Panglima tua itu kagum mendengar pendirian rajanya dan bangkitlah semangatnya. Ketika Panglima ini menyampaikan pendapat raja itu kepada para perwira dan perajurit, mereka pun bersorak. menyatakan hendak mempertahankan negara sampai dengan napas terakhir!
Perang terjadi di perbatasan barat dengan dahsyatnya. Kekuatan kedua pihak berimbang sehingga banyaklah korban yang jatuh di kedua pihak. Sementara itu, barisan Mongol sudah datang makin dekat selama tiga hari setelah perang berlangsung. Dan sepak terjang barisan Mongol yang menyerbu ke selatan itu amatlah ganas seperti segerombolan harimau kelaparan. Mendengar laporan ini, kecutlah hati Raja Talibu.
Betapa bodohnya mereka, bangsa Khitan dan Yucen tidak melihat datangnya bahaya dan berperang sendiri satu kepada yang lain! Maka berangkatlah Raja ini ke medan perang, membawa gendewanya, naik ke atas kereta perang, dengan pakaian perang yang membuatnya nampak gagah perkasa.
Untuk dapat membawa kereta perangnya ke tengah medan pertempuran, raja ini harus merobohkan banyak musuh dan kusirnya sudah beberapa kali diganti karena roboh binasa. Dengan gendewanya, Raja Talibu mengamuk sehingga akhirnya kereta perangnya dapat tiba di tengah medan laga, di tempat yang amat tinggi.
Raja Talibu lalu meloncat dari atas kereta perangnya, gendewa di tagan kiri, topi perangnya sudah terlepas dalam pertandingan ketika ia menuju ke tempat itu sehingga rambutnya terurai ke pundak, nampak gagah perkasa. Kemudian terdengar suaranya mengguntur seperti auman singa di padang pasir.
"Wahai seluruh bangsa Yucen dan Khitan, dengarlah kata-kataku! Kita dibikin buta oleh perang, oleh nafsu mencari kemenangan sehingga tidak peduli akan kedatangan gelombang bangsa Mongol yang akan menghancurkan kita bersama! Apakah tidak lebih baik kita bersatu sebagai dua orang saudara untuk melawan bangsa Mongol daripada kita seperti dua ekor anjing memperebutkan tulang, tidak tahu bahwa serombongan serigala sudah datang hendak menghancurkan kita setelah kita kehabisan tenaga saling berperang sendiri? Pikirlah dan cepat mengambil keputusan, mereka sudah dekat sekali."
Suara Raja Talibu ini amat nyaring dan seketika perang dihentikan, para pimpinan Yucen menjadi ragu-ragu. Memang para penyelidik mereka pun melaporkan akan datangnya gelombang dahsyat bangsa Mongol, akan tetapi karena mereka menghadapi bangsa Khitan yang sudah berada di depan hidung, tentu saja mereka tidak dapat lagi mencegah terjadinya perang dengan bangsa Khitan.
Akan tetapi sekarang Raja Khitan yang gagah perkasa itu bicara sendiri dan ucapannya amat cocok dengan isi hati mereka. Raja Yucen dan pimpinannya lalu berunding dan minta waktu sehari untuk mengambil keputusan. Sementara itu perang itu dihentikan dulu.
Namun, keraguan orang-orang Yucen ini mendatangkan bencana hebat karena malam hari itu, secara tidak terduga-duga sekali, barisan Mongol sudah datang menyerbu dengan kekuatan besar. Perang hebat terjadi dan biarpun belum diadakan persetujuan, bangsa Khitan dan Yucen berjuang bahu-membahu untuk melawan barisan Mongol.
Perang mati-matian itu berlangsung sampai dua hari dua malam, akan tetapi karena jumlah barisan Mongol lebih besar dan juga anggauta tentara mereka lebih kuat, biarpun pihak Mongol kehilangan banyak tentara, akhirnya barisan Khitan dan Yucen dapat terbasmi dan hanya sedikit yang dapat melarikan diri atau takluk setelah raja dan panglima-panglima mereka gugur. Raja Talibu sendiri gugur setelah tubuhnya penuh luka dan tak dapat bergerak lagi, Raja ini tewas sebagai seorang gagah perkasa, tangannya masih memegang pedang dan tubuhnya penuh luka dan mandi darahnya sendiri!
Kematian tidak dapat terhindar dari setiap orang manusia, namun banyak macam kematian, dipandang oleh mata dan dipertimbangkan oleh pikiran manusia berdasarkan kebudayaan manusia. Kematian Raja Talibu merupakan sebuah diantara kematian yang terhormat, kematian seorang jantan dan tidaklah mengecewakan dia sebagai seorang Raja Khitan, terutama sebagai putera seorang pendekar besar seperti Suling Emas dan seorang ratu besar seperti Ratu Yalina. Andaikata ayah bunda ini melihat kematian puteranya agaknya kedukaan mereka akan terhibur oleh kebanggaan!
Sebagian para perajurit Khitan yang melarikan diri berhasil kembali ke kota raja dan gegerlah kota raja ketika mendengar berita tentang kehancuran pasukan Khitan dan gugurnya raja bersama para panglima, juga tentang bahaya penyerbuan bangsa Mongol yang sewaktu-waktu pasti akan tiba.
Berita kematian Raja Talibu ini diterima oleh Ratu Mimi dengan muka pucat, akan tetapi dengan tenang sekali Ratu ini menahan tangisnya di depan para panglima dan menyatakan bahwa dia akan memimpin sendiri pertahanan kota raja. Bujukan para panglima agar supaya Ratu ini suka pergi mengungsi, diterima dengan kemarahan.
"Kalau aku melarikan diri mana aku patut menjadi ratu dari suamiku, raja gagah perkasa yang telah mengorbankan nyawanya untuk Khitan? Tidak, aku akan mempertahankan kerajaan, kalau perlu dengan tenagaku sendiri! Yang tidak berani boleh saja pergi meninggalkan Khitan!"
Maka gemparlah kota raja. Sebagian ada yang melarikan diri sehingga akhirnya tinggal Ratu Mimi dengan pasukan-pasukan yang setia. Kemudian Ratu ini mengumpulkan sepasukan pengawal yaitu pengawal Puteri Maya, dan menyuruh mereka membawa Maya melarikan diri dan mencari kakek nenek puteri itu di Pegunungan Go-bi. Puteri Maya menangis dan berkeras tidak mau meninggalkan ibunya, akhirnya ibunya yang biasanya memanjakannya itu membentak.
"Maya! Dengarlah baik-baik! Engkau adalah keturunan Suling Emas, keturunan Ratu Yalina, keturunan Raja Talibu yang gagah perkasa. Patutkah dalam saat seperti ini engkau menangis?"
"Aku tidak mau meninggalkan Ibu. Aku pun akan membantu Ibu menghadapi musuh untuk membalas kematian Ayah!"
"Bodoh! Kalau kau tinggal disini, engkau pun akan mati."
"Aku tidak takut mati!"
Ratu Mimi menahan tangisnya dan merangkul puterinya, menciumi sambil berkata,
"Itulah soalnya. Anakku. Engkau tidak boleh mati. Kalau engkau mengorbankan nyawa disini, siapakah kelak yang membalaskan kematian ayahmu dan ibumu? Engkau masih kecil, tenagamu belum ada artinya untuk menghadapi musuh. Engkau pergilah kepada kakek dan nenekmu, pelajari ilmu baik-baik dan kelak engkau akan mengangkat nama ayah bundamu. Pergilah, Anakku, dan doa Ibumu selalu menyertaimu".
Ucapan ini membuat Maya tak dapat membantah lagi. Biarpun dia masih kecil, namun ia cerdik dan tabah. Dengan tangis memilukan ia merangkul dan menciumi ibunya, kemudian lari keluar dan ikut bersama pasukan pengawal yang akan mengantarnya ke Go-bi-san.
Setelah puterinya pergi, barulah Ratu Mimi menangis tersedu-sedu, bukan karena takut menghadapi bahaya yang mengancam dirinya, melainkan berduka karena perpisahan dengan puteri tunggalnya yang amat dicintanya.
Tiga hari kemudian, kota raja Khitan direbut pasukan Mongol. Seperti juga suaminya, Ratu Mimi berjuang dengan gigih mempertahankan kota raja bersama para panglima dan pasukan yang setia. Akan tetapi pihak musuh jauh lebih kuat sehingga akhirnya Ratu Mimi pun roboh dan gugur tak beda dengan suaminya, tangannya masih memegang pedang dan surat suaminya, dan ia tewas dengan mulut tersenyum karena pada saat terakhir ia melihat suaminya tercinta meraih dan menyambutnya penuh kasih sayang!
Pasukan Mongol membasmi Khitan, merampas wanita-wanita dan membunuh pria-pria muda, merampas harta benda dan membakar rumah-rumah, termasuk istana yang telah dirampas habis-habisan.
Gegerlah Khitan, dan bagi bangsa Khitan hari itu merupakan hari kiamat dan berakhirnya Kerajaan Khitan yang selama ini kokoh kuat. Benarkah ini merupakan kutukan dewa akibat pelanggaran yang dilakukan oleh anak kembar Ratu Yalina yang seharusnya menurut kebiasaan dan kepercayaan lama harus menjadi suami isteri akan tetapi telah dilanggar dan mereka berdua itu menikah dengan orang lain? Entahlah, dan mungkin benar demikian bagi yang percaya.
Malapetaka hebat yang menimpa Kerajaan Khitan itu tidak diketahui, bahkan tidak pernah dibayangkan oleh Maya yang telah melarikan diri dikawal sepasukan pengawal terdiri dari lima belas orang pengawal pilihan. Pasukan ini dipimpin oleh seorang panglima pengawal bernama Bhutan, seorang panglima muda yang tinggi besar dan berwatak bengis.
Lima belas orang pengawal ini kelihatannya melaksanakan tugasnya dengan taat, membawa keluar Maya dari kota raja yang terancam bahaya, akan tetapi sesungguhnya di dalam hati mereka terdapat perasaan tidak senang dan berduka. Betapa tidak? Keluarga mereka semua ditinggalkan di kota raja. Semua keluarga itu membutuhkan perlindungan mereka, akan tetapi mereka lima belas orang ini tidak dapat melindungi keluarga mereka sendiri karena harus melarikan Maya.
Dan mereka dapat membayangkan dengan hati perih betapa malapetaka tentu menimpa keluarga mereka yang tidak ada pelindungnya. Duka dan sesal membuat mereka mulai mengomel sepanjang jalan dan mulai memandang kepada Puteri Maya dengan sinar mata benci. Dianggapnya puteri inilah yang menjadi sebab celakanya. Kalau mereka tidak Pergi mengawal puteri ini, tentu mereka akan dapat menyelamatkan keluarga masing-masing dengan membawa mereka lari mengungsi!
Malam pertama, ketika rombongan ini mengaso dan bersembunyi di dalam hutan, belum nampak perubahan, hanya mereka itu bersungut-sungut mengelilingi api unggun dan tidak banyak cakap. Namun pemimpin mereka, sudah merasa betapa anak buahnya tidak merasa puas. Hal ini dimengertinya baik-baik karena dia sendiri pun merasa tidak senang harus meninggalkan isterinya yang baru beberapa bulan dikawininya.
Demikian pula malam ke dua, hanya kelihatan para anak buah pasukan itu gelisah dan mulai saling berbisik-bisik. Namun semua itu pun lewat tanpa peristiwa sesuatu sehingga ketika pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Go-bi-san yang amat jauh, hati Bhutan sudah agak lega.
Akan tetapi, ketika pasukan ini mendengar berita dari orang-orang pelarian dari kota raja bahwa kota raja sudah diserbu musuh dan diduduki, bahwa Kerajaan Khitan kini sudah hancur dan jatuh, meledaklah rasa ketidak puasan para anak buah pasukan pengawal, bahkan Bhutan sendiri mendengarkan cerita pengungsi itu dengan wajah pucat.
"Habis semua....!" Demikian antara lain pengungsi itu bercerita. "Mereka itu datang seperti badai mengamuk. Pasukan kita yang mempertahankan, bersama Sang Ratu, digilas habis dan tewas semua! Istana dirampok dan diduduki, rumah rakyat dibakar, semua laki-laki dewasa dibunuh dan wanita-wanita dijadikan rebutan, diperkosa seperti segerombolan serigala kelaparan melihat domba. Banyak yang tewas karena diperkosa banyak orang di pinggir-pinggir jalan, di rumah-rumah, dimana saja sehingga jerit mereka memenuhi angkasa."
Perang terjadi di perbatasan barat dengan dahsyatnya. Kekuatan kedua pihak berimbang sehingga banyaklah korban yang jatuh di kedua pihak. Sementara itu, barisan Mongol sudah datang makin dekat selama tiga hari setelah perang berlangsung. Dan sepak terjang barisan Mongol yang menyerbu ke selatan itu amatlah ganas seperti segerombolan harimau kelaparan. Mendengar laporan ini, kecutlah hati Raja Talibu.
Betapa bodohnya mereka, bangsa Khitan dan Yucen tidak melihat datangnya bahaya dan berperang sendiri satu kepada yang lain! Maka berangkatlah Raja ini ke medan perang, membawa gendewanya, naik ke atas kereta perang, dengan pakaian perang yang membuatnya nampak gagah perkasa.
Untuk dapat membawa kereta perangnya ke tengah medan pertempuran, raja ini harus merobohkan banyak musuh dan kusirnya sudah beberapa kali diganti karena roboh binasa. Dengan gendewanya, Raja Talibu mengamuk sehingga akhirnya kereta perangnya dapat tiba di tengah medan laga, di tempat yang amat tinggi.
Raja Talibu lalu meloncat dari atas kereta perangnya, gendewa di tagan kiri, topi perangnya sudah terlepas dalam pertandingan ketika ia menuju ke tempat itu sehingga rambutnya terurai ke pundak, nampak gagah perkasa. Kemudian terdengar suaranya mengguntur seperti auman singa di padang pasir.
"Wahai seluruh bangsa Yucen dan Khitan, dengarlah kata-kataku! Kita dibikin buta oleh perang, oleh nafsu mencari kemenangan sehingga tidak peduli akan kedatangan gelombang bangsa Mongol yang akan menghancurkan kita bersama! Apakah tidak lebih baik kita bersatu sebagai dua orang saudara untuk melawan bangsa Mongol daripada kita seperti dua ekor anjing memperebutkan tulang, tidak tahu bahwa serombongan serigala sudah datang hendak menghancurkan kita setelah kita kehabisan tenaga saling berperang sendiri? Pikirlah dan cepat mengambil keputusan, mereka sudah dekat sekali."
Suara Raja Talibu ini amat nyaring dan seketika perang dihentikan, para pimpinan Yucen menjadi ragu-ragu. Memang para penyelidik mereka pun melaporkan akan datangnya gelombang dahsyat bangsa Mongol, akan tetapi karena mereka menghadapi bangsa Khitan yang sudah berada di depan hidung, tentu saja mereka tidak dapat lagi mencegah terjadinya perang dengan bangsa Khitan.
Akan tetapi sekarang Raja Khitan yang gagah perkasa itu bicara sendiri dan ucapannya amat cocok dengan isi hati mereka. Raja Yucen dan pimpinannya lalu berunding dan minta waktu sehari untuk mengambil keputusan. Sementara itu perang itu dihentikan dulu.
Namun, keraguan orang-orang Yucen ini mendatangkan bencana hebat karena malam hari itu, secara tidak terduga-duga sekali, barisan Mongol sudah datang menyerbu dengan kekuatan besar. Perang hebat terjadi dan biarpun belum diadakan persetujuan, bangsa Khitan dan Yucen berjuang bahu-membahu untuk melawan barisan Mongol.
Perang mati-matian itu berlangsung sampai dua hari dua malam, akan tetapi karena jumlah barisan Mongol lebih besar dan juga anggauta tentara mereka lebih kuat, biarpun pihak Mongol kehilangan banyak tentara, akhirnya barisan Khitan dan Yucen dapat terbasmi dan hanya sedikit yang dapat melarikan diri atau takluk setelah raja dan panglima-panglima mereka gugur. Raja Talibu sendiri gugur setelah tubuhnya penuh luka dan tak dapat bergerak lagi, Raja ini tewas sebagai seorang gagah perkasa, tangannya masih memegang pedang dan tubuhnya penuh luka dan mandi darahnya sendiri!
Kematian tidak dapat terhindar dari setiap orang manusia, namun banyak macam kematian, dipandang oleh mata dan dipertimbangkan oleh pikiran manusia berdasarkan kebudayaan manusia. Kematian Raja Talibu merupakan sebuah diantara kematian yang terhormat, kematian seorang jantan dan tidaklah mengecewakan dia sebagai seorang Raja Khitan, terutama sebagai putera seorang pendekar besar seperti Suling Emas dan seorang ratu besar seperti Ratu Yalina. Andaikata ayah bunda ini melihat kematian puteranya agaknya kedukaan mereka akan terhibur oleh kebanggaan!
Sebagian para perajurit Khitan yang melarikan diri berhasil kembali ke kota raja dan gegerlah kota raja ketika mendengar berita tentang kehancuran pasukan Khitan dan gugurnya raja bersama para panglima, juga tentang bahaya penyerbuan bangsa Mongol yang sewaktu-waktu pasti akan tiba.
Berita kematian Raja Talibu ini diterima oleh Ratu Mimi dengan muka pucat, akan tetapi dengan tenang sekali Ratu ini menahan tangisnya di depan para panglima dan menyatakan bahwa dia akan memimpin sendiri pertahanan kota raja. Bujukan para panglima agar supaya Ratu ini suka pergi mengungsi, diterima dengan kemarahan.
"Kalau aku melarikan diri mana aku patut menjadi ratu dari suamiku, raja gagah perkasa yang telah mengorbankan nyawanya untuk Khitan? Tidak, aku akan mempertahankan kerajaan, kalau perlu dengan tenagaku sendiri! Yang tidak berani boleh saja pergi meninggalkan Khitan!"
Maka gemparlah kota raja. Sebagian ada yang melarikan diri sehingga akhirnya tinggal Ratu Mimi dengan pasukan-pasukan yang setia. Kemudian Ratu ini mengumpulkan sepasukan pengawal yaitu pengawal Puteri Maya, dan menyuruh mereka membawa Maya melarikan diri dan mencari kakek nenek puteri itu di Pegunungan Go-bi. Puteri Maya menangis dan berkeras tidak mau meninggalkan ibunya, akhirnya ibunya yang biasanya memanjakannya itu membentak.
"Maya! Dengarlah baik-baik! Engkau adalah keturunan Suling Emas, keturunan Ratu Yalina, keturunan Raja Talibu yang gagah perkasa. Patutkah dalam saat seperti ini engkau menangis?"
"Aku tidak mau meninggalkan Ibu. Aku pun akan membantu Ibu menghadapi musuh untuk membalas kematian Ayah!"
"Bodoh! Kalau kau tinggal disini, engkau pun akan mati."
"Aku tidak takut mati!"
Ratu Mimi menahan tangisnya dan merangkul puterinya, menciumi sambil berkata,
"Itulah soalnya. Anakku. Engkau tidak boleh mati. Kalau engkau mengorbankan nyawa disini, siapakah kelak yang membalaskan kematian ayahmu dan ibumu? Engkau masih kecil, tenagamu belum ada artinya untuk menghadapi musuh. Engkau pergilah kepada kakek dan nenekmu, pelajari ilmu baik-baik dan kelak engkau akan mengangkat nama ayah bundamu. Pergilah, Anakku, dan doa Ibumu selalu menyertaimu".
Ucapan ini membuat Maya tak dapat membantah lagi. Biarpun dia masih kecil, namun ia cerdik dan tabah. Dengan tangis memilukan ia merangkul dan menciumi ibunya, kemudian lari keluar dan ikut bersama pasukan pengawal yang akan mengantarnya ke Go-bi-san.
Setelah puterinya pergi, barulah Ratu Mimi menangis tersedu-sedu, bukan karena takut menghadapi bahaya yang mengancam dirinya, melainkan berduka karena perpisahan dengan puteri tunggalnya yang amat dicintanya.
Tiga hari kemudian, kota raja Khitan direbut pasukan Mongol. Seperti juga suaminya, Ratu Mimi berjuang dengan gigih mempertahankan kota raja bersama para panglima dan pasukan yang setia. Akan tetapi pihak musuh jauh lebih kuat sehingga akhirnya Ratu Mimi pun roboh dan gugur tak beda dengan suaminya, tangannya masih memegang pedang dan surat suaminya, dan ia tewas dengan mulut tersenyum karena pada saat terakhir ia melihat suaminya tercinta meraih dan menyambutnya penuh kasih sayang!
Pasukan Mongol membasmi Khitan, merampas wanita-wanita dan membunuh pria-pria muda, merampas harta benda dan membakar rumah-rumah, termasuk istana yang telah dirampas habis-habisan.
Gegerlah Khitan, dan bagi bangsa Khitan hari itu merupakan hari kiamat dan berakhirnya Kerajaan Khitan yang selama ini kokoh kuat. Benarkah ini merupakan kutukan dewa akibat pelanggaran yang dilakukan oleh anak kembar Ratu Yalina yang seharusnya menurut kebiasaan dan kepercayaan lama harus menjadi suami isteri akan tetapi telah dilanggar dan mereka berdua itu menikah dengan orang lain? Entahlah, dan mungkin benar demikian bagi yang percaya.
Malapetaka hebat yang menimpa Kerajaan Khitan itu tidak diketahui, bahkan tidak pernah dibayangkan oleh Maya yang telah melarikan diri dikawal sepasukan pengawal terdiri dari lima belas orang pengawal pilihan. Pasukan ini dipimpin oleh seorang panglima pengawal bernama Bhutan, seorang panglima muda yang tinggi besar dan berwatak bengis.
Lima belas orang pengawal ini kelihatannya melaksanakan tugasnya dengan taat, membawa keluar Maya dari kota raja yang terancam bahaya, akan tetapi sesungguhnya di dalam hati mereka terdapat perasaan tidak senang dan berduka. Betapa tidak? Keluarga mereka semua ditinggalkan di kota raja. Semua keluarga itu membutuhkan perlindungan mereka, akan tetapi mereka lima belas orang ini tidak dapat melindungi keluarga mereka sendiri karena harus melarikan Maya.
Dan mereka dapat membayangkan dengan hati perih betapa malapetaka tentu menimpa keluarga mereka yang tidak ada pelindungnya. Duka dan sesal membuat mereka mulai mengomel sepanjang jalan dan mulai memandang kepada Puteri Maya dengan sinar mata benci. Dianggapnya puteri inilah yang menjadi sebab celakanya. Kalau mereka tidak Pergi mengawal puteri ini, tentu mereka akan dapat menyelamatkan keluarga masing-masing dengan membawa mereka lari mengungsi!
Malam pertama, ketika rombongan ini mengaso dan bersembunyi di dalam hutan, belum nampak perubahan, hanya mereka itu bersungut-sungut mengelilingi api unggun dan tidak banyak cakap. Namun pemimpin mereka, sudah merasa betapa anak buahnya tidak merasa puas. Hal ini dimengertinya baik-baik karena dia sendiri pun merasa tidak senang harus meninggalkan isterinya yang baru beberapa bulan dikawininya.
Demikian pula malam ke dua, hanya kelihatan para anak buah pasukan itu gelisah dan mulai saling berbisik-bisik. Namun semua itu pun lewat tanpa peristiwa sesuatu sehingga ketika pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Go-bi-san yang amat jauh, hati Bhutan sudah agak lega.
Akan tetapi, ketika pasukan ini mendengar berita dari orang-orang pelarian dari kota raja bahwa kota raja sudah diserbu musuh dan diduduki, bahwa Kerajaan Khitan kini sudah hancur dan jatuh, meledaklah rasa ketidak puasan para anak buah pasukan pengawal, bahkan Bhutan sendiri mendengarkan cerita pengungsi itu dengan wajah pucat.
"Habis semua....!" Demikian antara lain pengungsi itu bercerita. "Mereka itu datang seperti badai mengamuk. Pasukan kita yang mempertahankan, bersama Sang Ratu, digilas habis dan tewas semua! Istana dirampok dan diduduki, rumah rakyat dibakar, semua laki-laki dewasa dibunuh dan wanita-wanita dijadikan rebutan, diperkosa seperti segerombolan serigala kelaparan melihat domba. Banyak yang tewas karena diperkosa banyak orang di pinggir-pinggir jalan, di rumah-rumah, dimana saja sehingga jerit mereka memenuhi angkasa."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar