Ads

Senin, 28 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 078

Orang itu mengangguk-angguk.
"Engkau benar-benar memiliki keberanian luar biasa, Nona. Nah, dengarlah ceritaku. Seratus tahun lebih yang lalu, nenek moyang tiga empat keturunan dari kaum kaki satu dan lengan satu adalah dua orang saudara seperguruan yang berilmu tinggi. Entah mengapa, kedua saudara seperguruan itu bercekcok sehingga terjadilah pertempuran antara mereka berdua. Pertempuran hebat yang mengakibatkan seorang buntung kaki kanannya dan yang seorang lagi buntung lengan kirinya.

Dendam antara kedua orang ini amat hebat. Mereka lalu mengasingkan diri melatih ilmu, juga masing-masing mengambil murid-murid, kemudian mereka berjanji untuk mengadu ilmu setiap tahun, untuk menentukan siapa yang lebih unggul diantara mereka. Karena makin lama jumlah mereka makin banyak, maka permusuhan itu menjadi berlarut-larut dan setiap tahun tentu diadakan pertandingan mengadu ilmu. Demikianlah, keturunan kedua orang itu melanjutkan permusuhan aneh ini dan terbentuklah kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung yang saling bermusuhan."

"Akan tetapi, mengapa mereka itu masing-masing dapat mengumpulkan orang-orang kaki buntung dan orang-orang lengan buntung sebanyak itu?” Siauw Bwee bertanya heran.

"Bukan dikumpulkan, Nona. Melainkan dibuat, sengaja dibikin buntung!"

Mata Siauw Bwee terbelalak lebar.
"Apa? Murid-murid mereka dibuntungi sebelah kaki atau lengannya?"

Orang itu mengangguk.
"Begitulah. Syarat pertama menjadi murid kedua kaum ini haruslah dibuntungi kaki atau lengannya."

"Apakah mereka gila? Mengapa mau saja dibuntungi kaki atau lengan agar bisa menjadi murid mereka?"

"Memang banyak orang gila di dunia ini, Nona. Ilmu kaum kaki buntung dan lengan buntung amat terkenal, maka banyak yang tergila-gila dan rela menjadi seorang berkaki buntung atau berlengan buntung asal diterima menjadi murid mereka. Kaum berkaki buntung tinggal di dalam istana bawah tanah ini sedangkan kaum lengan buntung tinggal di balik gunung, di dalam guha-guha batu karang. Kaum kaki buntung ini diketuai oleh Liong Ki Bok, keturunan ke tiga atau empat dari seorang di antara kedua saudara seperguruan yang bermusuhan itu, tentu saja yang menjadi buntung kakinya dalam pertandingan itu. Adapun kaum lengan buntung diketuai oleh The Bian Le, seorang kakek yang sama lihainya dengan Liong Ki Bok dan juga keturunan dari tokoh yang seorang lagi. Sampai sekarang mereka tetap bermusuhan dan setiap tahun selalu diadakan pertandingan antara mereka."

Siauw Bwee mengangguk-angguk, kemudian memandang orang itu.
"Dan engkau sendiri, kulihat kaki dan tanganmu lengkap, tidak ada yang buntung. Mengapa engkau sampai bermusuhan dengan kaum kaki buntung dan berada di sini?"

"Aku bernama Cia Cen Thok, dan aku adalah kakak ipar ketua kaum lengan buntung. Isteri The Bian Le adalah adik perempuanku. Karena percaya akan kepandaianku, iparku minta tolong kepadaku untuk menyelidiki dan mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat kaum kaki buntung. Karena hanya dengan mengetahui rahasia ilmu silat gerak tangan kilat, maka kaum lengan buntung akan dapat menundukkan musuh keturunan mereka ini."

"Hemm, apakah kaum lengan buntung kalah lihai oleh kaum kaki buntung?"

Cia Cen Thok menghela napas panjang.
"Kalah lihai sih tidak. Engkau harus ingat bahwa nenek moyang mereka adalah saudara seperguruan, maka tentu saja dasar ilmu silat juga sesumber dan kepandaian para keturunan ini pun seimbang. Justeru karena keseimbangan ilmu inilah yang membuat pembunuhan tiada habisnya. Tahun ini pihak yang satu kalah, tahun kemudian pihak yang lain kalah dan begitu seterusnya. Kaum lengan buntung yang hanya mempunyai sebuah lengan telah menciptakan ilmu gerak kaki kilat yang luar biasa. Di lain pihak, kaum kaki buntung, untuk mengimbangi, karena kaki mereka hanya sebuah, telah menciptakan ilmu gerak tangan kilat. Ilmu silat tangan mereka yang diperpadukan dengan tongkat, benar-benar amat hebat."

Siauw Bwee mengangguk-angguk.
"Memang hebat gerakan tangan mereka, cepat dan aneh."

"Itulah sebabnya, tiga tahun yang lalu aku memenuhi permintaan adik iparku, The Bian Le ketua kaum lengan buntung, untuk menyelundup ke sini dan mempelajari rahasia gerak tangan kilat pihak musuh. Akan tetapi aku kepergok dan dalam perkelahian mati-matian aku roboh dan dihajar habis-habisan, disangka mati lalu ditaruh di ruangan jenazah ini."






"Tiga tahun?" Siauw Bwee bergidik.

"Ya, tiga tahun kurang lebih."

"Akan tetapi engkau telah berhasil kulihat tadi. Engkau telah mempelajari ilmu silat gerak tangan kilat mereka!"

Cia Cen Thok memandang kagum.
"Engkau awas sekali, Nona. Akan tetapi, biarpun aku percaya bahwa engkau tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, dan aku pun telah mulai dapat mempelajari rahasia gerak tangan kilat mereka, aku masih sangsi apakah kita berdua akan dapat keluar dari tempat ini dengan selamat. Jumlah mereka banyak, dan di samping Liong Ki Bok yang lihai juga mereka mempunyai jago-jago berkepandaian tinggi, yaitu beberapa orang murid kepala yang kepandaiannya sudah hampir setingkat dengan kepandaian Si Ketua sendiri."

"Berapakah jumlah mereka?"

"Kalau tidak salah, ada tiga puluh enam orang. Sedangkan pihak kaum lengan satu berjumlah tiga puluh orang."

"Aku tidak takut! Aku tentu akan dapat membebaskan orang kasar Huieng Liem Hok Sun itu."

"Apamukah dia itu, Nona?"

"Hemm.... bukan apa-apa. Kenal pun tidak. Akan tetapi aku melihat sifat baik di balik sikapnya yang kasar, juga dia murid Go-bi-san yang ilmunya lumayan. Aku percaya bahwa dia pun tentu akan menolong orang yang menjadi tawanan di sini."

"Aahhh, hatimu terlalu baik, Nona. Aku sendiri tidak percaya bahwa dia itu akan suka mempertaruhkan nyawa untuk menolong orang yang belum dikenalnya seperti yang telah kau lakukan ini."

Tiba-tiba terdengar gerengan keras, gerengan biruang yang menjaga di luar pintu, disusul suara gedebukan dan tak lama kemudian pintu itu terbuka dari luar dan muncullah orang yang mereka bicarakan, yaitu Hok Sun sendiri yang memegang sebatang pedang di tangannya. Melihat Siauw Bwee, dia segera menyerahkan pedangnya sambil berkata,

"Nona, kau pergunakan pedang ini. Mari kita menerjang keluar. Kesempatan baik sekali selagi ketuanya dan pembantu-pembantunya tidak berada di dalam!" Tiba-tiba ia menoleh, melihat Cia Cen Thok dan meloncat ke belakang seperti diserang ular. "Dia.... eh, dia.... siapa ini....?"

"Dia seorang sahabat senasib. Apakah engkau datang sengaja hendak menolongku? Bagaimana kau bisa bebas?"

Liem Hok Sun hilang kagetnya dan ia tertawa,
"Aku akali Si Buntung Kaki itu! Ha-ha! Aku pura-pura lemah, ketika mereka memberi makan, aku memberontak dan berhasil merobohkan Si Pengantar Makanan, kemudian aku lari dan mendapatkan pedang ini di jalan. Dari percakapan mereka aku mendengar bahwa mereka telah membunuh seorang dara muda. Aku penasaran, ingin melihat sendiri ke sini dan kiranya engkaulah orang yang mereka bunuh itu, dan masih hidup. Syukurlah. Mari kita cepat menerjang keluar sebelum terlambat!"

Siauw Bwee tersenyum dan memandang kepada Cia Cen Thok dengan penuh arti. Kakek bekas mayat hidup itu mengangguk-angguk mengerti.

"Saudara Liem Hok Sun, engkau seorang gagah sejati!"

"Eh, kau mengenal aku?"

"Aku yang memberitahukan namamu kepadanya," kata Siauw Bwee.

"Engkau? Engkau Nona penunggang kuda itu. Aku belum pernah memperkenalkan diri...., ohhh, sekarang aku ingat! Aku pernah mengakui namaku ketika kau kusangka pemasang jerat. Hayo, lekaslah kita keluar. Eh, sahabat aneh, apakah engkau pun akan lari keluar?"

Cia Cen Thok mengangguk.
"Keluarlah kalian lebih dulu, aku menyusul belakangan."

Siauw Bwee dan Liem Hok Sun berlari keluar dan Siauw Bwee melihat biruang itu sudah menggeletak dengan kepala pecah, tentu kena pukulan tangan Si Garuda Terbang. Dia merasa kasihan karena menganggap biruang itu bukan binatang jahat, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, dia diam saja dan terus berlari keluar didahului Liem Hok Sun sebagai pembuka jalan.

Ketika mereka sudah tiba di ruangan paling depan, dari kanan kiri meloncat keluar empat orang berkaki buntung dan mereka ini menyerang Hok Sun dan Siauw Bwee tanpa banyak tanya lagi.

Siauw Bwee menggerakkan kakinya menangkis dan tangan kirinya memukul dengan dorongan penuh tenaga sin-kang. Dua orang di antara mereka berteriak dan roboh terjengkang, berusaha merayap bangun kembali. Hok Sun melawan dengan kedua tangan kosong. Ia berhasil menangkap tongkat seorang penyerang, membetot dan mematahkan tongkat itu, kemudian kakinya menendang. Lawannya menangkis dan orang ke dua sudah menotokkan tongkatnya ke arah lambung Hok Sun.

"Trakk!"

Tongkat itu patah ketika tertangkis pedang Siauw Bwee yang sudah cepat membantu. Kemudian, pukulan tangan Hok Sun merobohkan orang yang tongkatnya patah itu.

"Wah, kepandaianmu hebat sekali, Nona!"

Ia memuji, kagum dan juga kaget karena tidak menyangka bahwa nona yang disangkanya hanya berkepandaian silat biasa itu ternyata telah merobohkan dua orang pengeroyok dengan cepat, bahkan telah menolongnya!

"Hayo cepat keluar!"

Siauw Bwee berkata dan kini dialah yang mendahului lari ke depan karena ia tahu bahwa kalau mereka berdua dikeroyok di sebelah dalam, keadaan mereka berbahaya sekali.

Dengan gerakan ringan dan indah tubuh Siauw Bwee melayang naik dan menerobos keluar dari lubang kecil yang merupakan "pintu kamar" bangunan setengah bundar di atas tanah itu. Kembali Hok Sun memuji. Gerakan nona itu benar amat ringan dan tahulah dia bahwa nona itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh melampaui tingkatnya sendiri.

Begitu Siauw Bwee dan Hok Sun tiba di luar, mereka segera dikepung oleh para anak buah kaum kaki buntung yang sudah berjaga di luar dan yang mengejar dari dalam. Tetapi seperti yang diceritakan oleh Cia Cen Thok, biarpun Siauw Bwee dapat menangkan mereka dalam hal sinkang, gin-kang, maupun ilmu silat, namun gerakan tangan mereka benar-benar amat lihai, cepat bagaikan kilat dan tidak tersangka-sangka.

Untuk dapat mengatasi lawan yang seperti ini mernang jalan satu-satunya hanya mempelajari dan membuka rahasia ilmu tangan kilat mereka itu. Siauw Bwee tidak ingin melakukan pembunuhan, maka gerakan pedangnya hanya untuk menghalau tongkat-tongkat mereka yang lihai, dan ia hanya berusaha merobohkan mereka dengan dorongan-dorongan tangan dengan tenaga sin-kang. Karena inilah maka dia segera dikurung dan didesak hebat.

Adapun Hok Sun keadaannya lebih terdesak lagi. Beberapa kali terdengar suara bak-bik-buk dan tubuhnya sudah terkena hantaman-hantaman tongkat pada bahu, pinggul dan pahanya. Untung bahwa Si Garuda Terbang ini memiliki tubuh yang kebal sehingga hantaman-hantaman itu tidak sampai meremukkan tulang dan tertahan oleh daging dan urat-uratnya yang kokoh kuat sungguhpun cukup mendatangkan rasa nyeri membuatnya berkaok-kaok kesakitan.

Untung bagi mereka bahwa pada saat itu, benar seperti keterangan Hok Sun, tidak tampak murid-murid lain yang dianggap sebagai tokoh-tokoh kelas satu. Kalau mereka itu ikut mengeroyok, tak tahulah bagaimana jadinya dengan nasib mereka berdua.

"Saudara Liem, cepat ke sini! Kita melawan dengan saling melindungi!"

Teriak Siauw Bwee sambil berputaran dan mendekati Si Pemuda Kasar yang sudah berteriak-teriak kesakitan.

Hok Sun bukan seorang bodoh. Dia mengerti apa yang dimaksudkan dara perkasa itu, maka dia pun lalu meloncat dan di lain saat dia telah melakukan perlawanan dengan beradu punggung bersama Siauw Bwee. Dengan cara ini, mereka berdua tidak dapat dikurung lagi dan hanya menghadapi lawan dari depan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar