Beberapa hari lewat tanpa ada peristiwa penting. Para perajurit setiap hari berlatih olah yuda di bawah pimpinan para perwira, sedangkan para perwira sendiri berlatih silat di bawah petunjuk-petunjuk Maya.
Yang mengagumkan adalah Kim Seng karena ilmu pedangnya menjadi makin hebat saja sehingga dalam latihan dengan kayu, ia sanggup menandingi pengeroyokan sepuluh orang perwira rekannya! Pemuda ini merasa berterima kasih sekali terhadap Maya yang dia anggap sebagai panglimanya, gurunya, dan orang yang paling dijunjung tinggi, dihormati dan dicintainya!
Akan tetapi pada malam ke empat, Cia Kim Seng menghadap Maya dan berkata lirih,
"Li-ciangkun, saya melihat berkelebatnya bayangan asing dan agaknya ada mata-mata menyelundup. Sudah saya cari, akan tetapi tidak dapat saya temukan. Karena khawatir maka saya datang menghadap dan melapor."
Sepasang alis Maya berkerut.
"Hemm, sungguh berani mati sekali! Mari kita cari dia sampai dapat. Kita geledah semua kemah. Dia harus dapat ditangkap hidup-hidup karena aku ingin tahu siapa yang menyuruhnya memata-matai keadaan kita."
Karena tidak ingin menimbulkan kekacauan dan kepanikan diantara para pasukan, diam-diam Maya bersama sebelas orang perwiranya mulai melakukan penggeledahan. Semua kemah dimasukinya, dan para perajurit yang mengira bahwa panglima mereka melakukan pemeriksaan seperti biasa, menyambut dengan hormat dan gembira karena kemana saja Maya datang, tentu akan terlepas kata-kata ramah terhadap semua perajurit sehingga mereka menjadi gembira dan bangga.
Akan tetapi, biarpun semua perkemahan telah dimasuki dan diperiksa, Maya dan para pembantunya tetap saja tidak dapat menemukan jejak mata-mata yang dicarinya. Maya mengerutkan alisnya. Apakah mata-mata itu sedemikian lihainya sehingga dapat memasuki perkemahan tanpa terlihat penjaga, bahkan tidak diketahui para perajurit yang demikian banyaknya?
Kalau dia mencampurkan diri dengan para perajurit, hal itu tidaklah mungkin karena para perajuritnya tentu akan mengenal orang asing yang menyelundup. Untuk itu mereka sudah cukup terlatih dan diantara para perajurit ada banyak macam kode rahasia yang hanya mereka ketahui sehingga penyelundupan orang luar tentu akan segera diketahui.
"Cia-ciangkun, jangan-jangan engkau hanya melihat bayangan burung saja," kata Kwa-huciang, kepala perwira pembantu utama Maya kepada perwira muda yang baru itu.
"Tak mungkin salah penglihatan Cia Kim Seng," bantah Maya mendahului sebelum pembantu mudanya yang keras hati itu tersinggung. "Mata-mata itu tentu amat cerdik dan kalau tidak salah dugaanku, saat ini tentu dia berada di dalam kemahku sendiri."
"Hahhh....?" Para perwira terkejut, juga Kim Seng memandang panglimanya dengan heran.
"Bagaimanakah Li-ciangkun menduga begitu?" tanya Kim Seng.
Maya tersenyum,
"Seorang mata-mata yang pintar akan memancing harimau keluar sarang. Setelah aku dan kalian keluar, tentu dia akan menggeledah kemahku, karena pekerjaan mata-mata tentulah menyelidiki keadaan panglima dari sebuah pasukan. Mari kita kesana!"
Akan tetapi ketika dengan bergegas mereka memasuki kemah besar yang menjadi tempat tinggal Maya, tidak terdapat perubahan dan tak tampak bayangan manusia. Para pengawal yang bertugas menjaga di luar pintu kemah, masih berdiri tegak dengan tombak di tangan, tanda bahwa mereka pun tidak melihat orang memasuki kemah itu.
Selagi para perwira mengerutkan alis dan memandang Maya penuh pertanyaan, panglima wanita itu menyuruh mereka diam, matanya agak terpejam, kulit di antara kulitnya berkerut tanda bahwa dia sedang mengerahkan seluruh perhatiannya.
Tiba-tiba wanita sakti ini berdongak memandang langit-langit tenda, kemudian memberi isyarat kepada Cia Kim Seng, menuding ke atas. Bekas penggembala domba ini memandang ke atas dan kalau tidak ditunjukkan oleh panglimanya, tentu dia tidak akan tahu.
Kini tampaklah betapa kain tenda di bagian itu bergoyang-goyang sedikit, seolah-olah ada seekor tikus atau kucing di atas sana! Akan tetapi dia tahu bahwa panglimanya takkan salah duga, tentu Si Mata-mata berada di atas itu. Ia mencabut pedangnya dan memandang Maya yang tersenyum mengangguk. Isyarat ini cukup bagi Kim Seng dan berserulah ia nyaring,
"Mata-mata keparat turunlah!" Bentaknya ini disusul loncatan tubuhnya ke atas, pedangnya membabat.
"Brettt!"
Kain tenda itu robek besar terbabat ujung pedang Kim Seng dan dari atas melayang turunlah tubuh seorang laki-laki muda yang tampan. Kim Seng yang masih berada di atas itu melanjutkan babatan pedangnya, kini ke arah tubuh yang melayang turun.
"Cringgg....!"
Dua pedang bertemu dan tangan Kim Seng tergetar. Laki-laki yang melayang turun itu dalam keadaan terjatuh dari atas masih mampu menangkis serangan Kim Seng, bahkan kini tubuhnya berjungkir balik ringan dan lincah sekali, meluncur cepat seperti burung terbang dan tahu-tahu telah berdiri di depan Maya.
Maya kaget bukan main. Inilah seorang lawan yang berat! Tak boleh disamakan dengan kepandaian para perwiranya atau bahkan kepandian Kim Seng sekalipun. Karena itu, ketika ia melihat Kim Seng dengan penasaran hendak menerjang orang itu ia memberi isyarat dengan matanya. Setiap gerak-gerik Maya dari gerak tangan, mulut dan mata, sudah dikenal benar oleh Kim Seng, maka isyarat mata itu sudah cukup baginya dan ia mundur dengan pedang di tangan.
Laki-laki itu dengan sikap angkuh dan sama sekali tidak mempedulikan sikap Kim Seng yang hendak menyerangnya tadi, kini menyarungkan pedangnya. Pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah Maya, kemudian dengan tenang sekali ia bertanya,
"Engkaukah yang bernama Maya?"
Maya sudah menyelidiki dengan pandang matanya dan sudah menilai laki-laki ini. Ilmu kepandaiannya tinggi dan pedangnya tadi hebat sekali, mengeluarkan cahaya kilat dan mempunyai wibawa menyeramkan. Laki-laki tampan ini agaknya amat percaya kepada kepandaiannya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ia menjawab, suaranya dingin,
"Akulah Panglima Wanita Maya yang memimpin Pasukan Maut ini!"
Tiba-tiba laki-laki itu tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha-ha! Sudah banyak aku mendengar tentang Pasukan Maut yang hebat dan terutama panglima wanitanya yang berilmu tinggi seperti dewi. Siapa kira bahwa memang wajahnya jelita seperti dewi. Maya...., Maya...., tadinya kukira mengenal nama ini.... hemm, apakah engkau puteri...."
Maya memotong dengan suara tajam seperti pedang menyambar,
"Seorang gagah tidak mengandalkan kepandaian bicara! Engkau siapakah dan mengapa engkau menyelundup seperti maling kesini?"
"Ha-ha-ha! Nama Maya itulah yang menarikku untuk menyelidiki, di samping nama Pasukan Maut yang terkenal! Aku bernama Can Ji Kun, dan aku sengaja datang hendak menyaksikan sendiri keadaan Pasukan Maut dan hendak menyaksikan sampai dimana kebenaran nama besar Maya yang katanya lihai seperti dewi!"
Hampir saja Maya berseru saking kagetnya. Kini ingatlah dia akan pemuda angkuh ini. Tentu saja dia mengenal seorang diantara murid Mutiara Hitam, bibinya! Dan pemuda itu masih ingat namanya, akan tetapi agaknya pangling karena dia kini telah menjadi seorang dara dewasa yang berpakaian panglima. Dia pun kini tidak merasa perlu lagi menyembunyikan keadaan dirinya karena apakah salahnya kalau diketahui bahwa dia adalah Puteri Khitan? Yang dipimpinnya adalah pasukan yang memberontak terhadap Kerajaan Sung.
"Can Ji Kun, kiranya engkau yang lancang masuk kesini. Bagaimana dengan keadaan bibiku?"
Mata Can Ji Kun terbelalak dan ia berseru,
"Aihhh! Kiranya benar engkau Maya yang dahulu itu? Ahhh...."
"Can Ji Kun, bagaimana kabarnya dengan bibiku Mutiara Hitam?"
Wajah yang tampan gagah itu menjadi muram dan ia menjawab dengan suara berduka,
"Subo.... Subo telah tewas di Kerajaan Mongol ketika beliau berusaha membalas kematian ayahmu. Abu jenazahnya dikirim oleh Raja Mongol dan telah dikubur di Bukit Merak, disamping kuburan Suhu...."
Wajah Maya berubah pucat dan kemudian merah sekali saking marahnya dan saking bencinya kepada orang Mongol.
"Jadi, Paman Tang Hauw Lam juga...."
Wajah Ji Kun menunduk dan ia mengangguk.
"Suhu.... Suhu.... meninggal dunia karena duka dan.... sakit...."
Maya mengira bahwa jawaban tersendat-sendat itu adalah karena duka, maka ia menghela napas. Barulah ia tahu bahwa para pembantunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh pertanyaan, agaknya terheran-heran mendengar percakapan itu, apalagi ketika mendengar pemimpin mereka menyebut "bibi" kepada pendekar sakti wanita Mutiara Hitam yang namanya tentu saja sudah mereka dengar. Melihat ini, Maya memandang mereka dan berkata,
"Tak perlu kusembunyikan lagi. Aku adalah Puteri Maya, puteri Kerajaan Khitan yang sudah hancur. Karena itulah maka aku memusuhi Kerajaan Sung, Kerajaan Yucen dan bangsa Mongol yang biadab! Adapun dia ini adalah Can Ji Kun, murid Mutiara Hitam."
Sebelas orang perwira itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Maya dengan penuh hormat dan kini mereka lebih bangga lagi menjadi pembantu-pembantu Puteri Maya, puteri Raja Talibu yang terkenal dan keponakan dari Mutiara Hitam!
"Maya, engkau kini telah menjadi seorang panglima yang terkenal. Hemm.... betapa aneh dan mengagumkan."
Maya mengerutkan kening. Dahulu ketika masih kecil, agaknya dia tentu akan ikut dengan bibinya Mutiara Hitam kalau saja disana tidak ada Ji Kun dan Yan Hwa yang dianggapnya angkuh dan tidak menyenangkan hatinya. Sampai sekarang ternyata Can Ji Kun masih seangkuh dulu.
"Can Ji Kun, setelah engkau tahu bahwa akulah yang menjadi panglima disini, lalu.... engkau mau apa?"
"Heh-heh-heh, tidak apa-apa. Tadinya aku tertarik sekali akan nama besar Panglima Maya dan ingin mengadu kepandaian, akan tetapi setelah ternyata bahwa hanya engkaulah sebenarnya orang itu, hemmm...., baiklah aku pergi saja!"
"Tahan!"
Maya membentak, menahan kemarahannya. Dia marah sekali akan sikap angkuh pemuda ini, akan tetapi betapapun juga, Ji Kun adalah murid bibinya, jadi masih dekat hubungannya dengan dirinya. Di samping itu, dia tadi melihat bahwa murid bibinya ini lihai. Kalau dia bisa menariknya menjadi pembantu alangkah baiknya, amat menguntungkan bagi terlaksananya cita-citanya.
Ji Kun yang sudah membalikkan tubuh itu berhenti dan menoleh.
"Engkau mau apa?" tanyanya, sikapnya congkak sekali.
"Can Ji Kun, tak baik membatalkan niat hati setengah jalan. Engkau menganggap aku tidak patut menjadi Panglima Pasukan Maut. Baiklah, mari kita berpibu, aku pun ingin sekali melihat sampai di mana engkau mewarisi ilmu kepandaian bibi yang amat hebat. Dan mari kita berjanji, Ji Kun. Kalau aku kalah dalam adu pibu ini, aku akan meninggalkan kedudukanku sebagai panglima dan akan memperdalam kepandaian sampai aku patut menjadi panglima pasukan ini. Sebaliknya, kalau engkau yang kalah, engkau harus mengakui aku sebagai panglimamu dan engkau menjadi seorang diantara pembantu-pembantuku. Bagaimana?"
"Li-ciangkun! Mana bisa diadakan peraturan ini? Li-ciangkun tidak mungkin akan meninggalkan Pasukan Maut!"
Kwa-huciang membantah kaget, juga para perwira yang lain menjadi gelisah, bahkan Kim Seng segera berkata,
"Mengapa Li-ciangkun melayani pengacau ini?"
Melihat para perwira mengkhawatirkan kekalahan Maya, Ji Kun yang memang berwatak angkuh dan percaya bahwa dia tentu akan menang dengan mudah, sudah berkata sambil tertawa,
"Sudah adil! Pertaruhan itu adil sekali. Maya, jangankan hanya engkau sendirian, biar dibantu sebelas orang perwiramu ini aku tentu akan menang!"
Yang mengagumkan adalah Kim Seng karena ilmu pedangnya menjadi makin hebat saja sehingga dalam latihan dengan kayu, ia sanggup menandingi pengeroyokan sepuluh orang perwira rekannya! Pemuda ini merasa berterima kasih sekali terhadap Maya yang dia anggap sebagai panglimanya, gurunya, dan orang yang paling dijunjung tinggi, dihormati dan dicintainya!
Akan tetapi pada malam ke empat, Cia Kim Seng menghadap Maya dan berkata lirih,
"Li-ciangkun, saya melihat berkelebatnya bayangan asing dan agaknya ada mata-mata menyelundup. Sudah saya cari, akan tetapi tidak dapat saya temukan. Karena khawatir maka saya datang menghadap dan melapor."
Sepasang alis Maya berkerut.
"Hemm, sungguh berani mati sekali! Mari kita cari dia sampai dapat. Kita geledah semua kemah. Dia harus dapat ditangkap hidup-hidup karena aku ingin tahu siapa yang menyuruhnya memata-matai keadaan kita."
Karena tidak ingin menimbulkan kekacauan dan kepanikan diantara para pasukan, diam-diam Maya bersama sebelas orang perwiranya mulai melakukan penggeledahan. Semua kemah dimasukinya, dan para perajurit yang mengira bahwa panglima mereka melakukan pemeriksaan seperti biasa, menyambut dengan hormat dan gembira karena kemana saja Maya datang, tentu akan terlepas kata-kata ramah terhadap semua perajurit sehingga mereka menjadi gembira dan bangga.
Akan tetapi, biarpun semua perkemahan telah dimasuki dan diperiksa, Maya dan para pembantunya tetap saja tidak dapat menemukan jejak mata-mata yang dicarinya. Maya mengerutkan alisnya. Apakah mata-mata itu sedemikian lihainya sehingga dapat memasuki perkemahan tanpa terlihat penjaga, bahkan tidak diketahui para perajurit yang demikian banyaknya?
Kalau dia mencampurkan diri dengan para perajurit, hal itu tidaklah mungkin karena para perajuritnya tentu akan mengenal orang asing yang menyelundup. Untuk itu mereka sudah cukup terlatih dan diantara para perajurit ada banyak macam kode rahasia yang hanya mereka ketahui sehingga penyelundupan orang luar tentu akan segera diketahui.
"Cia-ciangkun, jangan-jangan engkau hanya melihat bayangan burung saja," kata Kwa-huciang, kepala perwira pembantu utama Maya kepada perwira muda yang baru itu.
"Tak mungkin salah penglihatan Cia Kim Seng," bantah Maya mendahului sebelum pembantu mudanya yang keras hati itu tersinggung. "Mata-mata itu tentu amat cerdik dan kalau tidak salah dugaanku, saat ini tentu dia berada di dalam kemahku sendiri."
"Hahhh....?" Para perwira terkejut, juga Kim Seng memandang panglimanya dengan heran.
"Bagaimanakah Li-ciangkun menduga begitu?" tanya Kim Seng.
Maya tersenyum,
"Seorang mata-mata yang pintar akan memancing harimau keluar sarang. Setelah aku dan kalian keluar, tentu dia akan menggeledah kemahku, karena pekerjaan mata-mata tentulah menyelidiki keadaan panglima dari sebuah pasukan. Mari kita kesana!"
Akan tetapi ketika dengan bergegas mereka memasuki kemah besar yang menjadi tempat tinggal Maya, tidak terdapat perubahan dan tak tampak bayangan manusia. Para pengawal yang bertugas menjaga di luar pintu kemah, masih berdiri tegak dengan tombak di tangan, tanda bahwa mereka pun tidak melihat orang memasuki kemah itu.
Selagi para perwira mengerutkan alis dan memandang Maya penuh pertanyaan, panglima wanita itu menyuruh mereka diam, matanya agak terpejam, kulit di antara kulitnya berkerut tanda bahwa dia sedang mengerahkan seluruh perhatiannya.
Tiba-tiba wanita sakti ini berdongak memandang langit-langit tenda, kemudian memberi isyarat kepada Cia Kim Seng, menuding ke atas. Bekas penggembala domba ini memandang ke atas dan kalau tidak ditunjukkan oleh panglimanya, tentu dia tidak akan tahu.
Kini tampaklah betapa kain tenda di bagian itu bergoyang-goyang sedikit, seolah-olah ada seekor tikus atau kucing di atas sana! Akan tetapi dia tahu bahwa panglimanya takkan salah duga, tentu Si Mata-mata berada di atas itu. Ia mencabut pedangnya dan memandang Maya yang tersenyum mengangguk. Isyarat ini cukup bagi Kim Seng dan berserulah ia nyaring,
"Mata-mata keparat turunlah!" Bentaknya ini disusul loncatan tubuhnya ke atas, pedangnya membabat.
"Brettt!"
Kain tenda itu robek besar terbabat ujung pedang Kim Seng dan dari atas melayang turunlah tubuh seorang laki-laki muda yang tampan. Kim Seng yang masih berada di atas itu melanjutkan babatan pedangnya, kini ke arah tubuh yang melayang turun.
"Cringgg....!"
Dua pedang bertemu dan tangan Kim Seng tergetar. Laki-laki yang melayang turun itu dalam keadaan terjatuh dari atas masih mampu menangkis serangan Kim Seng, bahkan kini tubuhnya berjungkir balik ringan dan lincah sekali, meluncur cepat seperti burung terbang dan tahu-tahu telah berdiri di depan Maya.
Maya kaget bukan main. Inilah seorang lawan yang berat! Tak boleh disamakan dengan kepandaian para perwiranya atau bahkan kepandian Kim Seng sekalipun. Karena itu, ketika ia melihat Kim Seng dengan penasaran hendak menerjang orang itu ia memberi isyarat dengan matanya. Setiap gerak-gerik Maya dari gerak tangan, mulut dan mata, sudah dikenal benar oleh Kim Seng, maka isyarat mata itu sudah cukup baginya dan ia mundur dengan pedang di tangan.
Laki-laki itu dengan sikap angkuh dan sama sekali tidak mempedulikan sikap Kim Seng yang hendak menyerangnya tadi, kini menyarungkan pedangnya. Pandang matanya tidak pernah terlepas dari wajah Maya, kemudian dengan tenang sekali ia bertanya,
"Engkaukah yang bernama Maya?"
Maya sudah menyelidiki dengan pandang matanya dan sudah menilai laki-laki ini. Ilmu kepandaiannya tinggi dan pedangnya tadi hebat sekali, mengeluarkan cahaya kilat dan mempunyai wibawa menyeramkan. Laki-laki tampan ini agaknya amat percaya kepada kepandaiannya sendiri dan memandang rendah orang lain. Ia menjawab, suaranya dingin,
"Akulah Panglima Wanita Maya yang memimpin Pasukan Maut ini!"
Tiba-tiba laki-laki itu tertawa bergelak,
"Ha-ha-ha-ha! Sudah banyak aku mendengar tentang Pasukan Maut yang hebat dan terutama panglima wanitanya yang berilmu tinggi seperti dewi. Siapa kira bahwa memang wajahnya jelita seperti dewi. Maya...., Maya...., tadinya kukira mengenal nama ini.... hemm, apakah engkau puteri...."
Maya memotong dengan suara tajam seperti pedang menyambar,
"Seorang gagah tidak mengandalkan kepandaian bicara! Engkau siapakah dan mengapa engkau menyelundup seperti maling kesini?"
"Ha-ha-ha! Nama Maya itulah yang menarikku untuk menyelidiki, di samping nama Pasukan Maut yang terkenal! Aku bernama Can Ji Kun, dan aku sengaja datang hendak menyaksikan sendiri keadaan Pasukan Maut dan hendak menyaksikan sampai dimana kebenaran nama besar Maya yang katanya lihai seperti dewi!"
Hampir saja Maya berseru saking kagetnya. Kini ingatlah dia akan pemuda angkuh ini. Tentu saja dia mengenal seorang diantara murid Mutiara Hitam, bibinya! Dan pemuda itu masih ingat namanya, akan tetapi agaknya pangling karena dia kini telah menjadi seorang dara dewasa yang berpakaian panglima. Dia pun kini tidak merasa perlu lagi menyembunyikan keadaan dirinya karena apakah salahnya kalau diketahui bahwa dia adalah Puteri Khitan? Yang dipimpinnya adalah pasukan yang memberontak terhadap Kerajaan Sung.
"Can Ji Kun, kiranya engkau yang lancang masuk kesini. Bagaimana dengan keadaan bibiku?"
Mata Can Ji Kun terbelalak dan ia berseru,
"Aihhh! Kiranya benar engkau Maya yang dahulu itu? Ahhh...."
"Can Ji Kun, bagaimana kabarnya dengan bibiku Mutiara Hitam?"
Wajah yang tampan gagah itu menjadi muram dan ia menjawab dengan suara berduka,
"Subo.... Subo telah tewas di Kerajaan Mongol ketika beliau berusaha membalas kematian ayahmu. Abu jenazahnya dikirim oleh Raja Mongol dan telah dikubur di Bukit Merak, disamping kuburan Suhu...."
Wajah Maya berubah pucat dan kemudian merah sekali saking marahnya dan saking bencinya kepada orang Mongol.
"Jadi, Paman Tang Hauw Lam juga...."
Wajah Ji Kun menunduk dan ia mengangguk.
"Suhu.... Suhu.... meninggal dunia karena duka dan.... sakit...."
Maya mengira bahwa jawaban tersendat-sendat itu adalah karena duka, maka ia menghela napas. Barulah ia tahu bahwa para pembantunya memandang kepadanya dengan mata terbelalak penuh pertanyaan, agaknya terheran-heran mendengar percakapan itu, apalagi ketika mendengar pemimpin mereka menyebut "bibi" kepada pendekar sakti wanita Mutiara Hitam yang namanya tentu saja sudah mereka dengar. Melihat ini, Maya memandang mereka dan berkata,
"Tak perlu kusembunyikan lagi. Aku adalah Puteri Maya, puteri Kerajaan Khitan yang sudah hancur. Karena itulah maka aku memusuhi Kerajaan Sung, Kerajaan Yucen dan bangsa Mongol yang biadab! Adapun dia ini adalah Can Ji Kun, murid Mutiara Hitam."
Sebelas orang perwira itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Maya dengan penuh hormat dan kini mereka lebih bangga lagi menjadi pembantu-pembantu Puteri Maya, puteri Raja Talibu yang terkenal dan keponakan dari Mutiara Hitam!
"Maya, engkau kini telah menjadi seorang panglima yang terkenal. Hemm.... betapa aneh dan mengagumkan."
Maya mengerutkan kening. Dahulu ketika masih kecil, agaknya dia tentu akan ikut dengan bibinya Mutiara Hitam kalau saja disana tidak ada Ji Kun dan Yan Hwa yang dianggapnya angkuh dan tidak menyenangkan hatinya. Sampai sekarang ternyata Can Ji Kun masih seangkuh dulu.
"Can Ji Kun, setelah engkau tahu bahwa akulah yang menjadi panglima disini, lalu.... engkau mau apa?"
"Heh-heh-heh, tidak apa-apa. Tadinya aku tertarik sekali akan nama besar Panglima Maya dan ingin mengadu kepandaian, akan tetapi setelah ternyata bahwa hanya engkaulah sebenarnya orang itu, hemmm...., baiklah aku pergi saja!"
"Tahan!"
Maya membentak, menahan kemarahannya. Dia marah sekali akan sikap angkuh pemuda ini, akan tetapi betapapun juga, Ji Kun adalah murid bibinya, jadi masih dekat hubungannya dengan dirinya. Di samping itu, dia tadi melihat bahwa murid bibinya ini lihai. Kalau dia bisa menariknya menjadi pembantu alangkah baiknya, amat menguntungkan bagi terlaksananya cita-citanya.
Ji Kun yang sudah membalikkan tubuh itu berhenti dan menoleh.
"Engkau mau apa?" tanyanya, sikapnya congkak sekali.
"Can Ji Kun, tak baik membatalkan niat hati setengah jalan. Engkau menganggap aku tidak patut menjadi Panglima Pasukan Maut. Baiklah, mari kita berpibu, aku pun ingin sekali melihat sampai di mana engkau mewarisi ilmu kepandaian bibi yang amat hebat. Dan mari kita berjanji, Ji Kun. Kalau aku kalah dalam adu pibu ini, aku akan meninggalkan kedudukanku sebagai panglima dan akan memperdalam kepandaian sampai aku patut menjadi panglima pasukan ini. Sebaliknya, kalau engkau yang kalah, engkau harus mengakui aku sebagai panglimamu dan engkau menjadi seorang diantara pembantu-pembantuku. Bagaimana?"
"Li-ciangkun! Mana bisa diadakan peraturan ini? Li-ciangkun tidak mungkin akan meninggalkan Pasukan Maut!"
Kwa-huciang membantah kaget, juga para perwira yang lain menjadi gelisah, bahkan Kim Seng segera berkata,
"Mengapa Li-ciangkun melayani pengacau ini?"
Melihat para perwira mengkhawatirkan kekalahan Maya, Ji Kun yang memang berwatak angkuh dan percaya bahwa dia tentu akan menang dengan mudah, sudah berkata sambil tertawa,
"Sudah adil! Pertaruhan itu adil sekali. Maya, jangankan hanya engkau sendirian, biar dibantu sebelas orang perwiramu ini aku tentu akan menang!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar