“Engkau mainkanlah ilmu silat yang pernah kau pelajari agar cihumu melihatnya, Sie Liong,” katanya lembut.
Mendengar ucapan isterinya ini, diam-diam Yauw Sun Kok mengira bahwa tentu isterinya yang telah mengajarkan ilmu silat kepada adiknya itu, maka dia sudah merasa mendongkol sekali.
“Baiklah, cihu. Akan tetapi harap jangan diketawai karena permainanku tentu jelek dan tidak karuan.”
Maka diapun lalu memasang kuda-kuda dan menggerakkan kaki tangannya seperti kalau dia berlatih silat menirukan semua gerakan yang dilakukan Bi Sian di waktu berlatih silat. Baru beberapa jurus Sie Liong bergerak, Sun Kok sudah terkejut sekali karena gerakan-gerakan anak laki-laki itu adalah gerakan ilmu silatnya sendiri! Dan gerakan itu demikian lincah dan gesit, juga penuh tenaga, jauh lebih baik dari pada gerakan Bi Sian.
“Berhenti....!” bentaknya sambil meloncat dari atas kursinya, berdiri di depan Sie Liong yang cepat menghentikan gerakan kaki tangannya. “Hayo katakan, dari siapa engkau mempelajari semua gerakan ilmu silat itu!”
“Maaf, cihu. Saya mempelajarinya dengan.... mencuri lihat dan mengintai ketika.... Bi Sian sedang berlatih silat. Semua gerakannya itu saya catat dan hafalkan dalam hati, kemudian saya meniru gerakan-gerakannya itu di dalam kamar dan saya latih terus setiap hari. Saya tidak berniat buruk, hanya ingin sekali mempelajarinya....”
Yauw Sun Kok bernapas lega. Jadi bukan isterinya dan bukan puterinya yang mengajar anak ini. Akan tetapi, jelas bahwa anak ini memiliki bakat yang amat baik. Padahal dia sudah bongkok, namun tetap saja dapat mempelajari ilmu silat jauh lebih maju dari pada Bi Sian. Diapun mencari akal.
“Sie Liong, ketika aku melarang engkau belajar silat, hal itu sudah kupikirkan masak-masak, demi kebaikamu sendiri. Tubuhmu cacat, tulang pungungmu bongkok, sungguh tidak baik bahkan berbahaya sekali kalau engkau mempelajari ilmu silat! Engkau tidak percaya? Nah, boleh kita berlatih silat sebentar. Keluarkan semua jurus yang sudah kau pelajari, dan serang aku dengan sungguh-sungguh seperti akupun akan menyerangmu dengan jurus yang sama. Engkau akan melihat sendiri nanti. Hayo, seranglah!”
Sie Liong mengira bahwa dia akan memperoleh petunjuk dari cihunya yang biasanya amat sayang kepadanya. Sedikitpun dia tidak menaruh hati curiga dan diapun mentaati perintah itu, lalu mulai menggerakkan kaki tangannya, menyerang cihunya dengan jurus-jurus silat yang pernah dilatihnya.
Sie Lan Hong memandang dengan jantung berdebar, masih belum tahu apa yang dikehendaki suaminya. Ia sendiri juga terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa adiknya ternyata benar-benar telah menguasai gerakan silat yang lebih baik dari pada puterinya.
Dengan mata terbelalak, Bi Sian juga memperhatikan gerakan Sie Liong, iapun mengira bahwa ayahnya akan memberi petunjuk kepada pamannya itu. Ia merasa terharu mendengar betapa pamannya itu sengaja berbohong, mengatakan bahwa dia mengintai dan mencuri pelajaran silat itu, tidak mau melibatkannya. Betapa pamannya itu amat sayang kepadanya dan iapun merasa amat sayang kepada pamannya itu.
Diam-diam Yauw Sun Kok terkejut. Ternyata gerakan Sie Liong selain baik sekali, juga anak ini memiliki tenaga yang jauh lebih besar dibandingkan anak-anak sebayanya. Tentu saja jauh lebih menang dibandingkan Bi Sian. Tidak mengherankan kalau lima orang anak nakal itu kalah olehnya. Dan kalau dibiarkan terus anak ini memperdalam ilmu silat, tidak salah lagi, dia kelak akan menjadi orang pandai dan akan membahayakan dirinya!
Setelah menghadapi serangan-serangan Sie Liong untuk mengujinya sampai belasan jurus, mulailah Yauw Sun Kok menyerang! Sie Liong juga berusaha mempertahankan diri dengan elakan dan tangkisan karena cihunya menyerang dengan jurus-jurus yang sudah dikenalnya. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam benak cihunya. Tiba-tiba gerakan tangan cihunya demikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mampu melindungi tubuhnya.
“Plakkk! Plakkk!”
Dua kali tangan Yauw Sun Kok menyambar dan mengenai pangkal leher Sie Liong dan ketika tubuh anak itu berputar, sekali lagi tangannya menghantam punggung yang bongkok. Sie Liong mengeluh pendek dan dia pun roboh terpelanting, muntah darah! Agaknya Yauw Sun Kok masih belum puas, akan tetapi tiba-tiba Bi Sian sudah menubruk tubuh Sie Liong dan melindunginya!
“Ayah, kenapa pukul paman Liong? Kenapa ayah memukul paman Liong?”
Anak ini hampir menangis. Lan Hong juga sudah melompat di depan suaminya dan memandang tajam.
“Apa yang kau lakukan?” katanya dengan suara nyaring dan mata memandang tajam.
Yauw Sun Kok menurunkan kedua tangannya.
“Hemm, aku hanya ingin memperlihatkan dia betapa berbahayanya dia berlatih silat! Kalau punggungnya tidak cacat seperti itu, pukulanku tadi tidak akan membuatnya muntah darah.”
Untung dia masih ingat tadi sehingga dia mengurangi tenaga pada pukulannya, kalau tidak, tentu anak itu sudah roboh tewas dan ini berarti dia melanggar sumpahnya dan tentu akan terjadi perubahan dalam hubungannya dengan isterinya tercinta.
Bi Sian membantu Sie Liong bangkit. Anak laki-laki itu tidak kelihatan menyesal atau marah walaupun dia menyeringai kesakitan dan mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Bi Sian bangkit dan memandang ayahnya dengan marah.
“Ayah kejam! Ayah telah menghajar paman Liong yang tidak berdosa! Ayah, paman Liong membohong kepada ayah karena hendak melindungi aku! Sebetulnya, dia bukan mengintai, bukan mencuri ilmu silat, melainkan akulah yang telah mengajarkan semua ilmu silat itu kepadanya! Kalau ayah mau marah dan mau menghukum, hukumlah aku!” Anak itu berdiri tegak dengan dada membusung, seperti hendak menantang ayahnya.
“Hushh,”
Ibunya cepat merangkulnya, khawatir kalau suaminya benar-benar marah dan menghajar anaknya. Akan tetapi, Sun Kok tidak marah. Bahkan dia sudah menduga akan hal itu.
“Ayah, paman Liong tidak bersalah. Perkelahian itu terjadi karena kejahatan anak-anak nakal itu!”
“Hemm, kalau dia tidak pandai silat, tentu tidak akan terjadi parkelahian,” kata Yauw Sun Kok.
“Kalau paman Liong tidak pandai berkelahi, mungkin dia akan dipukuli sampai mati dan aku juga! Paman Liong sama sekaii tidak bersalah dan tidak adil kalau menyalahkan dia, ayah!”
Kembali Bi Sian membantah biarpun ibunya sudah mencoba untuk mencegahnya banyak bicara.
“Bi Sian, pikiranmu sungguh pendek! Coba bayangkan. Kalau engkau pergi sendiri ke pasar tanpa Sie Liong, atau dia pergi tanpa engkau, apakah akan terjadi perkelahian itu? Sudahlah, mulai saat ini, aku melarang Sie Liong belajar silat darimu! Sie Liong, maukah engkau berjanji?”
Sie Liong sudah bangkit berdiri dan menundukkan mukanya. Dia merasa menyesal bahwa karena dia, Bi Sian harus menjadi seorang anak yang berani menentang ayah sendiri.
“Baik, cihu. Saya berjanji bahwa mulai hari ini, saya tidak akan belajar silat lagi dari Bi Sian.”
Lega rasa hati Yauw Sun Kok mendengar janji ini. Bagaimanapun juga, dia tidak pernah membenci anak itu, bahkan dia merasa suka dan kasihan. Anak itu menjadi bongkok karena perbuatannya. Akan tetapi dia melakukan itu bukan karena benci, melainkan karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri. Kalau ada jaminan bahwa Sie Liong kelak tidak akan membalas dendam kepadanya, mungkin dia akan suka mewariskan seluruh kepandaiannya kepada anak yang amat baik itu.
“Coba kuperiksa tubuhmu,” katanya dan dia segera memeriksa keadaan tubuh Sie Liong.
Anak ini mengalami luka yang cukup parah, akan tetapi tidak sampai membahayakan jiwanya. Dia segera memberi obat minum dan mengharap agar Sie Liong benar-benar kapok dan tidak belajar ilmu silat lagi yang hanya akan merugikan dirinya sendiri.
Mendengar ucapan isterinya ini, diam-diam Yauw Sun Kok mengira bahwa tentu isterinya yang telah mengajarkan ilmu silat kepada adiknya itu, maka dia sudah merasa mendongkol sekali.
“Baiklah, cihu. Akan tetapi harap jangan diketawai karena permainanku tentu jelek dan tidak karuan.”
Maka diapun lalu memasang kuda-kuda dan menggerakkan kaki tangannya seperti kalau dia berlatih silat menirukan semua gerakan yang dilakukan Bi Sian di waktu berlatih silat. Baru beberapa jurus Sie Liong bergerak, Sun Kok sudah terkejut sekali karena gerakan-gerakan anak laki-laki itu adalah gerakan ilmu silatnya sendiri! Dan gerakan itu demikian lincah dan gesit, juga penuh tenaga, jauh lebih baik dari pada gerakan Bi Sian.
“Berhenti....!” bentaknya sambil meloncat dari atas kursinya, berdiri di depan Sie Liong yang cepat menghentikan gerakan kaki tangannya. “Hayo katakan, dari siapa engkau mempelajari semua gerakan ilmu silat itu!”
“Maaf, cihu. Saya mempelajarinya dengan.... mencuri lihat dan mengintai ketika.... Bi Sian sedang berlatih silat. Semua gerakannya itu saya catat dan hafalkan dalam hati, kemudian saya meniru gerakan-gerakannya itu di dalam kamar dan saya latih terus setiap hari. Saya tidak berniat buruk, hanya ingin sekali mempelajarinya....”
Yauw Sun Kok bernapas lega. Jadi bukan isterinya dan bukan puterinya yang mengajar anak ini. Akan tetapi, jelas bahwa anak ini memiliki bakat yang amat baik. Padahal dia sudah bongkok, namun tetap saja dapat mempelajari ilmu silat jauh lebih maju dari pada Bi Sian. Diapun mencari akal.
“Sie Liong, ketika aku melarang engkau belajar silat, hal itu sudah kupikirkan masak-masak, demi kebaikamu sendiri. Tubuhmu cacat, tulang pungungmu bongkok, sungguh tidak baik bahkan berbahaya sekali kalau engkau mempelajari ilmu silat! Engkau tidak percaya? Nah, boleh kita berlatih silat sebentar. Keluarkan semua jurus yang sudah kau pelajari, dan serang aku dengan sungguh-sungguh seperti akupun akan menyerangmu dengan jurus yang sama. Engkau akan melihat sendiri nanti. Hayo, seranglah!”
Sie Liong mengira bahwa dia akan memperoleh petunjuk dari cihunya yang biasanya amat sayang kepadanya. Sedikitpun dia tidak menaruh hati curiga dan diapun mentaati perintah itu, lalu mulai menggerakkan kaki tangannya, menyerang cihunya dengan jurus-jurus silat yang pernah dilatihnya.
Sie Lan Hong memandang dengan jantung berdebar, masih belum tahu apa yang dikehendaki suaminya. Ia sendiri juga terkejut karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa adiknya ternyata benar-benar telah menguasai gerakan silat yang lebih baik dari pada puterinya.
Dengan mata terbelalak, Bi Sian juga memperhatikan gerakan Sie Liong, iapun mengira bahwa ayahnya akan memberi petunjuk kepada pamannya itu. Ia merasa terharu mendengar betapa pamannya itu sengaja berbohong, mengatakan bahwa dia mengintai dan mencuri pelajaran silat itu, tidak mau melibatkannya. Betapa pamannya itu amat sayang kepadanya dan iapun merasa amat sayang kepada pamannya itu.
Diam-diam Yauw Sun Kok terkejut. Ternyata gerakan Sie Liong selain baik sekali, juga anak ini memiliki tenaga yang jauh lebih besar dibandingkan anak-anak sebayanya. Tentu saja jauh lebih menang dibandingkan Bi Sian. Tidak mengherankan kalau lima orang anak nakal itu kalah olehnya. Dan kalau dibiarkan terus anak ini memperdalam ilmu silat, tidak salah lagi, dia kelak akan menjadi orang pandai dan akan membahayakan dirinya!
Setelah menghadapi serangan-serangan Sie Liong untuk mengujinya sampai belasan jurus, mulailah Yauw Sun Kok menyerang! Sie Liong juga berusaha mempertahankan diri dengan elakan dan tangkisan karena cihunya menyerang dengan jurus-jurus yang sudah dikenalnya. Akan tetapi dia tidak tahu apa yang tersembunyi di dalam benak cihunya. Tiba-tiba gerakan tangan cihunya demikian cepatnya sehingga Sie Liong tidak mampu melindungi tubuhnya.
“Plakkk! Plakkk!”
Dua kali tangan Yauw Sun Kok menyambar dan mengenai pangkal leher Sie Liong dan ketika tubuh anak itu berputar, sekali lagi tangannya menghantam punggung yang bongkok. Sie Liong mengeluh pendek dan dia pun roboh terpelanting, muntah darah! Agaknya Yauw Sun Kok masih belum puas, akan tetapi tiba-tiba Bi Sian sudah menubruk tubuh Sie Liong dan melindunginya!
“Ayah, kenapa pukul paman Liong? Kenapa ayah memukul paman Liong?”
Anak ini hampir menangis. Lan Hong juga sudah melompat di depan suaminya dan memandang tajam.
“Apa yang kau lakukan?” katanya dengan suara nyaring dan mata memandang tajam.
Yauw Sun Kok menurunkan kedua tangannya.
“Hemm, aku hanya ingin memperlihatkan dia betapa berbahayanya dia berlatih silat! Kalau punggungnya tidak cacat seperti itu, pukulanku tadi tidak akan membuatnya muntah darah.”
Untung dia masih ingat tadi sehingga dia mengurangi tenaga pada pukulannya, kalau tidak, tentu anak itu sudah roboh tewas dan ini berarti dia melanggar sumpahnya dan tentu akan terjadi perubahan dalam hubungannya dengan isterinya tercinta.
Bi Sian membantu Sie Liong bangkit. Anak laki-laki itu tidak kelihatan menyesal atau marah walaupun dia menyeringai kesakitan dan mengusap darah dari bibirnya dengan ujung lengan bajunya. Bi Sian bangkit dan memandang ayahnya dengan marah.
“Ayah kejam! Ayah telah menghajar paman Liong yang tidak berdosa! Ayah, paman Liong membohong kepada ayah karena hendak melindungi aku! Sebetulnya, dia bukan mengintai, bukan mencuri ilmu silat, melainkan akulah yang telah mengajarkan semua ilmu silat itu kepadanya! Kalau ayah mau marah dan mau menghukum, hukumlah aku!” Anak itu berdiri tegak dengan dada membusung, seperti hendak menantang ayahnya.
“Hushh,”
Ibunya cepat merangkulnya, khawatir kalau suaminya benar-benar marah dan menghajar anaknya. Akan tetapi, Sun Kok tidak marah. Bahkan dia sudah menduga akan hal itu.
“Ayah, paman Liong tidak bersalah. Perkelahian itu terjadi karena kejahatan anak-anak nakal itu!”
“Hemm, kalau dia tidak pandai silat, tentu tidak akan terjadi parkelahian,” kata Yauw Sun Kok.
“Kalau paman Liong tidak pandai berkelahi, mungkin dia akan dipukuli sampai mati dan aku juga! Paman Liong sama sekaii tidak bersalah dan tidak adil kalau menyalahkan dia, ayah!”
Kembali Bi Sian membantah biarpun ibunya sudah mencoba untuk mencegahnya banyak bicara.
“Bi Sian, pikiranmu sungguh pendek! Coba bayangkan. Kalau engkau pergi sendiri ke pasar tanpa Sie Liong, atau dia pergi tanpa engkau, apakah akan terjadi perkelahian itu? Sudahlah, mulai saat ini, aku melarang Sie Liong belajar silat darimu! Sie Liong, maukah engkau berjanji?”
Sie Liong sudah bangkit berdiri dan menundukkan mukanya. Dia merasa menyesal bahwa karena dia, Bi Sian harus menjadi seorang anak yang berani menentang ayah sendiri.
“Baik, cihu. Saya berjanji bahwa mulai hari ini, saya tidak akan belajar silat lagi dari Bi Sian.”
Lega rasa hati Yauw Sun Kok mendengar janji ini. Bagaimanapun juga, dia tidak pernah membenci anak itu, bahkan dia merasa suka dan kasihan. Anak itu menjadi bongkok karena perbuatannya. Akan tetapi dia melakukan itu bukan karena benci, melainkan karena mengkhawatirkan keselamatan dirinya sendiri. Kalau ada jaminan bahwa Sie Liong kelak tidak akan membalas dendam kepadanya, mungkin dia akan suka mewariskan seluruh kepandaiannya kepada anak yang amat baik itu.
“Coba kuperiksa tubuhmu,” katanya dan dia segera memeriksa keadaan tubuh Sie Liong.
Anak ini mengalami luka yang cukup parah, akan tetapi tidak sampai membahayakan jiwanya. Dia segera memberi obat minum dan mengharap agar Sie Liong benar-benar kapok dan tidak belajar ilmu silat lagi yang hanya akan merugikan dirinya sendiri.
**** 010 ***
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar