Ads

Selasa, 26 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 017

Pada saat itu, pemuda tadi datang lagi membawa obor di tangan kanan dan satu stel pakaian di tangan kiri. Kini obor menerangi tempat itu dan gadis remaja itu tetap mengintai dari celah-celah jari tangannya.

Dengan peraaaan berterima kasih sekali Sie Liong menerima satu stel pakaian itu, lalu memakainya di balik batang pohon. Baju itu kebesaran, lengannya terlalu panjang dan celana itupun kakinya terlalu panjang. Terpaksa dia menggulung lengan dan kaki pakaian itu, dan muncul dari balik batang pohon. Karena baju itu kedodoran, maka bongkoknya tidak terlalu kelihatan.

Sie Liong mengangkat tangan memberi hormat kepada mereka.
“Paman, bibi, toako dan enci, aku Sie Liong menghaturkan banyak terima kasih dan percayalah, selama hidupku aku tidak akan melupakan budi pertolongan yang amat berharga ini.”

Laki-laki setengah tua itu melangkah maju. Kini dia yakin bahwa anak ini bukan setan, bukan pula orang gila, dan dirangkulnya pundak Sie Liong, ditariknya untuk diajak masuk ke rumah.

“Anak yang malang, mari kita masuk ke dalam. Engkau boleh bermalam di rumah kami dan makan malam bersama kami, akan tetapi engkau harus menceritakan semua pengalaman dan riwayatmu kepada kami.”

Sie Liong mengikuti mereka dan kini gadis remaja itu tidak lagi menutupi mukanya dengan jari tangan. Gadis itu berusia kurang lebih lima belas tahun dan mukanya manis sekali, tubuhnya padat berisi karena ia biasa bekerja berat seperti lajimnya gadis-gadis dusun.

Mereka bersikap ramah sekali. Sie Liong diajak makan malam yang terdiri dari nasi dan sayur-sayuran tanpa daging. Jarang ada petani makan daging, mungkin hanya satu dua kali sebulan karena daging merupakan makanan atau hidangan yang mewah bagi mereka.

Akan tetapi, diantara orang-orang yang demikian ramah dan baiknya, hidangan itu terasa lezat sekali oleh Sie Liong yang memang sudah lelah dan lapar sekali. Sesudah makan, mereka duduk di tengah pondok, memutari meja dan Sie Liong lalu bercerita.

“Aku adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibuku telah tidak ada, meninggal karena penyakit menular yang berjangkit di dusun kami, jauh di utara. Semenjak itu, aku lalu hidup seorang diri, selama beberapa tahun ini aku ikut dengan orang, bekerja sebagai pelayan. Kemudian, karena ingin meluaskan pengalaman, aku lalu berhenti dan melakukan perjalanan merantau. Tak kusangka, sampai di dalam hutan itu muncul lima orang yang demikian kejamnya, merampas semua pakaian dalam buntalanku, bahkan melucuti pakaian yang kupakai sehingga aku bertelanjang bulat. Untung ada paman, bibi, toako dan enci yang baik budi sehingga aku tertolong terhindar dari ketelanjangan dan kelaparan.”

Empat orang itu senang sekali melihat sikap Sie Liong yang demikian sopan, kata-katanya yang rapi, sungguh berbeda sekali dengan anak-anak di dusun yang kasar.

“Kalau engkau sebatangkara, biarlah engkau tinggal disini saja bersama kami, Sie Liong. Asal engkau suka hidup sederhana dan membantu pekerjaan di sawah ladang, makan seadanya dan pakaianpun asal bersih, kami akan suka sekali menerimamu.” kata sang ayah.

“Benar kata ayahku, Sie Liong. Tinggallah disini, dan engkau menjadi adikku!” kata gadis manis itu. Ibu gadis itu, dan kakaknya juga, menyambut dengan senyum ikhlas.

Sie Liong memandang mereka dengan mata basah karena hatinya terharu sekali. Sungguh aneh manusia di dunia ini, pikirnya. Dia pernah bertemu dengan keluarga petani yang amat baik hati, memberinya tempat bermalam dan memberinya makan dan dia sudah manganggap mereka itu teramat baik hati.

Akan tetapi, kegembiraan hatinya bertemu dengan keluarga petani yang baik itu dihancurkan oleh kenyataan pahit ketika dia bertemu dengan lima orang perampok. Dan pandangannya bahwa manusia di dunia ini banyak yang baik seketika berubah dengan kepahitan, melihat betapa lima orang perampok itu amat jahatnya.

Namun, baru setengah hari lewat, dia bertemu lagi dengan keluarga petani ini yang ternyata luar biasa baiknya, bukan saja memberinya pakaian sehingga dia tidak lagi telanjang, memberinya makan, menerimanya bermalam di situ, bahkan kini menawarkan agar dia hidup bersama mereka di rumah mereka! Adakah kebaikan yang lebih hebat dari pada ini? Keikhlasan tanpa pamrih yang amat mengharukan. Dia bangkit dari duduknya dan mengangkat kedua tangan di depan dada, memberi hormat kepada mereka.

“Sungguh paman sekalian teramat baik kepadaku, budi yang berlimpahan dari paman sekalian ini takkan kulupakan selama hidupku. Semoga Thian memberkahi paman sekalian karena kebaikan dan ketulusan hati paman, bibi, toako, dan enci. Aku Sie Liong takkan pernah melupakannya. Akan tetapi maaf, aku masih ingin malanjutkan perantauan dan belum ingin tinggal di suatu tempat tertentu. Kelak, kalau sudah timbul keinginan itu, aku akan ingat kepada penawaran paman, karena sungguh, aku akan lebih bangga dan senang hidup serumah dengan keluarga paman yang budiman ini dari pada dengan keluarga lain.”






Malam itu, dengan hati penuh kegembiraan Sie Liong tidur di dalan sebuah kamar bersama putera tuan rumah yang mengalah tidur di atas lantai bertilamkan tikar dan memberikannya dipannya yang kecil kepada Sie Liong. Mula-mula Sie Liong menolaknya, akan tetapi pemuda itu memaksa sehingga akhirnya Sie Liong menerima juga. Malam itu, sebelum tidur, dia sempat rebah telentang, agak miring karena pungungnya tidak memungkinkan dia tidur telentang penuh, dan melamun.

Bermacam-macam sudah dia mengalami dalam kehidupan ini semenjak terjadi perkelahian di kota Sung-jan itu. Dan semua pangalaman itu mulai menggemblengnya dan mematangkan jiwanya. Maklumlah dia bahwa di dunia ini terdapat banyak orang jahat, di samping banyak pula orang baik, dan bahwa dalam kehidupan yang serba sulit dan keras ini, dia harus pandai-pandai menjaga diri sendiri.

Baru mencari makan saja sudah tidak mudah, apalagi menghadapi gangguan orang-orang jahat yang amat kejam. Agaknya, perlu memiliki kepandaian silat yang akan membuat dia kuat dan tangguh untuk mengatasi semua gangguan orang jahat itu, di samping dapat pula dia pergunakan untuk melindungi orang yang dihimpit kejahatan orang lain, seperti halnya Bi Sian ketika diganggu pemuda-pemuda remaja yang nakal itu. Mulailah timbul tekatnya untuk mempelajari ilmu silat tinggi dan mencari seorang guru yang pandai.

Pada keesokan harinya, Sie Liong pamit pada keluarga yang baik itu, dan diapun melanjutkan perjalanannya terus ke selatan. Sampai akhirnya pada pagi hari itu menjelang siang, dia tiba di sebuah hutan dan dari jauh dia sudah mendengar suara nyanyian dua orang pendeta Lama dengan suara dan iramanya yang aneh. Sie Liong tertarik sekali dan cepat dia menuju ke arah suara itu.

Melihat betapa ada seorang tosu tua renta duduk bersila dan dikelilingi oleh dua orang pendeta berkepala gundul berjubah merah, dia merasa heran sekali dan cepat dia duduk tak jauh dari situ. Dia memegang sebatang bambu yang dipergunakannya sebagai tongkat, juga sebagai semacam senjata kalau-kalau dia diserang binatang buas atau juga orang jahat.

Dia tidak tahu apa yang sedang terjadi dan yang sedang dilakukan oleh tiga orang kakek itu, akan tetapi mendengarkan nyanyian dan irama dua orang pendeta Lama itu, telinganya merasa tidak enak sekali, bahkan nyeri seperti ditusuk-tusuk rasanya. Maka, tanpa disadari, dia lalu mengetuk-ngetukkan tongkat bambu di tangannya itu pada sebuah batu besar.

Karena bambu itu berlubang, maka menimbulkan suara nyaring dan diapun memukul tak-tok-tak-tok berirama, akan tetapi dia sengaja menentang irama nyanyian dua orang pendeta Lama itu agar telinganya tidak sakit seperti ditusuk-tusuk oleh irama aneh itu. Dan begitu dia mendengar suara tak-tok-tak-tok dari bambunya sendiri, benar saja, telinganya tidak begitu nyeri lagi karena tidak lagi “diserang” oleh irama nyanyian dua orang pendeta Lama.

Akan tetapi, kembali telinganya nyeri ketika dua orang pendeta itu menyesuaikan irama lagu mereka dengan irama ketukan bambunya. Sie Liong menjadi penasaran dan diapun mengubah irama ketukan bambunya, bahkan kini dia bikin irama yang kacau balau, berganti-ganti dan berubah-ubah!

Melihat betapa ilmu yang mereka lakukan melalui pengaruh irama dan nyanyian telah dibikin hancur dan kacau oleh suara ketukan bambu, marahlah dua orang pendeta Lama itu. Mereka menghentikan nyanyian mereka, dan keduanya membalikkan tubuh menghadap ke arah suara ketukan bambu.

“Tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok, tak-tok-tak-tok!” suara ketukan bambu itu seperti ketukan bambu peronda malam!

Melihat bahwa yang mengacaukan ilmu mereka hanya seorang bocah bongkok berusia tiga belas tahun, dua orang pendeta Lama itu terbelalak, merasa penasaran, malu dan terhina sekali, hanya seorang bocah bongkok! Dan ilmu mereka telah ketahuan rahasianya dan telah menjadi kacau!

Memang rahasia kekuatan ilmu itu berada pada iramanya yang mampu menyeret dan mencengkeram semangat seseorang. Akan tetapi begitu irama itu kacau oleh irama lain, seolah-olah jantung ilmu itu ditusuk, kunci rahasianya dibuka dan ilmu itupun tidak ada gunanya lagi.

“Bocah setan! Berani engkau mengacaukan ilmu kami?”

Bentak Thay Ku Lama yang bermuka codet dan tubuhnya sudah meloncat dengan cepat bagaikan seekor burung garuda melayang, dan cepat sekali dia menyerang anak itu dengan Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang begitu kedua kakinya menyentuh tanah dan dia sudah berjongkok!

Bukan main kejinya serangan dari Thay Ku Lama ini. Pukulan Hek-in Tai-hong-ciang adalah pukulan sakti yang ampuh. Seorang dewasa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekalipun jarang ada yang kuat menahan pukulan ini, apalagi kini yang dipukulnya seorang anak-anak yang lemah!

“Siancai....! Engkau terlalu keji, Lama!”

Terdengar seruan halus dan tubuh Pek In Tosu sudah meluncur seperti bayangan putih dan dari samping dia sudah menangkis pukulan dahsyat itu sambil mengerahkan tenaga sin-kang yang tidak kalah hebatnya, yaitu Pek In Sin-ciang yang mengeluarkan uap putih.

“Desss....!”

Tubuh Thay Ku Lama terpelanting dan terguling-guling. Ternyata Pek In Tosu dalam usahanya menyelamatkan anak bongkok, telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga pandeta Lama itu tidak kuat bertahan. Akan tetapi, pukulannya yang dahsyat tadipun sudah menyerempet dada Sie Liong dan anak inipun terpelanting dan terbanting keras!

Thay Ku Lama terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa ketika menangkis, Pek In Tosu telah mengerahkan tenaganya dan ternyata kakek tua renta itu benar-benar amat tangguh. Dia tidak terluka, hanya tordorong sampai terpelanting, namun dia merasa jerih. Setelah meloncat bangun, dia lalu berkata dengan suara marah dan muka merah.

“Tunggu saja, Pek In Tosu. Kami akan membasmi Himalaya Sam Lojin!”

Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama mengajak sutenya untuk pergi dari situ. Dua orang pendeta Lama itu berkelebat dan lenyap dari situ.

“Siancai....! Sungguh mereka itu orang-orang sesat yang berbahaya sekali....” kata Pek In Tosu yang segera menghampiri dua orang pemuda murid Kun-lun-pai.

Dua kali tangannya bergerak dan dua orang pemuda itu telah terbebas dari totokan. Mereka tadi hanya diam tak mampu bergerak akan tetapi dapat mengikuti apa yang telah terjadi di depan mata mereka, perkelahian yang aneh dan hebat sekali. Mereka tahu pula bahwa nyawa mereka diselamatkan oleh kakek sakti itu, maka keduanya lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada Pek In Tosu yang segera mengibaskan ujung lengan bajunya dan berkata dengan halus.

“Sudahlah, harap ji-wi (kalian berdua) segera pulang saja ke Kun-lun-pai dan jangan mencampuri urusan para Lama itu.”

Dua orang itupun cepat-cepat memberi hormat lalu pergi dari situ untuk membuat laporan tentang peristiwa itu kepada pimpinan mereka di Kun-lun-pai. Setelah dua orang murid Kun-lun-pai itu pergi, Pek In Tosu lalu menghampiri Sie Liong yang menggeletak pingsan. Dia mengamati anak itu lalu berlutut.

“Thian Yang Maha Agung.... Sungguh kasihan sekali anak ini....” katanya ketika melihat betapa napas anak itu empas empis, mukanya agak membiru.

Tahulah dia bahwa pertolongannya tadi agak terlambat dan anak itu masih terlanggar hawa pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang amat dahsyat itu. Pek In Tosu cepat meletakkan kedua telapak tangannya ke atas dada Sie Liong, lalu perlahan-lahan dan dengan hati-hati sekali dia menyalurkan tenaga sakti dari tubuhnya melalui telapak tangan ke dalam dada anak itu.

Perlahan-lahan dia mendorong dan mengusir keluar hawa busuk beracun sebagai akibat pukulan Hek-in Tai-hong-ciang sehingga untuk sementara ini nyawa anak itu tidak lagi terancam bahaya, walaupun luka di dadanya masih belum dapat disembuhkan. Untuk menyembuhkan luka akibat getaran pukulan sakti itu, dia tidak mampu dan harus dicarikan seorang ahli pengobatan yang pandai.

Anak itu menggerakkan kaki tangannya dan membuka mata, meringis kesakitan akan tetapi tidak mengeluh. Melihat betapa punggung anak itu menonjol dan bongkok, kakek itu menarik napas panjang dan perasaan iba memenuhi batinnya.

Anak bongkok yang aneh ini, mungkin karena tidak disengaja, tadi telah menyelamatkan nyawanya yang sudah terancam maut di bawah pengaruh sihir dua orang pendeta Lama! Dan sebagai akibatnya, anak yang bongkok dan miskin ini terkena pukulan beracun. Bagaimanapun juga, dia harus mengusahakan agar anak ini dapat disembuhkan oleh seorang ahli. Dan dia memandang kagum. Anak itu tidak mangeluh sama sekali, padahal dia tahu bahwa luka itu tentu mendatangkan perasaan nyeri yang hebat. Hanya napas anak itu masih sesak, dan ketika anak itu bangkit duduk, dia cepat memejamkan kedua matanya karena pening. Akan tetapi, dia tetap tidak mengeluh!

“Sakitkah dadamu?” tanya Pek In Tosu lirih.

Sie Liong membuka matanya, memandang kepada kakek itu dan mengangguk.
“Nyeri dan napasku sesak. Totiang, kenapakah hwesio tadi memukul aku?”

Pek In Tosu menarik napas panjang dan semakin suka dan kagum kepada anak bongkok itu.

“Untuk menjawab pertanyaanmu itu, perlu lebih dulu pinto ketahui, kenapa tadi engkau memukuli batu dengan bambu ini?”

Sie Liong yang masih agak pening itu memejamkan mata, mengingat-ingat dan terbayanglah semua yang tadi terjadi.

“Totiang, ketika tadi aku lewat di hutan ini, aku mendengar suara nyanyian dan aku tertarik, lalu mendekat. Aku tidak mengerti mengapa totiang duduk bersila dan dikelilingi dua orang hwesio yang bernyanyi-nyanyi dan menari-nari. Akan tetapi suara nyanyian itu, iramanya, begitu tidak enak, makin lama semakin menyiksa telingaku. Maka, aku lalu memukul-mukulkan bambu pada batu ini, untuk menolak suara yang tidak enak itu.”

“Siancai.... Tanpa kau sadari engkau telah menentang dan memecahkan ilmu sihir mereka. Karena suara ketukan bambumu itu merusak kekuatan sihir dari nyanyian mereka, maka mereka menjadi marah dan hendak membunuhmu.”

Sie Liong terkejut sekali dan saking herannya, dia bangkit berdiri. Akan tetapi tubuhnya terhuyung dan dia tentu roboh kalau tidak cepat pundaknya ditangkap oleh Pek In Tosu.

“Jangan banyak bergerak, engkau masih dalam keadaan luka berat. Marilah engkau ikut denganku, akan pinto usahakan agar engkau mendapat pengobatan yang baik.”

Karena terlalu lemah, Sie Liong hanya mengangguk pasrah dan di lain saat dia merasa tubuhnya seperti terbang. Kiranya dia dipondong oleh kakek itu dan kakek itu sudah berlari dengan amat cepatnya, seperti terbang saja!

**** 017 ****




Pendekar Bongkok Jilid 016
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar