Ads

Rabu, 30 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 087

Sementara itu, pemuda penggembala yang sudah banyak mengalami hidup penuh kesukaran dan di tempat yang liar sehingga keselamatan banyak mengandalkan kekuatan, juga telah mempelajari banyak macam ilmu silat utara dari beberapa orang pertapa di pegunungan utara, bersikap hati-hati. Dari para gurunya ia pernah mendengar bahwa lawan yang patut dihadapi dengan waspada justeru adalah lawan yang kelihatannya lemah.

Orang-orang tua lemah, pendeta-pendeta lemah lembut, dan wanita-wanita. Orang-orang lemah ini kalau sudah berani menghadapi lawan berarti mereka telah memiliki ilmu kepandaian tinggi karena mereka tidak dapat mengandalkan tenaga mereka yang lemah, pula, karena keadaan mereka yang kelihatan lemah, lawan menjadi lengah dan memandang rendah.

Maka dia tidak segera menerjang secara ngawur, apalagi karena dia harus dapat mempertahankan diri selama sepuluh jurus, maka setiap jurus serangannya harus diperhitungkan benar-benar. Mengingat pula akan janji wanita muda itu tidak akan merobah kedudukan kedua kakinya, maka Si Penggembala lalu melangkah perlahan-lahan memutari tubuh Maya dengan maksud menyerang dari belakang!

Kalau diserang dari belakang, mau tidak mau lawannya itu tentu akan membalik tubuh dan dengan sendirinya tentu akan merobah kedudukan kedua kakinya, atau setidaknya tentu akan mengangkat sebelah kaki. Dan kalau hal ini terjadi, berarti dia menang!

Maya memandang lawannya sambil tersenyum. Hatinya makin girang. Pemuda kasar itu ternyata memiliki juga kecerdikan, tanda bahwa orang ini akan mudah dilatih bersiasat dan tidak tergesa-gesa dalam menuruti nafsu mencari kemenangan. Sifat yang baik sekali.

Ketika pemuda ini sudah memutar sampai di belakang tubuhnya, Maya sedikit pun tidak menggeser kedua kakinya, bahkan sedikit pun tidak melirik atau menengok. Ia tetap berdiri tegak sambil tersenyum, kedua kaki agak terpentang tegak lurus, kedua tangan bertolak pinggang, sama sekali tidak mencabut pedangnya biarpun dia tidak berjanji untuk melawan dengan tangan kosong.

Setelah tiba di belakang Maya dan melihat betapa tubuh bagian belakang lawan itu sama sekali terbuka untuk serangan dari belakang, pemuda itu menjadi ragu-ragu. Kalau dia turun tangan menyerang, alanglah mudahnya! Dan panglima wanita itu tidak mencabut pedang. Bagaimana mungkin dia, seorang laki-laki gagah, menyerang seorang wanita dari belakang, wanita yang bertangan kosong?

"Harap kau cabut senjatamu!"

Dia berteriak marah, merasa dipandang rendah sekali dan marah kepada diri sendiri mengapa tidak segera menyerang, padahal pertandingan ini sudah dijanjikan dulu bukan berarti dia bertindak curang kalau menyerang dari belakang. Teriakannya ini menambah girang hati Maya karena dia kini mendapat kesan lebih baik. Pemuda kasar ini ternyata memiliki pula sifat gagah dan tidak curang!

Biarpun dia tidak dapat melihat dengan kedua matanya, namun pendengarannya tentu saja dapat menangkap setiap gerak-gerik lawan. Maka ia berkata lantang,

"Bocah sombong, lekaslah serang dengan pecutmu yang hanya dapat dipakai untuk menakut-nakuti domba itu. Apakah kau takut?"

Kata-kata "takut" ini merupakan kekuatan hebat yang mengusir keraguan pemuda itu. Namun ia masih membentak karena tidak ingin menyerang dengan diam-diam.

"Jaga serangan jurus pertama!"

Ucapan ini disusul menyambarnya cambuk dari belakang, meledak lalu bercuit turun menghantam pundak kiri Maya.

"Ciiittt.... wussshh!"

Cambuk itu menyambar pundak akan tetapi hanya dengan menggerakkan sedikit pundaknya, sabetan itu luput, lewat dekat sekali, tidak ada selebar kuku dari kulit pundak Maya, terus menghantam tanah. Sebuah batu hancur terkena hantaman ujung cambuk itu!

"Eh, apakah matamu kurang awas sehingga mencambuk sasaran sebesar aku masih luput?"

Maya mengejek dan terdengarlah suara ketawa para perajurit dan perwira yang menonton dan yang maklum bahwa panglima mereka sedang mempermainkan penggembala yang gagah itu.






Panas rasanya perut pemuda itu. Matanya melotot dan ia meloncat ke depan Maya, kemudian berkata,

"Aku mengalah, engkau malah mengejek. Ingin diserang benar-benar? Lihat dan jagalah ini!"

Cambuknya kembali menyambar, kini dari depan Maya, menyambar dengan cepat dan kuat sehingga lenyap cambuknya dan tampak sinar hitam menyambar pinggang Maya! Karena yang diserang pinggangnya, tentu saja Maya tidak dapat mengelak. Mengelak berarti harus merubah kedudukan kakinya.

Semua perwira dan perajurit yang menonton menjadi cemas karena tidak tahu bagaimana panglima mereka akan menyelamatkan diri. Kalau panglima mereka menggerakkan kaki dan berarti kalah, mereka pun akan menderita malu. Panglima mereka kalah oleh seorang penggembala domba! Betapa memalukan ini dan sekaligus nama besar Pasukan Maut akan hancur!

Maya juga maklum akan kecerdikan penggembala domba itu. Ia memperlebar senyumnya dan membiarkan sinar hitam menyambar, tiba-tiba tangan kanan yang tadi bertolak pinggang itu ia gerakkan, jari tangannya melakukan gerakan menyentil ke arah ujung sinar hitam dan.... ujung cambuk itu membalik dan menyerang pemiliknya sendiri.

"Aduhhh!"

Si Penggembala Domba berteriak kaget dan pipi kirinya berubah biru karena seperti seekor ular yang membalik tanpa diduga-duga, ujung cambuk itu telah menotok pipinya sendiri. Bukan main nyerinya dan ia memandang terbelalak, melihat betapa panglima wanita itu kembali telah bertolak pinggang dengan kedua tangan sambil tersenyum.

"Bocah bau domba! Mengapa engkau begini canggung? Seorang penggembala tidak dapat menggerakkan cambuk domba sehingga mengenai pipi sendiri. Apakah ini tidak menggelikan?"

"Ha-ha-ha! Ha-ha-ha-ha!" Suara tertawa riuh-rendah menyambut sindiran ini.

Yang paling keras tertawanya adalah para perwira yang tadi dirobohkan pemuda itu sehingga mereka lupa akan sakit tubuh dan hati oleh kekalahan itu karena kini kekalahan mereka telah ditebus dan dibalaskan oleh panglima mereka.

Penggembala muda yang keras hati itu tentu saja marah sekali dan karena maklum bahwa wanita muda di depannya benar-benar memiliki kepandaian yang hebat, dia kini tidak ragu-ragu lagi atau sungkan-sungkan lagi. Mulutnya mengeluarkan teriakan-teriakan keras dan pecutnya meledak-ledak dan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.

"Tiga jurus! Empat jurus!"

Maya mengelak tanpa menggerakkan kaki dan kadang-kadang menangkis dengan kedua tangannya sambil mengerahkan sin-kang. Diam-diam ia memperhatikan dan menjadi kagum. Ilmu silat orang ini hanya ilmu silat kasar saja, akan tetapi tenaganya besar sekali dan dia memiliki kecepatan yang luar biasa.

"Jurus ke enam! Tujuh.... delapan.... sembilan....!"

Tiba-tiba penggembala itu menghentikan serangannya dan mengitari tubuh Maya. Dia cerdik. Biarpun sudah sembilan jurus dia tidak mampu memaksa lawannya merobah kedudukan kaki, namun kalau satu jurus lagi wanita aneh ini belum dapat merobohkannya berarti dialah yang menang! Karena itu, dia menjadi hati-hati dan untuk jurus ke sepuluh yang terakhir, dia hendak menyerang dari tempat yang aman!

Tentu saja Maya maklum akan akalnya itu, maka dia mengejek,
"Eh, penggembala tak pernah mandi! Apakah kau menjadi takut untuk menyerang dengan jurus terakhir?"

"Aku belum roboh! Jaga serangan ini!"

Ia lalu menerjang dari belakang dengan sabetan yang amat kuat, kini yang diserang adalah kedua kaki Maya! Memang dia cerdik, tidak saja menyerang dari tempat aman agar dia tidak dapat dirobohkan sampai jurus ke sepuluh, akan tetapi juga dalam jurus terakhir ini dia menyerang kaki lawan. Tak mungkin engkau mengelak atau menangkis, kecuali dengan merubah kedudukan kaki, pikirnya. Untuk menangkis, tentu tangan dara itu tidak sampai ke bawah, dan kaki yang tak boleh digerakkan itu mana bisa mengelak!

Akan tetapi Maya sama sekali tidak mengelak maupun menangkis, melainkan menerima saja sabetan itu sambil mengerahkan sin-kang ke arah kedua kakinya, kemudian pinggangnya berputar, tangan kanannya mendorong dengan pukulan jarak jauh.

"Brettt.... dessss....! Auggghhh....!"

Pecut itu mengenai kedua kaki Maya dan melibat-libat kaki, akan tetapi sedikit pun kaki itu tidak tergoyang, dan ketika hawa pukulan Maya yang mengandung Im-kang amat kuat itu mengenai dada Si Penggembala, tak dapat ditahannya pula tubuhnya terjengkang dan terbanting ke belakang dan dia menggigil!

Para perwira dan perajurit bersorak menyambut kemenangan panglima mereka itu. Akan tetapi Maya mengangkat tangan menyuruh mereka diam, kemudian ia berkata kepada penggembala itu,

"Engkau sudah kalah, harus memenuhi janji menjadi pembantuku. Kerugian domba akan kuganti agar diberikan oleh kawan-kawanmu kepada pemilik domba."

Di dalam hatinya pemuda gembala itu sudah tunduk dan kagum sekali kepada Maya. Dia lalu berlutut di depan Maya sambil berkata,

"Saya Cia Kim Seng adalah seorang laki-laki sejati yang tidak akan mengingkari janji. Mulai saat ini saya akan membantu Li-ciangkun dan siap melakukan semua perintah dengan taruhan nyawa!”

Wajah Maya berseri gembira dan ia menoleh kepada para perwira dan perajurit.
"Para perwira dan perajurit Pasukan Maut yang gagah perkasa. Kita menerima Cia Kim Seng sebagai seorang perwira pembantuku, sebagai seorang anggauta pasukan kita yang jaya!"

Terdengar sorak-sorai riuh-rendah dan para perwira yang tadinya dirobohkan Kim Seng menghampiri pemuda gembala itu dan memeluknya, menepuk-nepuk pundaknya dengan keramahan seorang rekan. Tentu saja pemuda itu menjadi girang sekali dan ia merasa beruntung berada di tengah-tengah pasukan yang demikian kuat dengan seorang pemimpin yang demikian sakti, muda dan jelita.

Tiba-tiba semua orang tertegun ketika melihat para penggembala, teman-teman Cia Kim Seng, menjatuhkan diri berlutut dan ada yang menangis. Kim Seng melompat dan membentak mereka,

"Eh, eh, apakah kalian sudah gila? Kenapa menangis?"

"Kalau engkau masuk menjadi anggauta Pasukan Maut yang hebat ini, bagaimana dengan kami? Kami mohon diterima pula menjadi anggauta pasukan di bawah pimpinan Li-ciangkun yang sakti!" kata seorang di antara mereka.

Maya tertawa gembira,
"Bagus! Bagus! Kumpulkan semua kawan-kawan kalian yang suka membantuku. Aku menerima kalian!"

Para penggembala bersorak dan berdatanganlah penggembala-penggembala yang bertubuh kuat itu dan jumlahnya ada dua puluh tiga orang. Maya menerima mereka dan menyerahkan ganti kerugian kepada dua orang penggembala tua yang tidak ikut masuk. Kemudian pasukannya bergerak maju bersama Cia Kim Seng dan teman-temannya yang ikut berbaris dengan langkah tegap dan dada membusung ke depan. Dari penggembala menjadi perajurit Pasukan Maut, hati siapa tidak akan menjadi bangga dan besar?

Di sepanjang jalan Maya melatih ilmu pedang kepada Cia Kim Seng dan giranglah hatinya melihat betapa "muridnya" ini benar-benar memiliki bakat yang baik sekali di samping kekuatan besar, keringanan tubuh, dan keberanian yang luar biasa. Juga para penggembala itu ternyata menjadi perajurit-perajurit yang baik dan kuat.

Di sepanjang perjalanan, Maya berhasil mengumpulkan beberapa puluh tenaga sukarela terdiri dari pemuda-pemuda gunung dan dusun sehingga beberapa pekan kemudian pasukan yang tadinya hanya tinggal empat ratus lima puluh orang, kini menjadi lima ratus lebih, meningkat jumlahnya dibanding dengan ketika dia berangkat.

Pada suatu hati, pasukan telah tiba di perbatasan daerah Mancu dan mereka membangun perkemahan di tempat itu karena Maya berniat menghentikan gerakan dan berdiam di situ menanti beberapa orang utusan yang ia kirim menyeberangi perbatasan mengadakan kontak dengan bala tentara Mancu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar