"Sungguh aku tidak main-main. Aku telah menemukan cintaku, Im-yang Seng-cu. Dia adalah wanita satu-satunya yang sampai kini berhasil merebut kasihku, menghentikan semua petualanganku, dan.... dan dia sudah mengandung. Dia isteriku, dan aku harus dapat menemukan dia....! Ahhh, jangan-jangan dia tertimpa halangan. Aku harus pergi sekarang juga!" Jai-hwa-sian akan meloncat bangkit dengan wajah keruh dan penuh kekhawatiran.
"Eh-eh, kemana, sahabatku?"
"Aku harus mencarinya. Dia dan ayah bundanya berangkat dari Lok-yang menuju kesini, aku akan menyelusuri jalan itu sampai ke Lok-yang. Sampai jumpa, sahabatku!"
Jai-hwa-sian meninggalkan Im-yang Seng-cu yang berdiri bengong di depan pondoknya, menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Aihhh.... sungguh kasihan. Makin tua makin terlibat urusan hati sendiri!"
Im-yang Seng-cu yang biasanya memang suka merantau, menjadi tidak kerasan di pondoknya dan beberapa hari kemudian, Im-yang Seng-cu juga meninggalkan pondok dan mengambil jurusan ke Lok-yang karena dia merasa khawatir melihat sikap sahabatnya yang dianggapnya tidak seperti biasa.
Kedatangan kembali Suma Hoat ke Lok-yang sama dengan ular mencari penggebuk. Musuh-musuhnya masih berada di Lok-yang dan masih mencari-carinya di sekitar tempat itu, maka begitu dia memasuki daerah ini, di luar kota dia sudah bertemu dan dikepung belasan orang kang-ouw yang dipimpin oleh Ceng San Hwesio, seorang tokoh besar dari Siauw-lim-pai yang telah dicalonkan menjadi ketua!
Ceng San Hwesio ini adalah murid keponakan Kian Ti Hosiang dan karena dia dianggap seorang calon yang kuat dan tepat, Kian Ti Hosiang yang sakti berkenan menurunkan beberapa ilmu kepandaian kepadanya sehingga kini hwesio Siauw-lim-pai ini memiliki tingkat ilmu silat yang hebat!
Sekilas pandang saja tahulah Suma Hoat bahwa sekali ini dia harus menghadapi pertandingan berat karena yang menghadangnya terdiri dari tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, semua berjumlah empat belas orang dan dari sikap mereka, para penghadangnya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi, kegelisahan hati dan kelakuannya karena kehilangan kekasihnya membuat Suma Hoat tidak sempat memikirkan diri sendiri, bahkan langsung dia bertanya,
"Kalian adalah orang-orang Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang katanya terdiri dari orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Kalau kalian memusuhi Jai-hwa-sian, mengapa kalian mengganggu seorang wanita yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa?"
"Omitohud....!" Ceng San Hwesio menggeleng-gelengkan kepalanya yang tidak berambut. "Engkau sendiri telah melakukan dosa besar terhadap ratusan orang wanita yang tidak berdosa, sekarang menuduh kami mengganggu seorang wanita! Jai-hwa-sian, apa maksud kata-katamu itu?"
"Tidak perlu berpura-pura atau menyangkal! Di dunia ini yang memusuhi Jai-hwa-sian adalah orang-orang macam kalian ini! Sekarang, isteriku lenyap, tentu kalian yang telah menyembunyikan dan menculiknya. Kembalikan isteriku, baru aku akan dapat mengampuni kalian!" Suma Hoat mencabut pedangnya.
"Siancai.... orang ini benar-benar tak tahu diri!"
Seorang tosu Hoa-san-pai berseru marah dan seruannya ini agaknya merupakan dorongan kepada mereka semua yang serentak menerjang maju mengeroyok Suma Hoat.
Suma Hoat terkejut juga. Benar dugaannya. Para pengeroyoknya ini tidak boleh disamakan dengan para pengeroyok yang lalu. Selain pemimpin hwesio Siauw-lim-pai itu lihai sekali, juga pemimpin orang-orang Hoa-san-pai adalah wakil Ketua Hoa-san-pai, tentu saja memiliki kepandaian yang hebat pula. Namun, dia sudah marah sekali karena menduga keras bahwa kekasihnya tentu celaka di tangan mereka ini, maka dia mengamuk seperti seekor naga terluka!
Namun, jumlah musuh terlalu banyak dan tingkat kepandaian Ceng San Hwesio dan wakil ketua Hoa-san-pai terlalu tinggi, maka setelah melakukan perlawanan selama satu jam lebih, biarpun dia berhasil merobohkan tiga orang dan melukai tiga orang lain lagi, dia sendiri pun menderita luka parah di leher, pundak dan lambungnya!
Dengan luka-luka berat, Suma Hoat terpaksa melarikan diri, dikejar-kejar oleh para pengeroyoknya. Akan tetapi hujan jarum beracun yang disebarkan oleh Suma Hoat membuat para pengeroyok dan pengejar itu terpaksa menunda pengejaran dan Suma Hoat berhasil lolos dan menghilang ke dalam hutan yang lebat.
Maklum akan kelihaian Jai-hwa-sian dengan senjata-senjata rahasianya, Ceng San Hwesio dan kawan-kawannya tidak berani melakukan pengejaran terus, melainkan kembali ke tempat tadi untuk mengurus dan merawat teman-teman yang terluka dan tewas.
Luka-luka yang diderita oleh Suma Hoat amat parah. Dia lelah sekali dan tiga luka di tubuhnya amat nyeri, juga terlalu banyak mengeluarkan darah. Ini semua masih tidak sehebat derita yang terasa di hatinya yaitu akan kenyataan bahwa kekasihnya, Kwa Bi Kiok, calon ibu anaknya, telah lenyap! Penderitaan lahir batin ini membuat Suma Hoat tergelimpang di dalam hutan dalam keadaan pingsan!
Ketika Jai-hwa-sian siuman kembali dan membuka matanya, ternyata Im-yang Seng-cu telah berlutut di dekatnya dan luka-luka di tubuhnya telah diobati oleh sahabat itu.
"Luka-lukamu hebat sekali, engkau perlu beristirahat. Terlalu banyak engkau kehilangan darah," Im-yang Seng-cu berkata.
"Musuh-musuhku.... terlalu lihai.... terutama hwesio Siauw-lim dan tosu Hoa-san itu...."
Im-yang Seng-cu mengangguk dan menarik napas panjang.
"Sayang sekali engkau tak pernah menghentikan kesenangan yang sesat sehingga engkau dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka itu lihai karena hwesio itu adalah tokoh Siauw-lim-pai calon ketua, namanya Ceng San Hwesio. Adapun tosu tua itu adalah paman guruku, Thian Cu Cinjin, juga calon ketua Hoa-san-pai!"
Suma Hoat terkejut.
"Aahhh.... pantas kalau begitu.... aku tidak penasaran terluka parah.... akan tetapi, tidak mengapalah, yang memusingkan aku adalah lenyapnya Bi Kiok...." Ia berhenti sebentar dan menerima air yang diminumkan oleh Im-yang Seng-cu. "Tentu dia celaka di tangan mereka yang memusuhiku."
"Tidak, Jai-hwa-sian. Aku pun sudah membantumu melakukan penyelidikan. Tidak ada tokoh kang-ouw yang mengganggu kekasihmu dan ayah bundanya. Aku percaya kalau mereka itu sengaja melarikan diri darimu, entah bersembunyi dimana."
"Tidak mungkin! Bi Kiok mencintaku! Tidak mungkin dia lari dariku!" Suma Hoat berkata penuh semangat dan kepercayaan.
"Gadis itu mungkin mencintamu dan tidak akan meninggalkan, akan tetapi orang tuanya? Orang tua manakah yang akan senang mempunyai mantu Jai-hwa-sian yang lebih terkenal jahat dan keji? Tentu mereka tidak rela puterinya menjadi isteri Jai-hwa-sian dan telah melarikan dan menyembunyikannya."
"Kalau begitu, akan kubunuh mereka, dan kurampas Bi Kiok!"
Im-yang Seng-cu menghela napas panjang.
"Itulah yang menyedihkan hatiku, sahabatku. Engkau seorang yang gagah perkasa, akan tetapi dalam hal satu ini, engkau seorang yang amat lemah dan kelemahanmu membuat engkau mudah saja berubah menjadi seorang iblis yang amat kejam!"
"Ahhhh.... akan tetapi dia adalah wanita yang kucinta, dan dia sudah mengandung.... anakku...."
Suma Hoat terengah-engah dan memejamkan kedua matanya, merintih penuh kedukaan dan penasaran.
Melihat ini, Im-yang Seng-cu merasa kasihan. Agaknya sahabatnya ini mulai memetik buah-buah dari perbuatannya sendiri, buah-buah yang pahit getir.
"Biarlah aku akan membantumu mencari Bi Kiok, akan tetapi yang terpenting sekarang, luka-lukamu amat parah dan berbahaya, harus dirawat dan diobati lebih dulu."
"Jangan pedulikan aku, pergilah kau dan bantu aku mencari Bi Kiok. Im-yang Seng-cu, kalau kau bisa menemukan dan mengembalikan Bi Kiok kepadaku, selama hidupku aku takkan melupakan kebaikan budimu."
"Tidak ada budi antara sahabat. Aku akan membantumu, akan tetapi lebih dulu harus dipikirkan keadaanmu. Kalau tidak mendapat rawatan yang baik, luka-luka ini bisa menyeret nyawamu. Apa artinya aku berhasil menemukan Bi Kiok kalau engkau mati karena luka-luka ini?"
Tiba-tiba Suma Hoat memegang tangan sahabatnya.
"Aku harus bertemu dengan ayahku. Aku telah berdosa besar kepadanya. Aku seorang anak yang tidak berbakti. Bawalah aku kepada Ayah, engkau tahu bukan dimana dia? Aku mendengar dia kini berada di Tai-hang-san...."
Im-yang Seng-cu mengangguk.
"Baiklah, aku pun pernah mendengar bahwa ayahmu itu kini menjadi pertapa di puncak In-kok-san, di Pegunungan Tai-hang-san."
Im-yang Seng-cu lalu memondong tubuh sahabatnya dan dibawalah Suma Hoat menuju ke Tai-hang-san.
Sebetulnya, apakah yang terjadi dengan diri Kwa Bi Kiok dan ayah bundanya? Tepat seperti yang diperkirakan Im-yang Seng-cu, tidak ada sesuatu menimpa diri wanita muda ini, karena mereka itu memang tidak memenuhi permintaan Suma Hoat dan tidak melarikan diri ke kota Han-tiong.
Ketika mendapat kenyataan bahwa puterinya menjadi kekasih Jai-hwa-sian, Kwa Liok menjadi terkejut, menyesal dan penasaran sekali. Jai-hwa-sian adalah seorang penjahat yang sudah terkenal keganasannya, tukang perkosa dan tukang bunuh wanita. Mungkin sekarang, sebelum bosan, anaknya dicinta, akan tetapi siapa tahu kalau penjahat itu sudah bosan? Tentu anaknya akan dibunuh, dan bersama isterinya tentu tidak akan terluput dari kebinasaan!
Di samping ngeri akan kemungkinan menjadi korban kekejaman Jai-hwa-sian ini, juga andaikata dia membiarkan anaknya menjadi isteri Jai-hwa-sian, tentu selamanya anaknya akan menjadi korban pula kalau Jai-hwa-sian akhirnya terbunuh oleh orang-orang gagah dan pemerintah yang sudah lama mencari-cari penjahat itu. Karena pikiran inilah, biarpun Bi Kiok mengeluh dan menangis minta diantar ke Han-tiong, Kwa Liok tetap memaksa anak dan isterinya untuk melarikan diri ke lain jurusan, yaitu jauh ke selatan, menuju ke kota Nan-king!
Rombongan ini tidak kepalang-tanggung dalam usaha mereka menjauhkan diri karena mereka lari jauh sekali, sampai memakan waktu berbulan-bulan dan Kwa Liok yang cerdik telah mengganti nama dan nama keturunan mereka untuk menghilangkan jejaknya.
Akhirnya, Kwa Liok bertempat tinggal di kota kecil Kam-chi dekat Nan-king. Kepada para tetangga barunya dia mengatakan bahwa puterinya adalah seorang janda, ditinggal mati suaminya yang bernama Sie Hoat. Setelah Bi Kiok melahirkan seorang anak laki-laki, Kwa Liok memberinya nama Sie Bun An dan semenjak kecil Sie Bun An ini dijauhkan dari segala yang berbau silat! Sie Bun An tumbuh besar dalam didikan bun (sastra) dan sama sekali buta silat!
Demikianlah, Bi Kiok lenyap dari kehidupan Suma Hoat dan tak mungkin dapat dicari lagi. Adapun Suma Hoat sendiri, yang masih amat lemah tubuhnya, diantar oleh Im-yang Seng-cu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Kiat bekas panglima besar yang menjadi buronan karena persekutuan dengan pihak Yucen itu, melarikan diri bersama selirnya yang tercinta, Bu Ci Goat dan muridnya yang setia, Siangkoan Lee, menuju ke Tai-hang-san. Di puncak In-kok-san yang indah, mereka mendirikan rumah dan hidup cukup mewah karena ketika pergi, mereka tidak lupa membawa banyak harta benda.
Suma Kiat sudah tua sekali, akan tetapi masih mendelik marah ketika Im-yang Seng-cu membawa Suma Hoat menghadap.
"Aku tidak mempunyai anak bernama Suma Hoat!" bentaknya. "Im-yang Seng-cu, kalau tidak mengingat mendiang gurumu, Tee Cu Cinjin yang menjadi sahabatku, tentu engkau sudah kubunuh sekarang juga, berani lancang membawa manusia ini menghadapku!"
Mendengar ucapan ayahnya itu, Suma Hoat yang masih lemah itu merasa berduka sekali, akan tetapi dia tetap berlutut dan tidak berkata apa-apa. Sebaliknya Im-yang Seng-cu menjadi penasaran. Dia sudah mengenal baik Suma Kiat yang dahulu menjadi sahabat suhunya, bahkan dahulu di waktu dia masih kecil, kalau Suma Kiat mengunjungi gurunya, Suma Kiat bersikap baik kepadanya dan memperlihatkan rasa sayang besar.
Akan tetapi dia pun maklum siapa adanya Suma Kiat, seorang yang selalu haus akan kedudukan dan kemuliaan, seorang yang tidak segan-segan melakukan kekejaman apa pun demi tercapainya cita-citanya mengejar kemuliaan.
"Suma-locianpwe," katanya dengan berani. "Suma Hoat adalah putera tunggalmu, sekarang sedang menderita luka parah dan perlu perawatan khusus. Saya tidak percaya bahwa Locianpwe akan tega membiarkannya menghadapi ancaman maut. Andaikata dia telah melakukan kesalahan-kesalahan terhadap Locianpwe, saya mohon sudilah kiranya memaafkan putera sendiri."
"Eh-eh, kemana, sahabatku?"
"Aku harus mencarinya. Dia dan ayah bundanya berangkat dari Lok-yang menuju kesini, aku akan menyelusuri jalan itu sampai ke Lok-yang. Sampai jumpa, sahabatku!"
Jai-hwa-sian meninggalkan Im-yang Seng-cu yang berdiri bengong di depan pondoknya, menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
"Aihhh.... sungguh kasihan. Makin tua makin terlibat urusan hati sendiri!"
Im-yang Seng-cu yang biasanya memang suka merantau, menjadi tidak kerasan di pondoknya dan beberapa hari kemudian, Im-yang Seng-cu juga meninggalkan pondok dan mengambil jurusan ke Lok-yang karena dia merasa khawatir melihat sikap sahabatnya yang dianggapnya tidak seperti biasa.
Kedatangan kembali Suma Hoat ke Lok-yang sama dengan ular mencari penggebuk. Musuh-musuhnya masih berada di Lok-yang dan masih mencari-carinya di sekitar tempat itu, maka begitu dia memasuki daerah ini, di luar kota dia sudah bertemu dan dikepung belasan orang kang-ouw yang dipimpin oleh Ceng San Hwesio, seorang tokoh besar dari Siauw-lim-pai yang telah dicalonkan menjadi ketua!
Ceng San Hwesio ini adalah murid keponakan Kian Ti Hosiang dan karena dia dianggap seorang calon yang kuat dan tepat, Kian Ti Hosiang yang sakti berkenan menurunkan beberapa ilmu kepandaian kepadanya sehingga kini hwesio Siauw-lim-pai ini memiliki tingkat ilmu silat yang hebat!
Sekilas pandang saja tahulah Suma Hoat bahwa sekali ini dia harus menghadapi pertandingan berat karena yang menghadangnya terdiri dari tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai, semua berjumlah empat belas orang dan dari sikap mereka, para penghadangnya itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi, kegelisahan hati dan kelakuannya karena kehilangan kekasihnya membuat Suma Hoat tidak sempat memikirkan diri sendiri, bahkan langsung dia bertanya,
"Kalian adalah orang-orang Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai yang katanya terdiri dari orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Kalau kalian memusuhi Jai-hwa-sian, mengapa kalian mengganggu seorang wanita yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa?"
"Omitohud....!" Ceng San Hwesio menggeleng-gelengkan kepalanya yang tidak berambut. "Engkau sendiri telah melakukan dosa besar terhadap ratusan orang wanita yang tidak berdosa, sekarang menuduh kami mengganggu seorang wanita! Jai-hwa-sian, apa maksud kata-katamu itu?"
"Tidak perlu berpura-pura atau menyangkal! Di dunia ini yang memusuhi Jai-hwa-sian adalah orang-orang macam kalian ini! Sekarang, isteriku lenyap, tentu kalian yang telah menyembunyikan dan menculiknya. Kembalikan isteriku, baru aku akan dapat mengampuni kalian!" Suma Hoat mencabut pedangnya.
"Siancai.... orang ini benar-benar tak tahu diri!"
Seorang tosu Hoa-san-pai berseru marah dan seruannya ini agaknya merupakan dorongan kepada mereka semua yang serentak menerjang maju mengeroyok Suma Hoat.
Suma Hoat terkejut juga. Benar dugaannya. Para pengeroyoknya ini tidak boleh disamakan dengan para pengeroyok yang lalu. Selain pemimpin hwesio Siauw-lim-pai itu lihai sekali, juga pemimpin orang-orang Hoa-san-pai adalah wakil Ketua Hoa-san-pai, tentu saja memiliki kepandaian yang hebat pula. Namun, dia sudah marah sekali karena menduga keras bahwa kekasihnya tentu celaka di tangan mereka ini, maka dia mengamuk seperti seekor naga terluka!
Namun, jumlah musuh terlalu banyak dan tingkat kepandaian Ceng San Hwesio dan wakil ketua Hoa-san-pai terlalu tinggi, maka setelah melakukan perlawanan selama satu jam lebih, biarpun dia berhasil merobohkan tiga orang dan melukai tiga orang lain lagi, dia sendiri pun menderita luka parah di leher, pundak dan lambungnya!
Dengan luka-luka berat, Suma Hoat terpaksa melarikan diri, dikejar-kejar oleh para pengeroyoknya. Akan tetapi hujan jarum beracun yang disebarkan oleh Suma Hoat membuat para pengeroyok dan pengejar itu terpaksa menunda pengejaran dan Suma Hoat berhasil lolos dan menghilang ke dalam hutan yang lebat.
Maklum akan kelihaian Jai-hwa-sian dengan senjata-senjata rahasianya, Ceng San Hwesio dan kawan-kawannya tidak berani melakukan pengejaran terus, melainkan kembali ke tempat tadi untuk mengurus dan merawat teman-teman yang terluka dan tewas.
Luka-luka yang diderita oleh Suma Hoat amat parah. Dia lelah sekali dan tiga luka di tubuhnya amat nyeri, juga terlalu banyak mengeluarkan darah. Ini semua masih tidak sehebat derita yang terasa di hatinya yaitu akan kenyataan bahwa kekasihnya, Kwa Bi Kiok, calon ibu anaknya, telah lenyap! Penderitaan lahir batin ini membuat Suma Hoat tergelimpang di dalam hutan dalam keadaan pingsan!
Ketika Jai-hwa-sian siuman kembali dan membuka matanya, ternyata Im-yang Seng-cu telah berlutut di dekatnya dan luka-luka di tubuhnya telah diobati oleh sahabat itu.
"Luka-lukamu hebat sekali, engkau perlu beristirahat. Terlalu banyak engkau kehilangan darah," Im-yang Seng-cu berkata.
"Musuh-musuhku.... terlalu lihai.... terutama hwesio Siauw-lim dan tosu Hoa-san itu...."
Im-yang Seng-cu mengangguk dan menarik napas panjang.
"Sayang sekali engkau tak pernah menghentikan kesenangan yang sesat sehingga engkau dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka itu lihai karena hwesio itu adalah tokoh Siauw-lim-pai calon ketua, namanya Ceng San Hwesio. Adapun tosu tua itu adalah paman guruku, Thian Cu Cinjin, juga calon ketua Hoa-san-pai!"
Suma Hoat terkejut.
"Aahhh.... pantas kalau begitu.... aku tidak penasaran terluka parah.... akan tetapi, tidak mengapalah, yang memusingkan aku adalah lenyapnya Bi Kiok...." Ia berhenti sebentar dan menerima air yang diminumkan oleh Im-yang Seng-cu. "Tentu dia celaka di tangan mereka yang memusuhiku."
"Tidak, Jai-hwa-sian. Aku pun sudah membantumu melakukan penyelidikan. Tidak ada tokoh kang-ouw yang mengganggu kekasihmu dan ayah bundanya. Aku percaya kalau mereka itu sengaja melarikan diri darimu, entah bersembunyi dimana."
"Tidak mungkin! Bi Kiok mencintaku! Tidak mungkin dia lari dariku!" Suma Hoat berkata penuh semangat dan kepercayaan.
"Gadis itu mungkin mencintamu dan tidak akan meninggalkan, akan tetapi orang tuanya? Orang tua manakah yang akan senang mempunyai mantu Jai-hwa-sian yang lebih terkenal jahat dan keji? Tentu mereka tidak rela puterinya menjadi isteri Jai-hwa-sian dan telah melarikan dan menyembunyikannya."
"Kalau begitu, akan kubunuh mereka, dan kurampas Bi Kiok!"
Im-yang Seng-cu menghela napas panjang.
"Itulah yang menyedihkan hatiku, sahabatku. Engkau seorang yang gagah perkasa, akan tetapi dalam hal satu ini, engkau seorang yang amat lemah dan kelemahanmu membuat engkau mudah saja berubah menjadi seorang iblis yang amat kejam!"
"Ahhhh.... akan tetapi dia adalah wanita yang kucinta, dan dia sudah mengandung.... anakku...."
Suma Hoat terengah-engah dan memejamkan kedua matanya, merintih penuh kedukaan dan penasaran.
Melihat ini, Im-yang Seng-cu merasa kasihan. Agaknya sahabatnya ini mulai memetik buah-buah dari perbuatannya sendiri, buah-buah yang pahit getir.
"Biarlah aku akan membantumu mencari Bi Kiok, akan tetapi yang terpenting sekarang, luka-lukamu amat parah dan berbahaya, harus dirawat dan diobati lebih dulu."
"Jangan pedulikan aku, pergilah kau dan bantu aku mencari Bi Kiok. Im-yang Seng-cu, kalau kau bisa menemukan dan mengembalikan Bi Kiok kepadaku, selama hidupku aku takkan melupakan kebaikan budimu."
"Tidak ada budi antara sahabat. Aku akan membantumu, akan tetapi lebih dulu harus dipikirkan keadaanmu. Kalau tidak mendapat rawatan yang baik, luka-luka ini bisa menyeret nyawamu. Apa artinya aku berhasil menemukan Bi Kiok kalau engkau mati karena luka-luka ini?"
Tiba-tiba Suma Hoat memegang tangan sahabatnya.
"Aku harus bertemu dengan ayahku. Aku telah berdosa besar kepadanya. Aku seorang anak yang tidak berbakti. Bawalah aku kepada Ayah, engkau tahu bukan dimana dia? Aku mendengar dia kini berada di Tai-hang-san...."
Im-yang Seng-cu mengangguk.
"Baiklah, aku pun pernah mendengar bahwa ayahmu itu kini menjadi pertapa di puncak In-kok-san, di Pegunungan Tai-hang-san."
Im-yang Seng-cu lalu memondong tubuh sahabatnya dan dibawalah Suma Hoat menuju ke Tai-hang-san.
Sebetulnya, apakah yang terjadi dengan diri Kwa Bi Kiok dan ayah bundanya? Tepat seperti yang diperkirakan Im-yang Seng-cu, tidak ada sesuatu menimpa diri wanita muda ini, karena mereka itu memang tidak memenuhi permintaan Suma Hoat dan tidak melarikan diri ke kota Han-tiong.
Ketika mendapat kenyataan bahwa puterinya menjadi kekasih Jai-hwa-sian, Kwa Liok menjadi terkejut, menyesal dan penasaran sekali. Jai-hwa-sian adalah seorang penjahat yang sudah terkenal keganasannya, tukang perkosa dan tukang bunuh wanita. Mungkin sekarang, sebelum bosan, anaknya dicinta, akan tetapi siapa tahu kalau penjahat itu sudah bosan? Tentu anaknya akan dibunuh, dan bersama isterinya tentu tidak akan terluput dari kebinasaan!
Di samping ngeri akan kemungkinan menjadi korban kekejaman Jai-hwa-sian ini, juga andaikata dia membiarkan anaknya menjadi isteri Jai-hwa-sian, tentu selamanya anaknya akan menjadi korban pula kalau Jai-hwa-sian akhirnya terbunuh oleh orang-orang gagah dan pemerintah yang sudah lama mencari-cari penjahat itu. Karena pikiran inilah, biarpun Bi Kiok mengeluh dan menangis minta diantar ke Han-tiong, Kwa Liok tetap memaksa anak dan isterinya untuk melarikan diri ke lain jurusan, yaitu jauh ke selatan, menuju ke kota Nan-king!
Rombongan ini tidak kepalang-tanggung dalam usaha mereka menjauhkan diri karena mereka lari jauh sekali, sampai memakan waktu berbulan-bulan dan Kwa Liok yang cerdik telah mengganti nama dan nama keturunan mereka untuk menghilangkan jejaknya.
Akhirnya, Kwa Liok bertempat tinggal di kota kecil Kam-chi dekat Nan-king. Kepada para tetangga barunya dia mengatakan bahwa puterinya adalah seorang janda, ditinggal mati suaminya yang bernama Sie Hoat. Setelah Bi Kiok melahirkan seorang anak laki-laki, Kwa Liok memberinya nama Sie Bun An dan semenjak kecil Sie Bun An ini dijauhkan dari segala yang berbau silat! Sie Bun An tumbuh besar dalam didikan bun (sastra) dan sama sekali buta silat!
Demikianlah, Bi Kiok lenyap dari kehidupan Suma Hoat dan tak mungkin dapat dicari lagi. Adapun Suma Hoat sendiri, yang masih amat lemah tubuhnya, diantar oleh Im-yang Seng-cu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Suma Kiat bekas panglima besar yang menjadi buronan karena persekutuan dengan pihak Yucen itu, melarikan diri bersama selirnya yang tercinta, Bu Ci Goat dan muridnya yang setia, Siangkoan Lee, menuju ke Tai-hang-san. Di puncak In-kok-san yang indah, mereka mendirikan rumah dan hidup cukup mewah karena ketika pergi, mereka tidak lupa membawa banyak harta benda.
Suma Kiat sudah tua sekali, akan tetapi masih mendelik marah ketika Im-yang Seng-cu membawa Suma Hoat menghadap.
"Aku tidak mempunyai anak bernama Suma Hoat!" bentaknya. "Im-yang Seng-cu, kalau tidak mengingat mendiang gurumu, Tee Cu Cinjin yang menjadi sahabatku, tentu engkau sudah kubunuh sekarang juga, berani lancang membawa manusia ini menghadapku!"
Mendengar ucapan ayahnya itu, Suma Hoat yang masih lemah itu merasa berduka sekali, akan tetapi dia tetap berlutut dan tidak berkata apa-apa. Sebaliknya Im-yang Seng-cu menjadi penasaran. Dia sudah mengenal baik Suma Kiat yang dahulu menjadi sahabat suhunya, bahkan dahulu di waktu dia masih kecil, kalau Suma Kiat mengunjungi gurunya, Suma Kiat bersikap baik kepadanya dan memperlihatkan rasa sayang besar.
Akan tetapi dia pun maklum siapa adanya Suma Kiat, seorang yang selalu haus akan kedudukan dan kemuliaan, seorang yang tidak segan-segan melakukan kekejaman apa pun demi tercapainya cita-citanya mengejar kemuliaan.
"Suma-locianpwe," katanya dengan berani. "Suma Hoat adalah putera tunggalmu, sekarang sedang menderita luka parah dan perlu perawatan khusus. Saya tidak percaya bahwa Locianpwe akan tega membiarkannya menghadapi ancaman maut. Andaikata dia telah melakukan kesalahan-kesalahan terhadap Locianpwe, saya mohon sudilah kiranya memaafkan putera sendiri."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar