Ads

Kamis, 28 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 031

Demikian pula dengan Bong Gan dan Pek Lan. Begitu keduanya tenggelam dalam buaian gelombang nafsu, keduanya menjadi semakin haus. Pek Lan adalah seorang wanita muda yang dikecewakan oleh perjodohan dengan Coa-wangwe yang dilakukannya secara terpaksa, yang membuat ia selalu merasa penasaran dan tidak puas. Kini, bertemu dengan seorang pemuda remaja yang menjadi muridnya yang amat patuh, pandai dan menyenangkan, tentu saja Pek Lan menjadi lupa daratan.

Sebaliknya, Bong Gan sejak kecil memang haus akan kasih sayang, kini bertemu dengan seorang wanita yang cantik menarik, yang menyayangnya, dan menjadi gurunya dalam berenang di lautan kemesraan, diapun menjadi mabok. Sebetulnya dia masih terlalu muda sehingga diapun tidak dapat lagi melihat kenyataan betapa perbuatannya itu amatlah berbahaya, juga amat hina karena dia telah berjina dengan selir ayah angkatnya yang berarti juga ibu angkatnya sendiri!

Langkah pertama dilanjutkan dengan langkah berikutnya, kesekian puluh kali dan mereka berdua, yang dimabok kemesraan ini, yang dibikin buta oleh nafsu berahi, tidak tahu bahwa banyak pasang mata dari mereka yang memang tidak suka kepada mereka, selalu membayangi dan mengintai mereka.

Para pemilik mata inilah yang kemudian melaporkan kepada Coa-wangwe. Tentu saja hartawan yang usianya sudah setengah abad lebih ini menjadi terkejut, heran dan kemudian marah. Dia terkejut mendengar bahwa selirnya yang paling disayangnya telah bermain gila dengan putera angkatnya, dan dia merasa heran mengingat betapa putera angkatnya itu biasanya selalu bersikap amat baik, terpelajar, rajin, sopan dan selalu menyenangkan hati. Bagaimana kini tiba-tiba saja dia mendengar bahwa putera angkatnya itu berjina dengan selirnya?

Pula, Bong Gan baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya masih remaja, masih kanak-kanak dan belum dewasa! Tentu selirnya itu yang menjadi biang keladinya, pikirnya dengan gemas dan marah. Akan tetapi dia belum mau percaya begitu saja dan diaturlah oleh para selir yang lain dan para pelayan agar sang hartawan dapat menangkap basah hubungan gelap yang dilakukan selirnya terkasih itu dengan putera tersayang pula.

Diatur agar hartawan itu meninggalkan gedung untuk bermalam di luar, dan di waktu malam, ketika semua musuh rahasia dua orang muda yang sedang dimabok nafsu itu tahu bahwa mereka berdua sedang mengadakan pertemuan rahasia, di kamar sang putera angkat, hartawan Coa lalu tiba-tiba muncul dan daun pintu digedor dari luar!

Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya perasaan Pek Lan dan Bong Gan. Mereka hanya sempat membereskan pakaian mereka sebelum daun pintu itu jebol karena dipaksa dari luar dan keduanya segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Coa-wangwe yang mukanya menjadi merah seperti udang direbus saking marahnya.

Biarpun kedua orang muda yang amat disayangnya itu berlutut sambil menangis minta ampun, tetap saja kemarahan Coa-wangwe tidak dapat diredakan, apalagi di sampingnya terdapat para selir dan pelayan yang membisikkan berita-berita yang amat menyakitkan hatinya betapa putera angkat itu hampir setiap malam mengadakan pertemuan dengan sang selir dan betapa mesranya hubungan diantara mereka.

Diam-diam Pek Lan melirik dan mencatat siapa-siapa yang pada malam itu hadir bersama suaminya dan dapat ia menduga bahwa mereka inilah yang telah menjadi mata-mata yang melaporkannya kepada suaminya.

Coa-wangwe demikian marah sampai dia menyuruh para pelayan memberi hukuman cambuk rotan pada punggung kedua orang muda itu sebanyak lima belas kali kemudian mengusir dua orang yang punggungnya berdarah karena kulitnya pecah-pecah itu agar meninggalkan rumah tanpa diberi bekal secuilpun pakaian pengganti atau sepotong uang kecil.

Keduanya meninggalkan rumah sambil menangis, ditertawakan oleh mereka yang sejak lama merasa iri hati dan membenci kedua orang muda itu. Dengan tubuh sakit-sakit, akan tetapi hati lebih sakit lagi Bong Gan dan Pek Lan pergi meninggalkan gedung itu, dan mereka terus pergi dengan kepala menunduk, keluar dari dalam kota Ye-ceng.

Berita tentang diusirnya selir termuda dan putera angkat dari Coa-wangwe itu lebih cepat keluar dari gedung dari pada mereka, disebarkan oleh mereka yang membenci kedua orang itu, sehingga Bong Gan dan Pek Lan tidak berani mengangkat muka, karena semua orang memandang dengan mata dan senyum mengejek.

Sampai di luar kota, malam telah menjelang pagi dan mereka berdua masih terus berjalan di dalam keremangan cuaca sambil menangis. Biarpun mereka tidak mempunyai tujuan kemana harus pergi, namun kedua orang ini tak pernah menghentikan langkah, seolah-olah khawatir kalau ada orang-orang yang mengejar untuk memperolokkan mereka.






Barulah mereka berhenti setelah matahari terbit dan keduanya merasa lelah sekali. Mereka berhenti di tepi sebuah hutan, di bawah pohon rindang. Suasananya disitu sunyi sekali karena sudah amat jauh dari kota.

Melihat Pek Lan masih menangis sambil setengah menelungkup di atas rumput, Bong Gan merasa kasihan juga. Wanita muda ini biasanya hidup mulia, mewah dan manja, kini harus menempuh perjalanan setengah malam dan tidak mempunyai apa-apa lagi.

“Sudahlah, enci Pek Lan. Untuk apa menangis lagi? Ditangisi sampai air mata darahpun tidak ada gunanya lagi,” kata Bong Gan yang sudah dapat memulihkan keadaan hatinya.

Anak yang cerdik ini maklum bahwa bersedih-sedih tidak ada gunanya dan dia harus dapat mencari jalan yang baik dalam kehidupannya yang baru ini.

Akan tetapi, kata-kata hiburannya itu tanpa diketahuinya, membuat wanita itu menjadi lebih berduka dan akhirnya menjadi marah sekali kepada Bong Gan. Sejak tadi, di samping kedukaannya, Pek Lan menganggap bahwa semua malapetaka yang menimpa dirinya ini disebabkan oleh Bong Gan!

“Engkau memang anak durhaka!” bentaknya sambil bangkit duduk dan telunjuknya menuding ke arah muka Bong Gan. “Engkaulah biang keladi semua ini, engkaulah penyebab malapetaka yang menimpa diriku! Kalau bukan karena engkau, aku tentu masih hidup terhormat dan mulia di rumah keluarga Coa! Aahh, engkau yang mencelakakan aku! Engkau anak tak tahu diri, engkau anak durhaka, tak tahu malu....!”

Sepasang mata Bong Gan terbelalak.
“Diam!” Dia membentak marah sekali. “Engkaulah perempuan yang tidak tahu malu! Engkau yang datang pertama kali di dalam kamarku dan merayuku! Lupakah engkau? Engkaulah yang tidak tahu malu, engkau mengkhianati ayah angkatku dan engkau menyeret aku ke dalam lumpur kehinaan! Dan sekarang engkau hendak menyalahkan aku dan menghinaku? Perempuan tak tahu malu!”

“Apa? Kau berani memaki aku? Anak kurang ajar kau!”

Pek Lan bangkit berdiri. Bong Gan juga bangkit berdiri dan Pek Lan segera menyerang anak laki-laki itu dengan tamparan dan cakaran. Bong Gan tidak tinggal diam dan diapun membalas. Dua orang itu kini bergulat, bukan di atas pembaringan dalam kamar mewah Bong Gan, bukan bergulat memperebutkan kemesraan, melainkan bergulat dalam perkelahian dan memperebutkan kebenaran masing-masing, berusaha untuk saling menyakiti!

Pek Lan lebih tua tiga empat tahun, akan tetapi Bong Gan seorang anak laki-laki, jadi masing-masing ada kelebihan dan kelemahan yang membuat perkelahian itu menjadi ramai dan seimbang! Akan tetapi tiba-tiba tubuh Bong Gan terlempar dan terguling-guling seperti disambar kilat.

Kiranya disitu sudah muncul seorang nenek yang amat menakutkan dan mengerikan. Kalau saja Bong Gan dan Pek Lan tidak sedang dilanda kemarahan, tentu mereka akan lari tunggang langgang atau menggigil ketakutan, mengira bahwa disitu muncul iblis sendiri.

Pek Lan melihat dengan jelas betapa nenek itu tadi mendorong tubuh Bong Gan dan menyebabkan anak laki-laki itu terlempar dan jatuh terguling-guling. Hal ini berarti bahwa nenek itu telah membantunya, maka biarpun hatinya merasa ngeri, ia tahu bahwa nenek itu boleh ia harapkan. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil menangis!

Sementara itu Bong Gan yang sudah bangkit duduk, merasa betapa tubuhnya nyeri-nyeri karena terbanting dan terguling-guling itu dan dia tidak berani bangkit berdiri, hanya memandang kepada nenek itu dengan mata terbelalak dan hati dipenuhi keseraman.

Nenek itu berusia tua sekali, tentu tidak kurang dari tujuh puluh tahun, dan tubuhnya demikian kurus kering, kecil dan membungkuk seperti udang kering, seolah-olah usia tua sudah membuat ia mengkerut dan kering. Muka yang kulitnya kehitaman itu berkerut-kerut penuh garis malang-melintang, sepasang matanya sampai hampir tertutup kelebihan kulit pada pelupuknya, tulang-tulang pipinya menonjol, hidung dan mulutnya juga kecil karena mulut itu mengkerut ke dalam, tak nampak lagi bibirnya yang seperti dikulum mulut yang tidak bergigi lagi.

Rambutnya tinggal sedikit, jarang dan pendek, kusut dan kotor. Tangan dan kaki seperti tulang-tulang terbungkus kulit tipis. Tubuh yang membungkuk seperti udang itu ditopang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular kering, ditutupi pakaian yang seluruhnya berwarna hitam. Sungguh menyeramkan sekali keadaan nenek itu, akan tetapi sepasang mata yang kecil dan bersembunyi itu mengeluarkan sinar mencorong yang mengejutkan hati orang.

Nenek itu mengangguk-angguk ketika melihat Pek Lan berlutut di depannya sambil menangis. Tiba-tiba tangannya bergerak dan tongkatnya meluncur, tahu-tahu Pek Lan merasa dagunya didorong sesuatu yang memaksa ia untuk menengadah. Kiranya nenek itu sudah menggunakan ujung tongkatnya untuk memaksa gadis itu mengangkat muka. Melihat wajah yang manis itu, kembali si nenek mengangguk-angguk.

“Ceritakan, kenapa kau menangis disini!” terdengar nenek itu berkata, dan anehnya, biarpun jelas ia mengeluarkan ucapan, namun mulut itu sama sekali tidak terbuka dan tidak bergerak!

Pek Lan agaknya menyadari bahwa ia bertemu dengan seorang manusia luar biasa atau mungkin iblis sendiri yang memperlihatkan rupa, maka iapun menjawab sambil menahan tangisnya.

“Nenek yang mulia, saya bernama Pek Lan dan saya diusir dari rumah suami saya hartawan Coa di kota Ye-ceng karena saya difitnah bermain gila dengan bocah setan itu. Saya tidak mempunyai rumah dan keluarga saya di dusun pasti akan menolak saya. Semua ini gara-gara bocah setan itu, akan tetapi dia tidak mau mengaku salah, malah menyalahkan saya.”

Nenek itu mengangkat mukanya memandang kepada Bong Gan yang masih mendekam di atas tanah. Sinar mata nenek itu mencorong seperti hendak menyambar ke arahnya, membuat Bong Gan menjadi semakin ngeri.

“Huh-huh, bocah itu mempunyai mata seperti setan. Apakah kau ingin agar aku membunuhnya?”

Pek Lan bergidik. Nenek itu sungguh berhati kejam bukan main. Bagaimanapun marahnya terhadap Bong Gan, tentu saja Pek Lan tidak ingin melihat pemuda itu dibunuh. Kalau ia teringat akan pengalamannya selama beberapa bulan ini, masih ada sisa kemesraan dalam hatinya terhadap Bong Gan.

“Jangan, nenek yang baik, jangan dibunuh, akan tetapi beri saja hajaran agar dia kapok dan tidak berani lagi menyalahkan aku!” katanya.

Nenek itu terkekeh.
“Heh-heh, bagus. Akan kuhajar dia biar kapok!”

Bong Gan yang sudah merasa ngeri melihat nenek itu, kini timbul keberaniannya. Biarpun nenek itu mengerikan, namun ia hanya seorang nenek yang tua renta dan nampak ringkih. Dan dia tidak mau dihajar begitu saja tanpa melawan. Maka, Bong Gan segera bangkit berdiri dan siap untuk melawan kalau nenek itu hendak menghajarnya. Dengan langkah terseok-seok dibantu tongkatnya, nenek itu menghampiri Bong Gan dan ia terkekeh melihat sikap anak laki-laki itu yang agaknya siap untuk melawannya.

“Heh-heh-heh, bocah setan, bergulinglah engkau!”

Nampak ia menggerakkan tongkatnya dan nampak ada sinar hitam panjang menyambar, dan tahu-tahu tubuh Bong Gan, tanpa dapat ditahannya lagi, roboh dan tubuh itu terguling-guling!

Nenek itu tertawa terpingkal-pingkal dan hebatnya, seperti juga tadi, mulutnya tetap tertutup. Entah melalui lubang mana suara terpingkal-pingkal itu.

“Heh-heh-ho-ho.... sekarang terbanglah! Terbanglah!”

Kembali yang nampak hanya sinar hitam dan tiba-tiba tubuh yang tadinya bergulingan itu, kini terlempar tinggi ke udara! Bong Gan menjadi ketakutan. Tadi ketika tubuhnya terpelanting dan terguling-guling, dia merasa nyeri-nyeri dan babak-bundas dan kini tubuhnya terlempar begitu jauh ke atas, maka diapun mengeluarkan jerit ketakutan ketika tubuhnya meluncur ke bawah dengan cepat sekali! Tentu akan remuk-remuk semua tulangnya, dan pecah kepalanya!

“Toloooooooong!” Dia menjerit-jerit.

“Nenek yang baik, jangan bunuh dia!”

Pek Lan yang memandang dengan mata terbelalak berseru, khawatir kalau sampai pemuda cilik yang pernah menjadi kekasihnya itu akan terbanting remuk dan tewas.




Pendekar Bongkok Jilid 030
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar