Ads

Selasa, 19 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 184

Selama beberapa hari, Suma Hoat memulihkan kesehatannya akibat siksaan badai, kemudian dia menjelajahi Pulau Es, bukan saja untuk memeriksa keadaan pulau yang menjadi bahan dongeng ini, juga dengan harapan kalau dia akan bertemu dengan Maya atau Siauw Bwee.

Siapa tahu, dua orang dara itu, atau seorang di antaranya masih hidup. Namun ada juga kengerian hatinya membayangkan mayat mereka yang akan ditemukannya! Setelah mengelilingi pulau selama beberapa hari dan tidak melihat bayangan dua orang dara itu, dia lalu kembali ke tengah pulau dengan niat menemui Kam Han Ki.

Namun, istana Pulau Es itu telah kosong! Kam Han Ki tidak ada lagi disitu. Ketika Suma Hoat memasuki ruangan yang indah dimana beberapa hari yang lalu dia bertemu dengan Kam Han Ki, dia melihat tiga buah arca itu masih berjajar di situ.

Dia mencari dalam kamar-kamar lain, dan di kamar yang terbesar dia melihat betapa dinding penuh dengan tulisan-tulisan indah berupa sajak-sajak yang mengandung kedukaan di samping sajak-sajak mengenai hidup. Sajak yang terpanjang dan ditulis paling indah membuat dia teringat akan suara Kam Han Ki ketika membaca sajak itu dengan suara penuh duka, sajak yang dimulai dengan pernyataan keinginan hati pria yang sedang dibuai asmara :

"Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari membelai
sayang
betapa ingin hati
menjeritkan cinta....

Suma Hoat menghentikan bacaannya karena kata-kata itu menusuk jantungnya, mengingatkan dia akan kemesraan cinta dan kelembutan wanita. Dia memeriksa seluruh keadaan istana itu dan mengagumi bangunan yang amat indah dan halus. Namun hatinya berduka kalau teringat akan nasib buruk yang menimpa penghuni-penghuninya.

Tiga orang manusia sakti, kakak beradik seperguruan, menjadi cerai-berai oleh cinta yang gagal! Dan dia sendiri, orang ke empat yang kini secara kebetulan berada di Pulau Es dan memperoleh ijin untuk menghuni Istana Pulau Es, dia pun seorang manusia gagal yang rusak oleh cinta gagal pula!

Dengan penekanan mati-matian terhadap segala keinginan hati mudanya, Suma Hoat hidup sendiri di Pulau Es, memperdalam ilmu-ilmunya dan terutama sekali melatih Jit-goat Sin-kang. Pulau Es merupakan tempat yang amat baik untuk melatih sin-kang, karena hawa udara disitu amat dinginnya.

Untuk melawan hawa dingin ini saja sudah merupakan latihan yang baik dan memperkuat daya tahan tubuhnya. Bertahun-tahun lewat tanpa dia pedulikan dan tanpa disadarinya, pemuda tampan putera bangsawan yang sudah biasa hidup mewah itu, hidup menyendiri di Pulau Es selama empat lima tahun lamanya!

Kurang lebih lima tahun kemudian, pada suatu pagi, kembali ada badai mengamuk dan air laut naik sampai beberapa meter tingginya. Pulau Es tergetar dan terguncang hebat, angin bertiup kencang membuat Suma Hoat yang gagah perkasa itu merasa ngeri juga dan terpaksa dia menyelamatkan dan menyembunyikan diri ke dalam istana! Karena angin benar-benar amat kuat, Suma Hoat bersembunyi di ruangan bawah istana itu.

Sampai sehari semalam badai mengamuk. Suma Hoat tidak dapat keluar dari ruangan bawah karena tiupan angin menyerbu masuk ke dalam istana. Perutnya terasa lapar dan ketika tiba-tiba muncul seekor ular dari sebuah lubang di lantai di ruangan bawah tanah itu, Suma Hoat menjadi girang. Ular itu cukup besar, sebesar lengan tangannya, berkulit merah dan kelihatan bersih sekali.

Sekali melompat, Suma Hoat berhasil menangkap leher ular dan mencengkeram leher itu sampai putus! Ular mati seketika, akan tetapi daging dan darahnya masih segar ketika Suma Hoat yang kelaparan mengulitinya lalu memanggang daging ular di dalam ruangan itu. Bau yang sedap gurih membuat perutnya makin kelaparan. Dengan lahapnya dimakanlah daging ular itu sampai habis! Setelah perutnya kenyang, Suma Hoat merebahkan diri dan tertidur pulas.

Dia mimpi tidur di atas sebuah ranjang lebar dan indah dalam sebuah kamar mewah dan berbau harum, ditemani oleh Coa Kim Hwa, Khu Siauw Bwee, dan Maya! Tiga orang dara cantik jelita itu semua melayaninya dengan manja dan penuh kasih sayang. Bukan main hebatnya kemesraan yang dinikmatinya itu, yang memeluk dan menciuminya secara bergilir dan sama sekali tidak bersaing.






Gairah ketiga orang dara itu mendatangkan rasa panas sekali pada tubuhnya, membuat kepalanya berputar rasanya dan matanya berkunang. Payah juga melayani tiga orang dara yang begitu besar dan panas gairahnya. Rasa panas makin menghebat sehingga dia terpaksa mendorong mereka ke samping dan terguling jatuh dari atas ranjang lalu.... sadar dari mimpi!

"Aughhhh....!"

Suma Hoat menggosok dahinya, kaget merasa betapa tangannya menjadi basah oleh keringat yang memenuhi muka dan leher bahkan ketika dia melihatnya, seluruh tubuhnya berpeluh. Tubuhnya panas bukan main. Agaknya badai telah mereda, tidak terdengar lagi hembusan angin ribut. Karena tidak dapat menahan panasnya, Suma Hoat meloncat bangun, terhuyung-huyung dan lari keluar.

Biarpun dia telah berada di luar istana yang hawanya dingin, tetap saja dia merasa panas. Bukan hanya panas yang menyiksa, melainkan terutama sekali nafsu berahi yang mengguncangnya dan menguasainya. Nafsu berahi yang membuat dia membayangkan semua wanita yang pernah dihubunginya, pernah diperkosanya, membuat dia makin tersiksa.

"Auhhh, setan keparat! Iblis laknat! Ini tentu gara-gara daging ular merah! Celaka sekali, daging itu mengandung racun perangsang berahi!"

Suma Hoat cepat duduk bersila dan mengerahkan sin-kangnya untuk melawan rangsangan nafsu berahi yang tidak sewajarnya itu. Namun, racun ini benar-benar hebat sekali. Terlalu banyak dia makan daging ular sehingga amat banyak pula racun yang menguasai dirinya. Suma Hoat benar-benar tersiksa selama tiga hari tiga malam.

Andaikata dia tidak berada di Pulau Es, di tempat yang sunyi dan kosong tidak ada manusia lainnya, tentu dia sudah tidak dapat menahan, dan tentu dia sudah melakukan kembali perbuatan yang menjadi penyakit lamanya, yaitu melampiaskan nafsunya pada wanita yang mana saja, baik secara halus dengan bujukan maupun secara kasar dengan perkosaan! Dia menyumpah-nyumpah, bukan hanya memaki ular merah, akan tetapi juga memaki-maki diri sendiri.

"Manusia lemah! Manusia terkutuk! Bertahun-tahun bertapa, sekarang menghadapi racun yang merangsang nafsu berahi saja tidak kuat bertahan!"

Aduhhh, benar ucapan Kam Han Ki! Sekarang dia melihat kenyataan ucapan itu, bukan dengan teori, bukan dengan pemikiran, melainkan kenyataan yang dialaminya sendiri!

Menjauhkan diri dari wanita bukan berarti dia akan dapat melenyapkan nafsu berahi karena datangnya segala macam nafsu bukanlah dari luar, melainkan dari dalam diri pribadi, dari pikiran sendiri! Andaikata dia berada di tengah-tengah antara seribu wanita cantik, kalau pikirannya menerima kenyataan ini tanpa disertai angan-angan pikiran membayangkan pengejaran kenikmatan demi si aku, tentu tidak akan terjadi sesuatu, tidak akan timbul rangsangan yang tidak sehat.

Sebaliknya, biarpun berada di pulau kosong seperti keadaannya sekarang, kalau hatinya masih mengenangkan dan membayangkan wanita, tentu saja nafsu berahi akan timbul, baik dengan racun ular merah maupun tidak!

Sambil mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan diri agar dia tidak menjadi gila karena rangsangan nafsu, dalam keadaan tersiksa dan menyendiri itu timbul pula perasaan jemu di hati Suma Hoat dengan pulau kosong ini. Memang patut dikasihani Suma Hoat. Demikianlah halnya manusia yang belum terbuka mata batinnya. Batinnya selalu diamuk pertentangan-pertentangan dalam diri sendiri. Nafsu yang sekarang dikekang dan ditentang tidak akan hilang, sesaat kelihatannya dapat ditundukkan akan tetapi di lain saat akan bangkit dan tak dapat dikendalikan lagi.

Keinginan untuk melenyapkan nafsu adalah nafsu itu sendiri dalam kedok lain. Bagi seorang yang ingin belajar dan mengerti, seyogianya mempelajari dan mengenal nafsu sendiri apabila nafsu datang, menghadapinya dengan wajar, meneliti dan waspada akan keadaan diri pribadi, lahir batin.

Hanya orang yang belajar mengenal diri pribadi setiap saat, meneliti penuh kewaspadaan dan kesadaran akan sikap diri pribadi terhadap segala sesuatu yang menimpa dirinya, lahir maupun batin, dia itulah yang akan terbebas dari nafsu, karena dia akan terbebas pula dari keinginan akan sesuatu demi diri pribadi. Mengenal diri pribadi, melihat dengan penuh kewajaran bahwa dirinya penuh dengan iri, dengki, murka, benci, munafik, berahi, dan sebagainya berarti dimulainya pembebasan akan semua itu.

Sayang sekali Suma Hoat tidak mau mencari ke dalam, seperti sebagian besar manusia di dunia ini. Setiap persoalan yang dihadapinya, manusia selalu menunjukkan pandang matanya ke luar, mencari sasaran, mencari kambing hitam yang akan dipergunakan sebagai penyebab persoalan.

Andaikata manusia suka menunjukkan pandang matanya ke dalam, mempelajari diri sendiri, sikap diri sendiri menghadapi persoalan itu, maka setiap persoalan akan dapat diatasi tanpa menciptakan persoalan baru.

Setelah mengerahkan seluruh tenaganya melawan racun ular merah selama tiga hari, pada pagi hari ke empatnya, pengaruh racun sudah mulai melemah, sama lemahnya dengan tubuh Suma Hoat yang selama tiga hari tiga malam mengerahkan tenaga, tidak tidur dan tidak makan.

Selagi dia menghentikan perlawanannya terhadap racun, bangkit berdiri dengan lemas dan hendak mencari makanan, tiba-tiba dia mendengar suara mendesis-desis dari dalam istana. Dia terkejut dan heran, cepat dia berlari masuk karena memang dia tadinya hendak mencari bahan makanan yang banyak terdapat di gudang belakang.

Mendadak ia terbelalak dan mencelat ke belakang. Kiranya yang mengeluarkan suara mendesis-desis itu adalah barisan ular merah yang banyak sekali jumlahnya, ada ribuan ekor banyaknya, keluar dari dalam istana, dan ada pula yang merayap datang dari belakang istana. Sukar dikatakan dari mana datangnya ular-ular itu, mungkin dari bawah istana, mungkin juga dari pantai laut yang letaknya di belakang istana.

Suma Hoat terkejut dan pucat wajahnya. Menghadapi ribuan ekor ular beracun itu benar-benar amat menjijikkan dan mengerikan. Dia lalu melompat dan melarikan diri, menuju ke pantai dimana dia meninggalkan perahunya. Setelah dia menyeret perahu ke pinggir laut, dia membalikkan tubuh memandang Pulau Es dan menarik napas panjang berulang-ulang. Kemudian dia menghampiri sebongkah batu besar. Dia mulai membuat goresan-goresan pada permukaan batu itu, menulis huruf-huruf dengan tangan gemetar karena dia memang masih amat lemah sehingga huruf-huruf yang ditulisnya itu kasar dan buruk jadinya.

"Betapa menjemukan ular salju merah itu! Aku datang kesini untuk menjauhi wanita, dan daging ular itu membuat aku menderita hebat! Dan hari ini, tiga hari kemudian, pulau diserbu ribuan ekor ular salju merah, memaksa aku harus pergi. Keparat! Pulau Es ini pulau terkutuk agaknya, tanah di bawahnya menjadi istana ular-ular salju merah! Ataukah nenek moyangku yang terkutuk sehingga Suma Hoat tidak berjodoh dengan Pulau Es?"

Tulisan itu dibuat oleh Suma Hoat untuk menyatakan penyesalan dan juga diharapkan sebagai peninggalan pesan untuk Kam Han Ki mengapa dia meninggalkan pulau itu. Kemudian Suma Hoat mendayung perahunya ke tengah dan mulailah dia meninggalkan Pulau Es untuk kembali ke daratan yang diperkirakan berada di sebelah selatan atau barat itu.

Kegagalan Suma Hoat di Pulau Es mulai dari kegagalan cinta sampai kegagalan menggembleng diri, membuat penghidupan pendekar itu menjadi makin rusak! Setelah dia berhasil mendarat, dunia kang-ouw menjadi gempar lagi dengan munculnya Jai-hwa-sian yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, juga amat berani.

Dalam petualangannya yang jahat dan berbahaya Suma Hoat tidak mempedulikan anak dara siapa saja yang disukai, baik dara puteri seorang pembesar tinggi, maupun puteri seorang ketua partai persilatan besar, anak murid partai besar, asal bertemu dengan dia dan membangkitkan berahinya, tentu akan dibujuknya atau dipaksanya!

Perbuatannya ini membuat nama Jai-hwa-sian menjadi makin terkenal sehingga namanya sendiri malah tidak dikenal orang. Selain itu, juga mendatangkan banyak musuh karena banyak orang-orang gagah ingin membasminya, dan banyak pula tokoh-tokoh persilatan merasa sakit hati dan menaruh dendam karena murid wanita atau anak mereka menjadi korban keganasan Jai-hwa-sian.

Namun, sampai belasan tahun Jai-hwa-sian merajalela, entah sudah berapa ratus orang gagah yang roboh di tangannya, tidak mampu menandingi kelihaian Dewa Pemetik Bunga ini. Selain lihai, juga Jai-hwa-sian tidak pernah tinggal lama-lama di sebuah kota, di samping ini dia jarang memperlihatkan diri sehingga jarang ada orang mengenalnya, kecuali para wanita korbannya yang sempat hidup setelah diperkosanya. Namun mereka ini, untuk menjaga kehormatan dan nama sendiri, tentu saja membungkam dan menyimpan rahasianya sampai mati.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar