Ads

Selasa, 17 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 103

Ia harus cepat ditolong, kalau tidak, menurut taksirannya, dalam waktu kurang dari tiga puluh enam jam tentu sukar ditolong pula. Dan ia membutuhkan banyak benda, air mendidih, beberapa daun obat.

Mulailah Song Goat merayap dan berjalan perlahan menuruni lereng dari atas mencari-cari dengan pandang matanya dan akhirnya ia melihat cahaya penerangan dari sekelompok rumah-rumah, tentu sebuah dusun. Dipercepatnya jalannya dan menjelang fajar ia sudah memasuki sebuah dusun yang cukup besar. Ia mencari-cari kemudian mengetuk pintu sebuah kedai makan di sudut dusun.

Tak lama kemudian daun pintu dibuka dan seorang laki-laki gemuk setengah tua muncul. Dia pemilik kedai dan selalu bangun pagi-pagi untuk mempersiapkan kedainya. Kini ia memandang dengan heran melihat seorang gadis cantik jelita sepagi ini sudah datang berkunjung sambil mengempit tubuh seorang laki-laki yang pingsan.

“....ehh...., Nona siapakah....? Mau apa....? Dan.... dia ini....?”

“Paman, aku seorang ahli pengobatan, sahabatku ini sakit keras. Hari ini kusewa kedaimu, atau setidaknya dapurmu”.

“Tapi.... tapi.... mana bisa....?”

“Tidak ada tapi, Paman. Demi nyawa orang ini, kau harus menolongku. Hanya sehari kusewa kedai dan dapurmu. Pula, adakah kedaimu dapat menghasilkan sebanyak ini dalam sehari?” Song Goat mengeluarkan sebuah gelang emas dan melemparkannya ke atas meja. “Kau terimalah gelang itu, untuk sewa kedai sehari”.

Tukang kedai itu dengan bingung dan ragu-ragu memandang Song Goat, kemudian memandang wajah pemuda yang sakit, lalu melirik ke arah gelang emas di atas meja, kalamenjingnya naik turun. Sudah amat lama ia sebagai duda tergila-gila kepada seorang janda muda di dusun itu akan tetapi belum juga berhasil memikatnya. Dengan gelang emas seindah itu agaknya... hemm, akan tetapi ia harus hati-hati.

“Orang ini.... bagaimana kalau mati di tempatku?”

“Tidak, Paman. Ia akan hidup dan ini tergantung pertolonganmu juga. Lekas kau nyalakan perapian di dapur dan adakah Paman mempunyai sebuah ember besar yang cukup besar dimasuki orang ini?”

“Haaah?"

Si Gendut itu terbelalak, heran akan tetapi mengangguk-angguk dan ia segera memasuki dapur diikuti Song Goat setelah merapatkan kembali daun pintu depan. Tanpa banyak cakap lagi Song Goat lalu memilih sebuah tempat masak air yang amat besar, dengan gantungan kawat yang kuat. Juga ia melihat bahwa tempat perapian cukup besar. Memang kedai itu adalah kedai makanan. Hatinya puas.

“Paman, harap kautolong isi panci besar itu dengan air dan persiapkan perapian. Aku hendak mencari beberapa daun obat di hutan”,

Kata Song Goat sambil menurunkan dan merebahkan tubuh pemuda itu di atas sebuah bangku panjang yang terdapat di ruangan belakang.

Pemuda itu mengeluh lalu membuka matanya, menoleh ke kanan kiri. Ketika melihat dirinya rebah di atas bangku dalam sebuah kamar yang tidak begitu bersih, ia terheran. Lebih-lebih lagi keheranannya ketika ia melihat seorang gadis cantik bersanggul tinggi berdiri di dekatnya dan dengan gerakan dan tangan berkulit halus menahan dadanya, mencegahnya untuk bangkit.

“Kau keracunan hebat. Aku berusaha mengobatimu. Kau akan sembuh dan bebas dari bahaya maut kalau mentaati pesanku. Kalau kau membangkang kau akan mati. Kau rebah saja disini, jangan turun dan banyak bergerak. Aku akan pergi mencari daun obat di hutan. Tak perlu bercerita apa-apa dengan Paman pemilik kedai yang sibuk di dapur”.

Sikap Song Goat kasar dan ketus. Makin ketus dan kasar sikapnya ketika melihat bahwa laki-laki muda ini benar-benar amat tampan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar lembut tapi tajam menembus jantung. Terhadap seorang pemuda sesat sahabat dan kekasih murid Siang-mou Sinni, tak perlu ia bersikap halus pikirnya.

Pemuda itu kini sudah membuka mata lebar-lebar dan bibirnya tersenyum ketika dapat mengenal sikap kasar dan ketus yang dibuat-buat itu. Ia sudah terlampau masak dalam pengalamannya untuk mengenal sifat wanita-wanita cantik seperti ini!

“Ah, kiranya aku diselamatkan oleh seorang dewi dari kahyangan. Apakah engkau Kwan Im Pouwsat (Dewi Kasih Sayang), Nona?”






Merah muka Song Goat. Selama hidupnya belum pernah Ia dirayu laki-laki, apalagi kalau laki-laki itu setampan dan segagah ini, dengan kata-kata merayu yang halus tapi menyenangkan hati. Akan tetapi kembali ia teringat bahwa pemuda ini adalah seorang pemuda sesat, maka ia memaksa diri cemberut dan pandang matanya galak. Bahkan ia tidak menjawab hanya sibuk mempersiapkan sebuah bungkusan kuning dari saku dalam bajunya, lalu menuang isi bungkusan yang berwarna merah ke dalam tekoan (tempat teh) itu. Kemudian, juga masih cemberut tanpa bicara, ia menghampiri pemuda itu dan dengan jari-jari tangannya ia memeriksa dan menekan jalan darah di di dekat mata kaki kanan.

Pemuda itu terus mengikuti semua gerakan gadis itu dengan senyum dan mata memandang kagum.

“Nona, kau hebat. Kalau bukan penjelmaan Kwan Im Pouwsat, entah siapa dan entah dewi dari kahyangan mana....”

“Kau diamlah. Simpan kelakarmu itu untuk orang-orang segolonganmu! Aku Song Goat.... hemm, aku puteri Song Yok-sanjin. Engkau dalam keadaan setengah hidup setengah mati. Kalau kau mau kuobati, kau diam saja. Aku mau pergi mencari beberapa daun obat”.

Pada saat itu, Si Gendut pemilik kedai muncul dari dapur dan Song Goat segera berkata kepadanya,

“Paman, aku pergi sekarang mencari obat. Kau godok obat bubuk ini dengan air setekoan penuh, dan sisakan setengah mangkok, kemudian suruh diminum sampai habis”.

Setelah berkata demikian dengan sikap marah tanpa menoleh lagi sedikit pun kepada pemuda itu, Song Goat berkelebat dan bayangannya lenyap menerobos lubang jendela.

Pemilik kedai memandang melongo sampai lama, tercengang keheranan, juga pandang matanya membayangkan rasa ketakutan. Ketika ia memandang pemuda yang sakit itu, ia makin heran karena pemuda itu tersenyum lebar, agaknya sama sekali tidak heran melihat betapa gadis cantik tadi terbang begitu saja keluar jendela seperti seekor burung!

“Kau kenapa, Paman Gedut?” pemuda itu menegurnya sambil tertawa.

“Kau tanya kenapa, orang muda? Tidakkah kau melihat semua keanehan ini? Gadis cantik itu datang di waktu fajar mengempit tubuhmu, lalu menyewa kedaiku dengan bayaran tinggi, kini ia menghilang begitu saja melalui jendela. Biar disambar geledek aku kalau hal ini bukan aneh namanya! Mimpikah aku? Atau... setan... eh, bidadarikah dia? Dan kau, orang muda, kau benar-benar sakitkah?”

Pemuda itu tertawa dan memang amat mengherankan seorang yang katanya sakit terancam maut bisa tertawa dan bersikap setenang itu.

“Paman, dia itu tadi seorang bidadari. Lebih baik aku dan Paman mentaati semua perintahnya agar mendapat berkahnya!”

Pemilik kedai itu menjulurkan lidahnya, menggeleng-geleng kepala kemudian bergegas memasuki dapur membawa tekoan berisi obat untuk dimasaknya sesuai dengan perintah Si Dewi tadi. Setelah Si Gendut itu pergi, pemuda itu lalu bangkit, duduk bersila dan meramkan mata, mengumpulkan hawa murni di tubuh untuk menekan racun yang masih mengotori separuh tubuhnya agar jangan menjalar makin luas.

Ia tentu saja pernah mendengar akan nama Song Yok-sanjin si ahli obat dan sama sekali tidak pernah menyangka bahwa kakek ahli obat itu mempunyai seorang puteri yang demikian cantik jelita, lebih-lebih lagi tak pernah menyangka bahwa ia akan tertolong oleh seorang gadis cantik lain yang jauh bedanya dengan Po Leng In.

Teringat akan Po Leng In, ia menarik napas panjang. Patut dikasihani wanita itu. Memang harus diakui bahwa Po Leng In bukan wanita baik-baik dan sudah terlalu banyak dosanya. Akan tetapi ia harus berani mengakui pula bahwa Po Leng In amat baik kepadanya dan ia berhutang budi, bahkan berhutang nyawa kepada murid Siangmou Sinni itu! Teringat akan itu semua, ia tidak dapat mengosongkan pikirannya maka cepat-cepat ia menggunakan kekuatan batin untuk mengusir bayangan-bayangan itu.

Setelah kamar belakang ini diterangi sinar matahari yang menerobos masuk melalui jendela, barulah Song Goat muncul dengan cara seperti tadi, yaitu melompat masuk melalui lubang jendela. Wajahnya yang cantik itu kemerahan karena sepagi itu sudah bekerja keras dan berlari-lari, tangannya menggenggam beberapa daun obat dan lehernya berkeringat.

Melihat pemuda itu duduk bersila dan bersamadhi dengan cara yang bersih, ia terheran. Sudah ia ketahui bahwa pemuda itu amat lihai akan tetapi cara bersiulian (bersamadhi) seperti itu benar-benar di luar dugaannya. Pemuda itu pun membuka mata dan melihat Song Goat ia lalu berkata.

“Nona, terus terang saja, apakah kau anggap keadaanku masih ada harapan?”

Song Goat menggerakkan kedua pundaknya, Gerakan yang lucu bagi scorang gadis muda dan cantik seperti dia, gerakan yang ia tiru dari ayahnya. Lucu akan tetapi manis!

“Entahlah, akan kucoba menyembuhkannya, kalau dapat. Sayangnya, aku tidak tahu pasti racun apa yang menyerangmu. Setelah minum obat bubuk yang kutinggalkan tadi, bagaimana rasanya dalam perutmu?”

“Tidak terasa apa-apa. hanya dingin.”

“Tidak ada rasa gatal-gatal di sekitar pusar?”

“Tidak.”

“Aneh, kalau terkena pukulan beracun biasanya obat bubukku tadi tentu akan menimbulkan rasa gatal. Hemm, mudah-mudahan saja usahaku menolongmu berhasil”.

“Nona Song, mengapa begini keras benar kau berusaha untuk menolongku?”

Gadis itu memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan Si Gadis menjadi marah.

“Huh, apalagi kalau bukan karena kebetulan aku puteri ayahku seorang ahli obat? Sudah menjadi kewajiban kami untuk berusaha menyembuhkan siapa saja”. Ia berhenti dan cepat menyambung, “Tentu saja kalau si sakit suka diobati!”

Pemuda itu tersenyum. Gadis ini sebenarnya halus dan baik budi, akan tetapi entah mengapa terhadap dia berpura-pura galak.

“Kalau begitu, biarlah kubantu usahamu dengan keterangan yang mungkin berguna bagimu. Luka yang meracuni tubuhku adalah luka dalam akibat pukulan Tok-hiat Hoat-lek dari Siang-mou Sinni. Lambungku kena pukul Siang-mou Sinni”.

Song Goat tercengang. Hal ini sama sekali tidak pernah disangkanya. Mengapa pemuda ini yang jelas adalah sahabat dan kekasih murid Siangmou Sinni, terluka hebat karena pukulan iblis betina itu? Teringatlah ia kini betapa pemuda ini diserang oleh empat orang hwesio jubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!

“Hemmm, mengapa kau dipukul Siang-mou Sinni?”

“Mengapa? Karena aku musuhnya”.

“Musuh....?” Song Goat terheran. Ini sama sekali tidak pernah disangkanya. “Engkau musuh Siang-mou Sin-ni?”

Pemuda itu tersenyum lalu membungkukkan tubuhnya yang masih duduk bersila.
“Nona Song, maaf, seharusnya engkau mengenal siapa yang kau tolong ini. Aku she Kiang bernama Liong. Aku tadinya berusaha menolong cucu-cucu Beng-kauw yang tertawan oleh Bouw Lek Couwsu dan Siangmou Sinni, akan tetapi aku dicurangi mereka dan terkena pukulan Tokhiat Hoatlek”.

“Hemmm....,” Song Goat masih ragu-ragu. “Kalau kau musuh mereka, kenapa kau dan murid iblis betina itu ....”

“Ah, kau maksudkan Po Leng In?” Kiang Liong mengerutkan keningnya. “Dia memang murid Siang-mou Sin-ni akan tetapi dia telah menolongku, menyelamatkan nyawaku, bahkan.... ia telah mengorbankan nyawanya untukku. Dia seorang gadis yang patut dikasihani. Nona Song, aku berterima kasih sekali atas kebaikanmu yang berusaha mengobatiku, akan tetapi pukulan Siang-mou Sin-ni hebat sekali, apakah kiranya masih dapat diobati?”

Agak lega hati Song Goat mendengar keterangan Kiang Liong. Ternyata ia tidak menolong orang jahat bahkan menolong bekas lawan kaum sesat. Juga kini ia tahu bahwa Po Leng In mencinta pemuda ini dan mengorbankan nyawa, mengkhianati guru sendiri. Ah, Po Leng In lebih bahagia daripada aku, pikirnya duka. orang sesat macam dia saja mempunyai kekasih yang patut dicinta dan dibela dengan pengorbanan nyawa!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar