Ads

Senin, 07 Oktober 2019

Istana Pulau Es Jilid 003

"Semua wanita, katamu?" Bhutan bertanya, suaranya gemetar.

"Ya, semua! Bahkan yang tua-tua juga! yang setengah kanak-kanak juga! Semua, tidak peduli kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata. Habis semua perempuan diperkosa, habis semua pria dibunuh. Yang tinggal hanya anak-anak kecil dan orang-orang tua yang berkeliaran dan kelaparan kehilangan keluarga...."

"Ibuku....! Bagaimana....?" Tiba-tiba Maya menjerit.

Orang yang bercerita itu menarik napas panjang dan menengadah ke langit.
"Sang Ratu telah gugur, akan tetapi, demi semua dewa! Setiap orang Khitan yang masih hidup akan teringat betapa ratu itu tewas dengan senjata di tangan, dengan tubuh penuh luka, tewas sebagai seorang gagah perkasa.... hebat sekali, dan agaknya semangatlah yang memimpin semua perlawanan gigih...."

"Aihhh.... ! Ibu....!" Maya menjerit dan menangis sesenggukan, memanggil-manggil ibunya.

"Diammm!"

Bhutan tiba-tiba menghardiknya, membuat Maya memandang dengan muka pucat kaget dan heran sekali mengapa panglima itu berani membentaknya seperti itu. Semua pasukan memandang dengan senyum mengejek, agaknya puas hati mereka melihat pemimpin mereka kini pun memperlihatkan kebencian kepada puteri yang membuat mereka terpaksa meninggalkan keluarga mereka seperti sekumpulan domba ditinggalkan untuk menjadi mangsa serigala-serigala buas.

"Mengapa engkau menangis? Ditangisipun tiada gunanya! Ibumu telah mati! Demikian pun isteriku, ibuku, keluargaku!"

Dan Panglima ini lalu menangis biarpun tidak mengeluarkan suara, hanya mengeluarkan air mata yang menetes turun di kedua pipinya. Juga para anggauta pasukan yang empat belas orang banyaknya itu semua kelihatan termangu-mangu penuh duka mengenangkan keluarga masing-masing yang tentu telah menjadi korban pula.

"Kita besok melakukan perjalanan, bukan ke Go-bi-san, akan tetapi membalas dendam kita, membakari rumah-rumah dusun yang sudah menjadi jajahan orang Mongol." demikian kata Bhutan dengan wajah bengis.

Anak buahnya bersorak gembira. Biarpun mereka berduka, akan tetapi kini ada jalan untuk melampiaskan duka dan kemarahan mereka biarpun kepada dusun-dusun! Hal itu berarti mereka akan dapat memperkosa wanita-wanita seperti isteri-isteri dan keluarga mereka diperkosa, dapat membunuh orang-orang seperti keluarga mereka dibunuh, dapat merampok seperti rumah mereka dirampok!

"Akan tetapi, aku harus kalian antarkan ke tempat pertapaan kakek dan nenekku di Go-bi-san!" Maya berseru kaget dengan mata terbelalak.

Bhutan tersenyum mengejek.
"Mulai sekarang tidak ada lagi yang mengharuskan aku! Engkau tidak boleh lagi memerintahku, bahkan engkau harus tunduk dan menurut segala kehendakku!"

Para anak buahnya bersorak mengejek.

Maya meloncat bangun, mengepal kedua tinjunya dan memandang marah.
"Akan tetapi, apa kalian hendak memberontak? Aku adalah Puteri Maya, puteri dari Raja dan Ratu Khitan! Engkau harus taat kepadaku!"






"Ha-ha-ha, puteri yang manis! Engkau akan kujadikan pengganti isteriku! Setahun dua tahun lagi engkau akan menjadi seorang wanita yang jelita, patut menjadi isteriku. Bukankah begitu kawan-kawan?"

Kata Bhutan yang terhimpit kedukaan berubah menjadi bengis dan kejam. Anak buahnya bersorak menyatakan setuju.

"Keparat, kau....!"

Maya maju dan mengayun tangan hendak menampar muka panglima itu, akan tetapi biarpun sejak kecil dia sudah belajar ilmu silat, namun Bhutan bukan laki-laki sembarangan, melainkan seorang panglima pengawal yang tentu saja memiliki kepandaian. Dia menangkis terus menangkap lengan kecil itu, memutar dan mendorong sehingga tubuh Maya terlempar dan roboh telentang. Terdengar suara ketawa para pasukan pengawal.

"Ha-ha-ha, engkau tidak boleh galak lagi, Nona kecil!" kata mereka.

Maya meloncat bangun lagi, akan tetapi lengannya sudah disambar oleh Bhutan dan tangan panglima ini diayun.

"Plak-plak-plak-plak" kedua pipi Maya ditampari sampai menjadi merah dan terasa panas!

"Dengar kau, Maya! Ketahuilah bahwa engkau bukanlah anak Raja dan Ratu Khitan, engkau hanya diaku anak, anak angkat!"

Biarpun kedua pipinya terasa panas dan sakit-sakit dan hatinya lebih panas dan sakit lagi mendengar ucapan itu dia terbelalak kaget dan heran.

"Apa.... apa, kau bilang....?"

"Duduklah dan dengar baik-baik agar kau tidak rewel lagi. Mulai sekarang, engkau harus mentaati segala perintahku karena akulah satu-satunya orang yang akan dapat menyelamatkanmu. Kerajaan Khitan sudah hancur, keluarga Raja sudah tewas semua. Engkau memang bukan anak Raja Khitan, mana mungkin Raja Khitan dapat memperoleh keturunan? Dia, telah terkutuk oleh para dewa, dan semenjak Ratu Yalina melakukan pelanggaran, keluarga Raja Khitan sudah terkutuk. Pantaslah kalau sekarang menjadi runtuh!"

"Mengapa begitu?" Air mata Maya mengucur lagi. "Ceritakanlah, Bhutan. Ceritakan apa yang telah teriadi? Ceritakan tentang keluargaku...."

"Bukan keluargamu, hanya keluarga jauh."

"Kalau begitu, ceritakan siapa aku, siapa orang tuaku!"

Maya makin bingung dan karena ingin sekali mendengar penuturan panglima ini, ia sudah lupa akan kemarahannya bahwa dia tadi ditampar. Para perajurit yang juga belum mendengar riwayat raja mereka dengan jelas, hanya mendengar berita angin saja, kini juga berkumpul dan mendengarkan penuturan Bhutan yang agaknya tahu akan riwayat itu.

"Dosa pertama dilakukan oleh Ratu Yalina." Bhutan mulai bercerita. "Ratu Yalina yang dijunjung tinggi oleh bangsa Khitan, yang pada lahirnya saja tidak pernah menikah, ternyata melakukan pelanggaran karena diam-diam melakukan hubungan cinta dengan Pendekar Suling Emas. Dari hubungan gelap, yang mendatangkan kutuk para dewa atas bangsa Khitan itu, terlahirlah anak kembar, laki-laki dan perempuan."

"Anak kembar laki-laki dan perempuan harus dijadikan suami isteri!" Seorang anggauta pasukan pengawal yang sudah berusia empat puluh tahun lebih berkata.

Bhutan mengangguk.
"Mestinya demikian. Akan tetapi Ratu Yalina yang sudah melakukan dosa pertama itu, melanjutkan dengan dosa ke dua yang lebih berat lagi dan yang agaknya membuat para dewa memutuskan untuk menghancurkan Kerajaan Khitan! Anak kembar itu, yang perempuan adalah pendekar wanita Mutiara Hitam yang sekarang merantau bersama suaminya entah kemana. Adapun yang laki-laki adalah mendiang Raja Talibu kita yang menikah dengan Ratu Mimi. Tentu saja orang-orang berdosa itu tidak bisa memperoleh keturunan. Biarpun aku tidak tahu dimana adanya Mutiara Hitam, akan tetapi aku yakin bahwa dia pun pasti tidak bisa mempunyai keturunan!"

"Tapi aku.... aku, adalah anak raja dan Ratu Khitan!" Maya berteriak.

"Heh-heh, itu adalah dugaanmu saja, anak manis!" Bhutan berkata tertawa.

"Sesungguhnya bukan demikian. Engkau adalah anak dari saudara misan Ratu Mimi, ibumu adalah puteri bangsawan rendahan yang menikah dengan seorang perwira. Ibumu mati ketika melahirkan engkau dan ayahmu sudah tewas pula dalam perang. Raja Talibu yang agaknya hendak meniadakan kutuk akan dirinya, telah mengambil engkau sebagai anak! Memang jarang ada yang tahu, akan tetapi aku tahu akan itu semua, manis!"

"Tidak....! Tidak....!"

Maya menangis dan menangis terus sampai pada keesokan harinya rombongan itu melanjutkan perjalanan. Maya digandeng dan setengah diseret oleh Bhutan yang memimpin rombongannya itu melanjutkan perjalanan, bukan ke Go-bi-san, melainkan ke timur!

Dapat dibayangkan betapa hancur dan sengsara rasa hati Maya, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Kalau dia melarikan diri, selain sukar sekali karena ia selalu diawasi, juga ia akan dapat pergi ke manakah? Lebih sengsara lagi hatinya ketika terpaksa ia harus menyaksikan pasukan yang tadinya menjadi pengawalnya yang setia itu kini berubah menjadi segerombolan serigala buas yang tidak mengenal perikemanusiaan, merampok dusun-dusun yang mereka lalui, membunuh, memperkosa dan membakar rumah sambil bersorak-sorak!

Dara sekecil ini dipaksa untuk menyaksikan hal-hal yang mengerikan itu, menyaksikan wanita-wanita yang menjerit-jerit diperkosa dan kemudian dibunuh. Sampai habis air mata ditumpahkan dalam tangis Maya dan dalam waktu sebulan saja ia telah berubah menjadi seorang dara cilik yang berhati keras seperti baja, ditempa oleh pengalaman-pengalaman yang pahit dan mengerikan.

Kalau dahulu ia berwatak jenaka dan lincah, kini ia menjadi pendiam, jarang bicara, jarang pula makan atau tidur kalau tidak terpaksa sekali sehingga mulailah tubuhnya menjadi kurus dan mukanya pucat, akan tetapi wajah seperti topeng mati dan sikapnya dingin melebihi salju! Tanpa disadarinya terbentuklah watak yang keras dan dingin pada jiwa dara cilik ini.

**** 003 ****






Tidak ada komentar:

Posting Komentar