermusuhan dengan partai lain, akan tetapi kami harus berhati-hati terhadap para pembantu kaum lengan buntung."
"Aku bukan dari aliran atau partai apa pun, namaku Khu Siauw Bwee."
"Bagus! Kalau begitu, harap kau suka menyerah saja menjadi tawanan kami, Nona. Aku sungguh merasa tidak enak kalau harus menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda."
"Orang she Liong, kau terlalu sombong, tidak pantas dihormati! Kalau aku tidak mau menyerah, hendak kulihat engkau dapat berbuat apakah?"
"Suhu, biarkan teecu menawannya!"
Kata seorang wanita yang usianya sudah lima puluhan tahun dan agaknya dia adalah murid kepala.
Kakek itu mengangguk dan berkata,
"Hati-hatilah, jangan sampai membuat dia menderita luka parah. Dia hanya seorang bocah yang masih amat muda."
Nenek itu mengangguk, kemudian tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan berdiri di depan Siauw Bwee.
"Nona, kami tidak biasa menghina yang muda, maka sebaiknya engkau dapat menerima peraturan kami dan menyerahlah. Biarpun engkau menjadi tawanan, engkau akan kami perlakukan dengan baik, sebaliknya, hendaknya kau ketahui bahwa entah sudah beberapa ratus orang tewas di tangan kami."
Panas rasa hati Siauw Bwee. Jelas bahwa mereka, Si Ketua dan murid kepalanya ini, amat memandang rendah kepadanya. Ia tersenyum lebar dan menjawab,
"Bagus sekali kalau kalian mempunyai pikiran tidak ingin menghina yang muda. Akan tetapi sebaliknya aku pun sama sekali tidak ingin menghina kaum tua, apalagi yang bercacat. Maka sebaiknya kalau engkau membebaskan Si Kasar itu dan aku akan pergi dari sini agar hatiku tidak menjadi tak enak membikin repot orang-orang tua yang cacat saja."
"Bocah sombong!"
Nenek itu berteriak dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menyambar dan mencengkeram ke arah pundak kiri Siauw Bwee. Cepat bukan main gerakan itu, akan tetapi Siauw Bwee, murid ke tiga dari Bu Kek Siansu yang telah mempelajari ilmu yang tinggi tingkatnya, cepat miringkan tubuh dan dari bawah jari tangan menyambar dengan totokan ke arah telapak tangan nenek itu.
"Aihhh....!"
Nenek itu berseru kaget, tangannya membuat gerakan membalik dan luputlah totokan Siauw Bwee. Gerakan nenek itu aneh sekali dan tahu-tahu kini tongkatnya menyambar, menotok ke arah lutut kiri Siauw Bwee yang kalau mengenai sasarannya tentu akan membuat gadis itu bertekuk lutut.
Namun Siauw Bwee yang sudah melihat betapa gerakan-gerakan nenek itu cepat dan aneh sekali, maklum bahwa lawannya memiliki gerak tangan yang hebat dalam bersilat, maka ia berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya. Ketika kembali tangan kirinya menusuk dengan jari-jari tangan terbuka ke arah lambungnya, disusul tongkat yang menyambar dengan totokan ke arah pundak, dia berkelebat ke kanan dan sengaja menggunakan telapak tangannya menerima tongkat yang menyambar.
"Plakk!"
"Aihhh....!"
Nenek itu kembali berteriak kaget dan tubuhnya terhuyung, namun kembali tangan kirinya sudah mencengkeram disusul totokan tongkatnya, kini tidak kepalang dan dilakukan dengan kemarahan karena tongkat itu menyerang leher!
Diam-diam Siauw Bwee kagum sekali. Dalam keadaan terhuyung seperti itu Si Nenek yang kakinya hanya satu ini masih mampu mengirim serangan dua kali berturut-turut, sungguh merupakan hal yang luar biasa dan dia mengerti bahwa kiranya kaum kaki buntung ini memiliki ilmu silat yang amat aneh, cepat dan kuat sehingga ilmu silat tangan kiri dan tongkat ini dapat menutup kekurangan karena cacad kaki mereka!
Dia juga mengeluarkan kegesitannya dan bayangannya berkelebat lenyap. Biarpun dia agak bingung menghadapi serangan ilmu silat aneh dari nenek itu, namun karena dia menang dalam tenaga sin-kang, pula dalam hal gin-kang dia pun lebih unggul, maka dia masih mampu menyelamatkan diri dengan elakan cepat atau tangkisan kuat.
Akan tetapi, karena dia pun tahu bahwa kaum kaki buntung ini bukan orang-orang jahat, dan dia harus mengakui bahwa dalam pertentangan ini dialah yang telah mulai lebih dulu, Siauw Bwee tidak ingin mencelakai lawannya dan hanya ingin merobohkan atau mengalahkannya tanpa melukai.
"Hebat....! Luar biasa....! Sukar dipercaya!"
Beberapa kali kakek yang menjadi ketua kaum kaki buntung itu memberi komentar penuh kekaguman menyaksikan gerakan Siauw Bwee. Siauw Bwee adalah seorang dara remaja yang baru sekali itu mengadakan pertandingan sungguh-sungguh yang selamanya belum pernah ia lakukan, kecuali ketika melawan Maya, sucinya. Maka kini mendengar pujian keluar dari mulut ketua kaum kaki buntung yang lihai ilmunya, dia menjadi bangga. Ingin dia memperlihatkan kelihaiannya, maka ketika tongkat nenek itu untuk kesekian kalinya menyambar dan kini menyambar ke arah pinggangnya, ia meloncat dan mengeluarkan teriakan keras, tubuhnya melayang ke atas dan kakinya menotol ujung tongkat lawan!
Perbuatan ini selain luar biasa dan membuktikan kemahiran gin-kang yang istimewa, juga amat berbahaya maka terdengarlah seruan-seruan heran dan seruan kagum dari pada penonton termasuk ketuanya. Nenek itu penasaran sekali, merasa seperti dipermainkan, maka ia mengerahkan tenaga, menggerakkan ujung tongkatnya dan siap untuk memberi serangan susulan kalau tubuh dara itu telah terlepas dari ujung tongkat.
"Wuuuutttt!"
Tubuh dara itu memang terlepas dari tongkat, akan tetapi terlepas ke atas, ke arah langit-langit batu ruangan itu yang tingginya ada tiga ukuran tinggi manusia. Semua orang berdongak memandang terbelalak, melihat betapa dara itu mencapai langit-langit, punggungnya menempel ke langit-langit seolah-olah di punggungnya terdapat perekat ajaib yang melekatkan punggungnya dengan langit-langit, Siauw Bwee tertawa-tawa mengejek,
"Ah, kasihan engkau, nenek cacad. Lebih baik sudahilah saja, untuk apa susah payah melawan orang muda yang lebih panjang napasnya dan lebih kuat tubuhnya?"
Muka nenek itu menjadi merah sekali. Dia adalah murid kepala yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, hanya selisih sedikit dengan gurunya. Kini melawan seorang dara berusia belasan tahun yang tidak ternama, dia dipermainkan, seperti itu.
"Bocah sombong keparat!"
Ia berseru dan sekali kaki tunggalnya mengenjot lantai, tubuhnya sudah melayang ke atas dan tongkatnya siap menusuk tubuh yang menempel di langit-langit itu.
"Jangan....!"
Sang Ketua berteriak ketika melihat serangan maut yang dilakukan muridnya. Dia sudah menyaksikan kehebatan Siauw Bwee, dan merasa khawatir sekali karena kalau seorang dara remaja sudah berkepandaian seperti itu, tentu dapat dibayangkan betapa hebat orang tua atau guru yang berdiri di belakangnya!
Akan tetapi seruannya terlambat dan nenek itu dalam kemarahannya telah menyerang ke atas. Memang saat inilah yang dinanti-nanti oleh Siauw Bwee. Begitu tubuh nenek itu meloncat, ia melepaskan punggungnya dari langit-langit, tubuhnya meluncur didahului kedua tangannya yang melakukan gerakan mendorong. Dari kedua telapak tangannya itu menyambar angin pukulan yang amat dingin!
"Aihhh....!"
Nenek itu menggigil, tongkatnya terlepas dan tubuhnya sendiri terbanting ke bawah. Untung tubuhnya disambut oleh seorang sutenya, akan tetapi begitu kedua tangan sutenya menyambut tubuh itu, ia merasakan pula getaran dingin yang membuatnya menggigil dan kedua kakinya tidak dapat menahan sehingga mereka berdua roboh bergulingan. Betapapun juga, karena telah ditahan oleh kedua tangan sutenya, tubuh nenek itu tidak terbanting keras.
Baru saja Siauw Bwee turun ia mendengar suara mencicit-cicit dan betapa kagetnya ketika suara itu keluar dari sepasang tangan kakek ketua kaum kaki buntung! Kakek itu telah menyerangnya, tanpa menggunakan tongkat dan dengan sebelah kaki berloncatan kakek ini telah menyerangnya dengan kedua tangan, gerakannya luar biasa anehnya sehingga repotlah Siauw Bwee mengelak.
Dara ini makin terdesak dan dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, dia kalah pengalaman, apapula harus menghadapi gerakan sepasang tangan yang begitu aneh. Maka dia lalu mengerahkan tenaga di tangan kiri menangkis.
Tubuh kakek itu sampai berputaran ketika lengannya tertangkis dan ternyata dia pun kalah kuat sin-kangnya oleh dara penghuni Pulau Es yang hebat ini. Akan tetapi, dalam perputaran ini, kedua tangan kakek itu masih bergerak secara luar biasa, membingungkan Siauw Bwee sehingga tanpa dapat dicegah lagi, jalan darah di belakang pusar dara itu kena tertotok dengan tepat sekali.
"Celaka....!"
Ketua kaki buntung itu berteriak kaget. Teriakan yang membayangkan kekagetan dan penyesalan besar.
Totokan yang dilakukan dalam keadaan tubuh terputar-putar itu memang mengenai jalan darah yang bagi lawan lain tentu akan menimbulkan kematian. Akan tetapi Siauw Bwee yang telah digembleng dengan latihan-latihan sin-kang dan bersamadhi secara istimewa oleh Han Ki sesuai dengan kitab Bu Kek Siansu, ketika tertotok hanya menjadi gemetar beberapa detik lamanya.
Tadinya dia sudah menjadi marah sekali karena dianggapnya kakek itu kejam, telah mengirim totokan pada jalan darah yang menyebabkan kematian sehingga dia sudah mengerahkan sin-kang istimewa memulihkan jalan darahnya kemudian dia hendak membalas dengan serangan hebat.
Akan tetapi setelah mendengar seruan kakek itu, maklumlah dia bahwa kakek itu tidak sengaja hendak membunuhnya. Timbullah pikirannya untuk menyelidiki keadaan kaum kaki buntung yang aneh ini dan jalan satu-satunya hanyalah berpura-pura mati.
Tiba-tiba terdengar gerakan halus, Siauw Bwee memutar tubuhnya, siap waspada dan ternyata dari sekeliling ruangan itu muncul dua puluh orang lebih, laki-laki dan perempuan, semua buntung kaki kanannya, akan tetapi mereka itu hanya mengepung dan tidak bergerak, berdiri dibantu tongkat masing-masing dan sikap mereka menanti, menanti perintah seorang di antara mereka, yaitu seorang kakek buntung pula yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih dan sikapnya berwibawa sekali. Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kakek inilah yang menjadi ketua mereka, maka ia cepat mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata,
"Apakah Locianpwe ketua dari kaum.... eh, kaki buntung ini?"
Kakek itu memandang tajam, mengerutkan keningnya dan menjawab singkat,
"Benar. Aku adalah Liong Ki Bok, ketua kaum kaki buntung."
"Maaf, Liong-locianpwe, kalau aku lancang memasuki tempat kediaman kalian ini. Kedatanganku tidak bermaksud buruk, hanya ingin minta pertimbanganmu agar kalian suka membebaskan si kasar Hui-eng Liem Hok Sun yang sesungguhnya tidak mempunyai kesalahan apa-apa."
"Tidak mempunyai kesalahan? Hemm.... hal itu harus diputuskan kelak setelah hari pertandingan. Kalau kelak ternyata diakui oleh pihak Si Lengan Buntung bahwa dia bukan mata-mata mereka, kami pun tidak akan mengganggu orang yang tidak berdosa. Akan tetapi, selama ini, sampai hari pertandingan tiba di mana persoalan dibikin terang, dia akan menjadi tawanan kami. Juga engkau, Nona."
Siauw Bwee mengerutkan alisnya,
"Apa? Menjadi tawanan selama tiga bulan?"
"Terpaksa, begitulah. Sekarang kami belum dapat mengetahui apakah dia dan engkau pembantu mereka atau bukan. Dia sudah kami tawan dan tak seorang pun dapat membebaskannya. Engkau pun sebaiknya menyerah menjadi tawanan kami."
"Eh, nanti dulu! Liong-locianpwe, aku tidak mempunyai permusuhan dengan kaum kaki buntung, juga tidak mengenal siapa adanya kaum lengan buntung. Aku hanya minta kau membebaskan orang yang tidak bersalah, dan kalau engkau hendak menawanku, hemmm.... kurasa tidak akan begitu mudah."
Terdengar seruan-seruan marah dari semua kaum kaki buntung, dan sepasang mata kakek itu mengeluarkan sinar tajam,
"Engkau siapa, Nona? Apakah engkau juga murid Go-bi-san seperti orang she Liem itu? Dan dari aliran manakah engkau? Kami tidak ingin bermusuhan dengan partai lain, akan tetapi kami harus berhati-hati terhadap para pembantu kaum lengan buntung."
"Aku bukan dari aliran atau partai apa pun, namaku Khu Siauw Bwee."
"Bagus! Kalau begitu, harap kau suka menyerah saja menjadi tawanan kami, Nona. Aku sungguh merasa tidak enak kalau harus menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda."
"Orang she Liong, kau terlalu sombong, tidak pantas dihormati! Kalau aku tidak mau menyerah, hendak kulihat engkau dapat berbuat apakah?"
"Suhu, biarkan teecu menawannya!"
Kata seorang wanita yang usianya sudah lima puluhan tahun dan agaknya dia adalah murid kepala.
Kakek itu mengangguk dan berkata,
"Hati-hatilah, jangan sampai membuat dia menderita luka parah. Dia hanya seorang bocah yang masih amat muda."
Nenek itu mengangguk, kemudian tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan berdiri di depan Siauw Bwee.
"Nona, kami tidak biasa menghina yang muda, maka sebaiknya engkau dapat menerima peraturan kami dan menyerahlah. Biarpun engkau menjadi tawanan, engkau akan kami perlakukan dengan baik, sebaliknya, hendaknya kau ketahui bahwa entah sudah beberapa ratus orang tewas di tangan kami."
Panas rasa hati Siauw Bwee. Jelas bahwa mereka, Si Ketua dan murid kepalanya ini, amat memandang rendah kepadanya. Ia tersenyum lebar dan menjawab,
"Bagus sekali kalau kalian mempunyai pikiran tidak ingin menghina yang muda. Akan tetapi sebaliknya aku pun sama sekali tidak ingin menghina kaum tua, apalagi yang bercacat. Maka sebaiknya kalau engkau membebaskan Si Kasar itu dan aku akan pergi dari sini agar hatiku tidak menjadi tak enak membikin repot orang-orang tua yang cacat saja."
"Bocah sombong!"
Nenek itu berteriak dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menyambar dan mencengkeram ke arah pundak kiri Siauw Bwee. Cepat bukan main gerakan itu, akan tetapi Siauw Bwee, murid ke tiga dari Bu Kek Siansu yang telah mempelajari ilmu yang tinggi tingkatnya, cepat miringkan tubuh dan dari bawah jari tangan menyambar dengan totokan ke arah telapak tangan nenek itu.
"Aihhh....!"
Nenek itu berseru kaget, tangannya membuat gerakan membalik dan luputlah totokan Siauw Bwee. Gerakan nenek itu aneh sekali dan tahu-tahu kini tongkatnya menyambar, menotok ke arah lutut kiri Siauw Bwee yang kalau mengenai sasarannya tentu akan membuat gadis itu bertekuk lutut.
Namun Siauw Bwee yang sudah melihat betapa gerakan-gerakan nenek itu cepat dan aneh sekali, maklum bahwa lawannya memiliki gerak tangan yang hebat dalam bersilat, maka ia berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya. Ketika kembali tangan kirinya menusuk dengan jari-jari tangan terbuka ke arah lambungnya, disusul tongkat yang menyambar dengan totokan ke arah pundak, dia berkelebat ke kanan dan sengaja menggunakan telapak tangannya menerima tongkat yang menyambar.
"Plakk!"
"Aihhh....!"
Nenek itu kembali berteriak kaget dan tubuhnya terhuyung, namun kembali tangan kirinya sudah mencengkeram disusul totokan tongkatnya, kini tidak kepalang dan dilakukan dengan kemarahan karena tongkat itu menyerang leher!
Diam-diam Siauw Bwee kagum sekali. Dalam keadaan terhuyung seperti itu Si Nenek yang kakinya hanya satu ini masih mampu mengirim serangan dua kali berturut-turut, sungguh merupakan hal yang luar biasa dan dia mengerti bahwa kiranya kaum kaki buntung ini memiliki ilmu silat yang amat aneh, cepat dan kuat sehingga ilmu silat tangan kiri dan tongkat ini dapat menutup kekurangan karena cacad kaki mereka!
Dia juga mengeluarkan kegesitannya dan bayangannya berkelebat lenyap. Biarpun dia agak bingung menghadapi serangan ilmu silat aneh dari nenek itu, namun karena dia menang dalam tenaga sin-kang, pula dalam hal gin-kang dia pun lebih unggul, maka dia masih mampu menyelamatkan diri dengan elakan cepat atau tangkisan kuat.
Akan tetapi, karena dia pun tahu bahwa kaum kaki buntung ini bukan orang-orang jahat, dan dia harus mengakui bahwa dalam pertentangan ini dialah yang telah mulai lebih dulu, Siauw Bwee tidak ingin mencelakai lawannya dan hanya ingin merobohkan atau mengalahkannya tanpa melukai.
"Hebat....! Luar biasa....! Sukar dipercaya!"
Beberapa kali kakek yang menjadi ketua kaum kaki buntung itu memberi komentar penuh kekaguman menyaksikan gerakan Siauw Bwee. Siauw Bwee adalah seorang dara remaja yang baru sekali itu mengadakan pertandingan sungguh-sungguh yang selamanya belum pernah ia lakukan, kecuali ketika melawan Maya, sucinya. Maka kini mendengar pujian keluar dari mulut ketua kaum kaki buntung yang lihai ilmunya, dia menjadi bangga. Ingin dia memperlihatkan kelihaiannya, maka ketika tongkat nenek itu untuk kesekian kalinya menyambar dan kini menyambar ke arah pinggangnya, ia meloncat dan mengeluarkan teriakan keras, tubuhnya melayang ke atas dan kakinya menotol ujung tongkat lawan!
Perbuatan ini selain luar biasa dan membuktikan kemahiran gin-kang yang istimewa, juga amat berbahaya maka terdengarlah seruan-seruan heran dan seruan kagum dari pada penonton termasuk ketuanya. Nenek itu penasaran sekali, merasa seperti dipermainkan, maka ia mengerahkan tenaga, menggerakkan ujung tongkatnya dan siap untuk memberi serangan susulan kalau tubuh dara itu telah terlepas dari ujung tongkat.
"Wuuuutttt!"
Tubuh dara itu memang terlepas dari tongkat, akan tetapi terlepas ke atas, ke arah langit-langit batu ruangan itu yang tingginya ada tiga ukuran tinggi manusia. Semua orang berdongak memandang terbelalak, melihat betapa dara itu mencapai langit-langit, punggungnya menempel ke langit-langit seolah-olah di punggungnya terdapat perekat ajaib yang melekatkan punggungnya dengan langit-langit, Siauw Bwee tertawa-tawa mengejek,
"Ah, kasihan engkau, nenek cacad. Lebih baik sudahilah saja, untuk apa susah payah melawan orang muda yang lebih panjang napasnya dan lebih kuat tubuhnya?"
Muka nenek itu menjadi merah sekali. Dia adalah murid kepala yang kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, hanya selisih sedikit dengan gurunya. Kini melawan seorang dara berusia belasan tahun yang tidak ternama, dia dipermainkan, seperti itu.
"Bocah sombong keparat!"
Ia berseru dan sekali kaki tunggalnya mengenjot lantai, tubuhnya sudah melayang ke atas dan tongkatnya siap menusuk tubuh yang menempel di langit-langit itu.
"Jangan....!"
Sang Ketua berteriak ketika melihat serangan maut yang dilakukan muridnya. Dia sudah menyaksikan kehebatan Siauw Bwee, dan merasa khawatir sekali karena kalau seorang dara remaja sudah berkepandaian seperti itu, tentu dapat dibayangkan betapa hebat orang tua atau guru yang berdiri di belakangnya!
Akan tetapi seruannya terlambat dan nenek itu dalam kemarahannya telah menyerang ke atas. Memang saat inilah yang dinanti-nanti oleh Siauw Bwee. Begitu tubuh nenek itu meloncat, ia melepaskan punggungnya dari langit-langit, tubuhnya meluncur didahului kedua tangannya yang melakukan gerakan mendorong. Dari kedua telapak tangannya itu menyambar angin pukulan yang amat dingin!
"Aihhh....!"
Nenek itu menggigil, tongkatnya terlepas dan tubuhnya sendiri terbanting ke bawah. Untung tubuhnya disambut oleh seorang sutenya, akan tetapi begitu kedua tangan sutenya menyambut tubuh itu, ia merasakan pula getaran dingin yang membuatnya menggigil dan kedua kakinya tidak dapat menahan sehingga mereka berdua roboh bergulingan. Betapapun juga, karena telah ditahan oleh kedua tangan sutenya, tubuh nenek itu tidak terbanting keras.
Baru saja Siauw Bwee turun ia mendengar suara mencicit-cicit dan betapa kagetnya ketika suara itu keluar dari sepasang tangan kakek ketua kaum kaki buntung! Kakek itu telah menyerangnya, tanpa menggunakan tongkat dan dengan sebelah kaki berloncatan kakek ini telah menyerangnya dengan kedua tangan, gerakannya luar biasa anehnya sehingga repotlah Siauw Bwee mengelak.
Dara ini makin terdesak dan dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat, dia kalah pengalaman, apapula harus menghadapi gerakan sepasang tangan yang begitu aneh. Maka dia lalu mengerahkan tenaga di tangan kiri menangkis.
Tubuh kakek itu sampai berputaran ketika lengannya tertangkis dan ternyata dia pun kalah kuat sin-kangnya oleh dara penghuni Pulau Es yang hebat ini. Akan tetapi, dalam perputaran ini, kedua tangan kakek itu masih bergerak secara luar biasa, membingungkan Siauw Bwee sehingga tanpa dapat dicegah lagi, jalan darah di belakang pusar dara itu kena tertotok dengan tepat sekali.
"Celaka....!"
Ketua kaki buntung itu berteriak kaget. Teriakan yang membayangkan kekagetan dan penyesalan besar.
Totokan yang dilakukan dalam keadaan tubuh terputar-putar itu memang mengenai jalan darah yang bagi lawan lain tentu akan menimbulkan kematian. Akan tetapi Siauw Bwee yang telah digembleng dengan latihan-latihan sin-kang dan bersamadhi secara istimewa oleh Han Ki sesuai dengan kitab Bu Kek Siansu, ketika tertotok hanya menjadi gemetar beberapa detik lamanya.
Tadinya dia sudah menjadi marah sekali karena dianggapnya kakek itu kejam, telah mengirim totokan pada jalan darah yang menyebabkan kematian sehingga dia sudah mengerahkan sin-kang istimewa memulihkan jalan darahnya kemudian dia hendak membalas dengan serangan hebat.
Akan tetapi setelah mendengar seruan kakek itu, maklumlah dia bahwa kakek itu tidak sengaja hendak membunuhnya. Timbullah pikirannya untuk menyelidiki keadaan kaum kaki buntung yang aneh ini dan jalan satu-satunya hanyalah berpura-pura mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar