Ads

Senin, 07 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 004

Pergolakan hebat yang terjadi di utara itu bukan tidak ada ekornya sama sekali, bahkan menjadi awal pergolakan hebat yang menjalar ke selatan. Pada masa itu di selatan juga terjadi pergolakan hebat, perebutan kekuasaan yang menimbulkan perang di mana-mana.

Suku bangsa Yucen tadinya adalah suku bangsa yang ditundukkan oleh Kerajaan Khitan, yaitu ketika Ratu Yalina masih memegang tampuk kerajaan. Setelah kini keadaan Khitan menjadi lemah, bangsa Yucen membalas dendam, memberontak dan dibantu pula secara diam-diam oleh Kerajaan Sung dari selatan. Di samping itu, serbuan liar dari bangsa Mongol yang mulai berkembang, membuat Khitan hancur.

Bangsa Yucen "mendapat hati" dan mendirikan wangsa baru, yaitu yang disebut Wangsa Cin. Sebentar saja Kerajaan Cin ini mendesak Kerajaan Sung dan melihat lemahnya Kerajaan Sung, menuntut agar Kerajaan Sung mengirim "upeti" setiap tahun!

Keadaan yang demikian itu menyedihkan hati seorang menteri yang setia di Kerajaan Sung. Menteri ini bernama Kam Liong dan dia bukan lain adalah putera sulung dari pendekar Sakti Suling Emas! Bahkan Menteri Kam Liong inilah yang sesungguhnya telah mewarisi kepandaian ayahnya, juga telah mewarisi senjata pusaka ayahnya yang berupa sebatang suling emas dan sebuah kipas.

Kaisar amat percaya kepada Menteri Kam Liong, bukan hanya karena menteri ini adalah putera pendekar besar Suling Emas, melainkan terutama sekali karena Menteri ini memang amat pandai dan bijaksana, juga amat setia kepada negara.

Menteri Kam Liong prihatin dan berduka sekali. Pergolakan-pergolakan hebat yang terjadi amat menggelisahkan hatinya. Dia mendengar akan keadaan Khitan yang terancam hebat oleh bangsa Yucen dan Mongol. Dan celakanya, Kaisar Sung menerima uluran tangan bangsa Yucen untuk bersama-sama menyerang dan mengeroyok Kerajaan Khitan. Betapa tidak akan sedih hatinya kalau ingat bahwa Raja Khitan adalah adik tirinya sendiri? Raja Talibu di Khitan adalah putera Suling Emas pula sehingga merupakan saudara seayah dengannya, berlainan ibu. Namun, apa yang dapat ia lakukan? Dia adalah seorang Menteri Kerajaan Sung dan adik tirinya itu adalah Raja Khitan! Dia harus bersetia kepada negaranya sendiri.

Menteri yang bijaksana ini tidak mempunyai anak. Akan tetapi dia mempunyai seorang murid yang amat disayangnya. muridnya mewarisi kepandaiannya dan berjiwa gagah perkasa pula. Muridnya itu kini pun mempunyai kedudukan tinggi di dalam kerajaan, yaitu menjadi seorang panglima muda yang diperbantukan kepadanya. Ketika pergolakan di utara terjadi dia mengatur rencana dengan muridnya itu, kemudian mengutus muridnya mengerjakan tugas penyelidikan atas persetujuan Kaisar ke utara.

Hal yang menyedihkan hati Menteri Kam Liong yang setia, bukan hanya pergolakan di utara yang ia tahu amat pentingnya bagi perdamaian di negara Sung sendiri, akan tetapi terutama sekali melihat kelemahan Sung sebagai akibat tidak cakapnya Kaisar mengemudikan pemerintahan.

Kaisar tidak memperhatikan urusan pemerintahan, hanya tenggelam dalam kesenangan. Pekerjaannya sehari-hari hanyalah menikmati rayuan para selir cantik muda yang tak terhitung banyaknya, mendengar mereka bernyanyi, melihat mereka menari-nari sambil minum arak wangi sampai mabok. Biarpun Kaisar masih ada namun sesungguhnya kekuasaan sudah beralih ke tangan selir-selir tercantik dan tersayang, dan ke tangan para pembesar thaikam (orang kebiri) yang mendampingi Kaisar dan para selir siang malam!

Berkali-kali Kam Liong memperingatkan, namun Kaisar hanya teringatkan untuk waktu singkat saja, kemudian lupa lagi dan berenang dalam kesenangan seperti biasa. Peringatan yang selalu diajukan Kam Liong itu tidak ada gunanya, bahkan mendatangkan kebencian saja di hati para pembesar lainnya yang mempergunakan kelemahan Kaisar untuk mengeduk keuntungan pribadi sebanyak mungkin.

Hanya karena mereka tahu bahwa Kam Liong merupakan menteri yang dipercaya oleh Kaisar, memiliki pengaruh dan kekuasaan besar, juga memiliki ilmu kepandaian yang mengerikan, maka para thaikam dan pembesar lain yang membencinya tidak berani turun tangan mengganggunya. Hal ini diketahui pula oleh Kam Liong, akan tetapi dia tidak peduli karena yang diprihatinkan selalu hanyalah keadaan negara.

Pagi hari itu, Menteri Kam Liong termenung di dalam kamar kerjanya, menghadapi teh wangi akan tetapi ia sampai lupa minum sehingga tehnya menjadi dingin. Hatinya tertekan dan ia membayangkan dengan hati penuh duka betapa keluarga adiknya. Raja Khitan terancam bahaya hebat. Dia sudah memberi nasihat kepada Kaisar agar jangan memusuhi Khitan, akan tetapi Kaisar yang dipengaruhi oleh para pembesar dan para thaikam, menjawab bahwa kesempatan baik tiba dimana Kerajaan Sung dapat mempergunakan tenaga bangsa Yucen untuk merampas kembali wilayah yang dahulu dikuasai bangsa Khitan!






Dia berduka sekali, mengenangkan keadaan keluarga ayahnya yang cerai-berai itu. Ayahnya sendiri, tak pernah terjun ke dunia ramai, tekun bertapa bersama isterinya, bekas Ratu Khitan, Yalina. Adiknya yang menjadi Raja Khitan, Raja Talibu, kini terancam bahaya. Saudara kembar Raja itu, adiknya Si Mutiara Hitam Kam Kwi Lan, kini entah berada dimana karena adiknya yang seorang ini suka sekali merantau, apalagi setelah menikah dengan Tang Hauw Lam, pendekar yang suka pula merantau. Mungkin suami isteri itu kini sedang merantau ke dunia barat lewat Pegunungan Himalaya! Dia sendiri sudah terikat oleh tugasnya sebagai Menteri Kerajaan Sung yang harus ia bela sampai mati.

"Aaahhhh...." ia teringat akan tehnya, menghirup teh wangi, meletakkan lagi cangkirnya dan mengeluh. "Pantaslah Ayah lebih suka memilih tempat sunyi, mengasingkan diri dari pergaulan ramai karena sesungguhnya, makin banyak kita mengikatkan diri dengan urusan dunia, makin banyak penderitaan batin kita alami. Hemmm, aku yang tidak mempunyai turunan, apakah sebaiknya mengikuti jejak Ayah? Akan tetapi kalau demikian, apa artinya hidupku? Apa artinya aku mempelajari semua kepandaian? Bukankah semua itu dipelajari untuk dapat dipergunakan dalam dunia? Biarlah bukankah Ayah dahulu bilang bahwa penderitaan merupakan gelombang batin yang amat bernilai harganya?"

Pada saat itu, seorang pengawal datang memasuki ruangan dan memberi hormat lalu melaporkan bahwa ada seorang tamu pria muda mohon menghadap Sang Menteri.

Atas pertanyaan Menteri, Pengawal itu menjawab.
"Hamba tidak mengenalnya, Taijin, akan tetapi dia mendesak untuk diperkenankan menghadap. Dia seorang pemuda yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun, berwajah tampan dan gagah sikapnya, membawa pedang di punggung dan sikapnya seperti seorang pendekar."

"Namanya?"

"Maaf, Taijin. Ketika hamba tanyakan dia hanya mengatakan bahwa Taijin akan mengenalnya kalau sudah bertemu dan dia tidak memberitahukan namanya."

Menteri Kam Liong yang sedang kesal hatinya itu tidak bernafsu untuk menerima tamu. Ah, tentu seorang diantara mereka yang masih muda dan ingin sekali mendapatkan kedudukan di kota raja, pikirnya. Hemmm, bocah itu salah alamat kalau datang kepadanya.

Kembali ia menghela napas. Betapa banyaknya keganjilan terjadi dalam pemerintahan yang kalut dan lemah ini. Pembesar-pembesar tinggi mudah disuap sehingga dia yang mampu memberi suapan banyak tentu akan "ditolong" memperoleh kedudukan tinggi! Ingin ia memerintahkan pengawalnya untuk mengusir saja pemuda itu, akan tetapi tiba-tiba kemengkalan hatinya menuntut penyaluran. Biarlah, bocah itu akan kecelik dan biarlah dia menerima bocah itu. Kalau pemuda itu berani hendak "menyogok", hemmm... akan dia beri rasa! Akan dimaki-makinya, kalau perlu dibekali tamparan sebelum diusir pergi!

"Suruh dia masuk!" ia berkata pendek.

Sejenak pengawal itu memandang bingung. Masuk ke ruangan dalam? Ke kamar kerja Sang Menteri? Biasanya, apabila menerima tamu, tamu itu disuruh menanti di kamar tamu yang berada di ruangan luar!

"Cepat! Tunggu apalagi?"

Menteri Kam Liong yang sedang mengkal hatinya itu membentak. Sang Pengawal terkejut, memberi hormat dan keluar, heran di dalam hatinya mengapa hari itu majikannya demikian galak, padahal biasanya, Menteri Kam Liong terkenal sebagai atasan dan majikan yang lemah lembut dan halus terhadap anak buahnya.

Menteri Kam Liong sudah mendengar langkah kaki ringan yang menuju ke kamar kerjanya dan berhenti di depan pintu. Hemm, seorang yang pandai ilmu silat, pikirnya heran. Mengapa seorang ahli silat ingin bertemu dengannya? Ingin melamar pekerjaan pengawal? Tanpa menoleh, sambil minum teh dari cangkirnya, ia berkata tenang.

"Masuklah!"

Langkah kaki ringan itu memasuki kamarnya, lalu berhenti dan hening sejenak sebelum suara yang nyaring itu bertanya.

"Apakah saya berhadapan dengan Menteri Kam Liong?"

Hemm, bocah ini sama sekali tidak mempunyai suara penjilat, tidak bermuka-muka dan tidak berlebihan menghormatinya seperti biasa dilakukan orang, malah terdengar agak kurang ajar dan tidak memandang kedudukannya yang tinggi! Dengan cangkir teh masih di depan mulut, Menteri Kam Liong menoleh sambil berkata.

"Siapa engkau? Katakan keperluanmu!" Akan tetapi ia terkejut ketika pandang matanya bertemu dengan laki-laki itu.

Seorang pemuda yang amat tampan dan bersikap gagah sekali, dengan sepasang mata yang bersinar-sinar amat tajam. Jelas bukan seorang pemuda sembarangan! Juga wajah ini.... serasa pernah ia mengenalnya, akan tetapi ia tidak ingat di mana dan kapan. Tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah tampan itu, Menteri Kam Liong yang mulai tertarik, meletakkan cangkir tehnya di atas meja lalu memutar tubuh menghadapi pemuda itu dan mendesak,

"Siapakah engkau?"

Pemuda tampan itu lalu menjura dan memberi hormat, suaranya terdengar gembira dan penuh perasaan.

"Harap Twako sudi memberi maaf kalau siauwte mengganggu. Siauwte adalah Kam Han Ki...."

Menteri Kam Liong mencelat bangkit dari tempat duduknya dan gerakannya sungguh amat cepat, jauh bedanya dari sikapnya yang lemah lembut,

"Han Ki...? Engkau putera mendiang Paman Kam Bu Sin yang lenyap bertahun-tahun itu....?"

Pemuda yang bernama Kam Han Ki itu mengangkat mukanya dan memandang Menteri yang disebutnya "kakak tua" itu dengan wajah berseri lalu mengangguk.

"Benar, Twako. Saya adalah Kam Han Ki adik sepupu Twako sendiri."

"Ah, Adikku....! Apa saja yang telah terjadi denganmu selama bertahun-tahun ini? Ah, Adikku....!"

Menteri itu melangkah maju dan merangkul pemuda itu yang cepat menjatuhkan diri berlutut dengan penuh perasaan terharu.

“Duduklah, Han Ki. Duduklah. Haiii! Pelayan!"

Menteri itu memanggil pelayan yang datang berlarian, lalu memerintahkan untuk mengeluarkan hidangan dan minuman.

"Twako, manakah Twaso (Kakak ipar)? Ijinkan Siauwte memberi hormat kepadanya. Dan mana keponakan-keponakan saya?"

Pemuda itu menghentikan pertanyaannya ketika melihat wajah kakak misannya itu menjadi muram. Menteri Kam Liong menghela napas dan berkata,

"Aku hidup sendiri Adikku. Twa-somu telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu karena penyakit berat, dan kami tidak mempunyai anak."

"Ahhh...., maaf, Twako."

"Tidak apa, Adikku. Sekarang ceritakan pengalamanmu selama belasan tahun ini. Sedikitnya tentu ada lima belas tahun engkau hilang. Kemana saja engkau? Berita tentang dirimu yang terakhir amat mencemaskan kami sekeluarga. Engkau diculik dan dilarikan Siang-mou Sin-ni iblis betina itu!"

Han Ki mengangguk-angguk, lalu berkata,
"Benar, seperti yang Twako katakan. Iblis betina Siang-mou Sin-ni membawa saya lari ke puncak Ta-liang-san di selatan." Kemudian Han Ki menceritakan pengalamannya.

Ketika berusia sebelas tahun. Kam Han Ki mengalami hal yang amat hebat. Dia adalah putera Kam Bu Sin. adik tiri Suling Emas yang bernama Kam Bu Song. Dia anak ke tiga. Kedua orang encinya yang bernama Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui telah pergi ikut bersama Kauw Bian Cinjin, paman kakek mereka untuk bertapa dan belajar ilmu di puncak Tai-liang-san (baca cerita MUTIARA HITAM).







Tidak ada komentar:

Posting Komentar