Ads

Senin, 25 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 016

“Anjing galak, apakah engkau ingin mampus dengan leher buntung?” bentak si brewok. “Hayo jawab!”

Betapapun marahnya, Sie Liong maklum bahwa orang ini jahat dan kejam luar biasa dan kalau dia tidak menjawab, orang ini akan marah dan bukan mustahil lehernya akan disembelih. Maka dia menggeleng sambil berkata dengan suara lirih, bukan karena takut melainkan karena hati-hati agar suaranya tidak terdengar menyatakan kemarahan hatinya.

“Tidak.”

“Ha-ha-ha! Kalau begitu biarlah kepalamu masih menempel di tubuhmu, akan tetapi buntalanmu harus kau tinggalkan!”

Berkata demikian, dengan tangan kirinya kepala gerombolan itu merenggut buntalan pakaian Sie Liong lepas dari punggungnya, lalu mondorong sehingga anak itu terjengkang dan kepalanya terbanting ke atas tanah dengan kerasnya.

Sie Liong merasa kepalanya pening, akan tetapi dia cepat bangkit dan berkata dengan suara yang tak dapat disembunyikan lagi kemarahannya.

“Milikku hanya itu, pakaian-pakaian untuk pengganti. Kembalikan, kalian orang-orang jahat!”

Seorang diantara mereka yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat, terbelalak menghampiri Sie Liong dengan marah.

“Apa? Engkau ini masih belum cukup dihajar rupanya!”

Tangannya meraih dan terdengar suara membrebet ketika dia merenggut pakaian yang menempel di tubuh Sie Liong. Pakaian itu robek dan terlepas sehingga anak itu kini telanjang bulat! Lima orang itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, anjing cilik ini biar bongkok, tubuhnya mulus juga.”

Sie Liong yang merasa terhina itu marah sekali dan diapun sudah menerjang ke depan dengan ngawur. Si muka pucat menyambutnya dengan sebuah tendangan yang keras.

“Bukkk!”

Tendangan itu mengenai dada Sie Liong, membuat anak itu jatuh terjengkang dan kepalanya kembali terbanting menghantam batu dan diapun roboh pingsan. Ketika dia siuman kembali, Sie Liong mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput di dalam hutan, dan lima orang itu sudah tidak nampak lagi.

Kepalanya berdenyut nyeri, tubuhnya yang terbanting juga sakit-sakit, dan buntalan pakaiannya tidak ada lagi. Bahkan pakaian yang tadi menempel di tubuhnya juga sudah tidak ada. Agaknya setelah direnggut lepas, dibawa pergi oleh lima orang tadi.

Dia bangkit duduk, memegangi kepala bagian belakang yang berdenyut nyeri. Ah, betapa jahatnya lima orang tadi. Jahat dan kejam sekali, tega merampas buntalan pakaiannya, bahkan menelanjanginya dan menghajarnya!

Baru saja dia merasa betapa indahnya hidup di dunia karena adanya orang-orang yang baik hati seperti keluarga petani itu yang memberinya tempat mondok dan makan, tiba-tiba saja kini muncul lima orang yang demikian jahatnya! Berubah seketika nampaknya hidup di dunia ini, betapa sengsara dan buruknya, betapa pahit dan mengecewakan. Dia harus makin berhati-hati karena di dalam dunia ini tidak kalah banyaknya terdapat orang-orang jahat.

Sie Liong teringat akan keadaan dirinya. Telanjang bulat! Tidak memiliki sepotongpun pakaian yang dapat dipakai menutupi tubuhnya yang telanjang bulat. Tidak ada pula perbekalan makan untuk mengisi perutnya, dan dia berada di tengah hutan yang lebat!

Sie Liong mendapat keterangan dari keluarga petani semalam bahwa kalau dia berjalan terus menembus hutan itu ke selatan, dia akan menemui sebuah dusun yang cukup besar, dan menurut petani itu, sebelum sore dia tentu akan dapat tiba di dusun itu.

Dia bangkit dan setelah pening di kepalanya tidak begitu hebat lagi, mulai dia melangkahkan kakinya. Dia merasa aneh dan lucu, berjalan dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Suara berkeresekan di kanan membuat dia terkejut dan cepat-cepat dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi selangkangannya, takut kalau-kalau ada orang muncul dan melihat ketelanjangannya.






Akan tetapi yang muncul adalah dua ekor monyet! Sie Liong tertawa sendiri. Monyet-monyet itupun telanjang bulat mengapa dia harus malu? Diapun melepaskan kedua tangannya dan menghadapi dua ekor monyet itu sambil tersenyum.

Monyet-monyet itu semenjak lahir telanjang dan tidak pernah merasa malu. Kenapa kalau manusia merasa malu? Jadi kalau begitu, malu timbul bukan karena ketelanjangannya, melainkan karena merasa telanjang! Karena monyet-monyet itu tidak pernah merasa telanjang, juga anak-anak bayi tidak pernah merasa telanjang, maka mereka itu tidak menjadi malu.

Sie Liong berjalan lebih cepat. Kadang-kadang berdebar jantungnya, penuh ketegangan dan perasaan malu kalau dia membayangkan bagaimana nanti dia kalau bertemu dengan orang di dusun itu? Apakah ada yang mau menolongnya dan bagaimana dia dapat menemui mereka dalam keadaan telanjang bulat? Mungkin dia akan dianggap gila!

Benar seperti keterangan petani yang baik itu, sebelum sore dia telah tiba di luar sebuah dusun. Pagar dusun itu cukup tinggi, dan nampak genteng merah di atas dinding putih. Sie Liong merasa bingung. Tak mungkin dia memasuki dusun itu dalam keadaan telanjang bulat seperti itu. Bagaimanapun dia bukan anak kecil lagi, usianya sudah tiga belas tahun, sudah menjelang dewasa. Maka diapun bersembunyi saja di pinggir hutan sambil mengamati dusun itu dari kejauhan.

Nampak olehnya beberapa orang petani laki-laki dan wanita keluar masuk melalui pintu gerbang dusun itu. Bahkan ada dua orang anak penggembala kerbau menggiring kerbau mereka pulang ke dalam dusun. Dia akan menanti sampai keadaan cuaca menjadi gelap, baru dia akan masuk ke dusun itu, mencari keluarga petani yang baik untuk menolongnya. Kalau saja di dusun itu tinggal keluarga petani seperti yang monampungnya semalam, tentu mereka akan mau menolongnya, pikirnya.

Senja tiba dan cuaca mulai gelap. Sie Liong lalu dengan hati-hati menyelinap memasuki dusun melalui pintu gerbang. Dia menyelinap di antara pohon-pohon dan melihat sebuah rumah yang menyendiri di tepi dusun, dia lalu manghampirinya.

Sampai lama dia ragu-ragu dan berdiri di belakang sebatang pohon. Ketika dalam keremangan senja itu dia malihat seseorang datang dari arah belakang rumah menuju ke dapur rumah itu yang berada di belakang, dia membuat gerakan untuk keluar dari balik pohon dan menegur.

Akan tetapi, ketika itu orang tadi sudah dekat dan ternyata orang itu adalah seorang gadis remaja yang membawa sebuah tempat air dari tanah bakar yang dipondongnya di atas pinggang kiri. Melihat bahwa orang yang tadinya disangka laki-laki itu setelah dekat baru kelihatan bahwa ia seorang gadis remaja, dengan gugup Sie Liong menyelinap kembali ke balik batang pohon. Namun terlambat, kakinya menginjak ranting kering dan gadis remaja itu sudah membalikkan tubuh menengok.

“Siapa itu?” Gadis itu menegur.

Sie Liong tidak berani berkutik. Batang pohon itu terlampau kecil untuk menutupi seluruh tubuhnya, dia tidak berani menjawab saking malunya.

“Hayo katakan siapa itu! Malingkah? Aku akan menjerit memanggil orang kalau engkau tidak mau keluar dari balik pohon itu!”

Celaka, pikir Sie Liong. Kalau dia disangka maling dan gadis itu menjerit, mungkin dia akan dikeroyok orang sedusun! Terpaksa dia keluar dari balik batang pohon, sedapat mungkin menutupi selangkangnya dengan kedua tangan.

“Aku.... aku bukan maling....” katanya lirih.

Gadis itu terbelalak memandang kepada pemuda cilik yang telanjang bulat itu, dengan tubuh yang berkulit putih bersih, sama sekali tanpa pakaian!

“Eiiiiihhh....!”

Ia menjerit dan tempat air dari tanah bakar itu terlepas dari rangkulannya, jatuh dan pecah sehingga air jernih itu mengalir keluar. Gadis remaja itupun berlari-lari seperti dikejar setan memasuki rumah.

“Setaaan....! setaaaaann....!” Ia menjerit-jerit.

Sie Liong kembali memyelinap ke balik batang pohon, tersenyum pahit dan merasa bahwa dia memang sudah menjadi setan! Setan telanjang yang menakutkan seorang gadis remaja. Setan bongkok telanjang! Sungguh sial, gerutunya, tidak tahu harus berbuat apa.

Tak lama kemudian, gadis remaja itu datang lagi dengan sikap takut-takut, bersama seorang laki-laki setengah tua dan seorang laki-laki berusia dua puluh tahun lebih, keduanya membawa parang dan siap untuk berkelahi melawan setan. Di belakang gadis remaja itu keluar pula seorang wanita yang saling berpegang tangan dengan gadis itu, nampak ketakutan.

“Mana. dia? Mana setan itu?” tanya pemuda itu dengan lagak pemberani akan tetapi suaranya agak gemetar.

“Tadi disana, di belakang pohon itu! Nah, lihat! Dia masih disana....” gadis itu merangkul ibunya.

Dua orang laki-laki itu juga sudah melihat tubuh putih yang sebagian tertutup batang pohon dan mereka maju baberapa langkah, akan tetapi tetap dalam jarak yang aman.

“Setan! Keluarlah dan perlihatkan mukamu!” bentak laki-laki muda.

“Kalau engkau benar setan, harap jangan ganggu keluarga kami, kami adalah orang baik-baik dan suka sembahyang,” kata pria yang setengah tua.

Sie Liong merasa bahwa bersembunyi lebih lama lagi tidak ada gunanya juga kalau dia melarikan diri, mungkin akan dikejar orang sedusun. Maka, diapun terpaksa keluar dari balik pohon sambil menggunakan kedua tangan menutupi bawah perutnya.

“Maaf, paman.... maafkan aku. Aku.... aku bukan setan, aku manusia biasa yang mengharapkan pertolongan kalian.”

Dua orang pria itu jelas kelihatan lega mendengar ini, akan tetapi mereka masih ragu-ragu. Kalau benar manusia, mengapa bertelanjang bulat? Kalau manusia, tentu orang gila dan ini sama menyeramkannya dengan setan!

“Engkau seorang manusia? Kenapa malam-malam begini datang kesini dan telanjang bulat? Apakah engkau gila?” tanya pria setengah tua.

“Maafkan, paman. Aku tidak gila, aku.... aku siang tadi lewat di hutan itu dan aku dirampok. Buntalan pakaianku, juga pakaian yang kupakai, dirampas perampok, bahkan aku dipukul mereka. Lihat, kepalaku masih berdarah disini.”

Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, Sie Liong membalikkan tubuh memperlihatkan luka di belakang kepalanya, juga memperlihatkan daging menonjol di punggung yang membuatnya bungkuk, memperlihatkan pula tanpa disadari pinggulnya karena yang ditutupnya hanyalah bawah perut.

“Iiihhh....!”

Gadis remaja itu menjerit lagi dan menutupi muka dengan kedua tangan, hanya mengintai dari celah-celah jari tangannya!

Kini pria setengah tua itu percaya karena dia melihat betapa belakang kepala itu memang terluka.

“Kau ambilkan satu stel pakaianmu, juga obor.” perintahnya kepada puteranya, kakak gadis remaja tadi.

“Baik, ayah.” Diapun lari ke dalam.

Ayah, ibu dan anak perempuan itu manih mengamati Sie Liong yang menjadi rikuh sekali. Karena disitu ada dua orang wanita terutamm gadis remaja yang menutupi muka dengan kedua tangan dia kembali menyelinap ke balik batang pohon, menyembunyikan tubuhnya dan hanya memperlihatkan kepalanya saja.

“Maafkan aku, paman. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, maka aku sengaja menanti sampai gelap baru berani memasuki dusun ini dengan maksud minta pertolongan kepada siapa saja. Melihat rumah paman ini agak terpencil, maka aku lalu datang kesini untuk minta pertolongan, takut kalau sampai terlihat banyak orang. Dan ternyata pilihanku tidak keliru. Aku bertemu dengan keluarga yang budiman. Harap enci disana itu memaafkan aku, aku tidak sengaja untuk bersikap kurang ajar dan melanggar susila.”

Mendengar kata-kata yang halus dan teratur rapi, ayah ibu dan anak itu dapat menduga bahwa tentu anak telanjang itu bukan seorang dusun, melainkan seorang kota yang terpelajar.

“Siapakah namamu, orang muda?” tanya si ayah.

“Namaku Liong, she Sie.”





Pendekar Bongkok Jilid 015
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar