Ads

Rabu, 20 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 186

Pada suatu malam, terjadilah apa yang dikhawatirkan oleh Jai-hwa-sian. Selagi tidur bersama Bi Kiok yang pulas dalam pelukannya, dia mendengar gerakan yang perlahan sekali di atas rumah! Dia menengok dan memandang wajah kekasihnya, wajah yang cantik manis dan gemilang mengeluarkan cahaya cemerlang seperti biasa wajah seorang wanita yang mengandung, tidur pulas dengan bibir tersenyum penuh kepuasan dan kebahagiaan.

Jantung Suma Hoat seperti ditusuk rasanya. Dia mencinta wanita ini! Hati-hati sekali dia menarik lengannya yang dijadikan bantal oleh kepala Bi Kiok, cepat mengenakan pakaian dan sekali berkelebat, dia telah meloncat keluar dari kamar membawa pedangnya.

Tepat seperti apa yang diduga dan dikhwatirkannya, begitu tubuhnya melayang naik ke atas genteng, lima orang telah menghadapinya!

"Jai-hwa-sian, iblis keparat, serahkan nyawamu kepada kami!" seorang diantara mereka membentak.

Tanpa menanti jawaban, lima orang itu telah menerjang maju serentak dengan senjata mereka. Suma Hoat tidak ingin mengagetkan kekasihnya, juga tidak ingin kekasihnya tahu akan keadaan dirinya, maka dia hanya mengelak lalu melarikan diri untuk memancing musuh-musuhnya itu melakukan pengejaran. Maka dia tidak berlari terlalu cepat sehingga musuh-musuhnya mampu menyusulnya keluar dari kota Lok-yang.

Akan tetapi yang mengejar Suma Hoat hanya empat orang, sedangkan orang ke lima, seorang hwesio, telah melayang turun dan memasuki rumah keluarga Kwa. Kwa Liok telah bangun karena kaget mendengar suara berisik tadi, dan melihat seorang hwesio disitu, dia kaget dan heran sekali. Akan tetapi, hwesio yang berwajah tenang itu segera berkata,

"Harap engkau tidak kaget dan lebih baik kau lekas melihat keadaan puterimu. Pinceng percaya bahwa engkau tentu mempunyai seorang gadis."

Tentu saja Kwa Liok bingung dan heran. Dia mengangguk, menelan ludah dan berkata,
"Memang, Twa-suhu, kami mempunyai seorang anak perempuan, akan tetapi.... mengapa....?"

"Lekas, lihat ke dalam kamarnya!"

Hwesio itu mendekat dengan alis berkerut karena dia khawatir kalau-kalau Jai-hwa-sian telah memperkosa puteri tuan rumah ini.

Biarpun ragu-ragu dan heran, Kwan Liok menghampiri kamar puterinya. Tiba-tiba muncul isterinya yang menjadi pucat melihat seorang hwesio bersama suaminya menghampiri kamar puterinya. Tanpa bertanya, dia ikut menghampiri kamar itu. Pintu kamar dikekuk perlahan oleh Kwa Liok yang memanggil-manggil nama anaknya.

Tak lama kemudian terdengar jawaban,
"Ehmmm....? Siapa....? Eihh, kemana perginya....?"

"Bi Kiok, engkau tidak apa-apa?" Kwa Liok bertanya dan isterinya memandang bingung.

Daun pintu terbuka dan Bi Kiok terkejut, cepat-cepat menutupkan bajunya yang terbuka sedikit ketika melihat seorang hwesio bersama ayah bundanya.

"Eh, ada apakah, Ayah?"

"Omitohud....!" Hwesio itu menarik napas panjang dan merasa lega. "Untung bahwa Tuhan masih melindungi puterimu dari cengkeraman keji Jai-hwa-sian."

Kwa Liok, isterinya, dan Bi Kiok terkejut.
"Jai-hwa-sian....?"

Tentu saja mereka telah mendengar nama penjahat yang ditakuti ini, dan Kwa Liok menyebut nama itu dengan penuh pertanyaan.

"Ya, benar, baru saja kami berlima menyerbu setelah mendengar kabar bahwa Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang kami cari-cari itu berada di rumah ini. Dia tadi telah kabur dan dikejar teman-teman pinceng. Akan tetapi, melihat bahwa anakmu masih selamat, sebaiknya sekarang juga kalian segera pergi dari tempat ini. Biasanya kalau Jai-hwa-sian belum berhasil mendapatkan korbannya, dia akan penasaran dan akan terus melakukan pengejaran."

"Tapi.... tapi...." Kwa Liok tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia merasa bingung sekali.






"Biarpun teman-teman pinceng tadi mengejarnya, belum tentu mereka dapat menangkap atau membunuhnya. Dia amat lihai dan kejam. Untung bahwa anakmu masih belum menjadi korban, tadinya pinceng mengira dan mengkhawatirkan, seperti yang sudah-sudah, anakmu sudah menjadi mayat."

"Lo-suhu, siapakah yang kau maksudkan dengan Jai-hwa-sian itu? Yang berada disini sama sekali bukan Jai-hwa-sian, melainkan.... eh, suamiku.... Suma Hoat, bukan Jai-hwa-sian...."

Bi Kiok yang mendengarkan dengan muka pucat ini tiba-tiba tak dapat menahan hatinya dan berkata dengan tegas. Biarpun dia belum menikah secara resmi dengan kekasihnya, namun Suma Hoat sudah dianggap sebagai suaminya sendiri, maka kini mendengar suaminya dituduh sebagai Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang sudah terkenal dimana-mana, tentu saja dia tidak senang dan membantah.

"Omitohud.... suamimu....? Apa artinya ini....? Suma Hoat adalah Jai-hwa-sian, Jai-hwa-sian adalah Suma Hoat.... haittt!"

Tiba-tiba hwesio itu melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan diri dari sambaran sebatang jarum yang datang dari atas. Sambil bergulingan, hwesio itu memutar toyanya, kemudian melompat bangun dan berhadapan dengan Suma Hoat yang telah meloncat turun.

"Jai-hwa-sian....!"

Hwesio itu membentak, matanya terbelalak penuh kaget dan heran mengapa orang yang dikejar-kejar empat orang temannya tadi tahu-tahu telah muncul disitu.

"Hemmm, agaknya engkau murid Siauw-lim-pai, ya? Nah, mampuslah seperti empat orang kawanmu!"

Suma Hoat menggerakkan pedangnya menerjang ke depan. Hwesio itu cepat menangkis dan terjadilah pertandingan di dalam rumah keluarga Kwa. Ternyata hwesio itu bukan tandingan Suma Hoat. Baru dua puluh jurus lebih saja, pundaknya terbabat pedang dan toyanya terlepas. Hwesio itu meloncat keluar dari rumah, melarikan diri.

"Engkau hendak lari kemana?"

Suma Hoat membentak, akan tetapi tiba-tiba Bi Kiok menubruk. Wanita ini memeluk dan menangis.

"Engkau.... engkau.... benarkah engkau Jai-hwa-sian....?"

Suma Hoat merangkul pundak kekasihnya, mengusap rambut yang awut-awutan itu dan menghela napas.

"Bi Kiok, kekasihku, dewi pujaan hatiku calon ibu anakku.... siapa pun adanya aku, engkau yakin bahwa aku mencintamu, bukan?"

Bi Kiok mengangkat muka memandang wajah orang yang dicintanya itu, terisak, merangkul leher memaksa muka Suma Hoat mendekat, lalu menempelkan pipinya pada pipi kekasihnya.

Sambil menangis dia hanya mengangguk-angguk, tak mampu menjawab karena dia bingung sekali. Pria yang dipeluknya ini adalah laki-laki yang dicintanya, benarkah orang yang dianggapnya paling mulia di dunia ini adalah Jai-hwa-sian, penjahat cabul yang telah memperkosa ratusan orang wanita dan membunuh korbannya secara keji? Benarkah ini? Sukar untuk mempercayai hal ini!

"Bi Kiok, hwesio tadi benar. Aku memang Jai-hwa-sian, bekas penjahat cabul yang kejam. Kukatakan bekas, karena setelah bertemu denganmu, aku tidak mau lagi melakukan kejahatan itu. Dan hwesio tadi benar bahwa engkau dan ayah bundamu harus segera pergi dari sini, malam ini juga. Bukan takut kepadaku, melainkan takut kepada orang-orang kang-ouw yang memusuhiku. Kalau mereka tahu bahwa engkau telah menjadi kekasihku, menjadi isteriku, menjadi calon ibu anakku, tentu engkau akan terbawa-bawa, akan dimusuhinya pula. Sebentar lagi pun mereka tentu akan menyerbu rumah ini. Bi Kiok, pergilah engkau."

"Suma-koko.... aku mau mati di sampingmu...." Bi Kiok menangis.

"Suma-taihiap, bagaimanakah ini....?" Kwa Liok akhirnya berkata dengan bingung.

"Apa yang kalian dengar dari hwesio tadi benar semua. Malam ini juga, kalian bertiga harus pergi dari sini. Saudara Kwa, bawa Bi Kiok pergi dari kota ini. Bawalah pergi ke kota Han-tiong di lembah sungai di kaki Pegunungan Ta-pa-san. Temui seorang tokoh kang-ouw bernama Im-yang Seng-cu, kau tanya-tanya disana tentu akan bertemu. Mintalah perlindungan kepadanya. Dia sahabat baikku, tentu dia akan melindungi Bi Kiok kalau membawa surat ini, sampai Bi Kiok melahirkan dan sebelum itu, aku akan berusaha untuk menyusul kesana...."

Suma Hoat menyerahkan sepucuk surat dan sebuah pundi-pundi.
"Ini adalah uang emas untuk bekal di perjalanan. Nah, berangkatlah...."

Kwa Liok hanya mengangguk-angguk tak mampu menjawab saking bingungnya. Dia dan isterinya lalu lari ke dalam kamar untuk berkemas, mempersiapkan barang yang kiranya dapat mereka bawa melarikan diri.

Akan tetapi Bi Kiok menubruk dan memeluk kekasihnya sambil menangis. Sampai ayah bundanya datang lagi mengajaknya, dia masih menangis sehingga terpaksa Suma Hoat melepaskan pelukannya dan setengah diseret wanita itu dipaksa meninggalkan rumah di malam buta.

Suma Hoat berdiri dengan jantung berdebar, ingin lari menyusul wanita yang tangisnya masih terdengar olehnya, makin lama makin lirih itu. Semangatnya seperti terbawa pergi, jantungnya seperti ditusuk-tusuk dan dia makin yakin bahwa dia benar-benar mencinta Bi Kiok! Bukan cinta berahi, melainkan cinta seorang suami terhadap isterinya, cinta seorang pria terhadap wanita yang akan menjadi ibu anaknya!

Tiba-tiba ia sadar dari lamunan ketika mendengar gerakan orang. Dia meloncat keluar rumah dan di depan rumah itu telah terdapat belasan orang mengurung! Suma Hoat tersenyum mengejek, lalu berkata,

"Apa kalian sudah bosan hidup? Mau apa kalian mencari Jai-hwa-sian?"

"Jai-hwa-sian iblis jahat. Kalau belum membunuhmu, sampai dunia kiamat kami orang-orang kang-ouw akan selalu mencarimu!"

Suma Hoat tertawa melengking dan meloncat ke depan, disambut oleh belasan batang senjata yang mengeroyoknya. Terdengar suara senjata beradu keras sekali, Suma Hoat mengamuk dan setelah merobohkan lima orang lawan, dia terpaksa melarikan diri karena para pengeroyoknya adalah orang-orang yang lihai ilmu silatnya, sedangkan malam hampir berganti pagi. Dengan cepat dia melarikan diri ke luar dari kota Lok-yang, menuju ke utara untuk memancing mereka menjauhi arah yang ditempuh Bi Kiok dan ayah bundanya.

Setelah dapat membebaskan diri dari para pengejarnya, Suma Hoat mengambil jalan memutar menuju ke kota Han-tiong menyusul rombongan kekasihnya. Dia sengaja mengambil jalan jauh dan memutar agar jangan sampai ada orang tahu tempat tinggal Bi Kiok kalau-kalau ada yang melihat dan membayanginya.

Karena perjalanan yang memutar ini, setelah tiga bulan barulah dia tiba di kaki Pegunungan Ta-pa-san, memasuki kota Han-tiong dan mencari kekasihnya. Akan tetapi hasilnya sia-sia. Keluarga Kwa Liok tidak berada di kota itu. Dia sudah mencari ke sekeliling kota, sudah bertanya-tanya, akan tetapi tidak ada orang yang tahu akan rombongan tiga orang itu! Akhirnya Suma Hoat bertemu dengan Im-yang Seng-cu, sahabat lamanya yang tinggal di dalam pondok kecil di sebuah hutan di luar kota Han-tiong.

"Aihhh, Jai-hwa-sian, angin apa yang membawamu kesini?" Im-yang Seng-cu cepat menyambut sahabatnya itu dan menegur gembira.

Dengan singkat Suma Hoat lalu menceritakan tentang pilihan hatinya yang baru tentang Bi Kiok dan orang tuanya yang disuruh melarikan diri ke Han-tiong karena dia dikejar-kejar oleh musuh-musuhnya.

"Sudah lebih dari tiga bulan mereka pergi, mestinya sudah berada di Han-tiong, akan tetapi kucari-cari mereka disini tidak ada, bahkan agaknya tidak pernah datang ke Han-tiong. Jangan-jangan ada halangan di jalan...." Suma Hoat kelihatan gelisah sekali memikirkan kekasihnya.

Im-yang Seng-cu memandang heran.
"Sahabatku, tidak kelirukah pendengaranku dan penglihatanku bahwa agaknya engkau amat memperhatikan wanita yang kau cari ini?"

"Memperhatikan? Im-yang Seng-cu, aku mencintanya! Mencinta dengan seluruh tubuh dan nyawa!"

"Kau? Mencinta? Ha-ha, Jai-hwa-sian, harap jangan mempermainkan aku! Di waktu muda belia saja tidak pernah mengenal cinta, apalagi setelah kini rambutmu mulai ada ubannya!"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar