Hampir semua orang gagah di dunia kang-ouw memusuhinya, tentu saja ada pula yang menganggapnya sebagai seorang pendekar yang gagah berani karena sesungguhnya, sepak terjang Suma Hoat memang sebagai seorang pendekar. Di mana pun dia berada dia selalu menentang kejahatan, membasmi gerombolan perampok, membela yang tertindas dan seringkali membagi-bagikan harta benda yang dia rampas dari sarang-sarang perampok.
Akan tetapi, tentu saja semua perbuatan baik ini tidak ada artinya karena dikotori oleh kesukaannya yang terkutuk, yaitu mendapatkan setiap orang wanita yang menggerakkan hatinya, baik secara halus maupun kasar!
Diantara orang-orang gagah di seluruh dunia kang-ouw yang menganggapnya sebagai sahabat, adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang amat lihai itu. Seringkali mereka berdua bersama-sama berjuang menghadapi gerombolan-gerombolan penjahat yang kuat, dan diantara kedua orang ini terdapat kecocokan watak. Namun, semua nasihat Im-yang Seng-cu tidak dapat mengubah watak buruk, yaitu kesukaannya memetik bunga dengan paksa (memperkosa wanita)! Kesukaan buruk inilah yang lagi-lagi memisahkan mereka dan membuat hati Im-yang Seng-cu kecewa dan menyesal sekali.
Pada suatu pagi, di dalam sebuah hutan di luar kota Lok-yang, di sebelah utara dekat Sungai Huang-ho, terdengar jerit mengerikan seorang wanita diantara suara beradunya senjata tajam dan teriakan-teriakan kesakitan.
Kiranya, sebuah rombongan piauwsu (pengawal) yang mengantar pelancong dan pengawal barang-barang berharga, bertanding melawan gerombolan perampok yang hendak merampok barang dan menculik wanita. Di dalam sebuah kereta yang dikawal, terdapat seorang ibu dengan anak daranya yang cantik. Jerit itu keluar dari mulut Si Dara yang menjadi ketakutan dan berpelukan dengan ibunya yang menangis penuh rasa takut dan gentar. Sedangkan ayah dara itu pun dengan muka pucat duduk sambil mengembangkan kedua lengan, seolah-olah hendak melindungi anak isterinya dengan kedua lengan yang dikembangkan itu!
Biarpun rombongan piauwsu itu melakukan perlawanan sekuatnya, namun karena jumlah mereka hanya dua puluh orang sedangkan perampok-perampok itu jumlahnya lebih lima puluh, dikepalai oleh seorang raksasa tinggi besar bersenjata sepasang ruyung yang mengerikan, akhirnya rombongan piauwsu itu tewas semua, termasuk para pelayan dan kusir kereta. Mayat mereka bergelimpangan dan terbenam dalam darah yang memenuhi tempat itu.
"Ha-ha-ha, kumpulkan semua barang!" kepala rampok itu tertawa-tawa.
"Tai-ongya, di dalam kereta terdapat seorang nona yang amat cantik!" seorang perampok melapor sambil cengar-cengir.
"Ha-ha-ha, bagus. Biar aku sendiri yang menangkapnya!"
Kepala rampok itu melangkah lebar, menyingkap tirai jendela kereta dan nampaklah dara remaja itu dipeluk ibu dan dijaga ayahnya! Sepasang mata kepala rampok itu terbelalak penuh kagum, air liurnya menitik dan matanya menjadi merah, mulutnya terkekeh genit.
"Heh-heh-heh, manis. Marilah kupondong kau, kusenangkan kau.... ha-ha!"
"Pergi! Jangan ganggu anakku!"
Ayah dara itu membentak, akan tetapi sekali saja kepala rampok itu mengayun tangannya, laki-laki itu terlempar keluar dari kereta!
"Jangan ganggu anakku! Setan, perampok jahat....! Tolooonnggg....!"
Ibu dara itu menjerit, akan tetapi kembali tubuhnya terlempar keluar dari dalam kereta ketika didorong oleh kepala rampok yang sudah menyambar lengan Si Dara dan ditarik lalu didekapnya. Dara itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan tidak ada suara keluar dari mulutnya saking takut, hanya matanya terbelalak seperti mata seekor kelinci yang ketakutan.
Karena ibu dara itu pun belum tua benar dan memang cantik, begitu melihat mereka terlempar dari kereta sehingga bajunya tersingkap dan kelihatan bentuk dadanya yang masih padat, seorang perampok segera menubruk dan menciuminya, hendak memperkosanya di tempat itu juga, di dekat Si Suami yang mulai merangkak bangun sambil memegangi lengan kiri yang patah tulangnya ketika dia terjatuh tadi!
"Bretttt!"
Perampok itu sudah merobek baju wanita itu dan Si Wanita selain meronta-ronta juga menjerit-jerit, akan tetapi tentu saja dia tidak mampu melawan Si Perampok yang jauh lebih kuat dan yang tertawa-tawa senang melihat korbannya melakukan perlawanan itu.
Sementara itu Si Dara jelita yang dipondong oleh kepala rampok, menjerit-jerit dan menggunakan kedua tangannya memukuli dada perampok itu, akan tetapi Si Kepala Perampok tertawa-tawa bergelak dan membawa anak dara yang meronta-ronta itu ke belakang semak-semak, diiringi gelak tawa anak buahnya.
Tiba-tiba kepala rampok itu terbelalak ketika melihat seorang laki-laki secara aneh sekali tahu-tahu telah berada di depannya. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, berpakaian mewah dan berwajah tampan, dengan sepasang mata seperti mata setan, tajam mengerikan!
"Lepaskan dara itu!"
Laki-laki itu berkata dengan sikap dingin, suaranya memerintah, seperti seorang bangsawan memerintah pelayannya saja.
Tahulah Si Kepala Rampok bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang hendak menentangnya. Sambil tertawa dia melempar dara itu ke atas rumput, kemudian berkata,
"Kiranya masih ada yang belum mampus, keparat!"
Dia menggerakkan ruyungnya, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar berkelebat disusul pekik Si Kepala Rampok yang melihat betapa lengan kanannya terbang bersama ruyungnya, darah muncrat dari pangkal lengan kanan yang buntung!
"Singgg....! crottt!" Kembali sinar berkelebat dan kini pangkal lengan kirinya yang buntung!
Si Kepala Rampok menjerit mengerikan sebelum tubuhnya terjengkang roboh, matanya terbelalak dan ia berkelojotan dalam sekarat!
Karena para perampok sedang sibuk dengan kesenangan masing-masing, membongkar-bongkar barang berharga, mereka tidak melihat peristiwa aneh itu. Ketika Si Perampok tengah berusaha memperkosa ibu Si Dara yang melakukan perlawanan keras, tiba-tiba perampok itu memekik nyaring dan tubuhnya terlempar ke belakang, lambungnya robek dan ususnya keluar.
Barulah para perampok sadar bahwa ada seorang pengacau! Mereka cepat mengurung laki-laki perkasa itu dan gegerlah mereka setelah ada yang melihat betapa kepala rampok pemimpin mereka itu telah berkelojotan dengan kedua lengan buntung! Sisa gerombolan perampok yang masih ada tiga puluh orang lebih itu kini mengurung dan menyerbu laki-laki itu dan menghujankan senjata.
Akan tetapi, laki-laki itu memutar pedang yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung, tubuhnya berkelebat kesana-sini dan terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya para perampok itu seorang demi seorang! Keadaan di tempat itu sungguh mengerikan dan akhirnya, semua perampok roboh dan tewas, kecuali seorang yang berusaha melarikan diri. Laki-laki itu menoleh ke arah perampok yang melarikan diri, kakinya mencongkel sebatang golok yang terletak di atas tanah, menendang dan terdengarlah jerit perampok itu yang roboh dengan golok menembus punggung!
Selesailah pertandingan itu dan keadaan menjadi sunyi sekali, kecuali suara isak tangis ibu dan anak yang saling merangkul, dan suara ayah Si Dara yang menghibur mereka. Di sekeliling tempat itu penuh dengan mayat! Di tengah-tengah tempat mengerikan itu, berdirilah laki-laki setengah tua yang tampan tadi, kini tersenyum-senyum dan matanya ditujukan kepada Si Dara yang sedang menangis bersama ibunya.
Ayah Si Dara itu bangkit dan mengajak anak isterinya menghampiri pendekar itu, berlutut dan memberi hormat.
"Taihiap, kami sekeluarga menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap," kata Si Ayah.
"Bangunlah, sudah sepatutnya kalau aku menolong kalian, terutama sekali mengingat akan puterimu. Semua ini berkat nasib puterimu yang amat baik." Terdengar pendekar itu berkata.
Mendengar suara yang halus itu, Si Dara mengangkat muka dan tiba-tiba kedua pipinya berubah merah sekali. Tadi dia melihat wajah menyeramkan dari Si Kepala Rampok yang hampir saja memperkosanya. Kini melihat wajah amat tampan dan gagah dari pria yang telah menyelamatkannya, hati siapa yang tidak akan berdebar dan tertarik?
"Pertolongan In-kong lebih berharga daripada nyawa dan sampai mati pun saya tidak akan melupakannya." Dara itu berbisik dengan suara mengandung isak karena bersyukur.
Laki-laki perkasa itu membungkuk, menyentuh kedua pundak dara itu dengan sentuhan mesra, menyuruhnya bangkit,
"Aku pun merasa bahagia sekali dapat menyelamatkanmu, Nona."
"Taihiap, kami adalah keluarga Kwa dari Tai-goan hendak pindah ke Lok-yang. Bolehkah kami mengetahui nama besar Taihiap dan mempersilakan Taihiap singgah di tempat kediaman baru kami?" kata pula Kwa Liok, ayah Si Dara itu.
"Namaku adalah Suma Hoat, dan tentu saja saya suka singgah, karena memang saya pun hendak ke Lok-yang, sekalian akan saya kawani kalian sampai ke Lok-yang dengan selamat. Silakan naik kereta, biar aku yang akan mengemudikannya."
Ketika keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan anak itu sudah naik kereta, Suma Hoat bertanya,
"Milik siapakah barang-barang di dalam kereta ke dua di belakang itu?"
"Bukan milik kami Taihiap. Mungkin barang-barang kiriman yang dikawal oleh rombongan piauwsu. Kami hanya ikut rombongan dengan membayar biaya pengawalan, kami keluarga miskin tidak membawa barang apa-apa kecuali bungkusan-bungkusan dalam kereta ini."
Suma Hoat mengangguk-angguk, meloncat ke belakang dan setelah memilih dan mengantongi beberapa benda berharga dari emas permata, dia lalu kembali ke kereta, naik ke tempat di depan dan mencambuk dua ekor kuda yang tadi ketakutan itu sehingga dua ekor binatang itu membalap ke depan menarik kereta.
Setelah tiba di rumah keluarga Kwa di Lok-yang, tentu saja Suma Hoat diterima sebagai tamu agung, dihormati oleh suami isteri Kwa dan terutama oleh puterinya, Kwa Bi Kiok yang benar-benar merasa kagum dan berhutang budi kepada penolongnya itu. Dara ini memang cantik manis, maka tidaklah mengherankan apabila timbul rasa suka di hati Jai-hwa-sian terhadap gadis itu!
Seperti biasa, begitu hatinya tergerak, begitu nafsunya terangsang, dia harus mendapatkan gadis itu dan kebetulan sekali terhadap Bi Kiok, Suma Hoat tidak perlu mempergunakan kekerasan karena ketika pada malam harinya dia memasuki kamar gadis itu, dia diterima dengan penuh kemesraan dan cinta kasih!
Sekali ini tidak seperti biasanya, Suma Hoat jatuh hati terhadap Bi Kiok. Biasanya, setelah gairah nafsunya terlaksana terhadap seorang wanita yang dikehendakinya, dia tidak mau menengok lagi dan meninggalkan si korban begitu saja.
Akan tetapi entah mengapa, terhadap Bi Kiok dia tidak dapat bersikap demikian. Timbul rasa cinta dan kasihan terhadap gadis ini dan di dalam diri Bi Kiok, dia seolah-olah menemukan sesuatu yang dicari-carinya, bagaikan seekor burung yang gelisah menemukan pohon yang cocok untuk berteduh seperti sebuah perahu menentukan pangkalan yang tepat untuk berlabuh. Ataukah, mungkin juga dia menemukan cinta, bukan hanya nafsu berahi seperti biasanya?
Malam hari itu dia tinggal di rumah Kwa Bi Kiok, bahkan dia menghadiahkan semua barang-barang berharga, perhiasan-perhiasan indah mahal kepada kekasih barunya ini. Dia menjadi amat "jinak", tidak pernah keluar rumah. Apalagi setelah ayah bunda Bi Kiok mengetahui akan hubungan antara penolong mereka dan puteri mereka, peristiwa yang mereka sesalkan akan tetapi mereka tidak berani mencegah atau melarangnya, Suma Hoat hidup di dalam rumah itu sebagai pengantin baru dengan Bi Kiok yang ternyata amat mencintanya.
Makin mendalam perasaan Suma Hoat terhadap Bi Kiok ketika tiga bulan kemudian kekasihnya itu mengandung! Kalau saja dia tidak khawatir akan datangnya malapetaka, tentu dia akan menikah secara resmi dengan kekasihnya itu. Akan tetapi betapa mungkin dia melakukan pernikahan? Begitu namanya tersiar, tentu akan datang musuh-musuh besar yang selalu mencarinya, dan gadis yang menjadi isterinya tentu akan dimusuhi pula.
Bahkan sampai tiga bulan tinggal di dalam kota Lok-yang ini saja sudah merupakan hal yang amat berbahaya dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Biasanya dia selalu berpindah-pindah, tidak lebih dari sepekan saja berada di sebuah kota. Akan tetapi, karena Bi Kiok, dia kini telah tiga bulan berada di Lok-yang. Biarpun selama tiga bulan itu dia tidak pernah keluar dari dalam rumah, apalagi melakukan perbuatannya sebagai Jai-hwa-sian, namun sudah amat berbahaya.
Akan tetapi, tentu saja semua perbuatan baik ini tidak ada artinya karena dikotori oleh kesukaannya yang terkutuk, yaitu mendapatkan setiap orang wanita yang menggerakkan hatinya, baik secara halus maupun kasar!
Diantara orang-orang gagah di seluruh dunia kang-ouw yang menganggapnya sebagai sahabat, adalah Im-yang Seng-cu, tokoh pelarian Hoa-san-pai yang amat lihai itu. Seringkali mereka berdua bersama-sama berjuang menghadapi gerombolan-gerombolan penjahat yang kuat, dan diantara kedua orang ini terdapat kecocokan watak. Namun, semua nasihat Im-yang Seng-cu tidak dapat mengubah watak buruk, yaitu kesukaannya memetik bunga dengan paksa (memperkosa wanita)! Kesukaan buruk inilah yang lagi-lagi memisahkan mereka dan membuat hati Im-yang Seng-cu kecewa dan menyesal sekali.
Pada suatu pagi, di dalam sebuah hutan di luar kota Lok-yang, di sebelah utara dekat Sungai Huang-ho, terdengar jerit mengerikan seorang wanita diantara suara beradunya senjata tajam dan teriakan-teriakan kesakitan.
Kiranya, sebuah rombongan piauwsu (pengawal) yang mengantar pelancong dan pengawal barang-barang berharga, bertanding melawan gerombolan perampok yang hendak merampok barang dan menculik wanita. Di dalam sebuah kereta yang dikawal, terdapat seorang ibu dengan anak daranya yang cantik. Jerit itu keluar dari mulut Si Dara yang menjadi ketakutan dan berpelukan dengan ibunya yang menangis penuh rasa takut dan gentar. Sedangkan ayah dara itu pun dengan muka pucat duduk sambil mengembangkan kedua lengan, seolah-olah hendak melindungi anak isterinya dengan kedua lengan yang dikembangkan itu!
Biarpun rombongan piauwsu itu melakukan perlawanan sekuatnya, namun karena jumlah mereka hanya dua puluh orang sedangkan perampok-perampok itu jumlahnya lebih lima puluh, dikepalai oleh seorang raksasa tinggi besar bersenjata sepasang ruyung yang mengerikan, akhirnya rombongan piauwsu itu tewas semua, termasuk para pelayan dan kusir kereta. Mayat mereka bergelimpangan dan terbenam dalam darah yang memenuhi tempat itu.
"Ha-ha-ha, kumpulkan semua barang!" kepala rampok itu tertawa-tawa.
"Tai-ongya, di dalam kereta terdapat seorang nona yang amat cantik!" seorang perampok melapor sambil cengar-cengir.
"Ha-ha-ha, bagus. Biar aku sendiri yang menangkapnya!"
Kepala rampok itu melangkah lebar, menyingkap tirai jendela kereta dan nampaklah dara remaja itu dipeluk ibu dan dijaga ayahnya! Sepasang mata kepala rampok itu terbelalak penuh kagum, air liurnya menitik dan matanya menjadi merah, mulutnya terkekeh genit.
"Heh-heh-heh, manis. Marilah kupondong kau, kusenangkan kau.... ha-ha!"
"Pergi! Jangan ganggu anakku!"
Ayah dara itu membentak, akan tetapi sekali saja kepala rampok itu mengayun tangannya, laki-laki itu terlempar keluar dari kereta!
"Jangan ganggu anakku! Setan, perampok jahat....! Tolooonnggg....!"
Ibu dara itu menjerit, akan tetapi kembali tubuhnya terlempar keluar dari dalam kereta ketika didorong oleh kepala rampok yang sudah menyambar lengan Si Dara dan ditarik lalu didekapnya. Dara itu menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan tidak ada suara keluar dari mulutnya saking takut, hanya matanya terbelalak seperti mata seekor kelinci yang ketakutan.
Karena ibu dara itu pun belum tua benar dan memang cantik, begitu melihat mereka terlempar dari kereta sehingga bajunya tersingkap dan kelihatan bentuk dadanya yang masih padat, seorang perampok segera menubruk dan menciuminya, hendak memperkosanya di tempat itu juga, di dekat Si Suami yang mulai merangkak bangun sambil memegangi lengan kiri yang patah tulangnya ketika dia terjatuh tadi!
"Bretttt!"
Perampok itu sudah merobek baju wanita itu dan Si Wanita selain meronta-ronta juga menjerit-jerit, akan tetapi tentu saja dia tidak mampu melawan Si Perampok yang jauh lebih kuat dan yang tertawa-tawa senang melihat korbannya melakukan perlawanan itu.
Sementara itu Si Dara jelita yang dipondong oleh kepala rampok, menjerit-jerit dan menggunakan kedua tangannya memukuli dada perampok itu, akan tetapi Si Kepala Perampok tertawa-tawa bergelak dan membawa anak dara yang meronta-ronta itu ke belakang semak-semak, diiringi gelak tawa anak buahnya.
Tiba-tiba kepala rampok itu terbelalak ketika melihat seorang laki-laki secara aneh sekali tahu-tahu telah berada di depannya. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, berpakaian mewah dan berwajah tampan, dengan sepasang mata seperti mata setan, tajam mengerikan!
"Lepaskan dara itu!"
Laki-laki itu berkata dengan sikap dingin, suaranya memerintah, seperti seorang bangsawan memerintah pelayannya saja.
Tahulah Si Kepala Rampok bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan yang hendak menentangnya. Sambil tertawa dia melempar dara itu ke atas rumput, kemudian berkata,
"Kiranya masih ada yang belum mampus, keparat!"
Dia menggerakkan ruyungnya, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar berkelebat disusul pekik Si Kepala Rampok yang melihat betapa lengan kanannya terbang bersama ruyungnya, darah muncrat dari pangkal lengan kanan yang buntung!
"Singgg....! crottt!" Kembali sinar berkelebat dan kini pangkal lengan kirinya yang buntung!
Si Kepala Rampok menjerit mengerikan sebelum tubuhnya terjengkang roboh, matanya terbelalak dan ia berkelojotan dalam sekarat!
Karena para perampok sedang sibuk dengan kesenangan masing-masing, membongkar-bongkar barang berharga, mereka tidak melihat peristiwa aneh itu. Ketika Si Perampok tengah berusaha memperkosa ibu Si Dara yang melakukan perlawanan keras, tiba-tiba perampok itu memekik nyaring dan tubuhnya terlempar ke belakang, lambungnya robek dan ususnya keluar.
Barulah para perampok sadar bahwa ada seorang pengacau! Mereka cepat mengurung laki-laki perkasa itu dan gegerlah mereka setelah ada yang melihat betapa kepala rampok pemimpin mereka itu telah berkelojotan dengan kedua lengan buntung! Sisa gerombolan perampok yang masih ada tiga puluh orang lebih itu kini mengurung dan menyerbu laki-laki itu dan menghujankan senjata.
Akan tetapi, laki-laki itu memutar pedang yang berubah menjadi sinar bergulung-gulung, tubuhnya berkelebat kesana-sini dan terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya para perampok itu seorang demi seorang! Keadaan di tempat itu sungguh mengerikan dan akhirnya, semua perampok roboh dan tewas, kecuali seorang yang berusaha melarikan diri. Laki-laki itu menoleh ke arah perampok yang melarikan diri, kakinya mencongkel sebatang golok yang terletak di atas tanah, menendang dan terdengarlah jerit perampok itu yang roboh dengan golok menembus punggung!
Selesailah pertandingan itu dan keadaan menjadi sunyi sekali, kecuali suara isak tangis ibu dan anak yang saling merangkul, dan suara ayah Si Dara yang menghibur mereka. Di sekeliling tempat itu penuh dengan mayat! Di tengah-tengah tempat mengerikan itu, berdirilah laki-laki setengah tua yang tampan tadi, kini tersenyum-senyum dan matanya ditujukan kepada Si Dara yang sedang menangis bersama ibunya.
Ayah Si Dara itu bangkit dan mengajak anak isterinya menghampiri pendekar itu, berlutut dan memberi hormat.
"Taihiap, kami sekeluarga menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Taihiap," kata Si Ayah.
"Bangunlah, sudah sepatutnya kalau aku menolong kalian, terutama sekali mengingat akan puterimu. Semua ini berkat nasib puterimu yang amat baik." Terdengar pendekar itu berkata.
Mendengar suara yang halus itu, Si Dara mengangkat muka dan tiba-tiba kedua pipinya berubah merah sekali. Tadi dia melihat wajah menyeramkan dari Si Kepala Rampok yang hampir saja memperkosanya. Kini melihat wajah amat tampan dan gagah dari pria yang telah menyelamatkannya, hati siapa yang tidak akan berdebar dan tertarik?
"Pertolongan In-kong lebih berharga daripada nyawa dan sampai mati pun saya tidak akan melupakannya." Dara itu berbisik dengan suara mengandung isak karena bersyukur.
Laki-laki perkasa itu membungkuk, menyentuh kedua pundak dara itu dengan sentuhan mesra, menyuruhnya bangkit,
"Aku pun merasa bahagia sekali dapat menyelamatkanmu, Nona."
"Taihiap, kami adalah keluarga Kwa dari Tai-goan hendak pindah ke Lok-yang. Bolehkah kami mengetahui nama besar Taihiap dan mempersilakan Taihiap singgah di tempat kediaman baru kami?" kata pula Kwa Liok, ayah Si Dara itu.
"Namaku adalah Suma Hoat, dan tentu saja saya suka singgah, karena memang saya pun hendak ke Lok-yang, sekalian akan saya kawani kalian sampai ke Lok-yang dengan selamat. Silakan naik kereta, biar aku yang akan mengemudikannya."
Ketika keluarga yang terdiri dari ayah ibu dan anak itu sudah naik kereta, Suma Hoat bertanya,
"Milik siapakah barang-barang di dalam kereta ke dua di belakang itu?"
"Bukan milik kami Taihiap. Mungkin barang-barang kiriman yang dikawal oleh rombongan piauwsu. Kami hanya ikut rombongan dengan membayar biaya pengawalan, kami keluarga miskin tidak membawa barang apa-apa kecuali bungkusan-bungkusan dalam kereta ini."
Suma Hoat mengangguk-angguk, meloncat ke belakang dan setelah memilih dan mengantongi beberapa benda berharga dari emas permata, dia lalu kembali ke kereta, naik ke tempat di depan dan mencambuk dua ekor kuda yang tadi ketakutan itu sehingga dua ekor binatang itu membalap ke depan menarik kereta.
Setelah tiba di rumah keluarga Kwa di Lok-yang, tentu saja Suma Hoat diterima sebagai tamu agung, dihormati oleh suami isteri Kwa dan terutama oleh puterinya, Kwa Bi Kiok yang benar-benar merasa kagum dan berhutang budi kepada penolongnya itu. Dara ini memang cantik manis, maka tidaklah mengherankan apabila timbul rasa suka di hati Jai-hwa-sian terhadap gadis itu!
Seperti biasa, begitu hatinya tergerak, begitu nafsunya terangsang, dia harus mendapatkan gadis itu dan kebetulan sekali terhadap Bi Kiok, Suma Hoat tidak perlu mempergunakan kekerasan karena ketika pada malam harinya dia memasuki kamar gadis itu, dia diterima dengan penuh kemesraan dan cinta kasih!
Sekali ini tidak seperti biasanya, Suma Hoat jatuh hati terhadap Bi Kiok. Biasanya, setelah gairah nafsunya terlaksana terhadap seorang wanita yang dikehendakinya, dia tidak mau menengok lagi dan meninggalkan si korban begitu saja.
Akan tetapi entah mengapa, terhadap Bi Kiok dia tidak dapat bersikap demikian. Timbul rasa cinta dan kasihan terhadap gadis ini dan di dalam diri Bi Kiok, dia seolah-olah menemukan sesuatu yang dicari-carinya, bagaikan seekor burung yang gelisah menemukan pohon yang cocok untuk berteduh seperti sebuah perahu menentukan pangkalan yang tepat untuk berlabuh. Ataukah, mungkin juga dia menemukan cinta, bukan hanya nafsu berahi seperti biasanya?
Malam hari itu dia tinggal di rumah Kwa Bi Kiok, bahkan dia menghadiahkan semua barang-barang berharga, perhiasan-perhiasan indah mahal kepada kekasih barunya ini. Dia menjadi amat "jinak", tidak pernah keluar rumah. Apalagi setelah ayah bunda Bi Kiok mengetahui akan hubungan antara penolong mereka dan puteri mereka, peristiwa yang mereka sesalkan akan tetapi mereka tidak berani mencegah atau melarangnya, Suma Hoat hidup di dalam rumah itu sebagai pengantin baru dengan Bi Kiok yang ternyata amat mencintanya.
Makin mendalam perasaan Suma Hoat terhadap Bi Kiok ketika tiga bulan kemudian kekasihnya itu mengandung! Kalau saja dia tidak khawatir akan datangnya malapetaka, tentu dia akan menikah secara resmi dengan kekasihnya itu. Akan tetapi betapa mungkin dia melakukan pernikahan? Begitu namanya tersiar, tentu akan datang musuh-musuh besar yang selalu mencarinya, dan gadis yang menjadi isterinya tentu akan dimusuhi pula.
Bahkan sampai tiga bulan tinggal di dalam kota Lok-yang ini saja sudah merupakan hal yang amat berbahaya dan belum pernah dilakukan sebelumnya. Biasanya dia selalu berpindah-pindah, tidak lebih dari sepekan saja berada di sebuah kota. Akan tetapi, karena Bi Kiok, dia kini telah tiga bulan berada di Lok-yang. Biarpun selama tiga bulan itu dia tidak pernah keluar dari dalam rumah, apalagi melakukan perbuatannya sebagai Jai-hwa-sian, namun sudah amat berbahaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar