Ads

Senin, 16 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 100

Dia tentu saja tidak mau memusuhi orang-orang seperti Suling Emas, akan tetapi ia sama sekali tidak ada hubungan dengan Yu Kang Tianglo ataupun puteranya. Maka kalau ia hendak mengumpulkan jasa untuk mengalahkan empat orang yang lain dari Bu-tek Ngo-sian, ia boleh mulai dengan putera Yu Kang Tianglo yang menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang ini.

“Hemm, jembel muda ini Ketua Khong-sim Kai-pang? Begini muda menjadi pangcu? Hendak kulihat sampai dimana kemampuannya!”

Setelah berkata demikian, tiba-tiba tangan kanan Kam Sian Eng bergerak, secepat kilat tangan itu sudah menampar dengan jari tangan terbuka ke arah dada Yu Siang Ki!

“Bibi....!”

Kwi Lan menjerit, mengenal pukulan itu yang bukan lain adalah Siang-tok-ciang! Di tangan gurunya, Siang-tok-ciang ini hebat bukan main karena ketika berlatih, kalau dia dengan pengerahan tenaga seluruhnya hanya mampu memukul pohon menjadi layu daun-daunnya, adalah gurunya ini sekali pukul membuat pohon itu mati seketika karena hangus sebelah dalamnya!

Yu Siang Ki bukanlah seorang muda yang bodoh. Dia cukup waspada dan tahu betapa hebat dan berbahayanya pukulan itu yang meniupkan hawa panas dan bau yang wangi. Cepat ia mengelak dengan jalan melempar tubuhnya ke belakang. Betapa pun cepat gerakannya mengelak ini, namun hawa pukulan dari tangan Kam Sian Eng tetap saja menyerempet pundaknya, membuat tubuh pemuda itu bergulingan akan tetapi ia terbebas daripada bahaya maut.

Bibir Kam Sian Eng tersenyum dan makin gelisah hati Kwi Lan. Ia tentu saja mengenal senyum gurunya ini, senyum maut karena senyum ini berarti bahwa gurunya merasa tersinggung dan marah sekali melihat betapa pukulannya dapat dielakkan. Ia melangkah maju dan kembali tangannya bergerak hendak memukul dengan Siang-tok-ciang yang lebih hebat.

“Bibi, jangan....!”

Akan tetapi pukulan sudah dilancarkan dan terpaksa Kwi Lan berkelebat maju sambil mengangkat tangannya menangkis.

“Plakk!!”

Dan tubuh gadis itu bergulingan sampai lima meter jauhnya, dimana ia meloncat bangun, wajahnya agak pucat, akan tetapi tidak terluka.

Sian Eng sejenak berdiri seperti patung memandang muridnya, sinar matanya makin dingin, senyumnya melebar.

“Bibi, kau tidak boleh membunuh Yu Siang Ki. Dia tidak bersalah apa-apa, mengapa dibunuh?”

“Dia....apamu?” tanya Sian Eng, suaranya penuh kemarahan yang ditahan-tahan.

“Dia sahabat baikku, Bibi. Banyak kualami suka duka, kualami bahaya maut di sampingnya, dia pernah menolongku dan....”

Sejak tadi Sian Eng memang sudah merasa kecewa dan marah kepada Kwi Lan, yaitu ketika ia diejek oleh Siauw-bin Lo-mo bahwa dia tunduk kepada muridnya. Kini kejengkelan hatinya itu makin menjadi-jadi seperti api disiram minyak oleh perbuatan Kwi Lan yang dengan nekat berani menangkis pukulannya dan menghalangi dia turun tangan terhadap Yu Siang Ki.

Marah dan kecewa apalagi melihat betapa tukang obat dan gadisnya memandang dengan muka jelas berpihak kepada Kwi Lan. Watak Sian Eng memang aneh dan ganas, makin ditentang makin ganas dan kini kemarahan hatinya membuat gilanya kumat dan ia tidak peduli atau tidak ingat lagi bahwa Kwi Lan adalah muridnya, juga keponakannya. Ia kini maju mendekati Kwi Lan dan membentak.

“Setan cilik! Berani kau menentang aku? Dua kali kau menghina Gurumu sendiri, tahukah kau apa hukumannya untuk itu?”

Kwi Lan menjatuhkan dirinya berlutut. Ia seorang pemberani, tidak takut mati dan tidak takut melawan siapapun juga. Akan tetapi tak mungkin ia mau melawan gurunya yang mendidiknya sejak ia masih kecil. Ia pun tahu bahwa sekali gurunya marah seperti ini, biarpun ia melawan juga tidak ada gunanya, lari pun percuma.

“Bibi, kebaikanmu tidak cukup kubalas dengan nyawa. Kalau kau menghendaki, aku bersedia menerima hukuman apapun juga, bahkan kematian tidak akan membikin aku menyesal. Silakan!”






Sian Eng tercengang. Dia berwatak aneh, keras dan ganas. Akan tetapi melihat betapa Kwi Lan menantang maut dengan sikap sedingin dan setenang ini, ia terkejut juga, terkejut dan kagum. Akan tetapi hanya untuk sesaat karena kemarahannya kembali memuncak.

“Kau sudah berani menangkis pukulanku, nah, kaucobalah tangkis ini!” Tangan kanannya bergerak menyambar ke arah kepala Kwi Lan yang menunduk.

“Wuuuutttt.... prakkkk....!”

Hancur luluh tongkat di tangan Yu Siang Ki ketika ia pergunakan untuk menangkis tangan Siang Eng dalam usahanya menolong Kwi Lan yang terancam bahaya maut. Ia sendiri terhuyung kebelakang. Akan tetapi pemuda ini sudah melompat maju lagi, membusungkan dada menantang kepada Sian Eng.

“Cianpwe, tidak semestinya membunuh Kwi Lan karena dia tidak berdosa. Kalau dia menolong saya dianggap salah oleh Cianpwe, maka kesalahannya adalah karena saya dan saya bersedia menerima hukumannya, sekali-kali bukan Kwi Lan yang harus menanggung.”

Kam Sian Eng tercengang. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pengemis muda ini begini nekat, berani menangkis pukulannya dan melindungi Kwi Lan. Ia makin marah, akan tetapi keheranannya melihat pembelaan pemuda itu kepada muridnya, membuat ia ragu-ragu untuk turun tangan dan sebaliknya ia membentak.

“Mengapa kau membela dia? Dia apamu?”

Yu Siang Ki tersenyum duka dan menggeleng kepalanya.
“Memang bukan apa-apa, Cianpwe. Akan tetapi saya siap untuk mempertaruhkan nyawa untuknya.”

Terdengar isak tertahan yang keluar dari kerongkongan Song Goat. Gadis ini ternyata telah menangis perlahan sambil menutupi mukanya. Ayahnya sudah berdiri di sampingnya dan merangkul pundak puterinya, wajah kakek ini pun diliputi kedukaan.

“Hemm....! Kau.... kau mencinta Kwi Lan?”

Kwi Lan sendiri memandang dengan mata terbelalak. Semua orang memandang kepada Siang Ki dan keadaan di situ hening oleh ketegangan menanti jawaban Siang Ki yang ditanya secara terus terang oleh wanita berkerudung yang menyeramkan itu.

“Benar! Saya mencinta Kwi Lan dan siap mati untuknya!” jawab Siang Ki kemudian dengan suara tenang.

Kembali Song Goat terisak, kini menangis tersedu-sedu dan meronta dari rangkulan ayahnya, terus melarikan diri sambil menangis.

“Goat-ji (Anak Goat)....!”

Song Hai kakek ahli obat itu lalu lari mengejar puterinya setelah ia memandang ke arah Yu Siang Ki dengan sinar mata mengandung penyesalan.

“Bibi, apakah Bibi masih berkeras hendak membunuh kami? Silakan!”

Kwi Lan berkata, nada suaranya marah dan ia menantang dengan nekat sedangkan Yu Siang Ki memandang dengan sikap tenang.

Kam Sian Eng ragu-ragu,
“Hemm, kau mencinta Kwi Lan? Eh, Kwi Lan, apakah kau juga mencinta pemuda jembel ini?”

Orang yang dicinta Kam Sian Eng dahulu adalah seorang putera pangeran, maka tentu saja ia memandang rendah kepada Yu Siang Ki yang biarpun tampan namun berpakaian jembel.

“Cinta....?” Kwi Lan menggeleng kepala. “Aku tidak tahu...., aku tidak mencinta siapa-siapa, akan tetapi Siang Ki amat baik kepadaku dan pernah menolongku. Yang sudah jelas, dia adalah sahabat baikku, Bibi.”

Sinar mata kemarahan di balik kerudung itu berseri sebentar. Di sudut benaknya, wanita aneh ini tentu saja tidak ingin mendengar Kwi Lan mencinta laki-laki lain karena sudah ia harapkan untuk menjadi isteri puteranya!

“Bagus, biarlah kuampunkan nyawa jembel muda ini. Akan tetapi kau harus segera menyusul Suhengmu.”

Biarpun sejak kecil sering cekcok dengan Suma Kiat putera tunggal gurunya, akan tetapi karena sejak kecil menjadi teman bermain, Kwi Lan gembira mendengar ini.

“Dimana adanya Suma-suheng?”

“Di kota raja Kerajaan Sung. Kau lekaslah menyusul kesana. Awas kalau kau tidak berada disana dalam waktu dua bulan.” Setelah berkata demikian tubuh wanita berkerudung ini berkelebat dan lenyap dari situ.

Kwi Lan dan Siang Kwi saling pandang. Baru saja mereka terlepas dari bahaya maut yang sudah mengancam hebat. Siang Ki yang tadinya amat tegang, kini menarik napas panjang.

“Hebat.... Gurumu hebat....”

Katanya dan terasalah kini oleh pemuda itu betapa tubuhnya masih amat lemah, biarpun rasa nyeri sudah hilang.

“Ah, kemana perginya Enci Goat tadi? Siang Ki, kau mengasolah di pondok, biar aku mengejar mereka!”

Tanpa menanti jawaban Siang Ki, Kwi Lan lalu melompat jauh dan mengerahkan gin-kang dan berlari secepat larinya kijang memasuki hutan dimana tadi ia melihat Song Goat melarikan diri kemudian dikejar ayahnya. Jauh di dalam hutan, Kwi Lan mendapatkan kakek Song itu berdiri seperti arca, mukanya pucat dan diliputi awan kedukaan, bahkan ada bintik-bintik air mata di kedua pipinya!

“Song-lopek! Ada apakah? Mana Enci Goat?”

Kakek itu tidak menjawab, hanya menudingkan telunjuk kanannya ke batang pohon di depannya. Kwi Lan memandang dan ternyata di pohon itu terdapat sehelai saputangan sutera putih yang tertusuk jarum keempat ujungnya dan saputangan itu ada tulisannya, agaknya ditulis dengan ranting pohon dengan tinta getah pohon.

“Ayah, biarkan anak merantau melupakan duka. Sampai jumpa.”

“Eh, apa artinya semua ini, Lopek? Adakah ini saputangan Enci Goat? Tulisannya?” tanya Kwi Lan yang masih belum mengerti.

Song Hai mengangguk dan menarik napas panjang.
“Kalau aku mau, tentu saja aku akan dapat mengejarnya sampai tersusul. Akan tetapi apa gunanya? Sejak kecil dia berkeras hati. Dan dia tulis sampai jumpa, berarti kelak ia akan kembali kepada ayahnya....” Muka yang tua itu kelihatan berduka sekali. “Biarlah aku menunggu..., menunggu dan mengharap.... dan berdoa semoga Thian Yang Maha Adil akan memberi jalan kepada Anakku....“

“Akan tetapi.... mengapa Enci Goat melarikan diri? Mengapa kalian berduka?”

Tiba-tiba kakek itu membalikkan tubuh memandangnya dengan tajam sambil bertanya, suaranya tegas,

“Nona apakah.... maaf, apakah kau mencinta. Yu Siang Ki?”

Kwi Lan melongo dan wajahnya menjadi merah. Untung ia teringat bahwa kakek ini telah menolong dia dan Siang Ki, kalau tidak, tentu pertanyaan itu akan dianggapnya kurang ajar. Ia hanya terheran mengapa kakek ini bertanya demikian, lebih heran lagi karena baru saja gurunya pun bertanya demikian.

“Aku tidak tahu, Lopek. Aku suka kepadanya tentu saja karena dia seorang yang baik, dia seorang sahabatku. Akan tetapi cinta....? Ah, aku sendiri tidak tahu apakah itu cinta, kurasa aku tidak mencinta siapa-siapa.”

Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira dan ia memegang tangan Kwi Lan.
“Ah, alangkah lega dan girang hatiku, Nona. Tapi.... tapi.... ah, apa bedanya? Dia tetap saja mencintamu.”

“Kalau begitu mengapa, Lopek? Mengapa pernyataan cinta Siang Ki kepadaku begini mendukakan hati Enci Goat dan kau?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar