Ads

Selasa, 17 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 101

Kembali kakek itu menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya.
“Dahulu, ayah pemuda itu adalah sahabat baikku. Yu Kang Tianglo pernah melihat Goat-ji di waktu anakku berusia satu tahun dan puteranya juga berusia satu tahun. Dan pada waktu itu, Yu Kang Tianglo mengikat jodoh antara kami, Goat-ji dan Siang Ki. Sudah bertahun-tahun aku membawa anakku merantau, mencari tunangannya. Akhirnya kami mendengar bahwa Yu Siang Ki telah menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang. Kami menyusul kesana akan tetapi dia sudah pergi. Kami mengikuti jejaknya terus sampai dapat berjumpa, bahkan menolongnya. Akan tetapi tadi pemuda itu menyatakan bahwa dia mencintamu dan tentu saja kau mengerti betapa hancur dan malu rasa hati Goat-ji....”

“Ahhh....!” Kwi Lan berseru kaget. “Kasihan sekali Enci Goat! Kenapa Siang Ki begitu tidak tahu aturan dan tidak mengenal budi?”

Melihat gadis itu kelihatan marah-marah, Song Hai memegang tangannya.
“Jangan kau persalahkan sahabatmu itu, Nona. Yu-pangcu sama sekali tidak tahu agaknya akan tali perjodohan yang ditentukan mendiang ayahnya itu. Karena melihat sikapnya yang berbudi, kurasa kalau dia tahu tentu dia tidak akan melakukan hal yang begitu menyakitkan hati Goat-ji. Sudahlah, urusan ini tidak perlu dipersoalkan, soal jodoh berada di tangan Thian. Manusia tidak berkuasa memaksakan. Selamat berpisah, Nona.”

Kakek itu membalikkan diri meninggalkan Kwi Lan. Akan tetapi baru saja berjalan beberapa langkah, ia membalik dan berkata.

“Anak, tolong kau sampaikan Gurumu. Kepadanya aku tadi tidak berani bicara karena khawatir menyinggungnya, akan tetapi mengingat engkau, Nona, maka wajib kuberitahukan agar kau sampaikan kepada Gurumu. Agar dia cepat-cepat menghilangkan semua tenaga sin-kang, menghentikan latihan dan tidak mengerahkan tenaga lagi agar nyawanya dapat tertolong.”

“Heee? Kenapa, Lopek?”

“Dia.... telah salah berlatih. Aku melihat cahaya maut di wajahnya, tanda bahwa hawa sakti yang terhimpun secara keliru di dalam tubuh meracuni darah dan merusak bagian dalam tubuhnya. Dan.... dan kau sendiri, Nona, karena kau masih muda dan kau kuat maka belum tampak tanda-tanda itu. Hanya mengingat keadaan Gurumu, bukan tidak mungkin engkau kelak akan terancam oleh bahaya yang sama. Maka lekas kau mencari guru yang sakti dan minta petunjuknya. Dalam hal ini, aku sendiri tak dapat memberi petunjuk. Ilmu silatku belum setinggi itu.”

Setelah berkata demikian, kakek itu membalikkan tubuh dan kali ini ia tidak menengok lagi sampai lenyap di balik pohon-pohon besar.

Kwi Lan tergesa-gesa kembali ke pondok. Ia melihat Yu Siang Ki telah berdiri di luar pondok, agaknya menanti-nanti kedatangannya. Begitu melihat munculnya gadis itu, Siang Ki tersenyum gembira dan berkata,

“Kwi Lan, kita harus cepat-cepat pergi dari sini, siapa tahu kalau-kalau iblis itu kembali lagi dan....”

Pemuda itu menghentikan kata-katanya karena melihat wajah gadis itu merah sekali dan sinar matanya seakan-akan dua batang pedang ditodongkan ke ulu hatinya.

“Eh.... eh...., ada apakah....?”

Kwi Lan berdiri di depan pemuda itu, tangan kiri bertolak pinggang, lengan kanan diulur ke depan dengan telunjuk ditudingkan hampir menyentuh hidung Yu Siang Ki, suaranya ketus ketika kata-katanya keluar menghambur dari bibir yang merah.

“Kau ini seorang yang sangat boceng-li!”

“Hah....?”

Siang Ki memandang bengong, benar-benar kaget, heran dan tidak mengerti mengapa tiada hujan tiada angin gadis ini marah-marah seperti kilat menyambar-nyambar, mengatakan ia bo-ceng-li (tak tahu aturan)!

“Kau tidak setia, tidak mengenal budi, dan berhati kejam!”

Kembali Kwi Lan menyerang dengan hardikannya tanpa mempedulikan keheranan dan kebingungan pemuda itu.






“Aahhh....?”

“Semenjak berusia setahun, kau telah ditunangkan dengan Enci Goat oleh mendiang Ayahmu!”

“Ehhh....?”

“Enci Goat dan Ayahnya bertahun-tahun mencarimu, setelah bertemu mereka telah menyelamatkan nyawamu. Akan tetapi, apa yang kau lakukan kepadanya? Di depan Enci Goat, kau secara bo-ceng-li sekali menyatakan bahwa kau mencintaku!”

“Ohhhh....?”

“Huh! Bisanya cuma ah-eh-oh! Laki-laki macam apa kau ini? Tidak setia, tidak mengenal budi, malah menghancurkan hati Enci Goat yang begitu baik! Kalau tidak ingat engkau sahabatku, sekarang juga sudah kutusuk dadamu, kukeluarkan hatimu!”

“Eeee-eeeh, nanti dulu Kwi Lan. Apa artinya semua ini? Tentang tunangan itu, dalam usia setahun, bagaimana pula ini? Sungguh aku tidak mengerti....”

“Benar kau tidak mengerti? Kau tidak tahu? Berani kau bersumpah bahwa kau tidak tahu akan ikatan jodoh antara kau dan Enci Goat? Bersumpahlah kalau kau berani menyangkal!”

“Sungguh mati aku tidak tahu seujung rambut pun. Kalau aku tahu dan menyangkal, biarlah aku disambar geledek!”

“Huh, enak saja laki-laki bersumpah. Di hari terang seperti ini, tiada hujan tiada angin, mana mungkin ada geledek?”

Siang Ki menahan senyum di hatinya yang perih. Ah, Kwi Lan, kau tidak tahu betapa miripnya kau dengan sinar kilat menyambar-nyambar ketika datang-datang marah tiada ujung pangkalnya, indah gemilang seperti kilat, namun amat berbahaya dan sambarannya kini sudah terasa nyeri jantungnya.

“Sungguh Kwi Lan. Mendiang Ayahku tidak pernah bicara sesuatu mengenai hal itu. Bagaimana kau bisa tahu akan pertunanganku itu? Siapa yang memberitahu kepadamu?”

Melihat sinar mata pemuda itu, Kwi Lan percaya bahwa memang benar Siang Ki belum tahu akan tali perjodohan yang mengikatnya, maka dengan suara yang lebih sabar ia lalu menceritakan pertemuannya dengan Song Hai dan tentang cerita kakek itu.

“Karena mendiang Ayahmu sendiri yang menentukan ikatan jodoh, tentu saja sejak kecil Enci Goat sudah menganggap dirinya calon isterimu, demikian pula Song-lopek tidak memandang lain pemuda karena menganggap kau sebagai calon mantu.”

“Ah...., akan tetapi mengapa mereka tidak mau memberitahu kepadaku? Sungguh mati, Kwi Lan. Andaikata aku tahu, betapapun hancur hatiku, kiranya aku tidak akan begitu keji untuk menyatakan cinta kasihku kepadamu di depan mereka. Aduh, Kwi Lan, aku menjadi bingung sekali, aku menjadi malu kepada mereka. Katakanlah, Kwi Lan, engkau yang sudah tahu rahasia hatiku, engkau satu-satunya wanita yang pernah kucinta, apakah yang harus kulakukan sekarang?” Dengan lemas Siang Ki menjatuhkan diri, duduk di atas tanah dengan wajah muram.

Betapapun juga, di dalam hatinya Kwi Lan amat suka kepada pemuda yang ia tahu amat baik ini. Agaknya tidak akan sukar baginya untuk memperdalam rasa suka ini menjadi rasa cinta, kalau saja dia diberi waktu dan kesempatan. Akan tetapi pengertian bahwa pemuda ini adalah “hak milik” Song Goat, tentu saja menghapus semua bibit-bibit cinta dari hatinya. Ia merasa kasihan, lalu duduk pula di atas tanah, menyentuh lengan pemuda itu sambil berkata, suaranya halus.

“Siang Ki, kemana perginya sifat gagahmu? Mungkinkah seorang pendekar muda seperti engkau, seorang Ketua Khong-sim Kai-pang, menjadi begini lemah hanya oleh urusan yang menyangkut perasaanmu sendiri? Hayo usirlah semua kebingungan dan kedukaanmu. Lihat baik-baik, Siang Ki. Aku tidak mencintamu, aku tidak mungkin bisa cinta kepadamu, kecuali sebagai seorang adik. Seorang gagah seperti engkau sudah sepatutnya menjunjung tinggi nama Ayahmu dan memenuhi janji Ayahmu, juga harus kau jaga masa depan Enci Goat yang tentu saja selamanya tidak akan sudi menikah dengan orang lain karena sejak kecil sudah merasa menjadi jodohmu. Sekarang Enci Goat melarikan diri dalam keadaan duka dan merana. Kewajibanmulah untuk mencarinya dan menyambung kembali ikatan yang kau putus tanpa kau ketahui.”

“Kemana.... aku harus mencarinya?”

“Entahlah, aku sendiri akan pergi ke kota raja, memenuhi pesan Bibi Sian.”

“Aku sedang mencari Paman Suling Emas. Apakah kau tidak jadi pergi ke Khitan?”

“Tentu jadi nanti, setelah selesai urusanku memenuhi pesan Bibi Sian di kota raja.”

“Kalau begitu, kita dapat melakukan perjalanan bersama!”

Kwi Lan memandang pemuda itu dengan kening berkerut karena melihat seri gembira pada wajah itu.

“Yu Siang Ki! Masih belum sadarkah engkau daripada lamunanmu yang kosong! Engkau adalah calon suami Enci Goat, jangan kau harap untuk aku.... aku....”

Siang Ki tersenyum duka dan menggeleng kepala.
“Betapa pun perih hatiku, aku harus membenarkan pendapatmu dan aku tidak akan bertindak bodoh menurutkan hati dan perasaan, Kwi Lan. Tidak, aku hanya ingin melakukan perjalanan bersamamu, pertama karena dengan demikian kita akan lebih kuat menghadapi musuh-musuh yang lihai. Kedua, kalau sampai kita dapat berjumpa dengan.... Nona Goat, hanya engkaulah yang dapat menolongku untuk menerangkannya tentang.... eh, tentang kebodohanku. Kalau bukan kau yang. menjelaskannya, tentu ia tidak percaya kepadaku.”

Kwi Lan berpikir sebentar lalu mengangguk.
“Alasanmu memang kuat. Baiklah, kita melakukan perjalanan bersama. Akan tetapi, awas dan ingat, aku hanya seorang sahabat dan kita saling mencinta seperti kakak beradik.”

Kemudian Siang Ki menarik napas panjang melepaskan kedukaan hatinya.
“Sejak detik ini kau sudah kuanggap seorang gi-moi (adik angkat karena ikatan budi).”

“Baiklah, kau menjadi gi-heng (kakak angkat). Mari kita berangkat, sedapat mungkin kita kejar Enci Goat.”

Tanpa menjawab Siang Ki lalu meloncat bangun dan pergilah dua orang muda itu meninggalkan hutan.

**** 101 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar