Ads

Minggu, 24 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 012

Pada suatu pagi, nampak sesosok bayangan orang berjalan perlahan di atas Tembok Besar! Tembok Besar itu merupakan bangunan raksasa yang amat hebat, naik turun bukit dan jurang, memanjang sampai ribuan li panjangnya sehingga disebut Ban-li Tiang-sia (Tembok Panjang Selaksa Li).

Di beberapa bagian dari Tembok Besar ini memang dijadikan markas bagi pasukan-pasukan penjaga perbatasan, namun banyak pula bagian yang kosong dan sunyi sama sekali. Dan orang yang berjalan perlahan di atas Tembok Besar itupun berjalan seorang diri dalam kesunyian. Kemudian suara nyanyiannya memecah kesunyian pagi hari di antara bukit-bukit dan jurang-jurang yang penuh hutan lebat itu.

“Tembok Besar memanjangribuan li
bekas tangan manusia
masih hidup atau sudah mati
Tembok Besar lambang kekerasan
untuk mempertahankan kekuasaan
berapa puluh laksa manusia mati
untuk menciptakan bangunan ini?”

Nyanyian yang berakhir dengan pertanyaan ini tidak terjawab. Angin bertiup kencang dan menimbulkan suara ketika bertemu dinding tembok, bersiutan dan membuat rambut, kumis, jenggot dan pakaian kuning orang itu berkibar-kibar seperti bendera.

Orang itu sudah tua sekali, jenggot dan kumisnya juga rambutnya yang dibiarkan riap-riapan, sudah putih semua. Namun wajahnya masih nampak merah dan halus seperti wajah orang muda, tubuhnya yang tinggi kurus itu tegak lurus dan jalannya santai dengan langkah berlenggang seperti langkah seekor harimau. Usianya tentu sedikitnya tujuh puluh tahun. Pakaiannya hanya dari kain kuning panjang yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari kaki sampai ke pundak, bagian pinggang diikat dengan tali kulit kayu, kakinya mengenakan sandal kulit kayu pula.

Sambil berjalan seenaknya di atas Tembok Besar, dia memandang ke kanan kiri. Seluruh yang nampak di sekelilingnya agaknya tidak terlepas dari pandang matanya yang penuh kewaspadaan dan penuh semangat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu sepanjang satu meter, akan tetapi agaknya bukan dipergunakan untuk membantu dia berjalan, melainkan dipegang seperti hanya untuk iseng-iseng saja.

Gerak-gerik kakek ini halus, sinar matanya lembut dan mulut yang dikelilingi kumis dan jenggot itu selalu tersenyum seolah-olah dia beramah tamah dengan alam disekelilingnya. Matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia menyapu segala sesuatu di sekelilingnya dari atas tembok yang tinggi itu dengan pandang matanya dan biarpun hanya sekelebatan, dia telah menangkap segala yang nampak karena pandang matanya seperti sinar lampu sorot yang amat kuat dan terpusat.

Pohon-pohon tinggi besar yang tumbuh di sekeliling tempat itu nampak hijau dan liar. Bukit-bukit menjulang tinggi di kanan kiri, dan jurang-jurang amat dalam sehingga tidak nampak dasarnya. Kalau dia berjalan di bawah, di atas tanah, tentu akan sukar melihat semua itu bahkan melihat langitpun akan sukar saking lebatnya daun-daun pohon.

Akan tetapi, dari atas tembok yang tinggi ini, dia seperti berdiri di puncak sebuah bukit dan dapat melihat sekeliling dengan jelas. Beberapa ekor burung beterbangan dan seekor burung rajawali baru saja meninggalkan cabang sebatang pohon. Gerakannya ketika meloncat dan terbang membuat cabang itu bergoyang keras dan beberapa helai daun kering melayang-layang turun karena putus dari tangkainya. Sepasang mata kakek itu mengikuti beberapa helai daun kering yang melayang turun sambil menari-nari di udara itu, dan diapun tersenyum penuh bahagia.

Betapa bahagianya orang yang masih mampu menikmati semua keindahan yang dihidangkan oleh alam di sekeliling kita. Kalau kita mau membuka mata dan mengamati sekeliling kita tanpa penilaian, maka kitapun akan dapat melihat segala keindahan itu!

Dalam gerak-gerik setiap orang manusia, lambaian setiap ranting pohon, sinar matahari, tiupan angin, cerahnya bunga dengan keharumannya, kicaunya burung, senyum seorang muda, pandang mata seorang ibu kepada anaknya. Betapa indah mentakjubkan kesemuanya itu!

Sayang, batin kita sudah terlampau sarat oleh segala macam persoalan, segala macam masalah kehidupan, kepusingan, kesusahan, ketakutan, kekhawatiran, kebencian, permusuhan, iri hati, cemburu yang mendatangkan kesengsaraan dalam batin. Batin yang sengsara, bagaimana mungkin dapat melihat keindahan itu? Segala hanya akan nampak buruk dan membosankan!

Tiba-tiba kakek itu mengangkat muka ke atas, agaknya dia baru teringat akan urusannya.

“Aih, masih amat jauh perjalanan, dan aku tidak boleh berlambat-lambatan begini.”






Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah bentuk tubuhnya. Yang nampak hanya bayangan kuning yang berkelebat cepat dan sebentar saja bayangan itu meluncur ke barat dan lenyap!

Kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun tidak pernah meninggalkan guha pertapaannya di He-lan-san, yaitu di daerah Mongolia Dalam sebelah selatan. Sudah dua puluh tahun kakek itu bertapa di He-lan-san, semenjak dia datang dari Pegunungan Himalaya di barat.

Para penduduk perkampungan di sekitar Pegunungan He-lan-san menganggap dia sebagai seorang kakek pertapa yang baik hati, yang suka menolong orang dengan pengobatan, dan karena kakek itu dikabarkan amat sakti, maka semua orang menghormatinya dan dia disebut sebagai Pek-sim Sian-su. Sebutan pek-sim ini mungkin dimaksudkan untuk memujinya sebagai seorang yang berhati putih, seorang yang amat budiman. Dan kakek itu agaknya menerima pula begitu saja sebutan Pek-sim Sian-su (Guru Suci Berhati Putih).

Terjadi keanehan pada diri kakek itu. Beberapa waktu yang lalu, pada suatu malam, dia tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya, lalu duduk bersila dan sampai setengah malam dia bersamadhi. Lalu paginya, tanpa pamit kepada siapapun, dia pergi begitu saja meninggalkan guha pertapaannya dan melakukan perjalanan ke barat! Yang dituju adalah perbatasan Sin-kiang dan Tibet!

Malam itu, dalam tidurnya dia seperti mendapat ilham yang mendorong dia harus melakukan perjalanan secepatnya menuju ke tempat itu. Seorang yang hidup suci seperti Pek-sin Sian-su, peristiwa mendapat ilham atau isarat gaib bukanlah hal yang aneh lagi. Seorang manusia yang hidup bersih lahir batin, yang tubuhnya tidak dikotori makanan-makanan enak yang merusak, tidak dilemahkan oleh kegiatan-kegiatan yang bergelimang nafsu, yang batinnya tidak dikotori oleh segala macam kenangan, gagasan, tidak dikotori oleh segala macam nafsu maka dia memiliki badan dan batin yang amat peka!

Kekuatan alam ini adalah kekuatan yang memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan Thian, dan alam telah memberi tanda-tanda, getaran-getaran pada badan dan batin manusia. Kalau manusia itu bersih lahir batin dan menjadi peka, maka dia akan mampu menerima isarat-isarat gaib ini, tanda-tanda melalui getaran atau bahkan panglihatan, dalam sadar maupun dalam tidur. Dan Pek-sim Sian-su sudah mencapai tingkat seperti itu, maka tidaklah mengherankan kalau pada hari itu dia kelihataan berlari cepat melalui Tembok Besar menuju ke barat.

Mari kita tengok apa yang sedang terjadi di perbatasan Propinsi Sin-kiang sebelah selatan yang berbatasan dengan Tibet. Tak jauh dari dusun Sung-jan, agak ke selatan, nampak Pegunungan Kun-lun-san dengan bukit-bukitnya yang berbaris-baris, melintang dari barat ke timur menjadi perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet.

Biarpun tidak sebesar dan seluas atau setinggi Pegunungan Himalaya, namun Pegunungan Kun-lun-san inipun sudah terkenal sekali dengan puncak-puncaknya yang tinggi, jurang dan celah yang amat lebar dan dalam, dengan hutan-hutan lebat dan liar amat berbahaya bagi manusia yang berani memasukinya.

Dan di Kun-lun-san ini terkenal pula dengan adanya banyak pendeta dan orang-orang menyucikan diri, pertapa-pertapa dan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan satu diantara orang-orang pandai itu membentuk Kun-lun-pai atau Partai Persilatan Kun-lun yang amat terkenal.

Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, terjadi bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dengan beberapa orang pertapa di Himalaya. Yang menjadi sebab hanyalah perselisihan paham dalam kepercayaan dan keagamaan sehingga timbul bentrokan hebat!

Betapa banyaknya tokoh agama yang lupa bahwa agama diadakan sebagai tuntunan terhadap manusia agar dapat hidup tenteram dan damai menjauhi segala bentuk permusuhan, kebencian dan kejahatan. Akan tetapi, tanpa disadari, diantara mereka malah bentrok sendiri karena persaingan dan pertentangan paham dan gagasan!

Bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dan para pertapa di Himalaya itu semakin meluas. Para pendeta Lama yang banyak jumlahnya dan diantara mereka banyak pula yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, menyerbu Himalaya dan mereka ini menyerang semua pertapa tanpa memperhitungkan apakah mereka itu terlibat dalam permusuhan ataukah tidak!

Banyak diantara para pertapa yang benar-benar sudah menjauhkan diri dari pada permusuhan, maka mereka itu mengalah dan diam-diam menyingkir dari Himalaya dan sebagian dari mereka “mengungsi” ke Kun-lun-san, mencari tempat pertapaan di tempat baru itu untuk menghindari permusuhan dan pengejaran para pendeta Lama di Tibet.

Demikianlah, pada waktu ini, banyak terdapat pertapa di Kun-lun-san, yaitu para pelarian dari Himalaya. Dan Pek-sim Sian-su juga merupakan seorang pertapa di Himalaya yang kemudian melanjutkan pengungsiannya ke timur, jauh di timur sampai dia menetap di Pegunungan He-lan-san di daerah Mongolia Dalam.

Dan kini terjadi geger besar di Kun-lun-san karena munculnya lima orang pendeta Lama jubah merah yang mengamuk dan menyerangi para pertapa di Kun-lun-san! Agaknya mereka itu adalah para pendeta dari Tibet yang masih menaruh dendam terhadap para pertapa asal Himalaya, dan mendengar betapa para pertapa itu banyak yang melarikan diri ke Kun-lun-san, maka lima orang pendeta Lama Jubah merah itu lalu mengamuk ke sana! Dan menurut kabar, lima orang pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, mereka itu sakti sekali dan sudah banyak pertapa yang tidak berdosa menjadi korban dan terbunuh oleh mereka!

Keributan yang terjadi di Kun-lun-san itu juga mengguncang ketenteraman Kun-lun-san. Tembok-tembok yang kokoh kuat dari perkumpulan silat besar ini seperti tergetar oleh keributan itu dan biarpun Kun-lun-pai tidak tersangkut, namun tentu saja para tokohnya merasa tidak enak.

Kun-lun-pai sudah diakui sebagai sebuah partai persilatan yang besar, yang mengakui Pegunungan Kun-lun-san sebagai markas atau sumber mereka. Kalau kini ada orang-orang asing mengacau di Kun-lun-san, membunuhi para pertapa yang tidak berdosa, berarti mereka itu memandang rendah kepada Kun-lun-pai dan tidak menghargai Kun-lun-pai, berani melanggar wilayahnya bahkan mendatangkan kekacauan.

Sementara itu, serbuan lima orang pendeta Lama jubah merah dari Tibet itu mendatangkan perpecahan di antara para pertapa dan pendeta sendiri. Para pertapa atau pendeta yang menganut Agama Buddha banyak yang berpihak kepada para pendeta Lama, sebaliknya para pertapa dan pendeta yang menganut Agama To menentang.

Perpecahan ini menimbulkan pertentangan dan perkelahian diantara mereka sendiri dan karena para pertapa ini sebagian besar adalah orang-orang yang amat lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya, maka terjadilah perkelahian dan pertempuran yang amat hebat dan yang mengguncangkan Pegunungan Kun-lun-san dan menggetarkan tembok perkumpulan Kun-lun-pai.

Ketua Kun-lun-pai pada waktu itu berjuluk Thian Hoat Tosu, seorang penganut Agama To yang taat. Dia memimpin Kun-lun-pai dibantu oleh seorang sutenya yang berjuluk Thian Khi Tosu. Dua orang tosu ini memiliki ilmu silat yang tinggi dan di asrama Kun-lun-pai itu terdapat kurang lebih seratus orang murid Kun-lun-pai yang terbagi dalam empat tingkat. Murid kepala atau tingkat pertama, hanya ada belasan orang dan mereka inilah yang mewakili dua orang guru mereka untuk memberi latihan dan bimbingan kepada para murid yang lebih rendah tingkatnya.

Thian Hoat Tosu dan Thian Khi Tosu merasa gelisah sekali dengan adanya keributan di Kun-lun-san, dan pada pagi hari itu, mereka berdua bercakap-cakap di ruangan dalam tanpa dihadiri seorangpun murid karena mereka ingin bicara empat mata saja.

“Suheng, keadaan ini tidak mungkin dapat dipertahankan dan didiamkan saja. Nama Kun-lun-pai akan tercemar dan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw sebagai tuan rumah yang tidak berani berkutik walaupun dihina oleh tamu-tamu kurang ajar!” kata Thian Khi Tosu dengan sikap marah.

“Siancai-siancai-siancai....!” Thian Hoat Tosu berseru lembut sambil merangkap kedua tangan di depan dada. “Semoga kita dapat tahan uji menghadapi cobaan ini, sute, Tentu engkau maksudkan gerakan yang dilakukan oleh para Lama jubah merah itu, bukan?”

“Benar sekali, suheng! Mereka itu dengan congkak mengaku sebagai Lima Harimau dari Tibet, dan lima orang pendeta Lama jubah merah itu sungguh sombong sekali. Mereka menyerang dan membunuhi para pertapa yang sudah lemah dan tua, mereka yang tidak berdosa apa pun. Bagaimana kita dapat memembiarkan saja mereka merajalela di Kun-lun-san yang menjadi wilayah kedaulatan Kun-lun-pai, suheng?”

“Aih, sute, apa yang dapat kita lakukan? Engkau tentu juga tahu bahwa permusuhan itu hanya merupakan kelanjutan saja dari permusuhan beberapa puluh tahun yang lalu di Himalaya. Para pendeta Lama itu agaknya mewakili para Dalai Lama di Tibet untuk menghukum mereka yang datang dari Himalaya. Selama mereka itu tidak mengganggu Kun-lun-pai, apa yang dapat kita lakukan? Mereka itu bermusuhan, dan kita tidak terlibat apapun, bagaimana kita dapat mencampuri? Bisa menimbulkan salah paham lebih besar, sute.”




Pendekar Bongkok Jilid 011
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar