Ads

Selasa, 26 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 019

“Siancai....! Terserah kepada kalian. Kami tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga, akan tetapi juga tidak ingin kemerdekaan kami dilanggar,” jawab Pek In Tosu dengan sikap tenang.

Lima orang pendeta Lama itu kini merangkap kedua tangan di depan dada seperti orang menyembah, kedua mata mereka dipejamkan dan mereka seperti telah pulas dalam samadhi.

Sie Liong yang sejak tadi mendengarkan sambil duduk bersila di belakang tiga orang kakek tua renta, diam-diam merasa mendongkol sekali kepada lima orang pendeta Lama itu. Biarpun dia tidak mengerti betul akan urusan diantara kedua golongan itu, namun dia melihat sikap mereka dan dapat menilai bahwa lima orang pendeta Lama itulah yang sombong dan hendak menggunakan kekerasan memaksakan kehendak mereka kepada orang lain.

Sebaliknya, sikap tiga orang tosu itu dianggapnya amat mengalah, hal yang juga membuatnya tidak puas sama sekali. Dia tahu bahwa tiga orang tosu itu memiliki kesaktian, mengapa harus begitu mengalah terhadap lima orang pendeta Lama yang demikian tinggi hati dan keras? Mengalah sebaiknya dipergunakan menghadapi orang yang baik, sedangkan untuk menghadapi orang-orang yang jahat, sepatutnya kalau diambil sikap yang tegas pula! Demikian pikiran Sie Liong yang sudah banyak mengalami penderitaan akibat perbuatan yang jahat dan mengandalkan kekerasan.

Tiba-tiba Sie Liong memandang dengan mata terbelalak. Ia mengejap-ngejapkan kedua matanya, lalu menggosok-gosoknya dan memandang lagi. Akan tetapi tetap saja nampak olehnya hal yang dianggapnya tidak mungkin itu. Dia melihat betapa tubuh lima orang pendeta Lama itu perlahan-lahan naik dari atas tanah yang menjadi tempat mereka bersila, dan dalam keadaan masih bersila, lima sosok tubuh pendeta Lama itu naik ke atas sampai setinggi dua kaki dari atas tanah! Mereka seperti terbang atau mengapung di udara, seolah-olah tubuh mereka kehilangan bobot dan menjadi seperti balon kosong berisi udara yang amat ringan!

“Sam-wi Lojin, lihat! Apakah kalian berani menandingi kesaktian kami?”

Thay Ku Lama yang sudah membuka matanya, berseru. Tiga orang tosu itu memandang dengan mata terbelalak. Mereka tahu bahwa memang tingkat lima orang pendeta Lama itu sudah amat tinggi. Untuk dapat melenyapkan bobot seperti itu dan mengapung, membutuhkan tingkat yang sudah tinggi dari samadhi!

Akan tetapi, tiba-tiba Sie Liong yang tidak sabar melihat kecongkakan lima orang itu dan tidak ingin melihat tiga orang tosu itu merasa rendah diri dan dikalahkan, berseru dengan suara nyaring.

“Uhhhh! Kalian ini lima orang pendeta Lama yang amat congkak! Apa sih artinya mengapung di udara seperti itu saja? Kacoa-kacoa yang kotor, lalat-lalat yang kotor itupun sanggup mengapung lebih tinggi dan lebih lama dari pada kalian! Kepandaian kalian itu dibandingkan dengan lalat dan nyamuk belum ada seperseratusnya! Andaikata kalian pandai terbang sekalipun, masih belum menandingi kemampuan terbang burung gereja yang kecil dan lemah! Dan kalian sudah berani menyombongkan kepandaian yang tidak ada artinya itu? Sungguh, batok kepala kalian yang gundul itu agaknya sudah terlampau keras sehingga tidak melihat kenyataan betapa kalian bersikap seperti lima orang badut yang tidak lucu!”

Tiga orang tosu itu terkejut bukan main! Juga Sie Liong terkejut karena biarpan dia mendongkol dan tidak suka kepada lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi semua kata-kata itu keluar dari mulutnya tanpa dia sadari, seolah-olah keluar begitu saja dan dikendalikan oleh kekuatan lain. Seolah-olah bukan dia yang bicara seperti itu, melainkan orang lain yang hanya “meminjam” mulut dan suaranya!

Tadinya dia memang berniat untuk mengeluarkan suara menyatakan kedongkolan hatinya dan mengejek lima orang pendeta Lama itu, akan tetapi baru satu kalimat, lalu mulutnya sudah menyerocos terus tanpa dapat dia kendalikan!

Lima orang pendeta Lama itu demikian kaget, marah dan malu mendengar teguran yang keluar dari mulut kanak-kanak itu dan sungguh luar biasa sekali. Pengaruh ucapan itu membuat mereka goyah dan tak dapat dihindarkan lagi, tubuh merekapun meluncur turun.

Terdengar suara berdebuk ketika pantat lima orang pendeta Lama itu terbanting ke atas tanah! Tidak sakit memang, namun hati mereka yang sakit dan mereka sudah melotot, memandang kepada Sie Liong dan dari mata mereka seolah keluar api yang akan membakar tubuh anak bongkok itu.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, disusul suara yang lembut namun cukup nyaring.

“Ha-ha-ha, sungguh tepat sekali ucapan itu! Lima Harimau Tibet bukan lain hanyalah badut-badut belaka, macan-macan kertas yang hanya dapat menakut-nakuti anak-anak saja!”






Dari belakang tiga orang tosu itu bermunculan banyak orang. Mereka adalah lima belas orang murid kepala Kun-lun-pai yang dipimpin oleh dua orang ketua Kun-lun-pai sendiri, yaitu Thian Hwat Tosu dan wakilnya, Thian Khi Tosu dan yang tertawa dan bicara tadi adalah Thian Khi Tosu yang berwatak keras berdisiplin dan jujur.

Lima orang pendeta Lama itu cepat memandang dan ketika mereka melihat orang-orang Kun-lun-pai, kemarahan mereka memuncak dan untuk sementara mereka tidak memperdulikan tiga orang Himalaya Sam Lojin dan mereka memandang kepada orang-orang Kun-lun-pai itu.

“Hemm, kiranya orang-orang Kun-lun-pai telah berani lancang untuk menentang kami Lima Harimau Tibet?”

“Siancai....”

Kini Thian Hwat Tosu melangkah maju, menghadapi lima orang pendeta Lama yang sudah bangkit berdiri itu, diikuti oleh Thian Khi Tosu dan lima belas orang murid utama Kun-lun-pai. Thian Hwat Tosu menghadap kepada tiga orang tosu yang masih duduk bersila dengan tenang, memberi hormat dengan kedua tangan di dada dan berkata dengan penuh hormat.

“Mohon sam-wi locianpwe sudi memaafkan kami kalau kami mengganggu, karena kami mempunyai suatu urusan dengan Lima Harimau Tibet ini.”

Pek In Tosu tersenyum dan mewakili dua orang saudaranya menjawab,
“Silakan, To-yu dari Kun-lun-pai.”

Kini Thian Hwat Tosu menghadapi lagi lima orang pendeta Lama dan dengan suara lembut dan sikap hormat dia pun berkata,

“Ngo-wi lo-suhu adalah lima orang terhormat dari Tibet. Agaknya ngo-wi lupa bahwa disini bukanlah daerah Tibet, melainkan daerah Kun-lun-san. Kedatangan ngo-wi sudah lama kami dengar, akan tetapi kami tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Betapapun juga, setelah mendengar laporan dua orang murid kami yang telah ngo-wi robohkan, kami mengambil keputusan bahwa kami tidak mungkin mendiamkannya saja urusan ini. Kalau dilanjutkan sepak terjang ngo-wi di daerah ini, kami khawatir kalau terjadi bentrokan yang lebih hebat. Karena itu, Ngo-wi lo-suhu, demi kedamaian, kami mohon dengan hormat sudilah kiranya ngo-wi kembali ke Tibet dan tidak melanjutkan tindakan ngo-wi disini, dan kamipun akan melupakan apa yang telah terjadi disini selama beberapa pekan ini.”

Ucapan ketua Kun-lun-pai itu bernada halus dan juga sopan, sama sekali tidak ada sikap menyalahkan atau menegur, melainkan mengkhawatirkan kalau terjadi kesalah pahaman. Karena sikapnya yang lembut ini, kemarahan lima orang pendeta Lama itu agak mereda, dan Thay Ku Lama lalu membalas penghormatan ketua Kun-lun-pai dan diapun berkata dengan suara yang tegas, namun tidak kasar.

“Pai-cu (ketua), kami mengerti apa yang kau maknudkan. Kamipun menerima tugas untuk mencari orang-orang tertentu dan kami sama sekali tidak ingin mengganggu, apa lagi memusuhi Kun-lun-pai selama Kun-lun-pai tidak mencampuri urusan kami. Kalau beberapa hari yang lalu kami terpaksa memberi hajaran kepada dua orang murid Kun-lun-pai, hal itu terjadi karena dua orang murid itu mencarapuri urusan kami yang tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka. Namun, kami masih memandang muka Pai-cu dan nama besar Kun-lun-pai, kalau tidak demikian, apakah kiranya dua orang murid itu sekarang akan masih tinggal hidup?”

Dalam kalimat terakhir ini jelas sekali Thay Ku Lama menonjolkan kepandaian mereka dan meremehkan kepandaian murid Kun-lun-pai, juga mengandung pandangannya yang congkak.

“Lama yang sombong!” Thian Khi Tosu berseru geram. “Tentu saja dua orang murid kami itu bukan lawan kalian karena mereka hanyalah murid kami tingkat tiga yang masih hijau! Coba yang kau hadapi itu murid-murid utama Kun-lun-pai atau kami sendiri, belum tentu akan dapat mengalahkan dengan semudah itu!”

“Omitohud....! Siapakah yang sombong, kami ataukah Kun-lun-pai? Sungguh, kamipun ingin melihat apakah benar Kun-lun-pai sedemikian tangguh dan lihainya sehingga berani mencampuri urusan kami para utusan Tibet!”

Thian Khi Toou yang memang berwatak keras itu segera menjawab, dengan suara keras.

“Bagus! Lima Harimau Tibet menantang kami dari Kun-lun-pai? Kami bukan mencari permusuhan. Akan tetapi kalau ditantang, siapapun juga akan kami hadapi!”

“Omitohud....!” Thay Si Lama, orang ke dua dari Lima Harimau Tibet itu berseru. “Kalau begitu majulah dan mari kita buktikan siapa yang lebih unggul diantara kita!”

“Manusia sombong! Aku yang akan maju mewakili Kun-lun-pai!”

Thian Khi Tosu hendak melangkah maju, akan tetapi tiba-tiba lima belas orang murid utama dari Kun-lun-pai yang terdiri dari pria berusia antara tiga puluh sampai lima puluh tahun, sudah berlompatan ke depan dan seorang diantara mereka berkata kepada Thian Khi Tosu,

“Harap suhu jangan merendahkan diri maju sendiri. Ji-wi suhu (guru berdua) adalah tuan-tuan rumah, pimpinan Kun-lun-pai. Masih ada teecu sekalian yang menjadi murid, perlukah ji-wi suhu maju sendiri? Biar kami yang menghadapi lima orang Lama sombong ini!”

Thian Khi Tosu hendak membantah, akan tetapi suhengnya, Thian Hwat Tosu ketua Kun-lun-pai menyentuh lengannya dan mencegah sehingga wakil ketua itu membiarkan lima belas orang murid utama itu maju. Kalau lima belas orang murid utama itu maju, maka mereka bahkan lebih kuat dari pada dia atau suhengnya sekalipun.

Lima belas orang murid itu merupakan murid utama yang ilmu kepandaiannya sudah matang dan tinggi, apalagi kalau mereka maju bersama. Mereka itu sudah menciptakan suatu ilmu, dibantu oleh petunjuk guru-guru mereka , yaitu ilmu dalam bentuk barisan yang dinamakan Kun-lun Kiam-tin (Barisan Pedang Kun-lun).

Dengan barisan pedang ini, mereka dapat menjadi suatu pasukan yang amat kuat sehingga ketika diuji, bahkan dua orang pimpinan Kun-lun-pai itu sendiri terdesak dan tidak mampu mengatasi ketangguhan Kun-lun Kim-tin! Inilah sebabnya mengapa Thian Hwat Tosu mencegah sutenya turun tangan sendiri. Para murid itu cukup tangguh, bahkan dapat dijadikan batu ujian untuk mengukur sampai dimana kepandaian musuh!

Lima belas orang murid utama Kun-lun-pai itu lalu berlarian menuju ke tempat terbuka, diatas padang rumput yang lapang dan disitu mereka membentuk barisan berjajar dengan pedang di tangan masing-masing, kelihatan gagah perkasa dan rapi.

“Lima Harimau Tibet, kami telah siap sedia! Majulah kalau kalian memang hendak memusuhi Kun-lun-pai!” bentak murid tertua yang usianya sudah hampir lima puluh tahun dan menjadi kepala barisan pedang itu, berdiri di ujung kanan.

Melihat ini, lima orang pendeta Lama tersenyum mengejek dan merekapun melangkah maju menghadapi mereka, dengan berjajar. Setelah mereka berhadapan, lima belas orang murid pertama Kun-lun-pai itu lalu bergerak mengikuti aba-aba yang dikeluarkan oleh pemimpin pasukan, dan mereka sudah mengepung lima orang pendeta Lama. Gerakan kaki mereka ketika melangkah amat tegap dan dengan ringan pula, menunjukkan bahwa mereka telah berlatih matang.

Melihat ini, lima orang pandeta Lama itupun bergerak membuat suatu bentuk segi lima dan berdiri saling membelakangi. Bentuk seperti ini memang paling kokoh kuat untuk pembelaan diri, karena mereka berlima dapat menghadapi pengeroyokan banyak lawan dengan cara saling melingungi dan tidak akan dapat diserang dari belakang, bahkan serangan dari samping dapat mereka hadapi bersama rekan yang berada di sampingnya. Pendeknya, pengepungan lima belas orang murid Kun-lun-pai itu berkurang banyak bahayanya dengan kedudukan lima orang Lama seperti itu.

Lima belas orang murid Kun-lun-pai itu adalah ahli silat yang sudah pandai. Mereka tidak berani memandang ringan lima orang lawan mereka. Mereka tahu bahwa kalau bertanding satu lawan satu, diantara mereka tidak akan ada yang mampu menandingi pendeta-pendeta Lama itu yang memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari mereka, bahkan mungkin lebih tinggi dari pada tingkat ilmu kepandaian guru-guru mereka, melihat demonstrasi yang mereka perlihatkan tadi. Namun, mereka mengandalkan keampuhan barisan Kun-lun Kiam-tin dan begitu pimpinan mereka memberi aba-aba lima belas orang itu bergerak, mulai dengan penyerangan mereka yang serentak!

Memang hebat gerakan para murid Kun-lun-pai ini. Pedang mereka berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar. Ilmu pedang Kun-lun-pai memang terkenal hebat, dan kini mereka bukan hanya mengandalkan ilmu pedang masing-masing, bahkan diperkuat oleh kerapian barisan yang teratur sehingga begitu menyerang, kekuatan mereka terpadu, bagaikan gelombang samudera yang menerjang ke depan dengan dahsyatnya!





Pendekar Bongkok Jilid 018
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar