Ads

Senin, 25 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 013

“Tidak, suheng, pinto tidak setuju dengan pendapat itu! Kita selalu mencoba untuk menanamkan jiwa kesatria, jiwa kependekaran kepada para murid, agar mereka itu menentang yang jahat sewenang-wenang dan membela kaum lemah tertindas. Kalau sekarang kita melihat Lima Harimau Tibet itu sewenang-wenang membunuhi orang tidak berdosa dan kita tinggal diam, bukankah hal itu memberi contoh buruk sekali kepada para murid?”

“Ingat, sute, selain itu kita juga mengajar mereka agar tidak mencampuri urusan orang lain yang tidak kita ketahui duduk perkaranya. Dalam urusan antara para Lama dan para pertapa itupun kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi antara mereka, tidak tahu siapa benar siapa salah. Bagaimana mungkin kita mencampuri? Tidak, sute, sekali lagi kuperingatkan. Jangan engkau membawa Kun-lun-pai ke dalam permusuhan antara mereka. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya.”

“Dan membiarkan pembantaian terus dilakukan oleh para Lama yang buas itu? Ah, pinto akan bersamadhi dan mohon kekuatan batin bagi kita semua, suheng,”

Berkata demikian, dengan muka yang tidak puas dan penuh penasaran, Thian Khi Tosu meninggalkan suhengnya untuk bersamadhi di dalam kamarnya sendiri.

Sementara itu, beberapa li jauhnya dari asrama Kun-lun-pai, dua orang pemuda sedang berjalan sambil memanggul belanjaan di punggung mereka. Mereka adalah Ciang Sun dan Kok Han, dua orang murid Kun-lun-pai tingkat tiga, dua orang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun yang sudah lima tahun menjadi murid Kun-lun-pai.

Mereka itu bertubuh tegap dan bersikap gagah dan biarpun sudah lima tahun berlatih dengan tekun, mereka baru memiliki tingkat tiga. Hal ini membuktikan betapa tingginya ilmu silat Kun-lun-pai, dan betapa sulitnya untuk mencapai tingkat pertama. Sebagai murid tingkat tiga, mereka sudah diperkenankan membawa sebatang pedang di pinggang mereka, walaupun pedang itu hanya mereka bawa sekedar untuk berjaga diri dan untuk dipergunakan membela diri saja, bukan untuk menyerang orang lain. Sangsi hukuman bagi murid Kun-lun-pai amat berat kalau mereka melanggar peraturan perguruan.

Ciang Sun dan Kok Han berjalan memanggul barang belanjaan sambil bercakap-cakap. Mereka baru saja pulang dari sebuah pasar di dusun kaki pegunungan untuk membeli rempa-rempa dan bumbu-bumbu masak karena persediaan di asrama telah habis.

Tiba-tiba keduanya berhenti melangkah dan memandang ke arah kiri dari mana mereka mendengar suara orang membentak-bentak.

“Engkau harus menjadi tawanan kami, menyerah untuk kami bawa pulang ke Tibet dan menerima keputusan pimpinan kami, atau kalau engkau tidak mau menyerah, terpaksa akan kubunuh disini!” demikian suara yang membentak itu.

“Siancai....! Puluhan tahun yang lalu, ketika pinto masih agak muda dan bertapa di Himalaya, kalian ini para Lama sudah memburu dan membunuhi para pertapa yang tidak berdosa. Pinto tidak mau terlibat dan pergi mengungsi ke Kun-lun-san, dan hari ini, dalam usia pinto yang sudah tua, kalian tetap saja melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap kami yang tidak berdosa,” terdengar suara yang halus menjawab.

Ciang Sun dan Kok Han sudah menurunkan bawaan mereka dan dengan hati-hati menyelinap di antara pohon-pohon mendekati tempat itu, kemudian mereka mengintai. Kiranya dua orang pendeta Lama sedang menyeret seorang tosu tua yang kini duduk bersila di atas tanah, pakaiannya robek-robek, dan dua orang Lama itu berdiri dengan sikap mengancam di depannya.

Dua orang Lama itu berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar, kepala mereka gundul dan pakaian mereka serba kuning dengan jubah luar berwarna merah darah. Adapun tosu itu berpakaian putih, kotor dan robek di beberapa bagian, rambutnya sudah putih semua, panjang dan digelung ke atas. Usia tosu itu tentu sudah tujuh puluh tahun.

“Tidak berdosa? Omitohud.... mana ada orang mengakui kesalahannya? Kalian ini para pertapa, sejak puluhan tahun yang lalu, di Himalaya telah mempunyai rencana jahat, berniat memberontak dan berusaha menggulingkan kekuasaan Dalai Lama dan merampas kekuasaan. Kalau orang-orang macam kalian ini tidak dibasmi, kelak hanya akan mendatangkan keributan saja!” bentak Lama yang ada codet bekas luka di dahinya.

“Sudahlah, untuk apa bicara panjang lebar dengan dia? Heh, tosu keparat, bukankah engkau seorang diantara mereka yang berani memakai julukan Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya) itu dan julukanmu adalah Pek In Tosu?” teriak Lama ke dua yang mukanya bopeng.

“Siancai...., memang pinto disebut Pek In Tosu, dan kami tiga orang kakek dari Himalaya sudah bersumpah tidak akan membiarkan kebencian menguasai hati, apalagi memberontak.”






“Aahh, tidak perlu banyak cakap lagi!” kata pula si codet. “Kalau hendak membela diri, nanti saja di depan pimpinan kami di Lhasa! Hayo ikut dengan kami!”

“Siancai....! Pinto sudah tua, tidak sanggup lagi melakukan perjalanan ke Tibet yang amat jauh itu. Pinto tidak bersedia ikut dengan kalian kesana.”

“Apa? Kalau begitu, kami akan membunuhmu disini juga!” teriak si muka bopeng.

Dua orang murid Kun-lun-pai yang sejak tadi bersembunyi dan mengintai, menjadi marah sekali dan kesabaran merekapun hilang. Sebagai murid-murid Kun lun-pai yang sejak pertama kali masuk ke asrama itu diajarkan sikap pendekar yang menentang penindasan, tentu saja mereka marah melihat sikap dua pendeta Lama itu.

Apalagi merekapun seperti murid Kun-lun-pai yang lain, sudah mendengar akan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh sekelompok pendeta Lama sebanyak lima orang. Kabarnya, mereka itu menangkapi dan membunuhi para pertapa, terutama para tosu dan hal ini sudah menimbulkan perasaan tidak senang dalam hati mereka terhadap para pendeta Lama itu. Kini mereka melihat dan mendengar dengan mata dan telinga sendiri, tentu saja mereka kehabisan kesabaran. Bagaikan dikomando saja, dua orang pemuda itu melompat ke depan dua orang pendeta Lama dengan sikap gagah.

“Kalian ini adalah orang-orang tua yang sudah mencukur gundul rambut dan memakai jubah pendeta!” teriak Ciang Sun, pemuda yang bertubuh tinggi besar. “Akan tetapi tindakan kalian seperti penjahat-penjahat keji saja, hendak memaksakan kehendak kepada orang lain dengan jalan menjatuhkan fitnah keji!”

“Totiang, silakan mundur, biarlah kami berdua yang menghadapi pendeta tersesat ini!” kata Kok Han.

Sementara itu, dua orang pendeta Lama itu saling pandang, kemudian mereka menghadapi dua orang pemuda itu dengan alis berkerut. Si codet menyapu dua orang pemuda itu dengan pandang matanya yang liar dan tajam seperti mata harimau, dan suaranya terdengar parau dan penuh teguran.

“Hemm, kalian ini bocah-bocah ingusan dari mana berani mencampuri urusan orang-orang tua? Mengingat kalian masih kanak-kanak, biarlah pinceng berdua memaafkan perbuatan kalian yang lancang ini. Pergilah sebelum kami kehilangan kesabaran.”

“Kami bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain, akan tetapi kami juga bukan orang yang dapat membiarkan saja terjadinya kesewenang-wenangan dan penindasan. Sejak pertama kali menjadi murid Kun-lun-pai, kami sudah digembleng untuk menentang kejahatan seperti yang kalian lakukan sekarang ini!”

Kata pula Ciang Sun yang tinggi besar, bertenaga raksasa dan mukanya yang persegi membuat dia nanpak gagah sekali.

Kok Han bertubuh sedang, wajahnya bulat dan tampan, apalagi dihias brewok yang terpelihara rapi, membuat diapun nampak gagah.

Dua orang Lama itu saling pandang dan tertawa, lalu Lama yang mukanya bopeng berkata,

“Ha-ha-ha, sejak kapankah Thian Hwa Tosu ikut-ikutan mencampuri urusan kami dan berani menentang para Lama dari Tibet?”

Lama yang mukanya terhias codet memandang kepada dua orang pemuda itu dengan mata mencorong, lalu berkata,

“Kalian dua orang anak kecil cepat kembali ke Kun-lun-pai dan sampaikan kepada ketua kalian bahwa kami, Lima Harimau dari Tibet, tidak ingin melihat Kun-lun-pai mencampuri urusan pribadi kami. Katakan bahwa kami berdua, Thay Ku Lama dan Thay Si Lama, yang menyuruh kalian!”

“Kami tidak diperintah oleh Suhu! Kun-lun-pai tidak tahu menahu akan tindakan kami ini! Kami bertindak atas nama sendiri yang tidak rela melihat kalian mempergunakan kekerasan bertindak sewenang-wenang. Kalau kalian membebaskan totiang ini, baru kami mau sudah!” kata Ciang Sun.

“Siancai....! Ji-wi kong-cu (kedua tuan muda) harap berhati-hati dan jangan membela pinto karena hal itu membahayakan keselamatan ji-wi sendiri,” kata tosu itu dengan wajah khawatir.

“Biarlah totiang, kami yang bertanggung jawab,” kata Ciang Sun, sedangkan Kok Han sudah melangkah maju menghadapi dua orang pendeta Lama itu. “Sekali lagi, kami harap kalian pendeta-pendeta tua yang sepatutnya mencari kebaikan dan melaksanakan kebaikan di dunia ini, suka membebaskan totiang ini agar kami dua orang muda tidak perlu turun tangan mempergunakan kekerasan!”

Berkata demikian, Kok Han sudah memasang kuda-kuda dan kedua tangannya dikepal. Juga Ciang Sun sudah berdiri di sebelahnya, juga memasang kuda-kuda, siap untuk bertanding!

Kembali dua orang Lama itu saling pandang, kemudian mereka tertawa dan Thay Si Lama yang bermuka bopeng berkata dengan nada mengejek,

“Kami tidak akan membebaskan dia, dan hendak kami lihat kalian ini tikus-tikus cilik dari Kun-lun-pai dapat melakukan apakah?”

Ini merupakan tantangan dan tentu saja dua orang pemuda Kun-lun-pai itu menjadi marah, apalagi mereka disebut tikus-tikus cilik Kun-lun-pai yang berarti menghina pula perkumpulan mereka.

“Engkau memang Pendeta sesat yang jahat!” bentak Ciang Sun sambil menyerang Thay Si Lama si muka bopeng.

“Kalian memang patut dihajar agar tidak membikin kacau lagi di daerah Kun-lun-pai!”

Bentak Kok Han yang juga sudah menerjang Thay Ku Lama, yaitu pendeta Lama yang bermuka codet.

“Plak! Plak!”

Pukulan dua orang pemuda itu sama sekali tidak ditangkis oleh dua oraag Lama itu, bahkan diterima dengan dada terbuka. Kepalan kanan dua orang pemuda itu dengan tepat mengenai dada mereka, akan tetapi apa yang terjadi? Dua orang pemuda itu terpental ke belakang dan terbanting roboh bergulingan! Ketika bangkit kembali, mereka menyeringai kesakitan karena kepalan tangan kanan mereka telah menjadi bengkak dan membiru!

Dasar orang muda yang kurang pengalaman. Hal itu tidak membuat mereka menjadi jera, bahkan mereka merasa penasaran sekali. Dengan tangan kiri, mereka mencabut pedang dari pinggang masing-masing dan mereka berduapun menyerbu ke depan, menusukkan pedang mereka ke arah dada dua prang pendeta Lama itu,

Kini dua orang pendeta Lama itu menggerakkan tangan, menyambut pedang itu dengan tangan telanjang. Pedang dari dua orang pemuda itu bertemu dengan telapak tangan mereka yang mencengkeram.

“Krekkk! Krekkk!”

Dua batang pedang itu patah dan hancur dalam cengkeraman dua orang kakek Lama itu dan sebelum dua orang pemuda itu hilang rasa kaget mereka, Thay Ku Lama si muka codet sudah melangkah maju, dua kali tangannya bergerak ke arah pundak dua orang murid Kun-lun-pai itu dan merekapun roboh terjungkal dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darah mereka telah tertotok! Mereka telentang dan hanya dapat memandang dengan mata melotot.

Thay Si Lama yang mukanya bopeng mencela temannya.
“Suheng, kenapa tidak habiskan saja mereka ini? Dari pada kelak menjadi penyakit, biar kuhabiskan saja nyawa mereka!”

Berkata demikian, Thay Si Lama melangkah maju dan tangannya sudah bergerak hendak memberi pukulan maut kepada dua orang murid Kun-lun-pai yang sudah tidak berdaya itu.

“Siancai...., kalian terlalu kejam, tidak mungkin pinto tinggal diam saja!”

Tiba-tiba kakek yang berpakaian putih dan rambutnya yang putih digelung ke atas itu sudah berkelebat dan nampak bayangan putih, tahu-tahu pukulan yang dilepaskan Thay Si Lama ke arah dua orang pemuda itu telah tertangkis.

“Dukkk!”

Dua lengan bertemu dan akibatnya, Thay Si Lama terdorong ke belakang dan terhuyung. Kini mereka berdua berdiri menghadapi tosu itu dan muka Thay Si Lama yang bopeng itu menjadi merah padam.




Pendekar Bongkok Jilid 012
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar