Ads

Minggu, 01 Desember 2019

Pendekar Bongkok Jilid 036

Ang-in-kok atau Lembah Awan Merah merupakan sebutan bagi sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Kun-lun-san. Bukit yang puncaknya disebut Ang-in-kok ini berada di ujung barat dan mungkin karena pemandangan di puncak ini waktu senja amatlah indahnya, dimana orang dapat menikmati keindahan matahari terbenam di ufuk barat, membuat angkasa seperti kebakaran dan kemerahan, maka puncak ini disebut Ang-in-kok. Letaknya jauh dari pusat Kun-lun-pai yang agak ke timur dari Pegunungan Kun-lun-san.

Ang-in-kok ini sunyi, tak pernah didatangi manusia karena untuk mendaki puncak ini tidaklah mudah. Orang harus melalui jurang yang curam dan pendakian yang tidak mungkin dilakukan orang biasa. Karena sunyi dan indah itulah maka tempat ini dipilih oleh Himalaya Sam Lojin dan supek mereka, yaitu Pek-sim Sian-su untuk menjadi tempat tinggal sementara.

Mereka berempat menggembleng Sie Liong dan karena pemuda remaja ini menjadi murid Pek-sim Sian-su, maka tiga orang kakek yang berasal dari Himalaya itu, tiga orang tokoh besar yang usianya masing-masing sudah tujuh puluh tahun lebih, terhitung sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari Sie Liong!

Namun, adalah tiga suheng ini yang pertama-tama mendidik dan menggemblengnya. Karena tiga orang kakek ini yang merasa dirinya sudah amat tua dan tidak mampu lagi melakukan tugas penting yang membutuhkan kekuatan dan ketahanan tubuh, dan mereka mengharapkan sute (adik seperguruan) mereka ini yang akan menjadi wakil mereka, maka merekapun menggembleng anak itu dengan penuh kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan ilmu andalan dan simpanan masing-masing kepada Sie Liong.

Pek In Tosu mengajarkan ilmu simpanannya yang disebut Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih), pukulan yang mengandung tenaga sin-kang amat hebatnya sehingga kalau pukulan ini dipergunakan, maka dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap putih. Pukulan ini bukan hanya kuat sekali dan angin pukulannya saja mampu merobohkan lawan, akan tetapi juga mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan beracun yang jahat dari orang-orang golongan hitam atau kaum sesat.

Orang ke dua dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Swat Hwa Cinjin yang selalu tersenyum ramah itu, mengajarkan ilmu simpanannya yang dinamakan Swat-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Salju). Pukulan inipun mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat, dan kehebatan ilmu pukulan ini adalah terkandungnya hawa yang amat dingin dalam pukulannya, hawa dingin yang mampu membikin beku darah dalam tubuh orang yang terpukul, sehingga pukulan itu dinamakan Naga Salju!

Orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga mewariskan ilmu simpanannya yang disebut Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung)! Pukulan ini, sesuai dengan namanya, mengandung tenaga raksasa yang seolah-olah dapat merobohkan gunung dengan telapaknya! Dan ketika dilatih ilmu ini, Sie Liong harus mampu merobohkan batang-batang pohon yang kecil sampai yang besar.

Selama lima tahun Himalaya Sam Lojin menggembleng Sie Liong dengan tekun, anak itupun rajin bukan main. Tidak saja dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang suhengnya dan seorang suhunya, akan tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu melatih diri dengan tekun.

Hal ini amat menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apalagi ketika mereka mendapat kenyataan betapa Sie Liong memang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Tubuh bongkok itu ternyata memiliki darah yang bersih dan tulang yang kuat. Apa lagi otaknya. Luar biasa!

Selama lima tahun itu Sie Liong hampir tidak memikirkan hal lain kecuali latihan ilmu-ilmu silat tinggi. Hanya kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi ke dusun untuk mencari bahan-bahan makanan yang dibutuhkan tiga orang kakek itu, dengan menukarnya dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan di puncak, antara lain kulit-kulit binatang hutan, tanduk-tanduk menjangan yang berkhasiat, akar-akar obat dan ramuan-ramuan lain yang banyak didapatkan di tempat itu atas petunjuk Pek-sim Sian-su yang ahli dalam hal pengobatan.

Selama lima tahun itu, Pek-sim Sian-su jarang keluar dari dalam guhanya. Dia duduk bersamadhi dan hanya kadang-kadang saja makan, atau kadang-kadang dia keluar melihat kemajuan yang dicapai murid barunya.

Setelah lewat lima tahun, yaitu waktu yang dia berikan kepada tiga orang murid keponakan untuk menggembleng anak itu, mulailah Pek-sin Sian-su sendiri menggembleng Sie Liong yang sudah berusia delapan belas tahun. Dia telah menjadi seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, akan tetapi karena punggungnya bongkok, dia kelihatan pendek. Seorang pemuda cacat, bongkok dan agaknya hal ini membuat dia bersikap rendah diri.

Gemblengan yang dilakukan Pek-sim Sian-su merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah dipelajari Sie Liong dari tiga orang suhengnya. Selain menyempurnakan ilmu-ilmu yang sudah dikuasainya, juga Pek-sim Sian-su mengajarkan latihan siu-lian untuk menghimpun sin-kang yang menjadi semakin kuat.






Juga kekuatan batin yang membuat pemuda ini seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu sihir. Dia diberi pelajaran ilmu tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi) dan ilmu pengobatan.

Selama dua tahun lagi dia tekun mempelajari ilmu di bawah bimbingan gurunya, sedangkan tiga orang Himalaya Sam Lojin sudah meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat pertapaan masing-masing.Setelah membimbing Sie Liong selama dua tahun, pada suatu hari Pek-sim Sian-su berkata kepada muridnya bahwa sudah tiba saatnya mereka untuk saling berpisah.

“Sie Liong, sekarang usiamu sudah dua puluh tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cakup pula ilmu-ilmu kau pelajari untuk kau pergunakan dalam hidupmu. Engkau tentu masih ingat apa maksud pinto dan para suhengmu mengajarkan semua ilmu itu kepadamu. Yaitu agar engkau dapat mewakili kami yang sudah terlalu tua ini untuk menegakkan kebenaran dan keadilan di dalam kehidupan rakyat, membela yang benar dan menentang yang jahat. Selain itu, pinto memberi tugas kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke Tibet. Engkau tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet Ngo-houw itu. Kami semua merasa heran mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk memusuhi kami, padahal golongan kami yang dulu membela dia ketika dia hendak diculik oleh para Lama. Selidikilah apa yang terjadi disana dan kalau mungkin usahakan agar engkau dapat menghadap Dalai Lama dan menceritakan segala yang terjadi disini dan minta kepada Dalai Lama agar menghentikan sikap permusuhan para Lama terhadap kami.”

“Baik, suhu. Semua petunjuk dan perintah suhu dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan suhu yang telah memberi bimbingan kepada teecu.”

Pek-sim Sian-su lalu meninggalkan puncak itu dan kembali ke He-lan-san yang pernah menjadi tempat pertapaannya selama bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya meninggalkan tempat itu, menuruni puncak dan dia langsung saja menuju ke dusun Tiong-cin, di dekat perbatasan utara yang cukup jauh.

Dia sudah mendengar keterangan dari encinya tentang dusun tempat kelahirannya itu, dimana menurut encinya ayah ibunya telah tewas akibat penyakit menular. Dia ingin mengunjungi makam orang tuanya dan bersembahyang di makam mereka.

Setelah melakukan perjalanan jauh yang susah payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong memasuki dusun itu. Ketika dia mendapat keterangan yang meyakinkan bahwa dusun itu adalah dusun Tiong-cin, jantungnya berdebar tegang. Betapa tidak? Tempat ini adalah tanah tumpah darahnya, tempat dimana ibunya melahirkannya!

Kampung halaman ayah ibunya yang telah meninggal dunia. Penduduk dusun itu melihat Sie Liong dengan pandang mata heran. Jarang ada orang luar memasuki dusun itu, dan tidak ada seorangpun yang pernah merasa kenal dengan pemuda bongkok ini.

Sie Liong juga tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan bahkan dia mencari bagian yang sunyi dari dusun itu, lalu ketika dia melihat seorang kakek memanggul cangkul menuju ke ladangnya, dia cepat menghampiri dan memberi hormat kepada orang tua itu.

“Maaf, lopek (paman tua). Bolehkah saya bertanya sedikit kepadamu?”

Biarpun pemuda yang bongkok itu tidak menarik, akan tetapi sikapnya yang sopan dan kata-katanya yang teratur dan halus membuat kakek itu menghentikan langkahnya dan menghadapi pemuda bongkok itu. Setelah mengamatinya beberapa lamanya, kakek itupun menjawab.

“Hemm, tentu saja boleh, orang muda. Apakah yang kau tanyakan?”

“Maaf, lopek. Saya ingin mengetahui dimana adanya makam dari suami isteri Sie Kian.”

Kakek itu membelalakkan matanya dan kini memandang kepada Sie Liong penuh selidik.

“Orang muda, engkau siapakah dan mengapa mencari makam suami isteri Sie Kian?”

Sie Liong tidak mau membuat dirinya menjadi perhatian orang, maka sambil lalu saja dia menjawab,

“Saya masih sanak keluarga jauh dari mereka, lopek, dan saya kebetulan lewat di dusun ini, maka saya ingin berkunjung ke makam mereka untuk memberi hormat.”

Kakek yang wajahnya sejak tadi nampak muram itu bersungut-sungut.
“Hem, apa perlunya mengingat orang yang sudah mati? Paling banyak setahun sekali kuburannya ditengok, bahkan kuburan keluarga itu sudah bertahun-tahun tidak ada yang datang menengok! Benar kata orang bahwa kalau hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena apa sih artinya berbakti kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian anak?”

Sebelum Sie Liong menjawab, terdengar teriakan orang.
“Heiii, Lo Kwan, tunggu dulu....!”

Sie Liong menengok dan melihat tiga orang laki-laki tinggi besar datang berlari-lari dan melihat mereka, kakek berusia enam puluh tahun itu mengerutkan alisnya dan nampak ketakutan. Sie Liong lalu melangkah ke samping, berdiri di pinggir untuk melihat apa yang dibicarakan tiga orang itu dengan kakek berwajah muram ini.

Setelah dekat, nampak bahwa tiga orang itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh kuat dan di pinggang masing-masing tergantung sebatang golok. Lagak dan pakaian mereka, juga golok itu, tidak menunjukkan bahwa mereka adalah segolongan petani. Seorang diantara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja disengat kalajengking, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya kepada kakek itu, tidak memperdulikan pemuda bongkok yang berdiri di pinggiran.

“He, kakek Kwan! Apakah sudah tebal kulitmu, maka engkau berani melarikan diri dari rumah? Bukankah hari ini merupakan hari terakhir janjimu untuk membayar hutangmu kepada Bouw Loya? Hayo katakan, engkau hendak minggat kemana?”

Kakek itu membungkuk dengan sikap takut-takut.
“Aih, mana saya berani melarikan diri? Kalian lihat sendiri, saya membawa cangkul, hendak bekerja di ladang. Tentang hutang itu.... ah, bagaimana lagi? Semua orang juga tahu bahwa panen sekali ini buruk sekali hasilnya karena hujan turun terlalu pagi, banyak merusak gandum yang belum tua benar. Terpaksa saya tidak mampu mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chung-cu (kepala dusun Bouw). Harap sampaikan maaf saya kepada beliau dan tahun depan tentu akan saya bayar lunas.”

“Enak saja buka mulut! Kalau sedang butuh, minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau disuruh mengembalikan, ada saja alasannya! Tak tahu malu!” bentak si hidung besar.

Muka kakek yang muram itu berubah merah, agaknya dia merana penasaran sekali akan tetapi karena takut maka tidak leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu.

“Akan tetapi, selama berbulan-bulan ini saya selalu membayar bunganya, dan kalau dikumpulkan, bunga-bunga itu sudah hampir sama banyaknya dengan jumlah yang saya hutang!”

“Tentu saja kau harus membayar bunga. Memangnya yang kau hutang itu milik nenek moyangmu? Akan tetapi hutang itu menurut janji harus dikembalikan selama enam bulan dan sekarang sudah delapan bulan. Hari ini adalah hari terakhir, engkau harus membayarnya. Harus kukatakan, mergerti?”

Kakek itu menarik napas panjang.
“Bagaimana saya dapat membayarnya? Saya tidak mempunyai uang dan saya tidak bisa mencari pinjaman kepada orang lain. Sungguh mati saya tidak bisa membayar sekarang, bukan tidak mau.... harap saya diberi waktu.”

Si hidung besar menggeleng kepala dan hidungnya nampak menjadi lebih besar dan kemerahan.

“Tidak, majikan kami mengharuskan engkau membayar sekarang juga. Sudahlah, kami akan pergi ke rumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami sita!”

Kakek itu tersenyum sedih.
“Barang apa lagi? Semua sudah kami jual untuk membayar bunga kepada Bouw-chung-cu, dan sebagian untuk makan. Di rumah tidak ada lagi sepotongpun benda yang berharga.”

“Hemm, kukira tidak demikian, orang tua! Ada bunga yang manis dan bunga itu cukup untuk membayar hutangmu kepada majikan kami!”

Berkata demikian si hidung besar lalu membalikkan tubuh dan pergi bersama dua orang kawannya.




Pendekar Bongkok Jilid 035
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar