Kita kembali mengikuti perjalanan dan pengalaman Khu Siauw Bwee yang sudah lama kita tinggalkan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara perkasa itu mempelajari ilmu gerak tangan kilat dan gerak kaki kilat dari kakek yang kedua kakinya buntung dan lengan kirinya juga buntung.
Kedua ilmu silat yang amat aneh itu adalah ilmu rahasia dari kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung. Ilmu silat ini memang luar biasa dan kini Siauw Bwee telah mempelajari teorinya dari kakek itu, bahkan sekalian diajari cara pemecahannya sehingga tentu saja Siauw Bwee menjadi lihai bukan main. Kaki tangannya masih utuh dan ilmu-ilmu itu dimainkan oleh orang-orang cacad saja sudah begitu hebat, apalagi dimainkan oleh Siauw Bwee yang selain masih utuh kaki tangannya, juga telah memiliki dasar ilmu silat yang tingkatnya jauh lebih tinggi pula. Disamping ini masih mendapat ajaran rahasia pemecahan kedua ilmu itu!
"Bagus! Li-hiap telah menguasai kedua ilmu itu dengan sempurna! Andaikata. Aku sendiri yang melatih dengan kaki tangan utuh, belum tentu dapat sesempurna ini!"
Lu Gak, demikian nama kakek itu, tertawa puas. Akan tetapi Siauw Bwee sama sekali tidak merasa puas. Sudah sering kali ia minta agar kakek itu beristirahat, akan tetapi kakek itu berkeras, siang malam mengajarnya padahal keadaan kesehatan kakek itu buruk sekali! Kini, biarpun kakek itu tertawa, wajahnya amat pucat dan napasnya memburu.
"Lu-locianpwe, engkau terlalu memaksa diri. Sebaiknya sekarang beristirahat."
"Baiklah.... baiklah Khu-lihiap. Besok adalah hari pibu antara mereka, seperti biasa mengambil tempat di kuil tua dekat rawa, kuil bekas tempat tinggal nenek moyang kami kedua pihak dimana terdapat pula kuburan mereka berdua itu. Engkau wakililah aku Li-hiap, mendamaikan mereka dengan mengalahkan mereka. Kalau berhasil, barulah aku dapat mati dengan mata terpejam."
"Baik, Locianpwe, dan mudah-mudahan semua berjalan lancar," jawab Siauw Bwee dan hatinya lega menyaksikan kakek itu dapat tidur pulas di dalam pondok.
Kakek ini sebenarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, biarpun tidak berkaki dan hanya berlengan satu, namun tubuhnya dapat bergerak meloncat-loncat dengan tekanan tangannya ke atas tanah. Akan tetapi sayang, karena keadaan tubuhnya seperti itu dan mengandung penyakit berat pula, tentu saja kakek ini bukan lawan kaum kaki buntung dan lengan buntung yang saling bermusuhan itu.
Pada keesokan harinya, di depan kuil tua yang dimaksudkan, telah berkumpul seluruh anggauta kaum kaki buntung berjumlah tiga puluh enam orang dan kaum lengan buntung sebanyak tiga puluh orang. Mereka dipimpin oleh ketua masing-masing, yaitu Liong Ki Bok si kaki buntung dan The Bian Le si lengan buntung.
Seperti biasa setiap tahun masing-masing pihak mengajukan lima orang jago untuk diadu sampai mati! Pihak yang lebih banyak jumlahnya menang dianggap pemenang dan pibu akan dilanjutkan tahun depan, akan tetapi adakalanya pertempuran terjadi dengan hebat sehingga semua anggauta saling serang merupakan perang kecil yang akan merobohkan banyak korban di kedua pihak.
Kedua pihak telah mengajukan lima orang jago, termasuk ketua masing-masing. Akan tetapi, sebelum pertandingan dimulai, berkelebatlah bayangan orang dan Siauw Bwee telah meloncat ke tengah-tengah antara mereka! Dara ini datang bersama Lu Gak akan tetapi kakek itu hanya menonton dari tempat tersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia tidak mau memperlihatkan diri, khawatir kalau-kalau kemunculannya akan mengganggu tugas Siauw Bwee yang bagi kakek ini amatlah penting, merupakan tugas hidupnya!
Melihat munculnya Siauw Bwee, yang amat dikenal oleh kedua pihak karena dengan keduanya dara ini pernah bentrok, Kedua kaum cacad itu menjadi terkejut dan marah.
"Bocah pengecut!"
Bentak Liong Ki Bok yang merasa tertipu karena tadinya ia merasa menyesal telah "membunuh" gadis ini dan yang ternyata kemudian sama sekali tidak mati malah membikin kacau anak buahnya. Tadi ketika dalam pertemuan ini orang she Liong itu tidak melihat Cia Cen Thok yang ternyata selama bertahun-tahun itupun tidak mati, hatinya sudah menjadi lega. Siapa tahu sekarang dara yang ilmunya tinggi itu berada di situ!
"Mau apa engkau?"
Bentak The Bian Lee dan kedua orang ketua kaum buntung itu agak lega hatinya karena teguran-teguran mereka ini jelas membuktikan bahwa dara lihai itu tidak berpihak kepada siapapun.
Siauw Bwee memandang kedua orang ketua itu berganti-ganti, kemudian berkata dengan senyum mengejek dan suara bernada dingin,
"Kalian ini orang-orang tua, sudah bercacad tubuhnya akan tetapi masih selalu dikuasai nafsu mendendam yang membikin kalian seperti hidup di neraka dan selalu, haus darah dan kejam! Lupakah kalian bahwa sebenarnya kalian ini adalah keturunan saudara-saudara seperguruan dan kepandaian kalian berasal dari satu sumber? Mengapa permusuhan yang gila ini masih juga dilanjutkan?"
"Eh, bocah setan. Mau apa engkau mencampuri urusan kedua kaum yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirimu?" bentak Liong Ki Bok.
"Pergilah! Kami tidak mempunyai urusan denganmu!" bentak pula The Bian Le.
Siauw Bwee tertawa,
"Nah, nah! Sikap kalian ini saja sudah menunjukkan bahwa kalian tidak semestinya saling bermusuh. Begitu ada orang luar mencampuri, kalian bersikap seperti hendak bersatu! Alangkah akan baik dan kuatnya kalau kalian dapat bersatu, yang satu memenuhi kekurangan yang lain. Bukankah dengan hidup berdampingan secara damai kalian dapat saling tolong-menolong?"
"Banyak cerewet!" The Bian Le berteriak, "Urusan kami adalah urusan dendam turun-menurun, siapa juga tidak boleh mencegahnya atau coba mendamaikannya! Kalau salah satu kaum di antara kami musnah, barulah akan terhenti!"
"Wah, wah! Memang aku tahu bahwa ketua kaum lengan buntung lebih galak dan lebih fanatik. Banyak orang baik-baik menjadi korban karena permusuhan gila ini, bahkan baru masuk menjadi murid saja sudah terjadi kekejian, membuntungi lengan dan kaki! Sungguh kasihan mereka, sudah dibuntungi lengan atau kakinya, yang didapat hanya ilmu kanak-kanak yang hanya bisa dipakai saling hantam antara saudara sendiri!"
"Engkau terlalu menghina kami!" teriak Liong Ki Bok.
"Perempuan keparat!" The Bian Le membentak.
Siauw Bwee mengangkat kedua tangan ke atas.
"Disuruh damai secara baik-baik, tidak sudi, memang seharusnya dilakukan dengan kekerasan. Sekarang baik kita buktikan betapa kalian ini sia-sia saja mengorbankan kaki tangan untuk mempelajari ilmu kanak-kanak! Mari kita bertaruh. Aku seorang diri dengan tangan kosong melawan kalian dua orang ketua gila! Kalau aku kalah dan mati, sudahlah, kalian boleh melanjutkan permusuhan gila ini sampai dunia kiamat! Akan tetapi kalau kalian dengan ilmu kanak-kanak kalian kalah olehku, kalian harus menghentikan permusuhan ini dan merobah menjadi persaudaraan. Coba, pergunakan kedua ilmu kalian untuk bersatu mengalahkan aku kalau bisa!"
Dua orang ketua itu tertegun. Mereka sudah maklum akan kelihaian dara ini, akan tetapi melawan mereka berdua berarti mencari mati, karena kedua ilmu mereka itu isi-mengisi sehingga memperlengkap kekurangan mereka.
"Nona, jangan main-main!" teriak Liong Ki Bok.
"Engkau mencari mampus!" teriak pula The Bian Le.
"Gertak sambal! Ataukah gertakan untuk menutupi bahwa kalian jerih mengeroyok aku?"
"Keparat! Siapa takut?" Teriakan ini keluar berbareng dari mulut kedua orang ketua.
"Kalau begitu, kalian menerima taruhanku?" tanya Siauw Bwee dengan girang.
Kedua orang ketua ini sejenak saling pandang. Penghinaan dara itu membuat keduanya menjadi marah sekali, kemarahan yang amat besar sehingga pada saat itu mengatasi rasa saling benci mereka.
"Aku terima!" kata Liong KI Bok.
"Marilah!" kata The Bian Le.
"Bagus! Nah, seranglah!"
Siauw Bwee menantang sambil berdiri di tengah-tengah menghadapi mereka di kanan kiri.
Liong Ki Bok sudah menggerakkan kedua tangannya, yang kiri mencengkeram disusul totokan tongkat. Gerakannya cepat bukan main karena dia sudah menggunakan ilmu gerak tangan kilat. Sedangkan The Bian Le juga sudah menerjang maju dengan pukulan tangan kanan disusul tendangan yang dahsyat!
Namun, karena Siauw Bwee sudah paham betul akan gerakan mereka dan perkembangannya, tahu pula cara pemecahannya, dengan mudah ia mengelak sambil tertawa mengejek.
Makin diserang, makin cepat ia mengelak dan makin keras suara ketawanya sehingga kedua orang ketua itu menjadi makin marah. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga datangnya serangan tangan Liong Ki Bok seperti hujan dan kedua tangannya seperti berubah menjadi delapan buah saking cepatnya. Demikian pula, The Bian Le seolah-olah mempunyai delapan buah kaki yang menghujankan tendangan dengan gerak kaki yang indah dan rapi.
"Duk!"
Kedua orang ketua itu terhuyung-huyung karena secara aneh sekali tahu-tahu pangkal paha kaki tunggal Liong Ki Bok sudah kena ditendang Siauw Bwee, sedangkan pangkal lengan satu The Bian Le sudah kena ditepuk!
"Nah, bukankah ilmu kalian seperti ilmu kanak-kanak?"
Siauw Bwee mengejek dan cepat mengelak karena kedua orang itu sudah menerjang lagi dengan dahsyat dan penuh kemarahan.
Kini Siauw Bwee bersilat menurut petunjuk Kakek Lu Gak, mainkan dua macam ilmu silat yang merupakan pemecahan rahasia kedua ilmu mereka.
Mulailah keduanya terheran-heran dan terdesak hebat! Mereka segera mengenal ilmu mereka sendiri, dan kini bahkan serangan mereka seperti tetesan air yang menimpa lautan, amblas tanpa bekas, sebaliknya setiap serangan Siauw Bwee seolah-olah melumpuhkan semua perkembangan gerakan mereka!
Setelah bertanding selama seratus jurus, akhirnya dengan gerakan indah sekali Siauw Bwee berhasil menotok thian-hu-hiat mereka secara berbareng dengan kedua tangannya dan seketika kedua orang ketua itu mengeluh dan jatuh terduduk dalam keadaan lumpuh!
Siauw Bwee bertolak pinggang.
"Bagaimana, apakah kalian masih memiliki kegagahan untuk memenuhi janji?"
Liong Ki Bok dan The Bian Le tetap membisu, hanya menundukkan muka dengan alis berkerut. Siauw Bwee cepat menotok dan membebaskan mereka yang segera melompat bangun. Anak buah kedua kaum cacad itu menjadi marah dan mereka sudah bergerak hendak mengeroyok Siauw Bwee. Akan tetapi ketua mereka membentak mereka supaya mundur.
"Aku mengaku kalah. Nona lihai sekali, akan tetapi.... bagaimana Nona dapat mempelajari ilmu gerak tangan kilat kami?" kata Liong Ki Bok.
"Hal itu tidak perlu dibicarakan. Yang penting sekarang, kalian sudah kalah dan harus memenuhi janji untuk menghentikan permusuhan!"
Tiba-tiba The Bian Le berseru,
"Mari kita pulang! Biarlah sekali ini kami kaum lengan satu mengaku kalah. Sampai lain tahun!"
Dan ia sudah berlari pergi diikuti dua puluh sembilan orang anak buahnya, pergi dengan wajah muram dan penasaran!
"Kami memenuhi janji dan menghentikan pertempuran untuk kali ini!" kata pula Liong Ki Bok, yang juga berloncatan pergi diikuti semua anak buahnya.
Siauw Bwee tercengang dan diam-diam mengeluh. Celaka, usahanya itu sama sekali tidak berhasil. Hanya berhasil menghentikan pibu hari itu saja, tetapi sama sekali tidak berhasil menghentikan permusuhan di antara kedua kaum, tidak berhasil menghapus dendam di antara mereka. Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan keras dari arah tempat Kakek Lu Gak bersembunyi. Ia meloncat ke tempat itu dan melihat Lu Gak roboh dengan mata mendelik!
"Lu-locianpwe!"
Kedua ilmu silat yang amat aneh itu adalah ilmu rahasia dari kaum kaki buntung dan kaum lengan buntung. Ilmu silat ini memang luar biasa dan kini Siauw Bwee telah mempelajari teorinya dari kakek itu, bahkan sekalian diajari cara pemecahannya sehingga tentu saja Siauw Bwee menjadi lihai bukan main. Kaki tangannya masih utuh dan ilmu-ilmu itu dimainkan oleh orang-orang cacad saja sudah begitu hebat, apalagi dimainkan oleh Siauw Bwee yang selain masih utuh kaki tangannya, juga telah memiliki dasar ilmu silat yang tingkatnya jauh lebih tinggi pula. Disamping ini masih mendapat ajaran rahasia pemecahan kedua ilmu itu!
"Bagus! Li-hiap telah menguasai kedua ilmu itu dengan sempurna! Andaikata. Aku sendiri yang melatih dengan kaki tangan utuh, belum tentu dapat sesempurna ini!"
Lu Gak, demikian nama kakek itu, tertawa puas. Akan tetapi Siauw Bwee sama sekali tidak merasa puas. Sudah sering kali ia minta agar kakek itu beristirahat, akan tetapi kakek itu berkeras, siang malam mengajarnya padahal keadaan kesehatan kakek itu buruk sekali! Kini, biarpun kakek itu tertawa, wajahnya amat pucat dan napasnya memburu.
"Lu-locianpwe, engkau terlalu memaksa diri. Sebaiknya sekarang beristirahat."
"Baiklah.... baiklah Khu-lihiap. Besok adalah hari pibu antara mereka, seperti biasa mengambil tempat di kuil tua dekat rawa, kuil bekas tempat tinggal nenek moyang kami kedua pihak dimana terdapat pula kuburan mereka berdua itu. Engkau wakililah aku Li-hiap, mendamaikan mereka dengan mengalahkan mereka. Kalau berhasil, barulah aku dapat mati dengan mata terpejam."
"Baik, Locianpwe, dan mudah-mudahan semua berjalan lancar," jawab Siauw Bwee dan hatinya lega menyaksikan kakek itu dapat tidur pulas di dalam pondok.
Kakek ini sebenarnya memiliki ilmu kepandaian tinggi, biarpun tidak berkaki dan hanya berlengan satu, namun tubuhnya dapat bergerak meloncat-loncat dengan tekanan tangannya ke atas tanah. Akan tetapi sayang, karena keadaan tubuhnya seperti itu dan mengandung penyakit berat pula, tentu saja kakek ini bukan lawan kaum kaki buntung dan lengan buntung yang saling bermusuhan itu.
Pada keesokan harinya, di depan kuil tua yang dimaksudkan, telah berkumpul seluruh anggauta kaum kaki buntung berjumlah tiga puluh enam orang dan kaum lengan buntung sebanyak tiga puluh orang. Mereka dipimpin oleh ketua masing-masing, yaitu Liong Ki Bok si kaki buntung dan The Bian Le si lengan buntung.
Seperti biasa setiap tahun masing-masing pihak mengajukan lima orang jago untuk diadu sampai mati! Pihak yang lebih banyak jumlahnya menang dianggap pemenang dan pibu akan dilanjutkan tahun depan, akan tetapi adakalanya pertempuran terjadi dengan hebat sehingga semua anggauta saling serang merupakan perang kecil yang akan merobohkan banyak korban di kedua pihak.
Kedua pihak telah mengajukan lima orang jago, termasuk ketua masing-masing. Akan tetapi, sebelum pertandingan dimulai, berkelebatlah bayangan orang dan Siauw Bwee telah meloncat ke tengah-tengah antara mereka! Dara ini datang bersama Lu Gak akan tetapi kakek itu hanya menonton dari tempat tersembunyi di balik sebuah batu besar. Dia tidak mau memperlihatkan diri, khawatir kalau-kalau kemunculannya akan mengganggu tugas Siauw Bwee yang bagi kakek ini amatlah penting, merupakan tugas hidupnya!
Melihat munculnya Siauw Bwee, yang amat dikenal oleh kedua pihak karena dengan keduanya dara ini pernah bentrok, Kedua kaum cacad itu menjadi terkejut dan marah.
"Bocah pengecut!"
Bentak Liong Ki Bok yang merasa tertipu karena tadinya ia merasa menyesal telah "membunuh" gadis ini dan yang ternyata kemudian sama sekali tidak mati malah membikin kacau anak buahnya. Tadi ketika dalam pertemuan ini orang she Liong itu tidak melihat Cia Cen Thok yang ternyata selama bertahun-tahun itupun tidak mati, hatinya sudah menjadi lega. Siapa tahu sekarang dara yang ilmunya tinggi itu berada di situ!
"Mau apa engkau?"
Bentak The Bian Lee dan kedua orang ketua kaum buntung itu agak lega hatinya karena teguran-teguran mereka ini jelas membuktikan bahwa dara lihai itu tidak berpihak kepada siapapun.
Siauw Bwee memandang kedua orang ketua itu berganti-ganti, kemudian berkata dengan senyum mengejek dan suara bernada dingin,
"Kalian ini orang-orang tua, sudah bercacad tubuhnya akan tetapi masih selalu dikuasai nafsu mendendam yang membikin kalian seperti hidup di neraka dan selalu, haus darah dan kejam! Lupakah kalian bahwa sebenarnya kalian ini adalah keturunan saudara-saudara seperguruan dan kepandaian kalian berasal dari satu sumber? Mengapa permusuhan yang gila ini masih juga dilanjutkan?"
"Eh, bocah setan. Mau apa engkau mencampuri urusan kedua kaum yang sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan dirimu?" bentak Liong Ki Bok.
"Pergilah! Kami tidak mempunyai urusan denganmu!" bentak pula The Bian Le.
Siauw Bwee tertawa,
"Nah, nah! Sikap kalian ini saja sudah menunjukkan bahwa kalian tidak semestinya saling bermusuh. Begitu ada orang luar mencampuri, kalian bersikap seperti hendak bersatu! Alangkah akan baik dan kuatnya kalau kalian dapat bersatu, yang satu memenuhi kekurangan yang lain. Bukankah dengan hidup berdampingan secara damai kalian dapat saling tolong-menolong?"
"Banyak cerewet!" The Bian Le berteriak, "Urusan kami adalah urusan dendam turun-menurun, siapa juga tidak boleh mencegahnya atau coba mendamaikannya! Kalau salah satu kaum di antara kami musnah, barulah akan terhenti!"
"Wah, wah! Memang aku tahu bahwa ketua kaum lengan buntung lebih galak dan lebih fanatik. Banyak orang baik-baik menjadi korban karena permusuhan gila ini, bahkan baru masuk menjadi murid saja sudah terjadi kekejian, membuntungi lengan dan kaki! Sungguh kasihan mereka, sudah dibuntungi lengan atau kakinya, yang didapat hanya ilmu kanak-kanak yang hanya bisa dipakai saling hantam antara saudara sendiri!"
"Engkau terlalu menghina kami!" teriak Liong Ki Bok.
"Perempuan keparat!" The Bian Le membentak.
Siauw Bwee mengangkat kedua tangan ke atas.
"Disuruh damai secara baik-baik, tidak sudi, memang seharusnya dilakukan dengan kekerasan. Sekarang baik kita buktikan betapa kalian ini sia-sia saja mengorbankan kaki tangan untuk mempelajari ilmu kanak-kanak! Mari kita bertaruh. Aku seorang diri dengan tangan kosong melawan kalian dua orang ketua gila! Kalau aku kalah dan mati, sudahlah, kalian boleh melanjutkan permusuhan gila ini sampai dunia kiamat! Akan tetapi kalau kalian dengan ilmu kanak-kanak kalian kalah olehku, kalian harus menghentikan permusuhan ini dan merobah menjadi persaudaraan. Coba, pergunakan kedua ilmu kalian untuk bersatu mengalahkan aku kalau bisa!"
Dua orang ketua itu tertegun. Mereka sudah maklum akan kelihaian dara ini, akan tetapi melawan mereka berdua berarti mencari mati, karena kedua ilmu mereka itu isi-mengisi sehingga memperlengkap kekurangan mereka.
"Nona, jangan main-main!" teriak Liong Ki Bok.
"Engkau mencari mampus!" teriak pula The Bian Le.
"Gertak sambal! Ataukah gertakan untuk menutupi bahwa kalian jerih mengeroyok aku?"
"Keparat! Siapa takut?" Teriakan ini keluar berbareng dari mulut kedua orang ketua.
"Kalau begitu, kalian menerima taruhanku?" tanya Siauw Bwee dengan girang.
Kedua orang ketua ini sejenak saling pandang. Penghinaan dara itu membuat keduanya menjadi marah sekali, kemarahan yang amat besar sehingga pada saat itu mengatasi rasa saling benci mereka.
"Aku terima!" kata Liong KI Bok.
"Marilah!" kata The Bian Le.
"Bagus! Nah, seranglah!"
Siauw Bwee menantang sambil berdiri di tengah-tengah menghadapi mereka di kanan kiri.
Liong Ki Bok sudah menggerakkan kedua tangannya, yang kiri mencengkeram disusul totokan tongkat. Gerakannya cepat bukan main karena dia sudah menggunakan ilmu gerak tangan kilat. Sedangkan The Bian Le juga sudah menerjang maju dengan pukulan tangan kanan disusul tendangan yang dahsyat!
Namun, karena Siauw Bwee sudah paham betul akan gerakan mereka dan perkembangannya, tahu pula cara pemecahannya, dengan mudah ia mengelak sambil tertawa mengejek.
Makin diserang, makin cepat ia mengelak dan makin keras suara ketawanya sehingga kedua orang ketua itu menjadi makin marah. Gerakan mereka begitu cepatnya sehingga datangnya serangan tangan Liong Ki Bok seperti hujan dan kedua tangannya seperti berubah menjadi delapan buah saking cepatnya. Demikian pula, The Bian Le seolah-olah mempunyai delapan buah kaki yang menghujankan tendangan dengan gerak kaki yang indah dan rapi.
"Duk!"
Kedua orang ketua itu terhuyung-huyung karena secara aneh sekali tahu-tahu pangkal paha kaki tunggal Liong Ki Bok sudah kena ditendang Siauw Bwee, sedangkan pangkal lengan satu The Bian Le sudah kena ditepuk!
"Nah, bukankah ilmu kalian seperti ilmu kanak-kanak?"
Siauw Bwee mengejek dan cepat mengelak karena kedua orang itu sudah menerjang lagi dengan dahsyat dan penuh kemarahan.
Kini Siauw Bwee bersilat menurut petunjuk Kakek Lu Gak, mainkan dua macam ilmu silat yang merupakan pemecahan rahasia kedua ilmu mereka.
Mulailah keduanya terheran-heran dan terdesak hebat! Mereka segera mengenal ilmu mereka sendiri, dan kini bahkan serangan mereka seperti tetesan air yang menimpa lautan, amblas tanpa bekas, sebaliknya setiap serangan Siauw Bwee seolah-olah melumpuhkan semua perkembangan gerakan mereka!
Setelah bertanding selama seratus jurus, akhirnya dengan gerakan indah sekali Siauw Bwee berhasil menotok thian-hu-hiat mereka secara berbareng dengan kedua tangannya dan seketika kedua orang ketua itu mengeluh dan jatuh terduduk dalam keadaan lumpuh!
Siauw Bwee bertolak pinggang.
"Bagaimana, apakah kalian masih memiliki kegagahan untuk memenuhi janji?"
Liong Ki Bok dan The Bian Le tetap membisu, hanya menundukkan muka dengan alis berkerut. Siauw Bwee cepat menotok dan membebaskan mereka yang segera melompat bangun. Anak buah kedua kaum cacad itu menjadi marah dan mereka sudah bergerak hendak mengeroyok Siauw Bwee. Akan tetapi ketua mereka membentak mereka supaya mundur.
"Aku mengaku kalah. Nona lihai sekali, akan tetapi.... bagaimana Nona dapat mempelajari ilmu gerak tangan kilat kami?" kata Liong Ki Bok.
"Hal itu tidak perlu dibicarakan. Yang penting sekarang, kalian sudah kalah dan harus memenuhi janji untuk menghentikan permusuhan!"
Tiba-tiba The Bian Le berseru,
"Mari kita pulang! Biarlah sekali ini kami kaum lengan satu mengaku kalah. Sampai lain tahun!"
Dan ia sudah berlari pergi diikuti dua puluh sembilan orang anak buahnya, pergi dengan wajah muram dan penasaran!
"Kami memenuhi janji dan menghentikan pertempuran untuk kali ini!" kata pula Liong Ki Bok, yang juga berloncatan pergi diikuti semua anak buahnya.
Siauw Bwee tercengang dan diam-diam mengeluh. Celaka, usahanya itu sama sekali tidak berhasil. Hanya berhasil menghentikan pibu hari itu saja, tetapi sama sekali tidak berhasil menghentikan permusuhan di antara kedua kaum, tidak berhasil menghapus dendam di antara mereka. Tiba-tiba ia mendengar suara teriakan keras dari arah tempat Kakek Lu Gak bersembunyi. Ia meloncat ke tempat itu dan melihat Lu Gak roboh dengan mata mendelik!
"Lu-locianpwe!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar