Sejenak mereka berhasil dan nyanyian mereka itu menjadi semakin mantap, dan kini Pek In Tosu makin mengikuti bunyi nyanyian itu, mengikuti iramanya dengan geleng-geleng kepala! Akan tetapi hanya sebentar saja karena ketukan bambu itu kini berubah lagi iramanya, kembali menjadi berlawanan dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama, bahkan kini ketukannya menjadi keras dan iramanya sengaja dibuat kacau-balau, kadang-kadang cepat, kadang-kadang sedang dan berubah lagi menjadi lambat, kadang-kadang iramanya satu-satu, dua-dua, berubah menjadi satu-dua satu-tiga, dua-tiga dan sebagainya.
Tentu saja tidak mungkin bagi dua orang kakek Lama untuk menyesuaikan lagi irama nyanyian mereka dan kini bunyi-bunyian yang terdengar demikian kacau balau sehingga daya hanyutnya menjadi kacau dan lemah sekali, dan Pek In Tosu, seperti orang yang baru sadar bahwa tadi dia telah hanyut, kini nampak duduk bersila dengan tegak lurus dan sama sekali tidak bergerak!
Dari kepalanya juga tidak lagi keluar uap putih, dan kepalanya tidak lagi digeleng-gelengkan. Bahkan dua orang pendeta Lama yang tadinya mengitari Pek In Tosu sambil bernyanyi dan menggeleng-geleng kepala memantapkan irama nyanyian mereka, kini langkah-langkah kaki mereka kacau, dan gelengan kepala mereka ngawur dan kacau, kaku dan kadang-kadang keliru menjadi angguk-anggukan!
Anak laki-laki itu berusia kurang lebih tiga belas tahun dengan pakaian yang sudah kumal dan robek-robek seperti pakaian seorang gelandangan. Rambutnya panjang dan tidak terawat, awut-awutan, sebagian menutupi dahi dan mukanya. Wajah itu tidak buruk, bahkan bentuknya tampan, matanya lebar dan memiliki sinar terang, sepasang mata yang jernih dan jeli seperti mata burung Hong, namun wajah itu mendatangkan rasa iba bagi yang melihatnya. Punggungnya bongkok dan agaknya ada daging menonjol di punggung itu.
Anak itu bukan lain adalah Sie Liong! Seperti kita ketahui, Sie Liong merasa selalu berduka dan gelisah sejak terjadi peristiwa perkelahian antara dia yang membantu Yauw Bi Sian melawan Lu Ki Cong dan kawan-kawannya. Dia menerima kemarahan dari cihunya, bahkan menerima pukulan yang membuat kepalanya berdenyut nyeri dan punggungnya lebih nyeri lagi. Dan dia mendengar bahwa Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di kota Sung-jan itu bahkan telah disepakati akan menjadi calon jodoh Bi Sian!
Semenjak itu, hatinya selalu merasa tidak tenang, apalagi ketika mereka melakukan sembahyangan dan dia mendengar bahwa ayah ibunya meninggal dunia karena penyakit menular di dusun mereka, yaitu Tiong-cin, hatinya merasa semakin berduka dan gelisah.
Pada suatu malam, ketika dia tidak dapat pulas dan selalu gelisah, dia meninggalkan kamarnya yang berada di ujung belakang, lalu berjalan ke kebun samping rumah. Tiba-tiba dia mendengar suara encinya bercakap-cakap dengan cihu-nya dan dari suara cihu-nya, dia tahu bahwa cihu-nya itu sedang marah dan suaranya keras!
Memang kamar enci dan cihu-nya itu menghadap ke kebun dan suara itu keluar melalui celah-celah jendela mereka yang tertutup. Kamar Bi Sian berada di sebelah lagi, dan jendela kamar gadis cilik itu telah gelap, tanda bahwa ia tentu telah tidur. Sebaliknya, dari jendela kamar encinya nampak cahaya lampu belum dipadamkan.
“Jelas bahwa dia salah besar!” terdengar suara cihu-nya membentak nyaring. “Pertama, dia mencuri belajar ilmu silat padahal sudah kularang dia belajar silat! Ke dua, dia berani mencari keributan dan berkelahi dengan anak-anak, bahkan memukul dan menggigit putera Lu-ciangkun yang hendak kujodohkan dengan Bi Sian. Anak itu memang keterlaluan, dan engkau bahkan membela anak bongkok jelek itu!”
“Apa? Bongkok jelek katamu? Jangan kau kira aku tidak tahu bahwa engkaulah yang membuat dia menjadi bongkok!”
“Eh? Apa yang kau katakan itu?”
Cihu-nya bertanya kaget, sama kagetnya dengan dia sendiri mendengar ucapan encinya itu.
“Ya, engkau yang membuat dia menjadi bongkok! Karena engkau takut kepadanya! Itu pula sebabnya engkau melarang dia belajar silat. Engkau takut kepadanya!”
“Ssttt....! Lan Hong, apa yang kau katakan ini?”
Terdengar encinya menangis.
“Setelah.... setelah apa yang kulakukan untukmu semua.... setelah kuserahkan badanku, Cintaku, kesetiaanku padamu, hanya dengan harapan agar adikku diselamatkan...., masih kurang besarkah pengorbananku? Dia sudah menjadi bongkok, cacat, dan engkau.... masih juga membencinya?”
“Kau keliru, Lan Hong. Engkau tahu bahwa akupun suka padanya, hanya aku...., benarlah, aku khawatir dan kaupun tahu betapa aku cinta padamu. Aku telah merobah hidupku, mencari nama baik dan kedudukan yang terpandang. Semua ini untukmu dan untuk Bi Sian. Akan tetapi adikmu itu.... dia seakan-akan menjadi penghalang kebahagiaan kita.... aku selalu khawatir dan kadang-kadang aku bermimpi buruk, tak dapat tidur....”
Hening sejenak, lalu terdengar encinya berkata lirih.
“Aku dapat memaklumi perasaan hatimu, akan tetapi.... aku tetap menuntut agar adikku yang tunggal itu tidak diganggu!”
“Lan Hong, demi kebahagiaan kita, anak itu harus disingkirkan.”
“Apa?” Encinya setengah menjerit. “Maksud.... maksudmu....?”
“Biar kutitipkan dia di sebuah kuil besar, agar disana dia dapat menjadi seorang kacung, dan mudah-mudahan kelak dia menjadi seorang hwesio. Bukankah hal itu amat baik baginya? Menjadi seorang hwesio adalah kedudukan yang terhormat, mulia dan disegani orang.”
“Ahhh.... tapi.... tapi....”
“Tidak ada tapi lagi, isteriku yang manis. Bukankah engkau menghendaki agar kebahagiaan kita tidak terganggu dan keselamatan adikmu terjamin pula?”
Setelah hening sampai lama, encinya berkata,
“Baiklah, akan tetapi aku harus tahu di kuil mana dia dititipkan, dan aku dapat mengunjunginya dan menjenguknya sewaktu-waktu....”
Sie Liong tidak mendengarkan terus. Cepat dia kembali ke kamarnya dan dia duduk di atas pembaringannya dengan muka pucat dan bengong. Ingin rasanya dia menangis, menjerit-jerit saking nyeri rasa hatinya. Akan tetapi dia bertahan, bahkan menutupi mulutnya yang mulai terisak-isak itu dengan bantal.
Dia hendak disingkirkan? Dititipkan dalam kuil? Tidak! Dia tidak akan menyusahkan cihu-nya lagi! Dia tidak akan membuat encinya cekcok dengan suami encinya. Bagaimanapun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya. Bukankah encinya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok? Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti.
Dan cihunya takut kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihunya, yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah? Dan mengapa pula mesti takut? Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi buntalan yang cukup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.
Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.
Sie Liong.
Biarpun dia baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok itu memiliki otak yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menulis bahwa dia hendak pergi ke Tiong-cin.
Padahal, setelah dia meninggalkan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama sekali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan! Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang kota itu sebelah utara, dan sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pintu gerbang kota sebelah utara.
Begitu tiba di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke selatan! Tidak ada seorangpun yang melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali mengambil jalan sunyi yang sudah dikenalnya.
Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suaminya cepat melakukan pengejaran ke utara tentu saja! Apalagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong di malam hari itu, membawa buntalan menuju ke pintu gerbang utara.
Dari para petugas jaga di pintu gerbangpun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.
Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, berkuda, mengejar terus ke utara. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong! Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapatkan boncengan ke utara, akan tetapi setelah sehari dia gagal, dia kembali lagi dan kehilangan jejak anak itu. Tidak ada orang yang melihatnya, dan dia mengira bahwa tentu anak itu telah mengambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau kiri? Akhirnya, diapun pulang dengan wajah lesu.
Dia tidak begitu susah ditinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuatnya gelisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, dan ke dua, dan ini yang amat mengganggunya, dia tetap mengkhawatirkan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu ditakutinya? Anak itu bongkok dan cacat!
Seperti telah diduganya, isterinya menjadi berduka dan dia harus berusaha keras untuk menghibur hati isterinya, mengatakan bahwa Sie Liong sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri, dan bahwa kebetulan sekali Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruhnya atau membawanya pergi.
Demikianlah, Sie Liong melakukan perjalanan seorang diri, manuju ke selatan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, agar tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang mencelakakan dia.
Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah encinya, dia berjalan melalui sebuah hutan besar pada suatu pagi yang sejuk. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia makan darimana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya makan, dan ada kalanya dia harus menjual beberapa potong pakaiannya untuk ditukar dengan makanan. Bahkan pernah dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar.
Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar dan diapun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perutnya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering! Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan, hatinya gembira karena semalam dia mendapatkan bahwa masih banyak orang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat dia merasa bahagia di pagi hari itu.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka binatang-binatang sebangsa kera besar. Tubuh dan pakaian mereka kotor dan pandang mata mereka bengis dan buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya dan tersenyum kepada mereka.
“Aih, paman sekalian membikin kaget saja padaku,” katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.
“Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!” kata seorang.
“Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!” kata orang ke dua.
Wajah Sie Liong menjadi merah dan dia memandang kepada dua orang itu dengan mata melotot penuh kemarahan.
“Paman-paman adalah orang-orang dewasa, kenapa suka menghina anak-anak? Punggungku memang bongkok, apa sangkut pautnya dengan kalian? Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain termasuk kalian!”
“Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!” teriak seorang diantara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan.
Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong. Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikitpun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walaupun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawanpun berarti hanya membunuh diri.
Tentu saja tidak mungkin bagi dua orang kakek Lama untuk menyesuaikan lagi irama nyanyian mereka dan kini bunyi-bunyian yang terdengar demikian kacau balau sehingga daya hanyutnya menjadi kacau dan lemah sekali, dan Pek In Tosu, seperti orang yang baru sadar bahwa tadi dia telah hanyut, kini nampak duduk bersila dengan tegak lurus dan sama sekali tidak bergerak!
Dari kepalanya juga tidak lagi keluar uap putih, dan kepalanya tidak lagi digeleng-gelengkan. Bahkan dua orang pendeta Lama yang tadinya mengitari Pek In Tosu sambil bernyanyi dan menggeleng-geleng kepala memantapkan irama nyanyian mereka, kini langkah-langkah kaki mereka kacau, dan gelengan kepala mereka ngawur dan kacau, kaku dan kadang-kadang keliru menjadi angguk-anggukan!
Anak laki-laki itu berusia kurang lebih tiga belas tahun dengan pakaian yang sudah kumal dan robek-robek seperti pakaian seorang gelandangan. Rambutnya panjang dan tidak terawat, awut-awutan, sebagian menutupi dahi dan mukanya. Wajah itu tidak buruk, bahkan bentuknya tampan, matanya lebar dan memiliki sinar terang, sepasang mata yang jernih dan jeli seperti mata burung Hong, namun wajah itu mendatangkan rasa iba bagi yang melihatnya. Punggungnya bongkok dan agaknya ada daging menonjol di punggung itu.
Anak itu bukan lain adalah Sie Liong! Seperti kita ketahui, Sie Liong merasa selalu berduka dan gelisah sejak terjadi peristiwa perkelahian antara dia yang membantu Yauw Bi Sian melawan Lu Ki Cong dan kawan-kawannya. Dia menerima kemarahan dari cihunya, bahkan menerima pukulan yang membuat kepalanya berdenyut nyeri dan punggungnya lebih nyeri lagi. Dan dia mendengar bahwa Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di kota Sung-jan itu bahkan telah disepakati akan menjadi calon jodoh Bi Sian!
Semenjak itu, hatinya selalu merasa tidak tenang, apalagi ketika mereka melakukan sembahyangan dan dia mendengar bahwa ayah ibunya meninggal dunia karena penyakit menular di dusun mereka, yaitu Tiong-cin, hatinya merasa semakin berduka dan gelisah.
Pada suatu malam, ketika dia tidak dapat pulas dan selalu gelisah, dia meninggalkan kamarnya yang berada di ujung belakang, lalu berjalan ke kebun samping rumah. Tiba-tiba dia mendengar suara encinya bercakap-cakap dengan cihu-nya dan dari suara cihu-nya, dia tahu bahwa cihu-nya itu sedang marah dan suaranya keras!
Memang kamar enci dan cihu-nya itu menghadap ke kebun dan suara itu keluar melalui celah-celah jendela mereka yang tertutup. Kamar Bi Sian berada di sebelah lagi, dan jendela kamar gadis cilik itu telah gelap, tanda bahwa ia tentu telah tidur. Sebaliknya, dari jendela kamar encinya nampak cahaya lampu belum dipadamkan.
“Jelas bahwa dia salah besar!” terdengar suara cihu-nya membentak nyaring. “Pertama, dia mencuri belajar ilmu silat padahal sudah kularang dia belajar silat! Ke dua, dia berani mencari keributan dan berkelahi dengan anak-anak, bahkan memukul dan menggigit putera Lu-ciangkun yang hendak kujodohkan dengan Bi Sian. Anak itu memang keterlaluan, dan engkau bahkan membela anak bongkok jelek itu!”
“Apa? Bongkok jelek katamu? Jangan kau kira aku tidak tahu bahwa engkaulah yang membuat dia menjadi bongkok!”
“Eh? Apa yang kau katakan itu?”
Cihu-nya bertanya kaget, sama kagetnya dengan dia sendiri mendengar ucapan encinya itu.
“Ya, engkau yang membuat dia menjadi bongkok! Karena engkau takut kepadanya! Itu pula sebabnya engkau melarang dia belajar silat. Engkau takut kepadanya!”
“Ssttt....! Lan Hong, apa yang kau katakan ini?”
Terdengar encinya menangis.
“Setelah.... setelah apa yang kulakukan untukmu semua.... setelah kuserahkan badanku, Cintaku, kesetiaanku padamu, hanya dengan harapan agar adikku diselamatkan...., masih kurang besarkah pengorbananku? Dia sudah menjadi bongkok, cacat, dan engkau.... masih juga membencinya?”
“Kau keliru, Lan Hong. Engkau tahu bahwa akupun suka padanya, hanya aku...., benarlah, aku khawatir dan kaupun tahu betapa aku cinta padamu. Aku telah merobah hidupku, mencari nama baik dan kedudukan yang terpandang. Semua ini untukmu dan untuk Bi Sian. Akan tetapi adikmu itu.... dia seakan-akan menjadi penghalang kebahagiaan kita.... aku selalu khawatir dan kadang-kadang aku bermimpi buruk, tak dapat tidur....”
Hening sejenak, lalu terdengar encinya berkata lirih.
“Aku dapat memaklumi perasaan hatimu, akan tetapi.... aku tetap menuntut agar adikku yang tunggal itu tidak diganggu!”
“Lan Hong, demi kebahagiaan kita, anak itu harus disingkirkan.”
“Apa?” Encinya setengah menjerit. “Maksud.... maksudmu....?”
“Biar kutitipkan dia di sebuah kuil besar, agar disana dia dapat menjadi seorang kacung, dan mudah-mudahan kelak dia menjadi seorang hwesio. Bukankah hal itu amat baik baginya? Menjadi seorang hwesio adalah kedudukan yang terhormat, mulia dan disegani orang.”
“Ahhh.... tapi.... tapi....”
“Tidak ada tapi lagi, isteriku yang manis. Bukankah engkau menghendaki agar kebahagiaan kita tidak terganggu dan keselamatan adikmu terjamin pula?”
Setelah hening sampai lama, encinya berkata,
“Baiklah, akan tetapi aku harus tahu di kuil mana dia dititipkan, dan aku dapat mengunjunginya dan menjenguknya sewaktu-waktu....”
Sie Liong tidak mendengarkan terus. Cepat dia kembali ke kamarnya dan dia duduk di atas pembaringannya dengan muka pucat dan bengong. Ingin rasanya dia menangis, menjerit-jerit saking nyeri rasa hatinya. Akan tetapi dia bertahan, bahkan menutupi mulutnya yang mulai terisak-isak itu dengan bantal.
Dia hendak disingkirkan? Dititipkan dalam kuil? Tidak! Dia tidak akan menyusahkan cihu-nya lagi! Dia tidak akan membuat encinya cekcok dengan suami encinya. Bagaimanapun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya. Bukankah encinya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok? Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti.
Dan cihunya takut kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihunya, yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah? Dan mengapa pula mesti takut? Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi buntalan yang cukup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.
Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.
Sie Liong.
Biarpun dia baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok itu memiliki otak yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menulis bahwa dia hendak pergi ke Tiong-cin.
Padahal, setelah dia meninggalkan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama sekali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan! Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang kota itu sebelah utara, dan sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pintu gerbang kota sebelah utara.
Begitu tiba di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke selatan! Tidak ada seorangpun yang melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali mengambil jalan sunyi yang sudah dikenalnya.
Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suaminya cepat melakukan pengejaran ke utara tentu saja! Apalagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong di malam hari itu, membawa buntalan menuju ke pintu gerbang utara.
Dari para petugas jaga di pintu gerbangpun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar.
Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, berkuda, mengejar terus ke utara. Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong! Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapatkan boncengan ke utara, akan tetapi setelah sehari dia gagal, dia kembali lagi dan kehilangan jejak anak itu. Tidak ada orang yang melihatnya, dan dia mengira bahwa tentu anak itu telah mengambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau kiri? Akhirnya, diapun pulang dengan wajah lesu.
Dia tidak begitu susah ditinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuatnya gelisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, dan ke dua, dan ini yang amat mengganggunya, dia tetap mengkhawatirkan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu ditakutinya? Anak itu bongkok dan cacat!
Seperti telah diduganya, isterinya menjadi berduka dan dia harus berusaha keras untuk menghibur hati isterinya, mengatakan bahwa Sie Liong sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri, dan bahwa kebetulan sekali Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruhnya atau membawanya pergi.
Demikianlah, Sie Liong melakukan perjalanan seorang diri, manuju ke selatan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, agar tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang mencelakakan dia.
Kurang lebih sebulan sesudah dia meninggalkan rumah encinya, dia berjalan melalui sebuah hutan besar pada suatu pagi yang sejuk. Setiap harinya Sie Liong melakukan perjalanan dan dia makan darimana saja. Kadang-kadang dia mendapat belas kasihan orang yang memberinya makan, dan ada kalanya dia harus menjual beberapa potong pakaiannya untuk ditukar dengan makanan. Bahkan pernah dia hanya makan sayur-sayur yang didapatkannya di ladang orang untuk sekedar menahan lapar.
Malam tadi, ada seorang petani yang baik hati menerimanya di rumahnya. Sie Liong membantu petani itu membelah kayu bakar dan diapun mendapatkan tempat tidur dan makan malam yang cukup mengenyangkan perutnya. Bahkan pagi tadi ketika dia pergi, keluarga petani itu memberinya sarapan dan memberinya bekal roti kering dan sayur asin kering! Maka, pagi itu Sie Liong berjalan dengan tegap dan kaki ringan, hatinya gembira karena semalam dia mendapatkan bahwa masih banyak orang yang baik hati di dunia ini. Kehangatan yang dirasakannya ketika keluarga petani itu menerimanya membuat dia merasa bahagia di pagi hari itu.
Tiba-tiba dia dikejutkan oleh munculnya lima orang yang berloncatan dari balik batang-batang pohon. Lima orang itu berwajah bengis menyeramkan. Kalau saja mereka itu tidak berpakaian, tentu Sie Liong akan mengira mereka binatang-binatang sebangsa kera besar. Tubuh dan pakaian mereka kotor dan pandang mata mereka bengis dan buas. Akan tetapi karena mereka berpakaian, maka Sie Liong kehilangan kekagetannya dan tersenyum kepada mereka.
“Aih, paman sekalian membikin kaget saja padaku,” katanya sambil membetulkan letak buntalan di punggungnya.
“Huh, kiranya hanya anak anjing buduk!” kata seorang.
“Anjing cilik, punggungnya bongkok lagi!” kata orang ke dua.
Wajah Sie Liong menjadi merah dan dia memandang kepada dua orang itu dengan mata melotot penuh kemarahan.
“Paman-paman adalah orang-orang dewasa, kenapa suka menghina anak-anak? Punggungku memang bongkok, apa sangkut pautnya dengan kalian? Kurasa bongkokku tidak merugikan orang lain termasuk kalian!”
“Wah, anjing cilik gonggongnya sudah nyaring!” teriak seorang diantara mereka, yang mukanya penuh brewok dan matanya lebar kemerahan.
Dia adalah pemimpin gerombolan itu dan kini dia menghampiri Sie Liong dengan golok besar di tangan kanan. Golok itu berkilauan saking tajamnya dan si brewok sudah menempelkan mata golok ke leher Sie Liong. Terasa oleh Sie Liong betapa golok itu tajam sekali menempel di kulit lehernya. Sedikit saja digerakkan, tentu lehernya akan putus! Akan tetapi, sedikitpun dia tidak merasa gentar, bahkah dia molotot dengan marah, walaupun maklum bahwa dia tidak berdaya dan melawanpun berarti hanya membunuh diri.
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar