Kakek itu kelihatan pucat dan ketakutan.
“Celaka.... celaka.... mereka akan membawa Siu Si! Celaka, ya Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang itu....?” Suaranya bercampur tangis kebingungan.
“Lopek yang baik, siapakah itu Siu Si? Dan mengapa mereka hendak membawanya?”
Ditanya oleh pemuda bongkok itu, kakek itu yang sudah putus harapan, berkata,
“Namaku Kwan Sun, hidupku hanya dengan cucuku Siu Si, gadis berusia tujuh belas tahun yang sudah yatim piatu. Memang sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada cucuku dan beberapa kali dia ingin mengambil cucuku sebagai selir, akan tetapi selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka! Ahh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie) masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya....”
Ucapan terakhir ini membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. Ayahnya sudah tidak ada, akan tetapi dia, puteranya, masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.
“Hayo, lopek, kenapa tinggal diam saja? Cucumu tidak boleh diganggu orang, aku akan membantumu!” Berkata demikian, Sie Liong menarik tangan kakek itu diajak berjalan cepat.
Kakek itu tetap ketakutan dan meragukan kemampuan pemuda bongkok ini untuk mengajaknya menentang tukang-tukang pukul yang ganas dan kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan ancaman bahaya bagi cucunya, diapun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan menuju ke rumahnya. Di sepanjang jalan, banyak penduduk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela dan mereka itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali,
“Awas, Lo Kwan, cucumu....!”
“Mereka kesana....”
“Hati-hatilah, Lo Kwan, kepala dusun mengincar cucumu....!”
Dari sikap mereka itu, Sie Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini, akan tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani bicara terang-terangan, bahkan agaknya tidak berani keluar dari rumah masing-masing melihat ada tiga orang tukang pukul kepala dusun menuju ke rumah kakek Kwan!
Akhirnya mereka tiba di depan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan pada saat itu terdengar jerit tangis cucunya, dan seorang diantara tiga tukang pukul itu, yang berhidung besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah memegangi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah. Ketika gadis berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walaupun pakaiannya amat sederhana, melihat kakeknya, ia berteriak sambil menangis.
“Kong-kong, tolonglah aku....!”
Ia meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang didapatkan karena pegangan si hidung besar itu sungguh erat sekali.
Melihat cucunya meronta dan menangis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya. Dia tidak marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak, akan tetapi melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.
“Lepaskan cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku? Hayo lepaskan Siu Si....!” teriaknya sambil mendekati si hidung besar dan berusaha membebaskan cucunya.
Akan tetapi, kaki yang panjang dan besar itu menendang dan tubuh Kwan Sun terlempar dan terguling-guling. Si hidung besar tertawa.
“Ha-ha-ha, apakah kau bosan hidup? Gadis ini kujadikan sandera, dan kalau engkau ingin melihat dia bebas, bayarlah hutangmu pada majikan kami!”
Dia memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah merasa puas menghancurkan pintu dan jendela rumah kecil itu, dan menyeret tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan menangis melihat kakeknya ditendang roboh.
“Kawan, perlahan dulu!”
Tiba-tiba Sie Liong sudah menghadang di depan si hidung besar. Sikapnya tenang, akan tetapi matanya mencorong. Melihat ada orang berani menghadangnya, si hidung benar memandang heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang yang punggungnya bongkok ini.
“Siapa engkau dan mau apa kau menghadangku?” bentaknya marah.
“Sobat, urusan hutang pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau suka membebaskannya,” kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.
Marahlah si hidung besar.
“Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?” Dia menunjuk ke arah hidungnya yang besar. “Apa kau ingin mampus? Kalau aku tidak mau membebaskan gadis ini, engkau mau apa?”
Sie Liong mengerutkan alisnya.
“Sungguh engkau telah menyeleweng dari kebenaran. Kalau tidak kau bebaskan, terpaksa aku akan memaksamu membebaskannya.”
“Hah??”
Si hidung besar membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh,
“Kau.... kau.... setan bongkok ini sungguh lancang mulut!” Dia menoleh kepada dua orang kawannya dan membentak. “Hajar mampus setan bongkok ini!”
Dua orang temannya itu adalah orang yang pekerjaannya memang tukang memukul dan menyiksa orang. Tidak ada kesenangan yang lebih mengasikkan bagi mereka melebihi menghajar orang lain. Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa dari pada yang mereka pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka yang kejam.
Selain itu, mendatangkan pula uang karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari kepala dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apalagi harus menghajar seorang pemuda bongkok! Pekerjaan kecil yang amat mudah, pikir mereka.
Dengan lagak bagaikan jagoan benar-benar, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong sambil menyeringai. Apalagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak memperlihatkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan seorang pemuda bongkok sederhana saja.
“Sekali pukul bongkokmu itu akan pindah ke depan!” seorang diantara mereka mengejek.
“Tidak, biar kupukul sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari Mongol!”
Orang ke dua memperoloknya. Namun, Sie Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan mereka, dan memang dia tahu bahwa dua orang itu hanyalah gentung-gentung kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya.
Dua orang itu agaknya hendak bersaing dan berlumba siapa yang akan lebih dulu merobohkan Sie Liong, maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam ke arah kepala Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah dada pemuda bongkok itu.
Sie Liong melihat datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja amat lambat datangnya. Dia seolah tidak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang itu dekat dan pukulan mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia mengembangkan kedua lengannya dan.... dua orang itu terlempar ke kanan kiri sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sampai berdebuk suaranya dan debu mengebul ketika pantat mereka rerbanting keras ke atas tanah.
Dua orang itu meringis dan tangan mereka mengelus pantat yang amat nyeri itu, akan tetapi perasaan malu dan marah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka sudah meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun dan cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.
“Tuan-tuan.... jangan bunuh orang....!” kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok yang menolongnya itu akan menjadi korban golok mereka. “Orang muda, pergilah, larilah....!”
Akan tetapi, tentu saja dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak memperdulikannya, dan Sie Liong menoleh kepada Kwan Sun.
“Lopek yang baik, jangan khawatir. Mereka ini adalah orang-orang jahat yang mengandalkan kekerasan untuk menindas orang, mereka patut dihajar....”
Baru saja dia bicara demikian, dua orang yang mempergunakan kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun, sudah menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri!
Kwan Sun dan cucunya memejamkan kedua mata saking ngerinya, tidak tahan melihat betapa tubuh pemuda bongkok itu akan menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah. Akan tetapi, dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu luput! Dan sebelum dua orang penyerangnya sempat menarik kembali golok mereka, kembali Sie Liong mengembangkan ke dua lengannya.
“Plak! Plakkk!”
Kini dua tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka terpental dan terbanting keras sampai mengeluarkan bunyi “ngek! ngek!” dan mereka kini tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua tangan menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah lenyap kemana.
Kini si hidung besar terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang pergelangan tangan Kwan Siu Si, dan tangan kanan mencabut golok lalu ditempelkan kepada leher gadis itu!
“Setan bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!” bentaknya.
Sie Liong menggelengkan kepalanya dan melangkah maju menghampiri.
“Tidak, engkau tidak akan membunuh gadis itu!”
Katanya dan tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dan biarpun jaraknya dengan orang itu masih ada dua meter, namun sambaran angin pukulannya mengenai pundak kanan si hidung besar dan tanpa dapat dihindarkan lagi, si hidung besar yang tiba-tiba merasa lengannya tergetar dan kehilangan tenaga melepaskan goloknya.
Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong sudah melangkah di depannya. Dia masih mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya menyambut Sie Liong dengan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap pergelangan tangannya dan mencengkeram.
“Aduh.... aduhhh.... aughhhhh!”
Si hidung besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang dicengkeram pemuda bongkok itu. Dilain saat, Sie Liong sudah mandorongnya dan tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak dapat bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan!
Melihat ini, dua orang temannya cepat menghampirinya, lalu menggotongnya dan tanpa menoleh lagi, mereka berdua lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan.
Melihat kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie Liong.
“Taihiap.... mata kami buta, harap maafkan....” kata Kwan Sun. “Kami tidak tahu bahwa taihiap memiliki kepandaian tinggi dan telah menyelamatkan kami, akan tetapi.... harap taihiap cepat pergi dari sini.... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersama gerombolannya....”
Sie Liong tersenyum dan merasa suka kepada kakek itu. Biarpun dirinya sendiri dan cucunya terancam, kakek itu masih sempat mengkhawatirkan dirinya dan tadipun menganjurkan agar dia melarikan diri agar tidak sampai celaka di tangan orang-orang jahat itu.
“Bangkitlah, lopek,” katanya sambil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun. “Engkau juga, nona. Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun kesini, terutama kaum prianya dan yang masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat lopek, sebelum kepala dusun jahat itu muncul!”
“Celaka.... celaka.... mereka akan membawa Siu Si! Celaka, ya Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang itu....?” Suaranya bercampur tangis kebingungan.
“Lopek yang baik, siapakah itu Siu Si? Dan mengapa mereka hendak membawanya?”
Ditanya oleh pemuda bongkok itu, kakek itu yang sudah putus harapan, berkata,
“Namaku Kwan Sun, hidupku hanya dengan cucuku Siu Si, gadis berusia tujuh belas tahun yang sudah yatim piatu. Memang sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada cucuku dan beberapa kali dia ingin mengambil cucuku sebagai selir, akan tetapi selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka! Ahh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie) masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya....”
Ucapan terakhir ini membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. Ayahnya sudah tidak ada, akan tetapi dia, puteranya, masih ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.
“Hayo, lopek, kenapa tinggal diam saja? Cucumu tidak boleh diganggu orang, aku akan membantumu!” Berkata demikian, Sie Liong menarik tangan kakek itu diajak berjalan cepat.
Kakek itu tetap ketakutan dan meragukan kemampuan pemuda bongkok ini untuk mengajaknya menentang tukang-tukang pukul yang ganas dan kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan ancaman bahaya bagi cucunya, diapun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan menuju ke rumahnya. Di sepanjang jalan, banyak penduduk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela dan mereka itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali,
“Awas, Lo Kwan, cucumu....!”
“Mereka kesana....”
“Hati-hatilah, Lo Kwan, kepala dusun mengincar cucumu....!”
Dari sikap mereka itu, Sie Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini, akan tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani bicara terang-terangan, bahkan agaknya tidak berani keluar dari rumah masing-masing melihat ada tiga orang tukang pukul kepala dusun menuju ke rumah kakek Kwan!
Akhirnya mereka tiba di depan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan pada saat itu terdengar jerit tangis cucunya, dan seorang diantara tiga tukang pukul itu, yang berhidung besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah memegangi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah. Ketika gadis berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walaupun pakaiannya amat sederhana, melihat kakeknya, ia berteriak sambil menangis.
“Kong-kong, tolonglah aku....!”
Ia meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang didapatkan karena pegangan si hidung besar itu sungguh erat sekali.
Melihat cucunya meronta dan menangis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya. Dia tidak marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak, akan tetapi melihat cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.
“Lepaskan cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku? Hayo lepaskan Siu Si....!” teriaknya sambil mendekati si hidung besar dan berusaha membebaskan cucunya.
Akan tetapi, kaki yang panjang dan besar itu menendang dan tubuh Kwan Sun terlempar dan terguling-guling. Si hidung besar tertawa.
“Ha-ha-ha, apakah kau bosan hidup? Gadis ini kujadikan sandera, dan kalau engkau ingin melihat dia bebas, bayarlah hutangmu pada majikan kami!”
Dia memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah merasa puas menghancurkan pintu dan jendela rumah kecil itu, dan menyeret tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan menangis melihat kakeknya ditendang roboh.
“Kawan, perlahan dulu!”
Tiba-tiba Sie Liong sudah menghadang di depan si hidung besar. Sikapnya tenang, akan tetapi matanya mencorong. Melihat ada orang berani menghadangnya, si hidung benar memandang heran penuh perhatian karena dia tidak mengenal orang yang punggungnya bongkok ini.
“Siapa engkau dan mau apa kau menghadangku?” bentaknya marah.
“Sobat, urusan hutang pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau suka membebaskannya,” kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.
Marahlah si hidung besar.
“Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?” Dia menunjuk ke arah hidungnya yang besar. “Apa kau ingin mampus? Kalau aku tidak mau membebaskan gadis ini, engkau mau apa?”
Sie Liong mengerutkan alisnya.
“Sungguh engkau telah menyeleweng dari kebenaran. Kalau tidak kau bebaskan, terpaksa aku akan memaksamu membebaskannya.”
“Hah??”
Si hidung besar membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh,
“Kau.... kau.... setan bongkok ini sungguh lancang mulut!” Dia menoleh kepada dua orang kawannya dan membentak. “Hajar mampus setan bongkok ini!”
Dua orang temannya itu adalah orang yang pekerjaannya memang tukang memukul dan menyiksa orang. Tidak ada kesenangan yang lebih mengasikkan bagi mereka melebihi menghajar orang lain. Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat, lebih pandai dan lebih berkuasa dari pada yang mereka pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam hati mereka yang kejam.
Selain itu, mendatangkan pula uang karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari kepala dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apalagi harus menghajar seorang pemuda bongkok! Pekerjaan kecil yang amat mudah, pikir mereka.
Dengan lagak bagaikan jagoan benar-benar, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong sambil menyeringai. Apalagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak memperlihatkan sikap sebagai seorang ahli berkelahi, melainkan seorang pemuda bongkok sederhana saja.
“Sekali pukul bongkokmu itu akan pindah ke depan!” seorang diantara mereka mengejek.
“Tidak, biar kupukul sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari Mongol!”
Orang ke dua memperoloknya. Namun, Sie Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan mereka, dan memang dia tahu bahwa dua orang itu hanyalah gentung-gentung kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya.
Dua orang itu agaknya hendak bersaing dan berlumba siapa yang akan lebih dulu merobohkan Sie Liong, maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam ke arah kepala Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah dada pemuda bongkok itu.
Sie Liong melihat datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja amat lambat datangnya. Dia seolah tidak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang itu dekat dan pukulan mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia mengembangkan kedua lengannya dan.... dua orang itu terlempar ke kanan kiri sampai beberapa meter jauhnya dan terbanting ke atas tanah sampai berdebuk suaranya dan debu mengebul ketika pantat mereka rerbanting keras ke atas tanah.
Dua orang itu meringis dan tangan mereka mengelus pantat yang amat nyeri itu, akan tetapi perasaan malu dan marah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka sudah meloncat bangun dan kini dengan gemas mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing. Sinar golok yang berkilauan membuat Kwan Sun dan cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian.
“Tuan-tuan.... jangan bunuh orang....!” kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok yang menolongnya itu akan menjadi korban golok mereka. “Orang muda, pergilah, larilah....!”
Akan tetapi, tentu saja dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak memperdulikannya, dan Sie Liong menoleh kepada Kwan Sun.
“Lopek yang baik, jangan khawatir. Mereka ini adalah orang-orang jahat yang mengandalkan kekerasan untuk menindas orang, mereka patut dihajar....”
Baru saja dia bicara demikian, dua orang yang mempergunakan kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun, sudah menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri!
Kwan Sun dan cucunya memejamkan kedua mata saking ngerinya, tidak tahan melihat betapa tubuh pemuda bongkok itu akan menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah. Akan tetapi, dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu luput! Dan sebelum dua orang penyerangnya sempat menarik kembali golok mereka, kembali Sie Liong mengembangkan ke dua lengannya.
“Plak! Plakkk!”
Kini dua tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka terpental dan terbanting keras sampai mengeluarkan bunyi “ngek! ngek!” dan mereka kini tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua tangan menekan-nekan pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk bangkit duduk akan tetapi terguling lagi dan golok mereka entah lenyap kemana.
Kini si hidung besar terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang pergelangan tangan Kwan Siu Si, dan tangan kanan mencabut golok lalu ditempelkan kepada leher gadis itu!
“Setan bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!” bentaknya.
Sie Liong menggelengkan kepalanya dan melangkah maju menghampiri.
“Tidak, engkau tidak akan membunuh gadis itu!”
Katanya dan tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dan biarpun jaraknya dengan orang itu masih ada dua meter, namun sambaran angin pukulannya mengenai pundak kanan si hidung besar dan tanpa dapat dihindarkan lagi, si hidung besar yang tiba-tiba merasa lengannya tergetar dan kehilangan tenaga melepaskan goloknya.
Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong sudah melangkah di depannya. Dia masih mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya menyambut Sie Liong dengan pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap pergelangan tangannya dan mencengkeram.
“Aduh.... aduhhh.... aughhhhh!”
Si hidung besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada pergelangan tangan Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang dicengkeram pemuda bongkok itu. Dilain saat, Sie Liong sudah mandorongnya dan tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak dapat bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan!
Melihat ini, dua orang temannya cepat menghampirinya, lalu menggotongnya dan tanpa menoleh lagi, mereka berdua lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan.
Melihat kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie Liong.
“Taihiap.... mata kami buta, harap maafkan....” kata Kwan Sun. “Kami tidak tahu bahwa taihiap memiliki kepandaian tinggi dan telah menyelamatkan kami, akan tetapi.... harap taihiap cepat pergi dari sini.... kepala dusun Bouw tentu akan datang bersama gerombolannya....”
Sie Liong tersenyum dan merasa suka kepada kakek itu. Biarpun dirinya sendiri dan cucunya terancam, kakek itu masih sempat mengkhawatirkan dirinya dan tadipun menganjurkan agar dia melarikan diri agar tidak sampai celaka di tangan orang-orang jahat itu.
“Bangkitlah, lopek,” katanya sambil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun. “Engkau juga, nona. Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun kesini, terutama kaum prianya dan yang masih muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat lopek, sebelum kepala dusun jahat itu muncul!”
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar