Ads

Jumat, 01 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 094

Kota-kota dan dusun-dusun daerah utara amat sunyi karena sebagian besar penduduknya lari mengungsi menjauhi pertempuran. Namun, banyak juga yang tidak pergi mengungsi karena selain tidak tahu harus pergi kemana, juga mereka merasa sayang untuk meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka. Ada pula yang menyuruh keluarganya saja pergi mengungsi.

Karena banyak warung, toko dan restoran tutup, maka bagi mereka yang berani membuka restoran dan toko merupakan usaha yang amat baik dan menguntungkan. Warung-warung nasi selalu ramai, akan tetapi tidak terpelihara baik-baik karena tempat itu sewaktu-waktu kalau terjadi perang harus ditinggalkan. Meja-meja dan bangkunya butut, tembok-tembok rumahnya tidak dikapur dan makanan yang disediakan pun amat sederhana, walaupun harganya sama sekali tidak sederhana, melainkan harga pukulan!

Bagi restoran-restoran di dusun-dusun, yang menjadi langganan mereka adalah tentara-tentara yang kebetulan pasukannya singgah di situ dan yang membuat perkemahan dekat dusun itu. Para perajurit yang makan-makan di restoran tidak berani berbuat sewenang-wenang dan selalu membayar karena pemilik-pemilik restoran itu dengan cerdiknya selalu menghubungi komandan mereka dan mengirim hidangan-hidangan yang lezat.

Selama ini juga dengan adanya rumah-rumah makan itu mereka mendapat kesempatan untuk sekedar menghibur diri. Kalau mereka tidak bayar dan semua restoran tutup, tentu mereka akan kehilangan.

Pada suatu pagi, Panglima Maya dan sebelas orang pembantunya memasuki sebuah restoran yang cukup besar di kota dekat tempat pasukannya berhenti. Pelayan segera menyambutnya dan Maya beserta para perwiranya dipersilakan duduk di loteng dan segera mereka itu dilayani penuh hormat.

Para pengawal cukup duduk di ruangan bawah saja dan mereka menghadapi meja sambil bersendau-gurau, karena para pemimpin mereka berada di loteng, maka mereka mendapat kesempatan untuk bersenang-senang dan bersendau-gurau saling menggoda.

Tiba-tiba delapan orang perajurit pengawal Pasukan Maut yang sedang bercakap-cakap itu menghentikan sendau-gurau mereka dan semua mata memandang ke arah pintu restoran, mulut mereka tersenyum-senyum. Siapa orangnya yang tidak akan terpesona menyaksikan seorang dara jelita memasuki restoran itu dengan langkah tegap dan lenggangnya menggiurkan itu?

Dara itu masih muda, di punggungnya tampak sebatang pedang, bajunya kuning dengan leher baju biru seperti celananya. Melihat pakaian yang agak kotor oleh debu dapat diduga bahwa dia baru datang dari perjalanan jauh. Wajah dara ini cantik sekali, terutama sekali matanya yang bergerak-gerak dan berbentuk indah, kerlingnya tajam dan menyentuh berahi. Ketika seorang pelayan menghampirinya, dara itu mengulur sebelah tangannya yang putih halus, menyentuh lengan Si Pelayan sambil berkata,

"Cepat sediakan nasi lauk-pauk seadanya dan minuman teh panas!"

Para perajurit tertawa-tawa gembira menyaksikan sikap dara itu yang demikian berani dan ramah, berani memegang lengan seorang pelayan laki-laki tanpa sungkan-sungkan lagi.

"Wah, sayang bukan lenganku....!"

Terdengar seorang perajurit berkata sambil mengelus-elus tangannya sendiri dan menciumnya, ditertawai oleh teman-temannya. Dara itu tidak peduli, melainkan menghampiri sebuah meja kosong dan duduk dengan anteng.

Para perajurit itu tidak melihat betapa pelayan yang tadi lengannya disentuh oleh dara baju kuning itu seketika menjadi pucat, tubuhnya gemetar dan setelah dara itu duduk, tergesa-gesa pelayan itu menyediakan makanan yang dipesan, sikapnya amat hormat dan takut-takut. Meledaklah suara tertawa empat orang perajurit dari meja yang telah dilayani, mentertawakan empat orang teman mereka yang belum dilayani.

Seorang perajurit dari meja kosong menggebrak meja,
"Apa ini? Pelayan, kami memesan lebih dulu, kenapa melayani orang yang datangnya belakangan? Apa kau kira kami tidak membayar?"

"Ha-ha-ha!"

Seorang perajurit dari meja, yang sudah dilayani tertawa,
"Kenapa mencak-mencak? Kalau mukamu cantik dan kau memakai pakaian wanita, tentu kau dilayani lebih dulu! Ha-ha-ha!"






Teman-temannya tertawa dan empat orang perajurit yang belum dilayani itu makin marah.

"He! Pelayan! Kesini kau, kalau mau tahu rasanya pukulan perajurit-perajurit Pasukan Maut!"

Pelayan itu berdiri dengan kaki menggigil ketakutan. Dara itu yang menghadapi meja, telah menuangkan teh ke dalam cawannya dengan sikap tenang, kemudian memandang Si Pelayan,

"Pelayan, jangan layani anjing-anjing mabok itu. Semua tentara tidak baik, terutama sekali yang menggunakan nama Pasukan Maut, tentu lebih tidak baik lagi!"

Mendengar ini, empat orang perajurit itu merasa terhina dan mereka melompat mendekati meja gadis itu, mengurung dari empat penjuru. Seorang diantara mereka yang berada di belakang gadis itu mencabut golok dan berkata,

"Eh, engkau perempuan kang-ouw merasa jagoan, ya? Cabut pedangmu kalau memang pedangmu lebih tajam dari mulutmu yang manis!"

Gadis itu masih memegang cawan teh panas, menunda minumnya dan matanya yang indah bergerak melirik ke kanan kiri dan depan.

Perajurit yang berada di depannya sudah membentak,
"Engkau sungguh kurang ajar, datang-datang minta dilayani lebih dulu. Mengingat engkau seorang gadis muda cantik, kami masih mengalah dan hanya ingin menegur pelayan. Kenapa kau memaki kami? Penghinaan itu baru lunas kalau kau membayar dengan sebuah ciuman dari bibirmu yang ma.... ougghhh....!"

Perajurit itu tak dapat melanjutkan kata-katanya karena mukanya sudah kena siraman air teh panas yang telah "meloncat" dari cawan yang dipegangi dara itu. Tiga orang temannya menjadi marah dan bergerak hendak menyerang, akan tetapi dari dalam cawan itu kini air teh "meloncat" ke tiga penjuru, ke kiri kanan dan belakang, tepat mengenai muka tiga orang perajurit yang menjadi gelagapan, bukan hanya karena air teh itu panas sekali, akan tetapi juga karena percikan air yang mengenai muka rasanya seperti jarum-jarum menusuk!

Empat orang perajurit lain menjadi marah menyaksikan empat orang temannya mengaduh-aduh dan mengusap-usap mata seperti itu. Mereka sudah meloncat dan mencabut senjata.

"Tentu dia mata-mata musuh! Serang! Bunuh....!"

Dara itu bangkit berdiri, tangannya meraih ke depan dan sebuah piring melayang-layang terbang menyambar empat orang perajurit itu. Terdengar jerit-jerit kesakitan dan empat orang perajurit itu roboh dengan lengan mereka berdarah karena ketika mereka menangkis, lengan mereka tergores piring yang menjadi tajam karena berpusing itu, melebihi pisau!

Akan tetapi tiba-tiba piring itu terhenti di tengah udara kemudian berdesing turun menyambar kepada dara itu sendiri yang mengeluarkan seruan kaget, menangkap piring, meletakkannya di atas meja lalu dia menoleh ke arah anak tangga menuju loteng.

Disitu telah berdiri Maya! Melihat seorang wanita cantik dan gagah perkasa berpakaian panglima, dara baju kuning itu memandang tajam dan kakinya menendang meja di depannya sehingga meja itu terlempar jauh. Agaknya dia tahu bahwa dia kedatangan lawan tangguh, maka ingin mencari tempat yang luas untuk menghadapi pengeroyokan.

Ketika para perwira lari-lari turun dari loteng dan para pengawal siap untuk mengeroyok, Maya berseru,

"Tahan! Mundur semua! Aku mau bicara.... dengan dia!"

Dara itu telah siap berdiri dengan tenang dan pandang mata tajam mengikuti gerak langkah Maya yang juga tenang-tenang menuruni anak tangga, menghampiri dara itu sampai mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya terkejut dan mengingat-ingat karena masing-masing seperti telah mengenal.

Ketika Maya melihat gagang pedang di pungung dara baju kuning itu, teringatlah dia dan segera menegur,

"Bukankah di punggungmu itu Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina)?"

Dara itu kelihatan kaget sekali, akan tetapi dia tetap tenang dan balas bertanya,
"Bagaimana engkau bisa tahu?"

Maya tersenyum lebar,
"Kalau benar, engkau tentulah Ok Yan Hwa. Dan agaknya engkau telah lupa kepadaku!"

Dara perkasa itu memang benar Ok Yan Hwa murid Mutiara Hitam. Dia meneliti wajah Maya dan teringat, lalu berkata,

"Dan engkau agaknya Maya...."

"Benar, Yan Hwa, kebetulan sekali pertemuan kita ini dan maafkan anak buahku yang tidak mengenal wanita perkasa! Heii, dengarlah. Dia ini adalah sumoi dari Can-huciang! Hayo lekas kalian minta maaf!"

Mendengar bahwa dara baju kuning yang gagah perkasa itu adalah sumoi dari Can Ji Kun, delapan orang perajurit pengawal itu cepat memberi hormat dan seorang diantara mereka berkata,

"Lihiap, mohon sudi mengampuni kami yang bermata tapi seperti buta!"

Akan tetapi Ok Yan Hwa yang berwatak angkuh tidak mempedulikan mereka, apalagi karena ia tertarik dan terheran mendengar ucapan Maya yang memperkenalkannya sebagai sumoi dari "Can-huciang"!

"Apa maksudmu, Maya? Benarkah Suheng berada disini?"

"Benar, Yan Hwa. Dia adalah seorang diantara pembantu-pembantuku yang utama."

"Suheng? Ah, mana mungkin Suheng menjadi perwira pembantumu? Mengapa bisa begitu?"

Maya mengerti bahwa dalam hal keangkuhan, gadis itu tidak kalah oleh suhengnya. Maka ia pun berterus terang dan tersenyum,

"Dia menjadi perwira pembantuku karena kalah taruhan."

Yan Hwa mengerutkan alisnya, memandang wajah Maya yang tersenyum-senyum itu dengan sinar mata marah karena mengira bahwa Maya bicara main-main,

"Maksudmu?"

"Dia telah mengadu kepandaian melawan aku dengan taruhan bahwa kalau aku kalah aku akan meninggalkan kedudukanku sebagai Panglima Pasukan Maut dan kalau dia yang kalah dia akan membantuku dan menjadi perwiraku."

Yan Hwa membelalakkan matanya yang bagus, dan wajahnya makin tidak senang. Ketidak percayaan membayang jelas di wajahnya,

"Aku tidak percaya. Mana dia?"

"Dia sedang bertugas ke pantai timur, menjalankan perintahku."

"Hemmm..., aku lebih tidak percaya lagi."

"Bahwa dia menjadi perwira pembantuku?"

"Aku tidak percaya bahwa dia telah kalah olehmu!"

"Namun kenyataannya demikianlah, Yan Hwa, karena suhengmu sudah menjadi pembantuku, bagaimana kalau engkau juga membantu aku? Kita membasmi pasukan Kerajaan Sung yang telah menewaskan Menteri Kam Liong kakak subomu, kita membasmi tentara Yucen, dan terutama sekali kita membasmi bangsa Mongol yang telah membunuh subomu. Bagaimana?"

Sejenak Yan Hwa diam memutar pikirannya. Dia ingin sekali bertemu dengan suhengnya, karena rindu dan juga karena ingin melihat apakah sekarang setelah merantau sekian lamanya, dia sudah dapat menundukkan suhengnya itu.

"Aku tetap tidak percaya bahwa Suheng telah kalah olehmu." Ia mengamati wajah Maya yang amat cantik jelita itu. Dia diam-diam harus mengakui bahwa belum pernah ia bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik jelita dan gagah. Diam-diam ia mulai merasa cemburu! "Kalau benar Suheng menjadi perwira pembantumu, aku lebih percaya kalau dia lakukan karena dia jatuh cinta kepadamu."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar