Ads

Selasa, 17 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 102

Setelah menuliskan pesan pada saputangan putih yang ia pasang di batang pohon, Song Goat terus melarikan diri sambil menangis. Jantungnya serasa ditusuk-tusuk. Teringat ia betapa dengan susah payah ayahnya membawanya merantau sampai bertahun-tahun dan betapa hatinya berdebar tegang penuh perasaan puas dan gembira ketika akhirnya ia melihat pemuda yang dijodohkan dengannya, pemuda yang tampan dan gagah perkasa.

Bahagia terasa di hatinya ketika ia dan ayahnya dengan jalan menempuh bahaya maut berhasil merampas Siang Ki dari tangan orang-orang Thian-liong-pang kemudian bahkan mengobatinya dan menyelamatkan nyawa calon suaminya itu. Rasa malu dan jengah tertutup oleh sinar cinta kasih yang mekar di lubuk hatinya ketika ia melihat calon suaminya ini.

Akan tetapi, alangkah besar kedukaan dan kekecewaan hatinya mendengar orang yang sejak kecil dijodohkan dengan dirinya itu di depannya, dan di depan ayahnya, secara terang-terangan mengaku cinta kepada Kwi Lan! Ia merasa dikhianati merasa dicurangi dan hatinya sakit sekali.

Sudah banyak tokoh-tokoh kang-ouw meminangnya, namun semua ditolak ayahnya yang memegang teguh janjinya dengan mendiang Yu Kang Tianglo, sahabatnya. Dan lebih banyak lagi dia sendiri menangkap sinar kagum dan mesra penuh kasih dari pandang mata banyak pemuda-pemuda tampan, namun ia selalu tidak sudi melayani mereka oleh karena hatinya sudah penuh dengan keyakinan dan kesetiaan bahwa dia adalah jodoh putera Yu Kang Tiang-lo!

Song Goat berjalan terus tanpa tujuan. Hatinya yang pedih membuat kakinya bergerak menempuh jalan-jalan yang paling sukar. Pandang matanya muram tertutup air mata dan wajahnya agak pucat. Setelah hari menjadi gelap, barulah ia terpaksa berhenti karena tak mungkin melanjutkan perjalanan yang amat sukar itu di malam gelap.

Betapa pun nelangsa hatinya, Song Goat sama sekali tidak mempunyai niat untuk bunuh diri. Pendidikan ayahnya tentang kebatinan sudah mendalam sehingga perbuatan ini merupakan pantangan besar baginya. Ayahnya sebagai ahli pengobatan berpendirian bahwa manusia harus menjaga diri harus memelihara tubuh dan mempertahankan nyawa sekuatnya, menentang maut sedapat mungkin karena hal ini merupakan satu daripada kewajiban hidup. Bunuh diri merupakan perbuatan yang paling hina dan pengecut.

Tidak, dia tidak mau membunuh diri dan melanjutkan perjalanan dalam gelap melalui jurang-jurang berbatu-batu itu yang sama halnya dengan usaha bunuh diri. Rasa lapar di perutnya menambah kesengsaraannya, namun sambil menggigit bibir Song Goat menahan lapar lalu mencari tempat diantara batu-batu besar yang merupakan dinding tinggi di sebelah kirinya, untuk tempat berlindung melewatkan malam.

Tempat di lereng gunung ini amat sunyi. Tiada terdengar sesuatu, tiada terlihat sesuatu yang hidup. Hanya penuh batu-batu dan guha-guha batu. Mula-mula sebelum datang malam, tidak tampak sesuatu yang menandakan bahwa disekitar tempat itu ada manusia lain.

Akan tetapi setelah cuaca menjadi gelap, dari tempat ia mengaso, Song Goat dapat melihat cahaya menyorot keluar dari guha-guha batu sejauh sepelepasan anak panah. Cahaya yang menyorot keluar diantara celah-celah batu itu bergerak-gerak, tanda bahwa itu adalah cahaya api yang menyala dan bergerak-gerak terhembus angin. Ia merasa heran dan curiga. Siapakah orangnya menjadi penghuni tempat yang sunyi dan liar ini? Keinginan tahu yang besar menyelubungi hatinya dan membuat ia bangkit dan perlahan-lahan ia menunduk dan menyelinap diantara batu-batu besar menghampiri guha itu.

Dari celah-celah batu di luar guha yang diterangi sinar api unggun itu ia mengintai dan.... otomatis tangan kiri Song Goat menutup mulutnya untuk mencegah suara keluar dari mulut itu, matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah saking jengah. Ia tentu akan segera membuang muka dan mundur agar tidak melihat lagi pemandangan yang tidak sopan itu kalau saja pengertiannya tentang cara pengobatan tidak membuat ia sadar dan maklum bahwa dua orang di dalam guha itu tengah melakukan latihan untuk penyembuhan luka di dalam yang amat hebat.

Dua orang sedang duduk bersila, saling berhadapan, kedua pasang tangan saling menempel pada telapakan, mata meram dari kepala mereka tampak uap mengebul ke atas. Yang membuat ia malu dan jengah adalah keadaan mereka yang telanjang bulat dan mereka itu adalah seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik!

Song Goat banyak belajar ilmu pengobatan dari ayahnya. Biarpun belum pernah ayahnya melakukan cara pengobatan seaneh yang dilakukan dua orang di dalam guha, namun gadis itu pernah mendengar tentang pengobatan dengan cara menyalurkan hawa sakti di dalam tubuh ke tubuh orang lain yang diobati. Ia bahkan tahu pula cara menyalurkan ini dapat pula ia membantu seorang yang terluka di bagian dalam tubuhnya dengan penyaluran tenaga melalui telapak tangan.

Akan tetapi dalam keadaan telanjang bulat seperti itu! Benar-benar baru kali ini ia melihatnya! Tentu ini merupakan cara pengobatan kaum sesat pikirnya. Karena ingin tahu, ia melawan perasaan malu dan jengah serta terus memandang keadaan dua orang muda yang ia anggap tidak tahu akan susila itu.






Setelah pandang matanya mulai terbiasa dengan sinar api unggun yang bergerak-gerak itu, ia mengenal wanita cantik yang telanjang bulat itu. Kiranya wanita itu adalah gadis berpakaian merah yang memimpin para hwesio Tibet menyerang Siauw-bin Lo-mo, gadis yang mengaku sebagai murid Siang-mou Sin-ni!

Ah, pantas saja mereka melakukan cara pengobatan macam ini, pikirnya. Tidak salah lagi, pemuda tampan ini pun tentu seorang anggauta kaum sesat. Berpikir demikian, Song Goat menjadi muak dan hendak menyelinap pergi, akan tetapi ia urungkan niatnya ketika melihat berkelebatnya bayangan empat orang tinggi besar memasuki guha itu. Ia mengintai dan melihat bahwa empat orang ini adalah hwesio-hwesio berjubah merah, anak buah Bouw Lek Couwsu!

Hemmm, kiranya tempat ini menjadi tempat berkumpul kaum sesat ini, pikirnya dengan hati berdebar. Kini tahulah ia bahwa ia tersesat ke sarang harimau, ke tempat musuh dan kalau sampai ia diketahui orang, tentu akan celaka. Baru murid Siang-mou Sin-ni saja sudah amat hebat dan tinggi tingkat kepandaiannya, tidak terlawan olehnya. Apalagi ditambah hwesio-hwesio itu dan pemuda tampan tak tahu malu ini! Dia harus cepat pergi meninggalkan tempat berbahaya ini, malam ini juga.

Akan tetapi, kembali Song Goat menahan gerakan kakinya yang sudah melangkah hendak pergi dan matanya terbelalak memandang ke dalam guha. Hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya terjadi. Empat orang hwesio jubah merah itu mencabut golok dan pedang masing masing, lalu serempak menyerang pemuda yang masih duduk bersila tak bergerak sambil meramkan mata!

Hampir saja Song Goat berseru kaget melihat gemerlapnya empat batang senjata tajam itu melayang ke arah Si Pemuda. Juga kini baru tampak oleh Song Goat bahwa tubuh pemuda tampan itu dari leher ke bawah berwarna kehitaman. Tadi ia tidak sampai hati memandang tubuh telanjang bulat itu, kini dalam sekilas pandang karena pemuda itu terancam bahaya, baru ia melihatnya dan tahulah ia bahwa pemuda itu telah keracunan secara hebat sekali.

Melihat betapa tubuh wanita itu putih bersih dan kemerahan membayangkan kesehatan, ia kini tahu bahwa Si Wanita itulah yang sedang menyalurkan hawa sakti untuk membantu dan mengobati Si Pemuda. Dan kini pemuda itu diserang hebat dalam keadaan tidak berdaya sama sekali.

Song Goat melihat betapa wanita cantik murid Siang mou Sin ni itu membuka mata, terbelalak, lalu tangan kanannya yang tadinya menempel pada telapak tangan pemuda itu terlepas, dan secepat kilat tangan itu mendorong ke depan melalui atas kepala pemuda itu, empat kali berturut-turut mendorong ke arah empat orang hwesio jubah merah yang tidak memperhatikannya.

Dari tangan kanan itu meluncur hawa pukulan yang jelas tampak bersinar merah ke arah empat orang hwesio jubah merah dan.... empat orang hwesio itu mengeluarkan pekik mengerikan, senjata mereka terlepas dan mereka terjengkang ke belakang dengan mata terbelalak dan tewas seketika!

Akan tetapi tubuh wanita cantik itu sendiri tergetar hebat, tangan kirinya menggigil kemudian tubuhnya sendiri terjengkang, telentang, seluruh tubuhnya kini menjadi menghitam napasnya terengah engah. Anehnya tubuh Si Pemuda yang tadinya menghitam itu kini menjadi putih bersih dari leher sampai ke pinggang, dan warna kehitaman hanya tampak dari pinggang ke bawah.

“Celaka....!” seru Song Goat dalam hatinya.

Melihat wanita cantik itu menolong Si Pemuda dan mengorbankan diri sendiri, timbul rasa simpatinya dan ia dapat menduga bahwa wanita itu kini terluka hebat sekali, sebaliknya Si Pemuda itu sudah terobati sebagian besar dan masih ada harapan tertolong nyawanya.

Setelah kedua telapak tangannya terlepas dari kedua tangan wanita itu, Si Pemuda tubuhnya bergoyang goyang, kemudian ia membuka matanya. Melihat wanita itu telentang dengan tubuh menghitam dan di sekelilingnya rebah empat orang hwesio jubah merah yang sudah tewas semua, pemuda itu meloncat dan menubruk wanita cantik itu mengangkat kepalanya dan dipangkunya kepala itu.

“Leng In.... ah, Leng In....” pemuda itu berbisik, penuh perasaan terharu dan khawatir.

Po Leng In, wanita itu, membuka mata dan tersenyum, senyum yang membayangkan maut, senyum yang amat menyedihkan, kedua lengannya bergerak seperti hendak merangkul leher, akan tetapi rebah kembali dengan lemas, bibirnya bergerak.

“....aku puas.... dapat mengakhiri hidup dalam keadaan begini.... aku bahagia.... dapat menolongmu, kekasihku.... “

Po Leng In masih berusaha menggerakkan tubuh, agaknya ingin sekali bicara banyak, akan tetapi ia menjadi lemas, tubuhnya tiba tiba kejang dan kemudian lemas, tak bernyawa lagi.

“Leng In !”

Pemuda itu mempererat pelukannya, membenamkan muka pada rambut yang hitam halus itu menahan sedu sedan yang naik ke tenggorokannya. Melihat ini, Song Goat terharu.

Siapa pun pemuda itu, betapapun ia menjadi sekutu murid Siang mou Sin ni, menjadi kekasih wanita sesat itu dan terang juga seorang sesat, namun melihat pemuda itu berduka dan terharu, ia ikut merasakan kedukaannya. Ia dapat merasa betapa perih hati ditinggali orang yang dicintanya. Dan ia pun merasa seolah-olah ia dipaksa berpisah dari orang yang dicintanya, dari calon suaminya. Tak tertahankan lagi, ia pun terisak, namun ditahan tahannya.

Tiba tiba tubuh pemuda yang telanjang bulat itu mencelat keluar dari guha. Terbuktilah kelihaian pemuda itu. Suaranya menahan isak yang begitu lirih ternyata didengar pemuda itu dan gerakan pemuda itu meloncat bukan main ringannya, tahu tahu sudah berada di depannya dengan sikap mengancam dan bengis, siap hendak menyerang.

Akan tetapi agaknya pemuda itu kaget, heran, ragu dan jengah ketika melihat bahwa yang mengintai adalah seorang gadis cantik bukan seorang hwesio jubah merah. Dan wajah yang tampan dan penuh keheranan dan kedukaan itu tiba tiba menyeringai menahan sakit tubuhnya terguling dan ia roboh pingsan di depan kaki Song Goat.

Keinginan pertama yang memenuhi hati Song Goat adalah cepat cepat pergi meninggalkan tempat yang mengerikan itu. Akan tetapi watak yang dibentuk ayahnya semenjak kecil, watak yang ingin menolong orang yang sedang menderita sakit, watak yang ingin melawan segala macam penyakit yang hendak merenggut nyawa orang siapa pun adanya orang itu, membuat ia menekan perasaannya, memperbesar nyalinya dan ia segera meloncat ke dalam guha.

Ia membungkuk dan memeriksa nadi serta dada Po Leng In, hanya untuk mendapat keyakinan bahwa wanita itu tak dapat ditolong lagi, sudah tewas akibat racun yang menerobos melalui telapak tangan pemuda itu. Hawa beracun itu menerobos memasuki tubuhnya karena wanita ini tadi mengerahkan semua tenaga untuk merobohkan empat orang hwesio jubah merah. Dengan sendirinya, tubuhnya menjadi lemah dan kosong, tidak ada daya tahan sehingga penyaluran hawa sakti dari pemuda itu menerobos dan membawa sebagian besar hawa beracun pindah ke dalam tubuhnya!

Ketika Song Goat melirik ke arah empat orang hwesio jubah merah, tanpa memeriksa lagi ia sudah yakin bahwa mereka semua tewas dengan mata mendelik, mata terbuka lebar namun sama sekali tidak bergerak dan tidak ada cahayanya, mata orang-orang mati.

Ia menghela napas panjang. Tidak ada yang dapat ia kerjakan lagi di dalam guha yang menjadi kuburan lima orang itu, maka ia lalu menyambar tumpukan pakaian warna putih di dekat tumpukan pakaian warna merah, membawa pakaian itu keluar dan ia membungkuk lalu memeriksa detik nadi dan dada pemuda tampan itu.

Benar seperti diduganya, pemuda ini tertolong dari pinggang ke atas sudah bebas hawa beracun, akan tetapi di bagian bawah tubuhnya masih menghitam. Kalau tidak cepat mendapat pertolongan yang tepat, nyawa pemuda ini pun masih terancam bahaya maut.

Sebagai puteri tunggal Yok-sanjin, ia maklum bahwa hawa beracun yang meracuni pemuda ini aneh dan jahat bukan main. Dan sudah menjadi watak ayahnya apabila menghadapi penyakit atau racun yang amat jahat, makin jahat makin tertariklah hatinya, makin besar semangatnya untuk melawan dan mengalahkan penyakit atau racun itu!

Ia lalu mengenakan pakaian pemuda itu sedapatnya dengan perasaan jengah dan seberapa dapat tanpa melihat tubuh pemuda itu sehingga cara ia mengenakan pakaian itupun tidak karuan, seolah-olah tubuh pemuda itu hanya ia bungkus saja dengan pakaian putih itu. Kemudian ia mengempit tubuh pemuda itu, dikempit bagian pinggangnya dan pergilah Song Goat meninggalkan guha yang mengerikan tadi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar