Ads

Rabu, 30 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 090

Maya menyimpan pedangnya, membungkuk dan mengambil pedang Ji Kun. Dia mengamati pedang itu dan tangannya menggigil.

"Bukan main....!" serunya sambil menggeleng kepala.

Memegang pedang itu, ia merasa seolah-olah pedang itu bernyawa dan mengeluarkan hawa maut yang amat kejam!

Can Ji Kun membuka matanya dan melotot memandang Maya. Jelas terbayang pada pandang matanya bahwa ia khawatir sekali kalau pedangnya dirampas Maya. Melihat ini Maya lalu melangkah maju dan menyerahkan pedang itu kepada Ji Kun sambil berkata,

"Ji Kun, seorang murid Mutiara Hitam yang gagah perkasa tidak patut memiliki pedang seganas ini."

Bayangan khawatir lenyap dari wajah Ji Kun, terganti rasa lega ketika ia menerima pedangnya. Ia bangkit berdiri, menyimpan pedangnya dan berkata,

"Pedang ini adalah pedang Lam-mo-kiam pemberian Subo."

"Ahhh.... sungguh heran mengapa Bibi menyimpan pedang seperti itu," kata Maya perlahan, kemudian sambil menatap tajam wajah murid bibinya itu ia bertanya "Bagaimana sekarang, Ji Kun? Apakah engkau akan memenuhi janji dan membayar taruhanmu?"

Ji Kun membusungkan dadanya dan menjawab,
"Li-ciangkun, mungkin sekali aku bukan seorang murid yang baik dari Suhu dan Subo, akan tetapi aku tetap adalah seorang gagah yang tidak akan mengingkari janji. Biarlah mulai saat ini aku menjadi pembantumu."

Sebelas orang perwira bersorak dan menghampiri Ji Kun, berebut menjabat tangan pemuda itu saking girang hatinya. Ji Kun tersenyum masam, akan tetapi diam-diam kagum sekali kepada Maya dan harus ia akui bahwa kepandaiannya tidak dapat menandingi dara itu!

"Ji Kun, mulai sekarang engkau menjadi seorang perwira berpangkat huciang dan membantu Kwa-huciang. Dari mulai sekarang aku memanggilmu Can-huciang. Eh, aku teringat akan sumoimu, Ok Yan Hwa. Dimanakah dia sekarang?"

Diingatkan kepada Ok Yan Hwa, sumoinya yang juga menjadi kekasihnya, akan tetapi juga musuhnya (betapa aneh) itu, wajah yang tampan itu menjadi muram.

"Aku tidak tahu. Kami saling berpisah setelah Suhu meninggal dunia dan turun gunung."

Mungkin karena gemblengan pengalaman-pengalaman pahit, semuda itu Maya sudah dapat menjenguk isi hati orang dengan melihat wajahnya. Ia tahu bahwa tentu ada apa-apa antara kedua murid bibinya itu dan bahwa bicara mengenai diri Yan Hwa tidak menyenangkan hati pembantu barunya ini, maka dia tidak bertanya lebih banyak.






Pada keesokan harinya, terdengarlah berita mengejutkan yang disampaikan oleh utusan yang menyeberang perbatasan bahwa bala tentara Mancu yang berada di tapal batas, yang tadinya hendak menyatukan diri dengan pasukan-pasukan Bu-tai-ciangkun di pantai untuk bersama-sama menyerbu ke selatan, telah lebih dulu dihancurkan oleh bala tentara Kerajaan Cin, yaitu tentara Yucen! Bala tentara Mancu terpaksa mundur dan melarikan diri ke barat, terancam bahaya terjepit oleh pasukan-pasukan Yucen dan pasukan Sung yang bergerak dari selatan!

Mendengar ini, Maya mengumpulkan dua belas orang pembantunya.
"Karena sudah jelas bahwa barisan Mancu yang menjadi sekutu kita itu terancam oleh pihak Yucen dan Sung, terpaksa aku akan melanjutkan gerakan pasukan mengejar dan membantu mereka. Akan tetapi, kita harus mengirim laporan kepada Bu-tai-ciangkun yang masih menanti di pantai. Can-huciang, aku menugaskan engkau membawa lima puluh orang pasukan untuk menyampaikan laporan kepada Bu-tai-ciangkun!"

"Baik!"

Jawab Can Ji Kun yang segera mengumpulkan pasukan lima puluh orang, membawa surat laporan Maya dan berangkat pada hari itu juga ke timur. Maya lalu mengatur rencana pengejaran ke barat.

"Sayang kita tidak tahu pasti kemana mundurnya barisan Mancu dan diantara kita tidak ada yang mengenal baik daerah ini."

"Li-ciangkun, harap jangan khawatir. Aku mengenal daerah ini dengan baik dan kiranya tidak akan keliru kalau saya katakan bahwa barisan Mancu tentu mundur ke selatan."

Maya tercengang. Banyak hal yang aneh dan tidak tersangka-sangka dimiliki oleh bekas penggembala domba ini!

"Mengapa kau berpendapat demikian, Cia-huciang? Bukankah di selatan banyak terdapat barisan Sung?"

"Jalan mundur satu-satunya yang paling lemah dijaga musuh hanyalah ke selatan. Ke timur berhadapan dengan barisan Yucen yang kuat, demikian pula ke utara. Sedangkan di sebelah barat terdapat pasukan-pasukan Mongol dan Sung. Di selatan hanya terjaga oleh pasukan Sung, akan tetapi mengingat keadaan Sung yang makin lemah daripada menghadapi barisan Yucen atau Mongol lebih ringan menghadapi pasukan Sung. Maka kiranya tidak akan meleset jika kita perhitungkan bahwa barisan Mancu itu tentu mengundurkan diri ke selatan."

Maya mengangguk-angguk, diam-diam ia kagum karena tidak mengira bahwa Si Penggembala domba ini memiliki pemandangan yang luas dan cerdik.

"Baiklah, kalau begitu kita mengejar ke selatan."

Berangkatlah pasukan itu pada keesokan harinya, menuju ke selatan dan ketika para penyelidik memberi pelaporan bahwa memang benar ada tanda-tanda bahwa pasukan-pasukan Mancu mengundurkan diri ke selatan, Maya makin kagum terhadap pembantunya, Cia Kim Seng. Keadaan di sepanjang jalan amat sunyi, karena sebagian besar penduduk mengungsi dari daerah yang dilanda perang itu.

**** 090 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar