Ads

Jumat, 01 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 093

Tubuh dara perkasa itu sudah berkelebat keluar kuil dan apa yang dilihatnya membuat ia terbelalak keheranan. Puluhan orang-orang anggauta kaki buntung dan lengan buntung itu sedang diamuk oleh dua orang yang tertawa-tawa dan gerakannya aneh serta lihai bukan main! Sudah belasan orang anggauta kedua kaum itu roboh tewas, banyak pula yang terluka dan kedua orang itu mengamuk sambil tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha! Aku adalah raja rawa! Lebih banyak lagi korban untuk dipersembahkan dewa-dewa kelelawar!"

Teriak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan hanya bercawat saja, tubuhnya penuh lumpur.

"Ha-ha-ha! Benar, lebih banyak lebih baik menemani dua orang kakek! Ha-ha-ha, aku adalah pangeran rawa-rawa!"

Siauw Bwee menahan napas melihat orang ke dua itu, yang pakaiannya robek-robek tidak karuan hampir telanjang dan seperti orang pertama rambutnya riap-riapan tubuhnya penuh lumpur dan mata mereka itu merah dan liar berputaran. Akan tetapi ilmu kepandaian mereka luar biasa sekali. Mereka bersilat seperti orang ngawur saja akan tetapi setiap tangan mereka bertemu dengan anggauta-anggauta kedua kaum yang mengeroyok, tentu lawan roboh dan tewas!

"Cia Cen Thok, Liem Hok Sun ....!" Siauw Bwee berteriak dan meloncat ke tengah pertempuran. "Semua orang mundur, jangan melawan mereka!"

Mendengar seruan ini dan karena memang takut dan gentar menghadapi kehebatan dua orang gila itu, anak buah kedua kaum cacad itu cepat mengundurkan diri sehingga kini hanya Siauw Bwee saja yang berhadapan dengan dua orang gila. ia menoleh dan berkata kepada orang-orang itu.

"Ketua kalian selamat, di halaman belakang!" Mendengar ini, semua orang lari memasuki kuil.

"Cia Cen Thok, Liem Hok Sun, apa yang kalian lakukan ini?"

Siauw Bwee memberanikan diri menegur dengan hati gentar dan ngeri karena dia dapat menduga bahwa kedua orang ini sudah tidak waras lagi dan tidak normal.

"Ha-ha-ha!" Kedua orang itu tertawa-tawa dan menudingkan telunjuk mereka ke muka Siauw Bwee.

"Cia Cen Thok! Liem Hok Sun! Apakah kalian tidak mengenal aku lagi? Aku Khu Siauw Bwee!"

"Ha-ha-ha! Korban lunak untuk para dewa kelelawar!"

Tiba-tiba Cia Cen Thok yang tertawa-tawa itu menyerang hebat sehingga Siauw Bwee cepat mengelak. Dari tangan Si Bekas Mayat Hidup itu tercium bau amis. Tangan beracun! Bahkan tubuh mereka semua beracun! Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kedua orang ini telah berhasil menyelamatkan diri dari pengeroyokan burung, akan tetapi agaknya menjadi korban gigitan kelelawar-kelelawar itu sehingga menjadi gila dan selain gila tubuh mereka menjadi beracun! Dia tidak dapat membujuk lagi karena kini dua orang gila itu telah mengeroyoknya dengan gerakan-gerakan aneh dan dahsyat sekali!

Pada saat Siauw Bwee mengelak dan mengandalkan gin-kangnya agar jangan sampai kulit tubuhnya tersentuh tangan-tangan beracun itu, para anggauta kedua kaum telah memapah keluar ketua mereka, mengganti pakaian mereka dan kini mereka semua berdiri di luar kuil menonton pertandingan yang dahsyat mengerikan itu. Mereka tidak membantu karena ketua mereka berkata,

"Dua orang itu korban kelelawar, tubuh mereka beracun dan sekali sentuh saja akan cukup menularkan kegilaan mereka!"

Siauw Bwee harus menggunakan seluruh kepandaiannya menghadapi pengeroyokan yang amat hebat itu. Yang menyulitkannya adalah bahwa dia tidak tega menurunkan pukulan maut karena maklum bahwa dua orang itu menyerangnya dalam keadaan tidak sadar. Betapa mungkin dia tega untuk membunuh mereka? Inilah yang menyulitkan, karena kedua orang itu menyerangnya dengan nafsu membunuh, setelah menjadi korban gigitan kelelawar dan menjadi gila, tidak hanya tubuh mereka beracun, juga gerakan mereka menjadi aneh dan mereka menjadi berlipat kali lebih lihai daripada sebelum gila.

Bukan main ramai dan serunya pertandingan itu. Biarpun Siauw Bwee memiliki gerakan yang ringan dan cepat sekali, akan tetapi sambaran tangan kedua orang gila itu telah membuat beberapa bagian pakaiannya robek-robek, bahkan pundak kirinya telah terserempet cakaran tangan Hok Sun sehingga mengeluarkan darah.






Rasa gatal dan panas pada pundaknya membuat Siauw Bwee maklum bahwa dia telah terkena racun. Terpaksa dia harus mengerahkan sin-kangnya dan dengan hawa murni itu dia mendesak hawa beracun di pundaknya sehingga tidak menjalar lebih luas. Ketika ia agak lengah karena melirik ke arah pundak kirinya, tiba-tiba gerakan aneh dari Cia Cen Thok dengan tendangan yang merupakan jurus gerakan kaki kilat mengenai paha kanannya.

"Desss!"

Tubuh Siauw Bwee terlempar dan jatuh bergulingan di atas tanah! Dua orang gila itu terkekeh-kekeh dan keduanya menubruk tubuh Siauw Bwee dengan gerakan seperti dua ekor harimau memperebutkan seekor kelinci. Siauw Bwee merasa pahanya panas sekali, cepat ia menggunakan sin-kang melindungi darahnya dan melihat tubrukan dua orang itu, ia mulai menjadi gemas, gila atau tidak, mereka itu adalah dua orang lawan yang berbahaya dan kalau tidak dia robohkan, tentu akhirnya dia sendiri yang celaka. Karena itu, melihat mereka menubruk maju Siauw Bwee mengerahkan sin-kangnya dan menyambut tubuh mereka dengan tendangan kedua kakinya!

"Bukk! Bukk!"

Dua orang gila itu berteriak seperti binatang buas, tubuh mereka terlempar ke belakang dan mereka bergulingan menekan perut yang rasanya seperti diremas-remas! Mereka kini meringis dan Siauw Bwee sudah melompat bangun, kepalanya pening akibat bau racun dan tubuhnya agak terhuyung.

Akan tetapi hatinya merasa kasihan sekali melihat dua bekas lawan yang gila itu meraung-raung kesakitan. Namun, kedua orang itu kini sudah bangkit lagi dan dengan gerakan buas telah menyerangnya.

Siauw Bwee terkejut. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan celaka. Dia harus membagi sin-kang untuk melindungi tubuhnya dari kedua lukanya. Luka di kulit pundak dan kulit pahanya. Tendangan Cen Thok tadi merobek celananya di paha sahingga kulit pahanya terkoyak dan keracunan pula bertemu dengan kaki Cen Thok! Kini melihat kedua orang gila itu sudah menyerbu lagi, ia menguatkan hatinya, menggunakan Swat-im Sin-jiu mendorong ke depan.

Tubuh kedua orang gila itu seperti disambar petir. Mereka terjengkang, muka mereka menjadi biru, tubuh mereka menggigil dan mereka bergulingan sampai jauh kemudian berhasil merangkak bangun dan melarikan diri sambil berteriak-teriak! Siauw Bwee terhuyung-huyung. Seorang nenek kaki buntung dan seorang anggauta lengan buntung cepat menolongnya, memegang kedua lengannya menuntunnya memasuki kuil tua.

"Lepaskan aku...."

Siauw Bwee berkata, kemudian dia duduk bersila di ruangan kuil, memejamkan matanya dan tidak bergerak-gerak.

Para anggauta kedua kaum itu mengerti bahwa Siauw Bwee sedang bersamadhi menghimpun tenaga dan hawa murni untuk mengobati luka-lukanya dan mengusir racun, maka Liok Ki Bok dan The Bian Le memberi isyarat kepada semua anak buahnya untuk meninggalkan Siauw Bwee.

Mereka pergi ke ruangan depan dimana mereka bercakap-cakap dari hati ke hati, merasa bersatu dan lenyaplah rasa permusuhan di antara mereka setelah kedua pihak merasa yakin bahwa nona pendekar yang sakti itu sampai hampir mengorbankan nyawa karena permusuhan mereka dan demi untuk mendamaikan mereka!

Mereka tidak mau meninggalkan Siauw Bwee dan beberapa kali kedua orang ketua itu menjenguk dan pergi lagi ketika melihat Siauw Bwee masih tetap bersamadhi. Malam tiba dan para anggauta kedua kaum itu menyalakan lampu dan membersihkan ruangan kuil tua yang dahulu menjadi tempat tinggal nenek moyang mereka yang saling bermusuhan.

Kini tampaklah suasana yang mengharukan dimana seorang kaki buntung dan seorang lengan buntung bekerja sama membersihkan lantai dan menyapu halaman kuil! Bahkan kedua orang ketua mereka, dalam suasana yang ramah-tamah, saling membicarakan kedua ilmu mereka, membuka rahasia gerak kilat masing-masing!

Setelah malam tiba dan lampu penerangan dipasang, Siauw Bwee membuka matanya. Racun dari luka di pundak dan pahanya telah dapat ia usir bersih, akan tetapi tubuhnya menjadi lemah karena ia terlampau banyak mengerahkan tenaga untuk usaha pengusiran racun-racun berbahaya itu dan ketika ia bangkit, ia mengeluh dan terhuyung. Kemudian dengan terpincang-pincang ia dipapah dua orang anggauta kaki buntung dan lengan buntung.

"Mana kedua ketua kalian?" tanyanya ketika ia dipapah keluar.

Kedua orang kakek itu sudah menyambutnya dengan wajah berseri dan ketika melihat Siauw Bwee, mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dara perkasa itu!

"Terima kasih kami haturkan kepada Li-hiap yang sudah menolong kami!"

Kata The Bian Le yang berlutut dan mengangkat sebelah tangannya ke depan dada sebagai tanda penghormatan.

"Terima kasih sekali, terutama karena Li-hiap telah berhasil mendamaikan kami. Kami telah bersumpah untuk mengubur semua dendam permusuhan dan mulai saat ini, kedua kaum kami bersatu sebagai saudara-saudara seperguruan," kata Liong Ki Bok.

Bukan main girangnya hati Siauw Bwee. Tidak sia-sialah usahanya sekali ini, biarpun ditebusnya dengan bahaya maut yang mengancam nyawanya. Ia girang karena mengingat betapa akan bahagianya rasa hati Kakek Lu Gak. Ia menoleh ke kanan kiri dan bertanya,

"Mana dia?"

Dua orang ketua itu saling pandang,
"Siapakah yang Li-hiap cari?" tanya Liong Ki Bok.

"Hemmm, betapa kalian telah melupakan orang yang paling berjasa dalam usaha mendamaikan kalian! Mana Locianpwe Lu Gak?"

"Ahh....!" Barulah semua orang teringat akan tetapi ketika dicari kakek itu tidak tampak.

"Lekas, jemput dia di pondoknya!"

Siauw Bwee yang masih lemah dan kakinya pincang itu menyuruh mereka karena dia sendiri masih terlalu lemah. Dua orang kakek itu cepat pergi sendiri dan tak lama kemudian mereka datang dengan wajah berduka sambil memanggul tubuh yang hanya berlengan satu dan yang sudah tak bernyawa itu!

Hati yang duka dari Siauw Bwee berubah terharu dan juga lega ketika ia melihat wajah jenazah Kakek Lu Gak. Wajah itu berseri, mulutnya tersenyum dan matanya terpejam. Agaknya saking girangnya menyaksikan kedua kaum itu berdamai kakek ini pulang dengan hati girang dan rasa girang yang berlebihan menyerang jantungnya dan membuatnya mati dalam keadaan penuh bahagia!

Jenazah Kakek Lu dikubur di halaman kuil itu dan diberi batu nisan yang megah, Siauw Bwee berkata dalam pesannya ketika ia hendak pergi setelah lukanya sembuh,

"Kuharap saja kalian akan dapat mempertahankan perdamaian ini dan tidak lagi memupuk permusuhan dan membuntungi kaki dan lengan orang, dan anggaplah kuburan Lu-locianpwe sebagai lambang perdamaian abadi."

Siauw Bwee diantar oleh semua anak buah kedua kaum yang kini telah bersatu itu, diberi pakaian, kuda dan bekal secukupnya. Kedua ketua itu berlinang air mata ketika Siauw Bwee melambaikan tangan sebagai ucapan selamat tinggal, meninggalkan tempat yang takkan dapat ia lupakan itu karena di situ dia telah mengalami hal-hal yang hebat.

Setelah meninggalkan tempat itu, Siauw Bwee melakukan perjalanan ke selatan mencari ibunya. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa hancur hatinya ketika mendengar berita dari seorang perwira Sung bekas sahabat ayahnya bahwa ibunya yang dahulu melarikan diri mengungsi itu, telah meninggal dunia karena sakit sesudah mendengar bahwa suaminya gugur.

Siauw Bwee sempat mengunjungi kuburan ibunya, bahkan dia berkabung dan menangisi kuburan ibunya di dusun sunyi sampai beberapa hari, kemudian karena mendengar keterangan bahwa musuh besarnya, Suma Kiat kini sedang memimpin barisan besar ke utara untuk melawan para pemberontak dan pasukan-pasukan Mancu di perbatasan utara, dia lalu melanjutkan perjalanannya menyusul ke utara.

Kebenciannya terhadap musuh besar itu meningkat karena dia menganggap bahwa kematian ibunya pun disebabkan oleh Suma Kiat! Dara yang hatinya merana dan setiap saat teringat dengan hati penuh rindu kepada suhengnya, Kam Han Ki, kini melakukan perjalanan dengan hati mengandung dendam besar, membuatnya menjadi pendiam dan kurang gembira.

**** 093 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar