Ads

Selasa, 19 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 183

Suma Hoat makin kaget. Cepat dia menjura di tempatnya sambil berkata,
"Harap Kam-taihiap sudi memaafkan. Terus terang saja, semenjak perpisahan di medan perang dahulu, saya terus mengikuti, kemudian mencari-cari Taihiap yang saya duga tentu berada di Pulau Es. Namun, berbulan-bulan saya tersesat di lautan, dan hanya oleh kehendak Thian saja maka saya dapat tiba di tempat ini, terbawa hanyut oleh badai yang mengamuk."

Daun pintu terbuka dan Suma Hoat hampir meloncat mundur saking heran dan kagetnya ketika ia melihat orang yang muncul dari pintu itu. Dia masih mengenal wajah Kam Han Ki, akan tetapi pakaian orang sakti ini koyak-koyak, rambutnya awut-awutan, mukanya pucat sekali, matanya merah dan wajah yang tampan itu seolah-olah bertambah tua belasan tahun dalam waktu tiga bulan ini!

Akan tetapi, kekhawatiran hati Suma Hoat lenyap ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kam Han Ki. Sama sekali tidak ada tanda marah pada pandang mata itu, pandang mata yang masih amat tajam menembus jantung dan menjenguk isi hati, akan tetapi begitu lembut dan penuh pengertian!

"Suma Hoat, setelah kami bertiga melupakan segala urusan pribadi antara kami dengan orang tuamu, mengapa engkau masih mencari perkara dengan melakukan pengejaran kepada kami? Setelah kini engkau berhasil mendarat di Pulau Es, apakah kehendakmu?"

Suma Hoat menundukkan mukanya. Tidak dapat dia menahan pandang mata Han Ki yang begitu lembut namun begitu penuh kekuatan. Sambil tertunduk dia menjawab,

"Maaf, Taihiap. Terus terang saja, setelah saya mengetahui bahwa Nona Maya dan Nona Khu Siauw Bwee, keduanya jatuh cinta kepadamu, saya menjadi penasaran dan melakukan pengejaran. Tak mungkin keduanya menjadi milikmu, tentu seorang diantara mereka akan kau tolak cintanya dan di situlah terbuka harapan dan kesempatanku, Taihiap. Tak perlu kupungkiri lagi, saya mencinta kedua orang nona itu dan hanya kalau seorang diantara mereka dapat menjadi isteri saya, hidup saya akan bahagia."

Mulut di wajah yang pucat itu tersenyum, senyum yang mengandung iba hati. Alisnya berkerut, kemudian dia membukakan daun pintu lebar-lebar sambil berkata,

"Dua orang nona yang kau cari sudah tidak ada lagi, Suma Hoat. Yang ada tinggal inilah!"

Suma Hoat memandang ke dalam dan matanya terbelalak. Di dalam ruangan itu terdapat tiga buah arca dari batu pualam yang amat indah sekali seolah-olah hidup dan bernapas!

Arca tiga orang yang amat dikenalnya. Yang berdiri di tengah adalah arca Kam Han Ki sendiri, akan tetapi sayang arca itu bercacat, berlubang dua buah di dahinya, karena dalam kedukaannya tadi Han Ki telah menusuknya dengan dua buah jari tangannya.

Di sebelah kanan, yaitu di pinggir kiri arca pria itu, adalah arca Khu Siauw Bwee, cantik jelita, bertubuh ramping dengan wajah yang lemah-lembut, akan tetapi anehnya, sebelah kaki arca itu buntung! Adapun arca ke tiga yang berdiri di sebelah kanan arca Han Ki, adalah arca Maya yang amat cantik dan agung, tanpa cacat, tidak seperti dua arca yang bercacat itu.

"Apa.... apa maksudmu? Dimana mereka? Apa yang telah terjadi?"

Hati Suma Hoat merasa tidak enak sekali, apalagi ketika dia teringat akan keadaan Kam Han Ki yang dihimpit kedukaan dan teringat akan isi sajak-sajak tadi.

Kam Han Ki menutupkan kembali daun pintu, kemudian memberi isyarat dengan tangan, mengajak Suma Hoat keluar dari istana. Setelah tiba di luar istana, dia mempersilakan Suma Hoat duduk di atas batu hitam yang biasa dipergunakan sebagai tempat berlatih sin-kang.

Setelah mereka berdua duduk, dengan suara yang halus dan tenang, seolah-olah semua kedukaan telah dihabiskan dalam sajak-sajak tadi, Kam Han Ki lalu menceritakan betapa dia pun dipermainkan badai dan terlambat mendarat sehingga tidak berhasil mencegah terjadinya peristiwa yang amat mengerikan, yaitu Maya dan Khu Siauw Bwee saling bertanding. Maya terluka pundaknya dan Khu Siauw Bwee buntung kakinya, kemudian kedua orang dara itu terjun ke bawah, ditelan gelombang yang amat buas di waktu badai mengamuk.






Wajah Suma Hoat menjadi pucat sekali, matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan sampai lama dia tidak dapat mengeluarkan kata-kata. Tanpa disadarinya, dari kedua pelupuk matanya mengalir air mata yang turun perlahan-lahan di sepanjang kedua pipinya.

"Jadi.... me.... mereka.... telah tewas....?" Akhirnya dia dapat bertanya dengan suara terengah-engah.

Kam Han Ki menggeleng kepalanya.
"Hanya Thian yang mengetahuinya. Akan tetapi dapat engkau bayangkan kalau orang yang terluka melempar diri ke dalam gelombang di waktu badai mengamuk...."

"Ahhhh....!"

Suma Hoat mengeluh, tak dapat menahan air matanya dan diusapnya air mata dengan ujung lengan bajunya yang koyak-koyak pula karena keadaannya tidak lebih baik dari Kam Han Ki setelah dipermainkan gelombang seperti itu. Dia tahu bahwa sudah pasti sekali kedua orang itu tewas. Dia sendiri yang tidak terluka, yang berperahu, hampir mati dan hanya karena keajaiban saja dia masih hidup. Apalagi dua orang dara yang terluka, lebih-lebih Khu Siauw Bwee yang sebelah kakinya buntung, yang melempar diri begitu saja di dalam gelombang!

"Mengapa....? Kam-taihiap, mengapa mereka saling bertanding? Mengapa pula mereka melempar diri ke dalam gelombang badai? Mengapa....?" dia berteriak penuh penasaran.

"Urusan mereka sendiri, Suma Hoat. Bukan urusanmu dan kiranya tidak ada gunanya kau ketahui juga," Han Ki berkata tenang dan tegas.

"Urusan mereka adalah urusanku juga, Taihiap! Saya mencinta mereka, saya rela mengorbankan nyawa untuk mereka. Saya harus mengetahui mengapa mereka melakukan hal itu!"

Kam Han Ki memandang wajah orang muda itu sambil tersenyum penuh pengertian, lalu berkata,

"Andaikata kau ketahui juga, apa gunanya? Yang terpenting adalah untuk mengetahui isi hatimu sendiri, mengetahui keadaan dirimu sendiri. Engkau berkali-kali menyatakan bahwa engkau cinta kepada mereka, namun sebenarnya bukan, Suma Hoat. Engkau tidak mencinta mereka, tidak mencinta siapa-siapa, kecuali mencinta dirimu sendiri. Itu pun cinta dangkal yang hanya ingin melihat diri sendiri, ingin mencapai kehendak hati mempersunting si cantik yang menggairahkan hatimu. Setelah kini dua orang dara yang kau rindukan tidak ada lagi, engkau menjadi kecewa dan berduka, yang sesungguhnya hanya sedikit selisih dan bedanya dengan keadaanmu apabila engkau memperoleh seorang diantara mereka karena kulihat tidak ada cinta dalam hatimu, melainkan cinta berahi belaka!"

Suma Hoat menjadi merah mukanya, bukan merah karena marah melainkan karena malu. Betapapun menyakitkan kata-kata itu baginya, namun harus diakui bahwa memang seperti itulah kenyataannya. Betapapun juga, dia merasa penasaran dan bertanya,

"Tentu saja cinta mengandung sifat-sifat seperti itu, Taihiap. Kalau tidak ada nafsu ingin memperoleh, ingin bersatu dan berdamping menghilangkan rindu, bukanlah cinta namanya dan mana ada laki-laki dan wanita bersuami isteri?"

Kam Han Ki menghela napas panjang. Kedukaan hebat yang menimpanya ketika badai mengamuk, mendatangkan perubahan luar biasa pada diri pendekar ini, seolah-olah mata batinnya terbuka dan dia melihat kenyataan-kenyataan yang selama ini tidak dilihatnya. Kenyataan hidup yang penuh duka dan sengsara, yang kesemuanya timbul karena kekurangsadaran manusia, yang tercipta oleh keadaan hidup manusia sendiri.

Sebelumnya terjadi peristiwa mengerikan itu memang hatinya sudah mulai terbuka, maka dia pun ragu-ragu untuk memilih Siauw Bwee yang dicintanya karena maklum bahwa pemilihan itu hanya terdorong oleh rasa sayang diri dan akibatnya akan membikin kecewa dan sengsara hati Maya. Namun, sekarang, dia mulai mengerti hal-hal yang selama ini tidak disadarinya.

"Suma Hoat, cinta yang mengandung kehendak ingin menguasai, ingin memiliki bukanlah cinta yang sejati. Karena menguasai dan memiliki hanya akan menimbulkan pertentangan dan persoalan batin, hanya menimbulkan kecewa dan sengsara kalau yang dikuasai dan dimiliki itu kemudian bersikap tidak sesuai dengan yang kita kehendaki. Bukanlah cinta yang sejati kalau bersyarat, kalau menuntut balas jasa, menghadapkan hal-hal yang menyenangkan hatinya sendiri. Cinta macam itu akan menimbulkan cemburu, iri hati, dengki, amarah dan mungkin berbalik menjadi benci. Padahal dimana ada cemburu dan lain-lain itu, apalagi benci, disana tidak mungkin ada cinta!"

Suma Hoat melongo memandang Kam Han Ki, kemudian menggeleng kepala sampai lama dan berkata,

"Aihhh.... aku menjadi bingung, Taihiap.... aku harus merenungkan kata-katamu itu.... aku tidak mengerti...."

"Apabila rasa sayang diri masih melekat kuat di dalam pikiran, memang sukarlah untuk menjadi waspada, sukar untuk memandang dan melihat sesuatu sebagaimana adanya, karena kecenderungan pandangan dikuasai oleh pertimbangan demi kesenangan dan kepentingan diri pribadi. Sudahlah, Suma Hoat. Karena engkau sudah berada disini, engkau boleh tinggal di pulau ini selama yang engkau suka, hanya pesanku, harap engkau jangan merusak dan mengganggu istana dan isinya."

"Terima kasih atas kebaikan Taihiap. Memang saya merasa senang sekali tinggal disini. Setelah kedua orang nona itu lenyap, hidup tiada artinya bagi saya. Kembali ke dunia ramai hanya akan berarti mengumbar hawa nafsu berahi belaka. Saya akan bertapa disini menjauhkan diri dari dunia ramai, hidup sederhana dan melupakan wanita!"

Kam Han Ki sudah membalikkan tubuhnya hendak memasuki istana, akan tetapi mendengar ucapan itu, dia tersenyum dan menoleh, berkata,

"Apa artinya hidup di tempat sunyi kalau pikiran dan hatinya masih gaduh dan ribut? Apa artinya hidup sederhana ditandai pakaian, tempat tinggal, dan makan sederhana kalau semua itu hanya untuk menutupi hati yang membayangkan kemuliaan hidup? Apa artinya menjauhkan diri dari wanita dan mencoba melupakannya kalau pikirannya masih penuh dengan bayangan wanita? Yang perlu sekali dibebaskan adalah batinnya, bukan lahirnya, Suma Hoat."

Setelah berkata demikian, Han Ki memasuki istana, meninggalkan Suma Hoat yang makin bengong terlongong mendengarkan semua ucapan itu, merasa seperti disiram air dingin karena tiba-tiba dia melihat kebenaran nyata terkandung dalam semua ucapan Kam Han Ki, kebenaran nyata menelanjangi keadaan hatinya seperti apa adanya sehingga tak mungkin dapat dibantah lagi!

**** 183 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar