Ads

Selasa, 19 November 2019

Istana Pulau Es Jilid 181

Siauw Bwee terbelalak, pucat mukanya. Dia melempar pedangnya dan menubruk Maya.

"Suci....!"

Siauw Bwee menubruk untuk menyatakan penyesalan hatinya, untuk minta maaf. Akan tetapi tidak demikian perkiraan Maya. Karena matanya gelap dan kepalanya pening akibat luka dan kemarahan, dia mengira bahwa gerakan Siauw Bwee itu merupakan gerakan susulan, merupakan serangan maut untuk membunuhnya. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia membabat dengan pedang di tangannya, dengan tubuh masih rebah miring.

"Singgg.... crakkk! Aduuuhhh.... Suci....!"

Tubuh Siauw Bwee tergelimpang, sebelah kakinya buntung terbabat pedang tadi, darah muncrat dari paha yang buntung.

"Suci.... kau.... kau....!" Siauw Bwee meloncat bangun, menyambar kakinya yang buntung.

Maya sudah bangkit duduk, mukanya pucat sekali. Baru sekarang dia mengerti betapa dia telah salah duga. Pedang sumoinya ternyata ditinggalkan, dan kini tahulah dia bahwa sumoinya tadi bukan menyerangnya, melainkan hendak memeluknya, dapat dibayangkan betapa hancur hatinya. Dia memandang pedangnya dengan pandang mata jijik, kemudian memandang sumoinya yang memandangi kaki yang buntung.

"Sumoi.... aduh.... Sumoi.... apa yang telah kulakukan....!"

"Suci....!"

"Sumoi....!"

Kedua orang itu berpandangan, kemudian Maya meloncat berdiri, menghampiri sumoinya dan memeluknya.

"Sumoi.... kau ampunkan aku...."

Maya memeluk dan menciumi sumoinya akan tetapi melihat sumoinya diam tak bergerak, disangkanya sumoinya telah tewas, maka dia menjerit-jerit memanggil nama sumoinya, kemudian roboh terguling, pingsan sambil merangkul tubuh Siauw Bwee yang juga pingsan.

Mereka tidak tahu betapa pada saat mereka mulai bertanding tadi, badai datang mengamuk. Tidak tahu betapa Han Ki yang datang dengan perahu karena mendengar suara panggilan Siauw Bwee tadi sedang berjuang mati-matian di tengah badai. Han Ki mendayung perahunya dengan susah payah karena perahu itu diombang-ambingkan gelombang.

Dengan hati berdebar penuh kegelisahan memikirkan kedua orang sumoinya, Han Ki mengerahkan seluruh tenaganya, namun sampai lama sekali barulah akhirnya dia berhasil minggirkan perahunya dan meloncat ke darat. Badai masih mengamuk hebat, seolah-olah laut menjadi marah menyaksikan pertandingan antara suci dan sumoi yang mati-matian tadi.






Han Ki sama sekali tidak pernah mengira bahwa kedua orang sumoinya itu bertanding mati-matian di atas tebing, di pantai yang curam. Dia berlari-lari ke istana, hendak memperingatkan kedua sumoinya bahwa badai dan taufan datang mengamuk. Akan tetapi, istana itu sunyi, kedua orang sumoinya tidak berada di situ. Dia mulai memanggil-manggil dan berlari ke sana-sini.

Akhirnya dia berlari naik ke atas tebing yang tinggi dan berdiri terbelalak, kedua kakinya seperti mendadak lumpuh tak dapat digerakkan. Bahkan dia hampir pingsan menyaksikan pemandangan di depan itu!

Apa yang dilihatnya memang telalu mengerikan bagi Han Ki. Kedua sumoinya saling berpelukan dan bertangisan di atas tanah yang masih bersalju, yang kini menjadi merah oleh darah! Dia tidak tahu bahwa kedua orang dara itu telah siuman kembali dan bertangisan tanpa kata-kata. Yang membuat Han Ki hampir pingsan adalah melihat sebelah kaki Siauw Bwee buntung dan pundak Maya terluka berat.

Tiba-tiba Siauw Bwee merenggutkan tubuhnya terlepas dari pelukan Maya, kemudian tubuh gadis itu mencelat ke pinggir tebing, dikejar oleh Maya yang menjerit-jerit kini memanggil nama Siauw Bwee dan menangis. Namun terlambat, tubuh Siauw Bwee sudah mencelat ke bawah tebing, ke arah air laut yang sedang bergemuruh dan dahsyat bergelora itu! Maya menjerit-jerit, kemudian gadis itu meloncat ke bawah mengejar sumoinya!

Han Ki terlampau kaget dan ngeri ketika dapat bergerak. Andaikata dia dapat bergerak pun akan terlambat, karena jaraknya terlampau jauh. Kini dia berloncatan dan berlarian seperti orang gila sambil berteriak-teriak,

"Siauw Bwee....! Maya....!"

Han Ki berdiri di pinggir tebing dan matanya terbelalak memandang gelombang ombak yang begitu dahsyat, seolah-olah timbul ribuan buah kepala naga siluman yang siap mencaplok apa saja yang berani turun! Betapapun dia mencari dengan pandang mata terbelalak, tidak tampak adanya dua orang sumoinya yang tadi dilihatnya meloncat ke bawah.

"Maya-sumoi....! Khu-sumoi....!" kembali dia memekik, kemudian dia menuruni tebing yang curam sekali itu.

Sungguh mengerikan sekali melihat Han Ki berlari dan berloncatan turun. Sekali terpeleset tubuhnya tentu akan hancur ke bawah dan ditelan gelombang ombak yang amat dahsyat, yang tak mungkin dapat dilawan oleh tenaga manusia.

Badai mengamuk terus, air laut naik tinggi. Suara angin taufan bercampur air laut yang memecah di batu karang mengerikan hati. Langit menjadi gelap, bukan hanya oleh awan hitam, akan tetapi juga oleh kabut yang dibentuk oleh air yang memecah di batu karang, kemudian turun hujan dari atas.

Pulau Es seakan-akan hendak kiamat. Diserang gelombang badai mengamuk, pulau itu tergetar dan terselimut kabut hitam. Suara bergemuruh dahsyat seperti bersorak-sorai setan-setan yang muncul dari permukaan laut, diantara suara bergemuruh dari badai mengamuk ini, terdengar selingan suara lengking panjang,

"Maya....! Siauw Bwee....!"

Dan tampaklah bayangan Han Ki berlari-larian di sepanjang pantai Pulau Es, tersaruk-saruk, kadang-kadang terjatuh dan dilemparkan ombak yang menyeret kakinya. Bangun lagi, berlari-lari, berteriak-teriak dengan pengerahan khi-kangnya, memanggil-manggil nama kedua orang sumoinya tanpa hasil. Kedua sumoinya tidak ada yang menjawab, tidak ada yang muncul, seolah-olah sudah ditelan ombak membadai. Mengerikan dan menyedihkan.

**** 181 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar