Ads

Senin, 25 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 018

Bukit itu puncaknya merupakan padang rumput yang luas. Disana-sini tumbuh pohon yang tua dan besar, dengan daun-daun yang lebat. Dari padang rumput di puncak bukit itu, orang dapat melihat ke seluruh penjuru, melihat sawah ladang, melihat bukit-bukit lain di Pegunungan Kun-lun-san, puncak-puncak tinggi yang tertutup awan, jurang-jurang yang amat dalam dan hutan-hutan yang hijau.

Mereka duduk bersila di atas padang rumput itu, duduk dalam bentuk segi tiga mengurung anak bongkok yang juga duduk bersila di tengah-tengah. Seorang diantara tiga kakek yang duduk bersila itu adalah Pek In Tosu. Orang ke dua juga seorang tosu, bertubuh tinggi kurus seperti hanya tinggal tulang terbungkus kulit. Namun muka kakek ini licin tanpa rambut sedikitpun, seperti muka kanak-kanak dan mulutnya selalu dihias senyum ramah. Usianya sebaya dengan usia Pek In Tosu, sekitar tujuh puluh tahun dan dia berjuluk Swat Hwa Cin-jin, dengan pakaian serba putih sederhana seperti juga yang dipakai Pek In Tosu. Orang ke tiga bernama Hek Bin Tosu, dan sesuai dengan namanya, muka tosu ini kehitaman dan tubuhnya pendek besar, wajahnya nampak serius dan bengis, pakaiannya juga putih dan usianya juga sebaya dengan dua orang tosu lainnya.

Mereka bertiga inilah yang dahulu dikenal sebagai Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya). Mereka dahulu adalah para pertapa di Himalaya yang ikut pula mengungsi ke Kun-lun-san untuk menghindarkan bentrokan dan keributan dengan para Lama di Tibet.

Tak mereka sangka, setelah puluhan tahun, kini muncul mereka yang menamakan dirinya Lima Harimau Tibet, lima orang pendeta Lama yang sakti melakukan pengejaran ke Kun-lun-san dan menyerang para pertapa yang berasal dari Himalaya! Bahkan baru saja dua orang pendeta Lama berusaha menangkap Pek In Tosu, dengan ancaman membunuhnya kalau tidak mau menyerah.

“Siancai....! Sungguh mengherankan sekali sikap para Lama itu. Mengapa mereka itu memusuhi kita?”

Hek-bin Tosu yang berwatak kasar namun jujur terbuka itu berseru. Mereka bertiga ini bukan saudara seperguruan, akan tetapi biarpun mereka datang dari sumber perguruan yang lain, di Himalaya mereka bertemu dan bersatu sebagai tiga orang murid dalam hal kerohanian, di bawah petunjuk seorang guru besar yang kini telah tiada. Karena itu, mereka bertiga merasa seperti saudara saja dan mereka terkenal sebagai Himalaya Sam Lojin.

“Tidak tahukah engkau, sute?” kata Swat Hwa Cinjin. “Ketika kita masih di Himalaya dahulu, mereka para Lama itu sudah memusuhi para pertapa disana dan menganggap bahwa para pertapa itu ingin memberontak dan ingin menjatuhkan kedudukan Dalai Lama. Rupanya, biarpun sebagian besar para pertapa menghindarkan diri, mereka masih terus mendendam dan kini mereka itu mengutus Lima Harimau Tibet untuk membasmi para pertapa di pegunungan ini yang datang dari Himalaya.”

“Benar seperti apa yang dikatakan Swat Hwa sute. Sungguh menyedihkan sekali bagaimana orang-orang yang sudah memiliki tingkat sedemikian tingginya, masih juga menjadi budak dari nafsu dendam!” kata Pek In Tosu yang dianggap paling tua diantara mereka.

“Pinto hanya ingat sedikit saja akan hal itu, akan tetapi sampai sekarang pinto masih belum jelas persoalannya. Mengapa para pendeta Lama itu menuduh para pertapa Himalaya memberontak? Dan mengapa pula yang mereka musuhi khususnya adalah kita bertiga?” Hek-bin Tosu bertanya penuh rasa penasaran.

Pek In Tosu menarik napas panjang.
“Memang mendiang suhu berpesan kepada pinto agar urusan itu tidak perlu pinto ceritakan kepada siapapun, sehingga engkau sendiri juga tidak mengetahuinya. Sekarang, menghadapi nafsu balas dendam dari para Lama, biarlah kalian dengarkan apa yang pernah terjadi puluhan tahun yang lalu.”

Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu mendengarkan penuh perhatian. Sie Liong, anak bongkok yang duduk bersila pula di tengah-tengah, ikut mendengarkan walaupun dia harus menahan perasaan nyeri yang membuat napasnya masih agak sesak dan dadanya nyeri.

Tadi, pagi-pagi sekali, tiga orang tosu itu telah mengobatinya dengan menempelkan tangan mereka pada tubuhnya. Hawa yang hangat panas memasuki tubuhnya dan memang perasaan nyeri di dadanya banyak berkurang walaupun belum lenyap sama sekali.

“Pada waktu itu, kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, mendiang suhu kebetulan berada di sebuah dusun di kaki Himalaya. Suhu melihat serombongan pendeta Lama memasuki dusun dan dengan paksa mereka hendak menculik seorang anak laki-laki yang menurut mereka adalah seorang calon Dalai Lama yang harus mereka bawa ke Tibet. Ayah ibu anak itu tentu saja merasa keberatan dan tidak memberikan putera mereka yang tunggal, apalagi karena mereka bukanlah pemeluk Agama Buddha Tibet. Terjadi ketegangan ketika para pendeta Lama itu memaksa. Orang-orang dusun membela orang tua anak itu dan terjadilah pertempuran. Banyak orang dusun itu tewas, termasuk ayah ibu anak itu.






Suhu yang melihat keributan itu turun tangan dan dalam bentrokan itu, tiga orang pendeta Lama tewas ketika mereka bertanding melawan suhu. Para pendeta Lama menjadi gentar dan sambil melarikan anak itu dan mayat kawan-kawan mereka, para pendeta Lama itu melarikan diri. Nah, semenjak itu, terjadi dendam di pihak pendeta Lama di Tibet dan mereka mengirim orang-orang pandai untuk membasmi para pertapa di Himalaya. Tentu saja yang mereka musuhi pertama-tama adalah suhu. Karena suhu telah meninggal dunia, maka tentu saja kita bertiga sebagai murid-murid suhu yang menjadi sasaran mereka itu, di samping juga mereka menyerang semua pertapa di Himalaya karena mereka menuduh bahwa para pertapa menentang Dalai Lama di Tibet dan hendak memberontak.”

“Akan tetapi, itu sungguh tindakan gila!” Hek-bin Tosu berseru penuh rasa penasaran. “Kenapa hanya untuk memilih seorang anak menjadi calon Dalai Lama, mereka bertindak kejam dan tidak segan membunuhi manusia yang tidak berdosa?”

“Siancai, sute. Kalau sute mau bersikap tenang, tentu akan mudah melihat mengapa terjadi hal itu. Kepercayaan yang membuat mereka bertindak seperti itu. Kepercayaan akan agama mereka, secara membuta dan apapun yang dikatakan oleh pimpinan mereka merupakan perintah yang harus mereka taati, mereka anggap sebagai perintah dari Thian sendiri. Dan betapapun juga, anak yang mereka culik itu adalah Dalai Lama yang sekarang!”

“Ahh.” Swat Hwa Cinjin dan Hek-bin Tosu berseru. “Kalau anak itu yang menjadi Dalai Lama, lalu mengapa dia menyuruh Lima Harimau Tibet memanggil kita? Bukankah mendiang suhu bermaksud untuk menolong dia dan keluarganya ketika para Lama hendak menculiknya?”

“Inipun suatu kejanggalan dan rahasia yang harus dipecahkan. Kita belum mempunyai bukti bahwa penyerbuan ke Kun-lun-san sekali ini adalah atas perintah Dalai Lama. Sudahlah, kalau memang mereka hendak menyerang kita, terpaksa kita hadapi dengan tenang dan tidak ada pilihan lain kecuali membela diri. Kita tidak suka bermusuhan, tidak membiarkan kebencian menyentuh batin, namun kita berhak dan berkewajiban untuk melindungi diri kita dari serangan yang datang dari luar maupun dalam.”

Tiga orang tosu itu kini berdiam diri, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Tak mereka sangka bahwa dalam usia yang amat lanjut itu mereka masih harus menghadapi ancaman dari luar dan terpaksa harus siap siaga untuk bertanding.

“Suheng, lalu bagaimana dengan anak ini? Kita menghadapi bahaya ancaman Lima Harimau Tibet, dan dia berada di tengah-tengah antara kita,” Swat Hwa Cinjin bertanya kepada Pek In Tosu.

“Siancai....! Agaknya Thian yang menuntun anak ini sehingga tanpa disadarinya sendiri dia telah menghindarkan pinto dari ancaman maut di tangan dua orang pdndeta Lama itu dan dia menderita luka parah yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawanya. Kita bertiga sudah berusaha mengusir hawa beracun itu, namun tidak berdaya menyembuhkan lukanya. Harus ditangani seorang ahli pengobatan yang pandai. Karena Thian sendiri yang menuntunnya berada diantara kita, maka sudah menjadi kewajiban kita pula untuk melindunginya dan mencarikan seorang ahli untuk menolongnya.”

Kembali tiga orang tosu itu berdiam diri. Sie Liong sejak tadi mendengarkan percakapan mereka. Dia tadinya juga tidak mengerti apa yang telah terjadi. Karena keterangan Pek In Tosu, dia hanya tahu bahwa tanpa disengaja, dia telah mengacau permainan sihir dua orang pendeta Lama itu sehingga mereka berusaha membunuhnya. Dia sudah tahu bahwa dua orang pendeta Lama dari Tibet itu memusuhi kakek tosu yang kemudian mengaku bernama Pek In Tosu.

Dan sekarang, mendengar percakapan mereka, baru dia mengerti jelas mengapa para pendeta Lama itu hendak membunuh para tosu ini. Ketika mendengar betapa tiga orang kakek yang terancam oleh serangan para Lama yang sakti ini harus melindungi pula dirinya, diapun segera berkata.

“Harap sam-wi totiang memaafkan saya. Sam-wi sendiri menghadapi ancaman para pendeta Lama, maka tidak semestinya kalau sam-wi harus pula bersusah-payah melindungi saya dan mencarikan ahli pengobatan. Biarlah, saya akan pergi saja dan mencari sendiri ahli pengobatan itu agar selanjutnya tidak membuat sam-wi repot dan semakin terancam.”

Berkata demikian, dia hendak bangkit untuk meninggalkan tempat itu. Akan tetapi begitu dia bangkit, rasa nyeri menusuk dadanya sehingga dia jatuh terduduk kembali.

“Duduk sajalah dengan tenang, Sie Liong. Engkau harus terus menenangkan tubuhmu, bernapas panjang dan perlahan seperti yang kami ajarkan tadi dan jangan memikirkan apa-apa. Engkau sama sekali tidak merepotkan kami,” kata Pek In Tosu.

Bagaimanapun juga, anak bongkok ini pernah menyelamatkan nyawanya, maka sudah menjadi kewajiban mereka bertiga untuk melindunginya, apalagi mereka bertiga tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sie Liong dan mereka mendapatkan kenyataan yang mentakjubkan sekali, yaitu bahwa di dalam tubuh yang bongkok itu ternyata terkandung tulang yang amat baik, darah yang bersih dan bakat yang besar!

Sie Liong terpaksa mentaati petunjuk Pek In Tosu ini karena dia memang merasa pening begitu bangkit berdiri tadi. Dia sudah mendapat petunjuk untuk duduk diam, bersila dan mengatur pernapasan seperti yang diajarkan mereka.

Tiba-tiba ada angin keras menyambar dan seperti setan saja, muncullah lima orang pendeta Lama di tempat itu. Oleh Sie Liong hanya kelihatan bayangan merah berkelebatan dan tahu-tahu di situ telah berdiri lima orang pendeta Lama yang sikapnya menyeramkan.

Dua diantara mereka adalah Thay Ku Lama si muka codet dan Thay Si Lama si muka bopeng yang pernah dilihatnya. Tiga orang pendeta Lama yang lain juga mempunyai ciri yang mudah dibedakan satu antara yang lain. Orang ke tiga adalah seorang yang mukanya pucat seperti berpenyakitan dan dia ini berjuluk Thay Pek Lama. Orang ke empat berjuluk Thay Hok Lama, matanya yang kiri buta, terpejam dan kosong tidak berbiji mata lagi. Orang ke lima berjuluk Thay Bo Lama, kurus kering seperti tengkorak hidup. Inilah Lima Harimau Tibet yang terkenal mengamuk di Kun-lun-san itu.

Melihat munculnya lima orang ini, Himalaya Sam Lojin lalu menggeser duduk mereka. Kini mereka bersila sejajar, membelakangi Sie Liong dan menghadapi lima orang pendeta Lama itu, dengan sikap yang tenang sekali. Sie Liong membuka matanya lebar-lebar, hatinya tegang akan tetapi diapun tidak merasa takut, hanya marah kepada lima orang pendeta Lama yang dianggapnya amat jahat dan sombong itu.

Melihat betapa tiga orang calon lawan itu duduk bersila dan berjajar menghadapi mereka, Lima Harimau Tibet juga segera duduk bersila berjajar menghadapi Himalaya Sam Lojin. Thay Ku Lama, si muka codet yang menjadi pimpinan mereka itu agaknya memberi isarat melalui gerakan tangan dan tubuh.

Mereka berlima tidak berani memandang rendah kepada tiga orang lawan mereka. Bukan hanya karena nama Himalaya Sam Lojin sudah terkenal sebagai orang-orang sakti, bahkan beberapa hari yang lalu Thay Ku Lama dan Thay Si Lama sudah merasakan kelihaian Pek In Tosu dan karenanya, kini mereka berlima bersikap hati-hati.

Jarak antara dua pihak itu ada lima meter, dan jelas nampak perbedaan antara sikap mereka. Kalau Himalaya Sam Lojin bersikap tenang saja, sebaliknya sikap Lima Harimau Tibet itu penuh geram, sinar mata mereka mencorong penuh tuntutan dan tubuh mereka jelas membayangkan kesiap-siagaan untuk berkelahi.

Kedua pihak sampai lama tidak mengeluarkan kata-kata, hanya saling pandang seolah-olah hendak mengukur kekuatan pihak lawan dengan pengamatan saja.

“Sam Lojin, sekali lagi kami tegaskan bahwa pimpinan kami, yang mulia Dalai Lama memerintahkan kalian bertiga untuk menghadap beliau!”

Tiba-tiba terdengar Thay Ku Lama berkata, suaranya lirih namun jelas dan tajam, bahkan mengandung perintah dan ancaman.

“Siancai! Kami bukanlah rakyat Tibet, juga bukan hamba sahaya pemerintah Tibet, oleh karena itu menyesal sekali kami tidak dapat memenuhi perintah itu.”

“Kalian tinggi hati! Baiklah, kami menggunakan kata-kata yang halus. Pemimpin kami, yang mulia Dalai Lama mengundang sam-wi untuk datang karena beliau ingin berwawancara dengan sam-wi,” kata pula Thay Ku Lama, biarpun kata-katanya halus dan sopan, namun mengandung ejekan.

“Maafkan kami,.. kami sudah tua dan lelah, tidak mungkin dapat memenuhi undangan itu. Kalau Sang Dalai Lama memang berkeinginan untuk bicara dengan kami, silahkan saja datang ke Kun-lun-san dan kami akan menyambutnya.”

Marahlah Lima Hariman Tibet itu!
“Kalian memang tua bangka yang sombong sekali! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?” bentak pula Thay Ku Lama.





Pendekar Bongkok Jilid 017
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar