Ads

Kamis, 31 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 092

Siauw Bwee cepat memeriksa keadaan kakek itu dan mendapat kenyataan bahwa kakek itu terserang jantungnya dan dalam keadaan pingsan. Dia lalu memondong tubuh yang hanya berlengan satu itu, membawanya lari kembali ke pondok Lu Gak. Kakek itu setelah sadar lalu mengeluh panjang dan menggeleng kepalanya.

"Keras kepala.... keras kepala mereka itu.... Li-hiap....!"

"Aku akan menghajar mereka, Locianpwe. Akan kupaksa mereka!"

Siauw Bwee berkata gemas, maklum bahwa kakek ini merasa berduka sekali ketika tadi menyaksikan betapa kedua kaum itu masih saja tidak mau menghentikan permusuhan mereka, berarti bahwa tugasnya telah gagal!

Akan tetapi, dengan napas terengah-engah kakek itu berkata,
"Percuma, Lihiap....! Ahh....! Kiranya hanya Tuhan saja yang akan dapat menggerakkan hati mereka dan membuka mata mereka bahwa semua permusuhan dan dendam itu amatlah tidak baik...."

"Tenanglah, Locianpwe. Yang paling penting Locianpwe memelihara kesehatanmu dulu, nanti perlahan-lahan kita mencari akal. Percayalah, aku akan membantumu."

"Aihh, kau baik sekali, Li-hiap. Akan tetapi mereka, aahhh...."

Dan kakek itu lalu menangis terisak-isak! Siauw Bwee menjadi terharu sekali dan dia tidak tega meninggalkan kakek itu yang telah menurunkan ilmu silat yang luar biasa kepadanya. Dengan sabar dia menghibur dan merawat kakek yang menderita sakit itu.

Tiga hari kemudian, selagi Siauw Bwee menggodok obat untuk Kakek Lu Gak, tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar pondok. Siauw Bwee segera meloncat keluar dan tampaklah semua anggauta kedua kaum bercacad itu berkumpul di luar pondok dan saling memaki,

"Sudah jelas betapa rendah dan curangnya Si Lengan Buntung!" teriak seorang nenek berkaki buntung sambil menudingkan tongkatnya ke arah kelompok lengan buntung yang memandang marah. "Siapa lagi kalau bukan kalian yang menculik ketua kami dengan bantuan gadis setan itu? Orang she Lu adalah seorang di antara kaummu, tentu membantu kalian!"

"Tutup mulutmu yang kotor!" bentak seorang kakek lengan buntung juga menudingkan telunjuk lengan tunggalnya kepada rombongan kaki buntung, "Gadis itu pernah berada di tempat kalian, tentu dia telah membantu kalian menculik ketua kami!"

Mendengar ini Siauw Bwee yang baru keluar berseru,
"Apa ini saling tuduh dan membawa-bawa aku?"

Semua orang menengok dan ketika melihat Siauw Bwee, seperti mendengar komando saja mereka kedua pihak telah menyerbu dan menyerang Siauw Bwee.

Dara perkasa ini terkejut dan heran akan tetapi juga marah. Tubuhnya berkelebat ke depan, menyambar-nyambar laksana burung walet menyambar sekumpulan laron sehingga terdengarlah orang-orang mengaduh disusul robohnya belasan orang berturut-turut!

Untung bagi mereka bahwa Siauw Bwee masih menaruh kasihan, menganggap mereka itu orang-orang keras kepala yang bodoh dan dimabok dendam, maka dia masih menahan tenaganya dan hanya merobohkan mereka tanpa membunuh.

"Tahan.... Apakah kalian telah gila mengeroyok Khu-lihiap? Berhenti semua....!"

Siauw Bwee melompat kedekat pintu, berdiri di sebelah Lu Gak yang telah duduk di depan pintu, menggerak-gerakkan tangan kanannya dengan marah. Semua orang kedua kaum cacad itu memandang Lu Gak dan seorang kakek lengan buntung berkata,

"Lu-supek, Suhu The Bian Le telah diculik orang. Siapa lagi yang mampu menculik Suhu kalau bukan Nona ini?"

"Juga ketua kami diculik oleh Nona ini!" berkata seorang tokoh kaki buntung.






Lu Gak menggeleng-gelengkan kepalanya,
"Hemm.... kalian sudah gila semua, gila oleh dendam permusuhan sehingga melontarkan fitnah dan tuduhan secara membabi-buta. Apakah kalian melihat sendiri Khu-lihiap menculik kedua orang ketua kalian?"

"Kemarin pagi ketua kami menyatakan hendak mengadakan pertandingan pibu secara diam-diam di dekat rawa melawan ketua lengan buntung," demikian kakek yang berkaki buntung bercerita, "Kami dilarang turun karena pibu itu merupakan pibu perorangan diantara kedua ketua, dan dilakukan diam-diam agar jangan diketahui oleh Nona ini yang melarang pibu. Akan tetapi sampai sehari ketua kami tidak pulang, maka terpaksa kami menyusul ke rawa. Pada waktu senja itu, ketika kami tiba di dekat rawa, kami bertemu rombongan lengan buntung yang juga mencari ketua mereka. Akan tetapi kedua pihak kami hanya mendapatkan lengan baju yang buntung dari ketua lengan buntung dan tongkat ketua kami. Karena tidak kelihatan mayat di situ, berarti ketua kami diculik dan siapa lagi yang sanggup menculiknya kalau bukan Nona ini?"

Tiba-tiba Siauw Bwee melangkah maju dan orang-orang kedua kaum itu otomatis melangkah mundur. Mereka jerih terhadap Siauw Bwee yang luar biasa lihainya.

"Permusuhan di antara kalian telah menimbulkan banyak malapetaka. Lihat Lu-locianpwe ini, karena dialah satu-satunya orang yang sadar dan waras di antara kedua kaum, dia berusaha mendamaikan dan apa yang kalian perbuat terhadapnya? Membuntungi kedua kakinya! Padahal dialah yang paling tepat memimpin kalian dari dua kaum ke arah jalan yang benar penuh damai.

Sekarang, ketua kalian lenyap diculik orang, dan kalian datang pula menuduh Lu-locianpwe dan aku! Hemm, kalau tidak ingat betapa besar rasa sayang Locianpwe ini kepada kedua kaum yang gila, agaknya aku akan senang untuk membunuh kalian semua seperti membasmi lalat-lalat busuk yang hanya mengotori dunia! Sekarang agaknya Thian sendiri yang menghukum kalian sehingga ketua kalian lenyap diculik orang. Apakah kalian belum juga sadar? Kalau aku berjanji untuk membantu kalian mencari ketua kalian, apakah kalian suka bersumpah untuk menghapus permusuhan dan bekerja sama membantu aku mencari mereka?"

Orang-orang kedua rombongan saling pandang. Yang fanatik dimabok dendam masih ragu-ragu.

"Ingat, orang yang dapat menculik ketua-ketua kalian tentu berkepandaian tinggi. Aku akan berusaha mencarinya dan melawannya untuk menolong ketua kalian, Akan tetapi bersumpahlah lebih dulu bahwa semenjak saat ini, semua dendam di antara kalian telah habis dan kalian tidak akan saling bermusuhan lagi, bagaimana, sanggupkah?"

Hening sejenak dan terdengar mereka semua berbisik -bisik. Kemudian, kakek kaki buntung memelapor teman-temannya,

"Kami pihak kaum kaki buntung bersumpah, dan sanggup asal ketua kami diselamatkan!"

Siauw Bwee tersenyum. Memang pihak kaki buntung belum segila pihak lengan buntung. Maka ia bertanya,

"Bagaimana dengan kaum lengan buntung? Kalau tidak mau aku hanya akan mencari dan menyelamatkan Liong Ki Bok ketua kaki buntung saja!"

"Kami.... kami sanggup dan bersumpah untuk menghabiskan permusuhan asal ketua kami diselamatkan!" Akhirnya nenek lengan buntung berseru.

Siauw Bwee masih belum puas. Dia maklum betapa hebat dendam dan permusuhan diantara mereka dan siapa tahu kalau nanti ketua mereka telah berada di tengah mereka, permusuhan akan dilanjutkan.

"Bagaimana kalau kelak ternyata bahwa kedua ketua kalian masih tidak mau berdamai dan melanjutkan permusuhan?"

Hening pula sejenak dan tiba-tiba terdengarlah Kakek Lu Gak yang sejak tadi mendengarkan penuh perhatian berkata,

"Mengapa kalian ragu-ragu? Begitu bodohkah kalian menaati kehendak ketua kalian yang sudah gila? Kalau ternyata mereka masih nekat saling bermusuhan dan tidak menaati janji dengan Khu-lihiap, kita hancurkan saja mereka yang menjadi sarang dan bibit permusuhan."

"Akurr....!" Kini semua anggauta kedua kaum itu berteriak.

Wajah Siauw Bwee berseri,
"Kalau begitu, marilah. Bawa aku ke tempat mereka berdua lenyap meninggalkan lengan baju dan tongkat!"

Berangkatlah mereka menuju ke rawa dimana dahulu Siauw Bwee hampir celaka dikeroyok burung-burung liar. Ketika mereka tiba di tepi rawa dimana mereka menemukan tongkat Liong Ki Bok dan lengan baju The Bian Le, Siauw Bwee memandang ke sekitarnya dan dia mengerutkan kening.

Rawa itu amat luas dan tidak tampak tempat yang kiranya dapat dipergunakan sebagai tempat tinggal orang yang menculik kedua orang ketua itu. Dia merasa heran dan menduga-duga. Kalau benar dua orang itu diculik, tentu tidak disembunyikan di rawa ini, melainkan dibawa ke lain tempat.

Tempat terbuka. luas seperti rawa ini, mana mungkin dipakai menawan orang? Dia memandang lagi ke sekeliling dan diam-diam bergidik. Tempat ini merupakan tempat sarang maut dan teringatlah penuh kengerian akan dua orang temannya yang juga melarikan diri cerai-berai ketika dikeroyok burung, yaitu Cia Cen Thok si bekas "mayat hidup" dan pemuda Co-bi-san yang gagah, Hui-eng Liem Hok Sun. Tentu mereka itu telah tewas dimakan burung atau tenggelam di dalam rawa atau.... dikeroyok ular. Siauw Bwee bergidik.

"Li-hiap, kemana sekarang kita mencari mereka?"

Tiba-tiba nenek lengan buntung bertanya dan semua orang kini memandang kepada Siauw Bwee.

Siauw Bwee menjadi bingung, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Tiba-tiba Kakek Lu Gak yang juga ikut bersama mereka yang sejak tadi mengerutkan alisnya dan memandangi daerah rawa yang luas, berkata,

"Ahh, aku tahu! Tidak salah lagi....!"

Semua orang kini memandang kakek itu dan Siauw Bwee bertanya,
"Dimana mereka menurut pendapatmu, Locianpwe?"

Semua orang diam mendengarkan jawaban kakek itu,
"Kedua orang sute itu kalau diculik orang tentu disembunyikan di suatu tempat. Rawa ini tak mungkin dipergunakan untuk maksud itu dan satu-satunya tempat yang paling tepat tentulah di kuil tua!"

Orang-orang kedua kaum cacad itu saling pandang dan agaknya mereka tidak percaya, bahkan mulai kelihatan murung dan kecewa karena sesungguhnya mereka tidak suka datang ke tempat itu, kecuali jika diadakan pibu! Namun, melihat Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak pergi menuju ke kuil tua, mereka mengikuti dari belakang.

"Lihat itu....!”

Siauw Bwee berseru ketika kuil itu sudah tampak, menuding ke arah benda-benda beterbangan di atas kuil.

"Kelelawar-kelelawar siang!"

Anggauta kedua rombongan berteriak kaget dan seketika menghentikan langkah. Akan tetapi Siauw Bwee dan Kakek Lu Gak sudah cepat bergerak ke arah kuil. Kedua rombongan maju pula mengikuti, akan tetapi dengan wajah takut-takut.

Siauw Bwee lebih dulu tiba di kuil dan cepat memasuki kuil itu terus ke ruangan belakang yang menembus ke halaman belakang yang penuh rumput. Dan tampaklah pemandangan yang mengejutkan hatinya. Dua orang kakek itu, Liong Ki Bok dan The Bian Le, rebah telentang di atas rumput, agaknya terluka dan tertotok, terbelalak memandang ke arah ratusan kelelawar yang beterbangan di atas dan mengeluarkan suara seperti sekumpulan anjing dan kera berkelahi, siap untuk menerjang kedua orang kakek yang tidak berdaya itu!

Melihat ini, Kakek Lu Gak yang dengan terengah-engah sudah datang pula, cepat mengeluarkan suara melengking dari kerongkongannya. Mendengar ini, Siauw Bwee teringat dan melihat kakek itu dengan susah payah mengerahkan tenaga khi-kang, ia lalu mengeluarkan lengking yang amat tinggi dan mengandung getaran hebat.

Mendengar itu kelelawar-kelelawar menjadi panik dan cepat melarikan diri dengan terbang membumbung tinggi sambil cecowetan. Makin lama kelelawar-kelelawar itu makin bingung, bahkan ada yang meluncur jatuh karena tidak kuat diserang suara melengking yang begitu dahsyatnya.

Tiba-tiba di luar kuil terdengar suara tertawa-tawa disusul suara teriakan-teriakan kesakitan dan suara gedebak-gedebuk orang berkelahi.

"Locianpwe, harap menjaga agar binatang-binatang jahat itu tidak turun lagi, akan tetapi tidak perlu memaksa diri. Aku akan melihat keluar!"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar