Sebuah perahu kecil dipermainkan ombak bergelombang dalam badai itu. Diangkat tinggi-tinggi di puncak sebuah gelombang yang setinggi bukit, kemudian dihempaskan ke bawah dan seolah-olah ditelan oleh mulut naga air, akan tetapi muncul kembali, diayun-ayun dan diputar-putar.
Tiang layar perahu itu sudah lenyap, juga dayung-dayungnya. Yang ada tinggal perahunya yang telanjang dan seorang penghuninya yang tubuhnya terikat pada perahu. Seorang laki-laki muda yang pingsan dan sama sekali tidak merasakan betapa perahunya dipermainkan ombak dahsyat. Untung baginya karena kalau dia tahu akan hal ini, mungkin sekali jantungnya tidak akan kuat menahan kengerian seperti itu!
Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia merasa penasaran ketika melihat Maya dibawa pergi oleh Kam Han Ki. Dia melakukan pengejaran dan berlari secepat dan sekuatnya. Namun tentu saja dia tidak dapat menyusul larinya Kam Han Ki yang memiliki kesaktian tinggi itu.
Betapapun juga, Suma Hoat tidak pernah berhenti melakukan pengejaran dengan bertanya-tanya di jalan. Akhirnya dia mendapat keterangan dalam penyelidikannya bahwa Kam Han Ki dan Maya melanjutkan perjalanan dengan perahu di pantai utara yang didatanginya itu. Dia pun lalu melakukan pengejaran dengan perahu, walaupun jarak waktu antara dia dan mereka sudah hampir dua pekan!
Mulailah pemuda yang menjadi korban perasaan asmara yang menggelora itu melakukan pelayaran di daerah yang sama sekali asing baginya, melakukan pengejaran terhadap perahu lain yang tidak dia ketahui ke arah mana perginya. Suma Hoat mengambil keputusan untuk mencari Maya atau Khu Siauw Bwee sampai dapat. Dia tahu bahwa mereka tentulah berada di Pulau Es dan dia harus dapat menemukan Pulau Es. Seorang diantara dua orang dara yang dicintanya itu akan menjadi isterinya.
Perbuatan pemuda itu benar-benar merupakan perbuatan yang amat nekad. Sudah sejak puluhan, bahkan ratusan tahun tokoh-tokoh kang-ouw mencari-cari Pulau Es tanpa hasil, sehingga akhirnya di dunia kang-ouw hanya terdapat semacam dongeng saja tentang Pulau Es, dianggapnya bahwa pulau itu tidak ada kenyataannya karena tidak pernah ada yang berhasil menemukannya.
Kini, dengan berperahu kecil, tanpa petunjuk hanya bermodal jejak Kam Han Ki yang dikabarkan melanjutkan perjalanan dengan perahu dari pantai itu, Suma Hoat mencari Pulau Es. Dia benar-benar sudah nekat karena cinta kasihnya. Dia seperti seorang yang sudah kelaparan dan kehausan, haus dan lapar akan cinta karena selama ini dia hanya tenggelam dalam nafsu berahi, tidak pernah mengenal cinta yang sesungguhnya.
Lebih dari dua bulan dia hidup di atas perahunya yang mengarungi lautan bebas dan asing. Bekal makanannya sudah lama habis dan untuk menyambung hidupnya, Suma Hoat terpaksa makan ikan laut. Kadang-kadang dia mendapatkan binatang darat di atas pulau karena sudah banyak sekali pulau dia datangi dan yang ternyata bukan Pulau Es, melainkan pulau-pulau kosong yang tidak ada penghuninya.
Pada hari itu, secara tiba-tiba badai mengamuk dan menimbulkan gelombang-gelombang sebesar bukit. Betapapun kuatnya kedua lengan Suma Hoat menggerakkan dayung, namun sama sekali tidak ada artinya bagi lautan yang sedang mengganas itu. Dia sama sekali tidak berdaya, seperti seorang bayi dan akhirnya, setelah dia hampir tidak kuat bertahan lagi, Suma Hoat mengikat tubuhnya, melibatkan tali dengan erat pada tubuhnya, diikat pada perahu kemudian menyerahkan nasibnya kepada lautan.
Tubuhnya yang terikat pada perahu itu dipermainkan gelombang, diangkat tinggi-tinggi dan dihempaskan kembali, disambut gelombang lain, dilontarkan ke atas dan dibanting lagi sampai dia pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi dengan perahu dan tubuhnya. Dia tidak tahu berapa lama dia dijadikan permainan gelombang dan sampai berapa jauh dia dihanyutkan.
Melihat keadaan Suma Hoat pada waktu badai mengamuk itu, sungguh mengerikan dan semua yang melihatnya tidak ada yang akan menduga bahwa dia akan dapat keluar dari keadaan itu dengan selamat. Akan tetapi apakah yang dapat menentukan mati hidupnya seorang manusia? Kalau belum tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat mematikannya, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan apa pun yang akan dapat menyelamatkannya.
Suma Hoat siuman dan membuka matanya. Kepalanya terasa pening sekali, tubuhnya nyeri semua dan tenaganya habis. Akan tetapi tubuhnya tidak bergerak-gerak lagi, perahu dimana tubuhnya terikat itu tidak diombang-ambingkan gelombang lagi. Dia masih mendengar suara bergemuruh, suara badai mengamuk, akan tetapi perahunya tidak lagi di atas air, melainkan berada di atas daratan yang kokoh kuat! Dia selamat! Perahunya telah dilontarkan gelombang ke atas daratan, sedemikian jauhnya sehingga tidak ada lagi gelombang yang dapat mencapainya.
Suma Hoat mengerahkan tenaga untuk membikin putus ikatan pada tubuhnya. Namun dia mengeluh dan kaki tangannya terkulai lemas. Agaknya tidak ada sisa tenaga lagi di tubuhnya. Akan tetapi tali itu telah mengendur dan dengan perlahan dia meloloskan kedua lengan, kemudian membuka tali yang mengikat tubuhnya itu dari perahu.
Ketika dia bangun duduk, kepalanya berdenyut-denyut dan pandang matanya berkunang. Sejenak dia memejamkan mata, ketika dibukanya kembali dan denyut di kepalanya tidak begitu hebat, dia memandang ke sekelilingnya. Air laut masih mengganas, ombak membesar dan angin badai masih mengamuk. Akan tetapi dia telah terdampar ke sebuah pulau yang cukup besar.
Tiba-tiba dia mendengar suara mengerikan. Suara melengking dahsyat, suara memekik-mekik seperti bukan suara manusia. Pekik melengking seperti itu keluar dari dalam dada setan dan iblis, pikirnya ngeri. Dia lalu menyeret tubuhnya sendiri makin naik ke tengah pulau agar jangan sampai tercapai gelombang.
Tidak lupa dia menggunakan seluruh tenaga untuk menyeret perahu. Perahu itu telah menyelamatkan nyawanya, dan dia masih amat membutuhkannya untuk membawanya keluar dari tempat ini.
Setelah melakukan hal itu, Suma Hoat lalu duduk bersila, mengatur napas untuk memulihkan tenaganya sambil menanti berhentinya badai yang masih mengamuk dahsyat. Untung bahwa dia telah memiliki ilmu Jit-goat Sin-kang yang mengandung unsur Yang-kang dan Im-kang.
Dengan Im-kang di tubuhnya, dia dapat melawan hawa dingin yang luar biasa itu, hawa dingin yang seolah-olah keluar dari dalam tanah pulau yang didudukinya. Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia telah berada di Pulau Es!
Angin taufan mulai mereda, agaknya sudah cukup puas mengamuk selama hampir sehari semalam. Suara bergemuruh pun berhenti. Suma Hoat yang telah beberapa lamanya duduk bersila mengatur napas, merasa tenaganya sudah pulih sebagian, kepeningan kepalanya menghilang dan sungguhpun tubuhnya masih lelah dan rasa nyeri-nyeri di seluruh tubuh masih terasa, dia sudah merasa ringan dan membuka matanya. Laut di pantai tidak bergelombang hebat lagi, yang terdengar hanyalah suara berkerosoknya air yang menipis habis di pantai datar.
Suma Hoat teringat akan suara melengking yang didengarnya ketika badai masih mengamuk tadi. Dia bangkit perlahan, membalikkan tubuh memandang ke arah tengah pulau yang kini tidak diselubungi kabut. Ia tercengang dan memandang terbelalak ketika samar-samar tampak sebuah bangunan di tengah pulau! Hampir dia tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Digosoknya kedua matanya, lalu memandang lagi. Tidak berubah. Bangunan itu masih berdiri megah di tengah pulau. Seperti sebuah istana.
"Istana....? Istana.... Pulau Es....?" Tak terasa lagi mulut Suma Hoat berbisik.
Teringatlah dia akan suara melengking nyaring ketika terjadi badai. Mungkin saja suara manusia kalau manusianya adalah penghuni Istana Pulau Es yang dia tahu amat sakti. Bangkit semangatnya setelah timbul dugaan dan harapan di hatinya bahwa dia berada di Pulau Es, secara kebetulan dan aneh sekali tiba di pulau yang memang dicari-carinya itu. Jantungnya berdebar keras. Apakah dia akan berjumpa dengan Khu Siauw Bwee dan Maya? Apakah kedua orang dara yang dicintanya itu berada disana?
Ketika ia tiba di depan bangunan yang indah dan megah itu, Suma Hoat menjadi ragu-ragu untuk masuk. Dua orang dara itu, sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat sekali, apalagi suheng mereka, Kam Han Ki. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti. Tanpa seijin mereka, bagaimana dia berani memasuki istana itu?
Akan tetapi, setelah menghadapi ancaman-ancaman maut di lautan ketika dia mencari dua orang dara itu, ketika mencari Pulau Es, mengapa kini dia merasa takut akan ancaman kemarahan mereka? Tidak, dia tidak takut karena memang dia sudah nekat.
Mereka adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi, tidak mungkin akan mudah marah hanya karena dia masuk ke istana tanpa ijin saja. Dengan pikiran ini, melangkahlah Suma Hoat memasuki istana yang kelihatan sunyi sekali itu. Ruangan depan istana itu kosong, demikian pula ruangan tengah.
Selagi dia kebingungan karena merasa betapa istana itu menyeramkan dengan kesunyian dan keindahannya, tiba-tiba dia mendengar suara orang, seperti tengah bersenandung atau membaca doa!
Dia segera menuruni anak tangga perlahan-lahan dan berhenti di depan sebuah pintu yang tertutup, menahan napas mendengarkan suara seorang laki-laki yang sedang membaca sajak! Suara itu gemetar, kadang-kadang terisak, kadang-kadang tersendat-sendat dan diseling tarikan napas panjang penuh kedukaan.
Suma Hoat mendengarkan dengan jantung berdebar dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi dia tidak berani lancang memasuki ruangan di balik pintu yang tertutup itu. Dia hanya mendengarkan. Mula-mula suara itu bersajak, dengan nada suara penuh duka, penuh lontaran pertanyaan dengan suara merintih.
"Aduhai sayang, mengapa kalian begitu kejam?
Mengapa kalian hancurkan cinta yang indah?
Haruskah cinta berdampingan dengan benci?
Dimana ada cemburu dan iri,
adakah cinta disana?
Aduhai sayang,
sesungguhnya siapa yang kalian cinta?
Akukah.... atau diri kalian sendiri?"
Suma Hoat tertegun dan bingung. Suara siapakah itu? Dan apa maksudnya? Apa yang telah terjadi dengan pria itu sehingga mengeluarkan rintihan yang keluar dari hati yang rusak dan hancur? Dia mendengarkan lagi, karena kembali suara laki-laki itu bersajak, kini tidak terdengar penuh duka, bahkan berwibawa sungguhpun suara itu masih menggetar penuh perasaan,
"Setiap orang manusia ingin dicinta
tanpa ada yang menyayang,
hidup terasa hampa,
mengapa....?
Karena hatinya tidak mengenal cinta!
yang tidak mengenal cinta,
haus akan cinta
dia yang hatinya penuh oleh cinta sejati
tidak lagi mengharapkan dirinya dicintai
cinta sejati hanya kenal memberi
tak tahu minta
tak ingin jasa!"
Untuk kedua kalinya Suma Hoat tertegun. Kini bahkan mukanya terasa panas. Dia merasa seolah-olah dia disindir. Selama bertahun-tahun, semenjak dia ditinggal mati cinta pertamanya, Ciok Kim Hwa, dia haus akan cinta kasih wanita. Akan tetapi dia pun tidak pernah jatuh cinta. Yang ada terhadap wanita-wanita yang diperkosanya hanyalah nafsu semata.
Adakah hatinya tidak mengenal cinta? Setelah bertemu dengan Maya dan Siauw Bwee, adakah perasaannya terhadap dua orang dara itu pun bukan cinta maka dia mengharapkan balasan cinta kasih mereka? Aihh, dia tidak mengerti sama sekali, namun di sudut hatinya, ada sesuatu yang terpesona dan tergetar oleh isi kata-kata orang yang belum dilihatnya itu. Kembali dia memperhatikan karena suara itu telah bicara kembali.
"Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
namun Siansu berkata :
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapapun juga, cinta segi tiga
tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!"
Kini Suma Hoat terkejut. Orang itu menyebut-nyebut Siansu, bukankah yang dimaksudkan itu adalah Bu Kek Siansu, manusia dewa yang hanya didengarnya dalam dongeng? Dan bukankah murid manusia dewa itu adalah Maya, Khu Siauw Bwee dan suheng mereka, Kam Han Ki? Kalau begitu, tentu Kam Han Ki laki-laki di dalam itu! Selagi ia hendak melangkah maju, tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu yang masih tertutup,
"Suma Hoat, bagaimana engkau bisa sampai disini dan apa kehendakmu?"
Tiang layar perahu itu sudah lenyap, juga dayung-dayungnya. Yang ada tinggal perahunya yang telanjang dan seorang penghuninya yang tubuhnya terikat pada perahu. Seorang laki-laki muda yang pingsan dan sama sekali tidak merasakan betapa perahunya dipermainkan ombak dahsyat. Untung baginya karena kalau dia tahu akan hal ini, mungkin sekali jantungnya tidak akan kuat menahan kengerian seperti itu!
Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, dia merasa penasaran ketika melihat Maya dibawa pergi oleh Kam Han Ki. Dia melakukan pengejaran dan berlari secepat dan sekuatnya. Namun tentu saja dia tidak dapat menyusul larinya Kam Han Ki yang memiliki kesaktian tinggi itu.
Betapapun juga, Suma Hoat tidak pernah berhenti melakukan pengejaran dengan bertanya-tanya di jalan. Akhirnya dia mendapat keterangan dalam penyelidikannya bahwa Kam Han Ki dan Maya melanjutkan perjalanan dengan perahu di pantai utara yang didatanginya itu. Dia pun lalu melakukan pengejaran dengan perahu, walaupun jarak waktu antara dia dan mereka sudah hampir dua pekan!
Mulailah pemuda yang menjadi korban perasaan asmara yang menggelora itu melakukan pelayaran di daerah yang sama sekali asing baginya, melakukan pengejaran terhadap perahu lain yang tidak dia ketahui ke arah mana perginya. Suma Hoat mengambil keputusan untuk mencari Maya atau Khu Siauw Bwee sampai dapat. Dia tahu bahwa mereka tentulah berada di Pulau Es dan dia harus dapat menemukan Pulau Es. Seorang diantara dua orang dara yang dicintanya itu akan menjadi isterinya.
Perbuatan pemuda itu benar-benar merupakan perbuatan yang amat nekad. Sudah sejak puluhan, bahkan ratusan tahun tokoh-tokoh kang-ouw mencari-cari Pulau Es tanpa hasil, sehingga akhirnya di dunia kang-ouw hanya terdapat semacam dongeng saja tentang Pulau Es, dianggapnya bahwa pulau itu tidak ada kenyataannya karena tidak pernah ada yang berhasil menemukannya.
Kini, dengan berperahu kecil, tanpa petunjuk hanya bermodal jejak Kam Han Ki yang dikabarkan melanjutkan perjalanan dengan perahu dari pantai itu, Suma Hoat mencari Pulau Es. Dia benar-benar sudah nekat karena cinta kasihnya. Dia seperti seorang yang sudah kelaparan dan kehausan, haus dan lapar akan cinta karena selama ini dia hanya tenggelam dalam nafsu berahi, tidak pernah mengenal cinta yang sesungguhnya.
Lebih dari dua bulan dia hidup di atas perahunya yang mengarungi lautan bebas dan asing. Bekal makanannya sudah lama habis dan untuk menyambung hidupnya, Suma Hoat terpaksa makan ikan laut. Kadang-kadang dia mendapatkan binatang darat di atas pulau karena sudah banyak sekali pulau dia datangi dan yang ternyata bukan Pulau Es, melainkan pulau-pulau kosong yang tidak ada penghuninya.
Pada hari itu, secara tiba-tiba badai mengamuk dan menimbulkan gelombang-gelombang sebesar bukit. Betapapun kuatnya kedua lengan Suma Hoat menggerakkan dayung, namun sama sekali tidak ada artinya bagi lautan yang sedang mengganas itu. Dia sama sekali tidak berdaya, seperti seorang bayi dan akhirnya, setelah dia hampir tidak kuat bertahan lagi, Suma Hoat mengikat tubuhnya, melibatkan tali dengan erat pada tubuhnya, diikat pada perahu kemudian menyerahkan nasibnya kepada lautan.
Tubuhnya yang terikat pada perahu itu dipermainkan gelombang, diangkat tinggi-tinggi dan dihempaskan kembali, disambut gelombang lain, dilontarkan ke atas dan dibanting lagi sampai dia pingsan dan tidak tahu apa yang terjadi dengan perahu dan tubuhnya. Dia tidak tahu berapa lama dia dijadikan permainan gelombang dan sampai berapa jauh dia dihanyutkan.
Melihat keadaan Suma Hoat pada waktu badai mengamuk itu, sungguh mengerikan dan semua yang melihatnya tidak ada yang akan menduga bahwa dia akan dapat keluar dari keadaan itu dengan selamat. Akan tetapi apakah yang dapat menentukan mati hidupnya seorang manusia? Kalau belum tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan di dunia ini yang akan dapat mematikannya, sebaliknya kalau sudah tiba saatnya dia mati, tiada kekuasaan apa pun yang akan dapat menyelamatkannya.
Suma Hoat siuman dan membuka matanya. Kepalanya terasa pening sekali, tubuhnya nyeri semua dan tenaganya habis. Akan tetapi tubuhnya tidak bergerak-gerak lagi, perahu dimana tubuhnya terikat itu tidak diombang-ambingkan gelombang lagi. Dia masih mendengar suara bergemuruh, suara badai mengamuk, akan tetapi perahunya tidak lagi di atas air, melainkan berada di atas daratan yang kokoh kuat! Dia selamat! Perahunya telah dilontarkan gelombang ke atas daratan, sedemikian jauhnya sehingga tidak ada lagi gelombang yang dapat mencapainya.
Suma Hoat mengerahkan tenaga untuk membikin putus ikatan pada tubuhnya. Namun dia mengeluh dan kaki tangannya terkulai lemas. Agaknya tidak ada sisa tenaga lagi di tubuhnya. Akan tetapi tali itu telah mengendur dan dengan perlahan dia meloloskan kedua lengan, kemudian membuka tali yang mengikat tubuhnya itu dari perahu.
Ketika dia bangun duduk, kepalanya berdenyut-denyut dan pandang matanya berkunang. Sejenak dia memejamkan mata, ketika dibukanya kembali dan denyut di kepalanya tidak begitu hebat, dia memandang ke sekelilingnya. Air laut masih mengganas, ombak membesar dan angin badai masih mengamuk. Akan tetapi dia telah terdampar ke sebuah pulau yang cukup besar.
Tiba-tiba dia mendengar suara mengerikan. Suara melengking dahsyat, suara memekik-mekik seperti bukan suara manusia. Pekik melengking seperti itu keluar dari dalam dada setan dan iblis, pikirnya ngeri. Dia lalu menyeret tubuhnya sendiri makin naik ke tengah pulau agar jangan sampai tercapai gelombang.
Tidak lupa dia menggunakan seluruh tenaga untuk menyeret perahu. Perahu itu telah menyelamatkan nyawanya, dan dia masih amat membutuhkannya untuk membawanya keluar dari tempat ini.
Setelah melakukan hal itu, Suma Hoat lalu duduk bersila, mengatur napas untuk memulihkan tenaganya sambil menanti berhentinya badai yang masih mengamuk dahsyat. Untung bahwa dia telah memiliki ilmu Jit-goat Sin-kang yang mengandung unsur Yang-kang dan Im-kang.
Dengan Im-kang di tubuhnya, dia dapat melawan hawa dingin yang luar biasa itu, hawa dingin yang seolah-olah keluar dari dalam tanah pulau yang didudukinya. Tentu saja pemuda ini sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia telah berada di Pulau Es!
Angin taufan mulai mereda, agaknya sudah cukup puas mengamuk selama hampir sehari semalam. Suara bergemuruh pun berhenti. Suma Hoat yang telah beberapa lamanya duduk bersila mengatur napas, merasa tenaganya sudah pulih sebagian, kepeningan kepalanya menghilang dan sungguhpun tubuhnya masih lelah dan rasa nyeri-nyeri di seluruh tubuh masih terasa, dia sudah merasa ringan dan membuka matanya. Laut di pantai tidak bergelombang hebat lagi, yang terdengar hanyalah suara berkerosoknya air yang menipis habis di pantai datar.
Suma Hoat teringat akan suara melengking yang didengarnya ketika badai masih mengamuk tadi. Dia bangkit perlahan, membalikkan tubuh memandang ke arah tengah pulau yang kini tidak diselubungi kabut. Ia tercengang dan memandang terbelalak ketika samar-samar tampak sebuah bangunan di tengah pulau! Hampir dia tidak percaya kepada pandang matanya sendiri. Digosoknya kedua matanya, lalu memandang lagi. Tidak berubah. Bangunan itu masih berdiri megah di tengah pulau. Seperti sebuah istana.
"Istana....? Istana.... Pulau Es....?" Tak terasa lagi mulut Suma Hoat berbisik.
Teringatlah dia akan suara melengking nyaring ketika terjadi badai. Mungkin saja suara manusia kalau manusianya adalah penghuni Istana Pulau Es yang dia tahu amat sakti. Bangkit semangatnya setelah timbul dugaan dan harapan di hatinya bahwa dia berada di Pulau Es, secara kebetulan dan aneh sekali tiba di pulau yang memang dicari-carinya itu. Jantungnya berdebar keras. Apakah dia akan berjumpa dengan Khu Siauw Bwee dan Maya? Apakah kedua orang dara yang dicintanya itu berada disana?
Ketika ia tiba di depan bangunan yang indah dan megah itu, Suma Hoat menjadi ragu-ragu untuk masuk. Dua orang dara itu, sebagai penghuni-penghuni Istana Pulau Es, memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat sekali, apalagi suheng mereka, Kam Han Ki. Mereka bertiga adalah orang-orang sakti. Tanpa seijin mereka, bagaimana dia berani memasuki istana itu?
Akan tetapi, setelah menghadapi ancaman-ancaman maut di lautan ketika dia mencari dua orang dara itu, ketika mencari Pulau Es, mengapa kini dia merasa takut akan ancaman kemarahan mereka? Tidak, dia tidak takut karena memang dia sudah nekat.
Mereka adalah orang-orang sakti yang berilmu tinggi, tidak mungkin akan mudah marah hanya karena dia masuk ke istana tanpa ijin saja. Dengan pikiran ini, melangkahlah Suma Hoat memasuki istana yang kelihatan sunyi sekali itu. Ruangan depan istana itu kosong, demikian pula ruangan tengah.
Selagi dia kebingungan karena merasa betapa istana itu menyeramkan dengan kesunyian dan keindahannya, tiba-tiba dia mendengar suara orang, seperti tengah bersenandung atau membaca doa!
Dia segera menuruni anak tangga perlahan-lahan dan berhenti di depan sebuah pintu yang tertutup, menahan napas mendengarkan suara seorang laki-laki yang sedang membaca sajak! Suara itu gemetar, kadang-kadang terisak, kadang-kadang tersendat-sendat dan diseling tarikan napas panjang penuh kedukaan.
Suma Hoat mendengarkan dengan jantung berdebar dan hatinya tertarik sekali, akan tetapi dia tidak berani lancang memasuki ruangan di balik pintu yang tertutup itu. Dia hanya mendengarkan. Mula-mula suara itu bersajak, dengan nada suara penuh duka, penuh lontaran pertanyaan dengan suara merintih.
"Aduhai sayang, mengapa kalian begitu kejam?
Mengapa kalian hancurkan cinta yang indah?
Haruskah cinta berdampingan dengan benci?
Dimana ada cemburu dan iri,
adakah cinta disana?
Aduhai sayang,
sesungguhnya siapa yang kalian cinta?
Akukah.... atau diri kalian sendiri?"
Suma Hoat tertegun dan bingung. Suara siapakah itu? Dan apa maksudnya? Apa yang telah terjadi dengan pria itu sehingga mengeluarkan rintihan yang keluar dari hati yang rusak dan hancur? Dia mendengarkan lagi, karena kembali suara laki-laki itu bersajak, kini tidak terdengar penuh duka, bahkan berwibawa sungguhpun suara itu masih menggetar penuh perasaan,
"Setiap orang manusia ingin dicinta
tanpa ada yang menyayang,
hidup terasa hampa,
mengapa....?
Karena hatinya tidak mengenal cinta!
yang tidak mengenal cinta,
haus akan cinta
dia yang hatinya penuh oleh cinta sejati
tidak lagi mengharapkan dirinya dicintai
cinta sejati hanya kenal memberi
tak tahu minta
tak ingin jasa!"
Untuk kedua kalinya Suma Hoat tertegun. Kini bahkan mukanya terasa panas. Dia merasa seolah-olah dia disindir. Selama bertahun-tahun, semenjak dia ditinggal mati cinta pertamanya, Ciok Kim Hwa, dia haus akan cinta kasih wanita. Akan tetapi dia pun tidak pernah jatuh cinta. Yang ada terhadap wanita-wanita yang diperkosanya hanyalah nafsu semata.
Adakah hatinya tidak mengenal cinta? Setelah bertemu dengan Maya dan Siauw Bwee, adakah perasaannya terhadap dua orang dara itu pun bukan cinta maka dia mengharapkan balasan cinta kasih mereka? Aihh, dia tidak mengerti sama sekali, namun di sudut hatinya, ada sesuatu yang terpesona dan tergetar oleh isi kata-kata orang yang belum dilihatnya itu. Kembali dia memperhatikan karena suara itu telah bicara kembali.
"Betapa ingin mata memandang mesra
betapa ingin jari tangan membelai sayang
betapa ingin hati menjeritkan cinta
namun Siansu berkata :
Bebaskan dirimu dari ikatan nafsu!
Mungkinkah pria dipisahkan dari wanita?
tanpa adanya perpaduan Im dan Yang,
dunia takkan pernah tercipta!
Betapapun juga, cinta segi tiga
tidak membahagiakan!
menyenangkan yang satu menyusahkan yang lain
akibatnya hanya perpecahan dan permusuhan
ikatan persaudaraan dilupakan
akhirnya yang ada hanyalah duka dan sengsara!
Kesimpulannya, benarlah pesan Siansu
bahwa sengsaralah buah dari nafsu!"
Kini Suma Hoat terkejut. Orang itu menyebut-nyebut Siansu, bukankah yang dimaksudkan itu adalah Bu Kek Siansu, manusia dewa yang hanya didengarnya dalam dongeng? Dan bukankah murid manusia dewa itu adalah Maya, Khu Siauw Bwee dan suheng mereka, Kam Han Ki? Kalau begitu, tentu Kam Han Ki laki-laki di dalam itu! Selagi ia hendak melangkah maju, tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu yang masih tertutup,
"Suma Hoat, bagaimana engkau bisa sampai disini dan apa kehendakmu?"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar