Terdengar suara lantang seorang anak laki-laki yang membaca kitab dari dalam sebuah kamar di rumah gedung indah itu. Suaranya lantang dan yang dibacanya adalah kitab sajak para penyair jaman dahulu. Suara itu merdu dan cara membacanya amat baik, setiap kata diucapkan dengan jelas dan dengan nada suara yang tepat.
Kalau orang mengintai ke dalam kamar itu, dia akan kagum. Anak laki-laki itu memang tampan, ganteng dan rapi, baik rambutnya, seluruh tubuhnya yang terpelihara baik-baik, maupun pakaiannya. Jelas seorang anak terpelajar dari keluarga bangsawan atau hartawan! Cara dia duduk saja menghadapi kitab di atas meja itupun menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang pandai membawa diri, sopan santun.
Memang anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sejak kecil sudah di gembleng dengan pelajaran sastera. Yang dimaksud pelajaran sastera pada waktu itu adalah pelajaran membaca dan menulis huruf, juga membaca kitab-kitab kuno dimana terdapat pelajaran filsafat, kebudayaan, sajak dan pelajaran kebatinan yang berat-berat menjadi santapan anak-anak remaja!
Tentu saja hanya sedikit yang mampu meresapi benar akan isinya, sebagian besar hanya mampu menghafal saja dengan lancar akan tetapi mengenai inti artinya, jarang yang dapat mengerti secara mendalam. Apa lagi menghayatinya!
Anak itu bernama Coa Bong Gan, berusia tiga belas tahun dan dia adalah anak angkat dari Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang kaya raya di kota Ye-ceng, sebuah kota di kaki pegunungan Kun-lun-san sebelah barat. Coa Hun atau Hartawan Coa adalah seorang pedagang besar yang berdagang segala macam barang dengan negara-negara barat di perbatasan barat.
Kurang lebih delapan tahun yang lalu, ketika terjadi keributan karena adanya gerombolan perampok dari Nepal yang merusak dusun-dusun di perbatasan selatan dan barat, rombongannya yang baru pulang dari barat menemukan seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlarian seorang diri sambil menangis di antara para pengungsi.
Karena bocah itu mungil dan tampan, dan tidak ada seorangpun mengakuinya sebagai anggauta keluarga, maka Coa Hun lalu membawanya pulang dan semenjak itu, anak itu diakui sebagai anak angkat. Anak berusia lima tahun itu hanya mengenal nama sendiri sebagai Bong Gan, maka sejak itu dia bernama Coa Bong Gan, menggunakan nama keluarga Coa-wangwe.
Karena Coa-wangwe sendiri tidak mempunyai anak laki-laki, hanya beberapa anak perempuan, maka Bong Gan disayang oleh keluarga itu. Hanya Coa-wangwe tidak merahasiakan bahwa anak itu adalah anak angkat, bukan anak kandung karena dia masih mengharapkan untuk memperoleh seorang keturunan anak laki-laki.
Untuk itu dia berusaha dengan mengambil beberapa orang selir yang masih muda dan sehat, sedangkan dia sendiri ketika membawa Bong Gan pulang baru berusia empat puluh dua tahun. Karena itu, biarpun Bong Gan disayang, akan tetapi tetap saja semua orang menganggapnya bukan sebagai anak kandung Coa-wangwe dan sikap hormat para pelayan terhadapnya hanya kalau berada di depan hartawan itu.
Bahkan para selir dan juga Nyonya Coa merasa iri dan tidak suka kepada Bong Gan yang dianggap bukan suku bangsa Han. Melihat bentuk wajah anak itu, ketampanannya merupakan ketampanan suku Uigur atau Kazak dan anak itu tidak ketahuan siapa orang tuanya.
Agaknya dua hal ini, yaitu kemuliaan yang diterima seorang anak yang tidak dikenal asal-usulnya, ketampanan dan kecerdikannya, kecakapannya belajar ilmu kesusasteraan, mendatangkan rasa iri hati dan banyak orang tidak suka kepada Bong Gan. Baru namanya saja, yang diakui anak kecil itu ketika ditemukan, Bong Gan, berbau nama suku bangsa Uigur atau Kazak. Mungkin nama aslinya Munggan atau Bo-angana!
Bong Gan kini telah menjadi seorang pemuda remaja berusia tiga belas tahun yang amat cerdik, pandai sekali mengatur sikap dan bersikap manis dan rendah hati terhadap yang berada di atasnya, bersikap anggun dan berwibawa terhadap yang tidak suka kepadanya. Pakaiannya selalu baru dan rapi sekali, tubuhnya selalu dirawat baik-baik dari rambutnya sampai kuku kakinya. dan dalam setiap penampilannya, dia hanya mendatangkan rasa bangga kepada ayah angkatnya, satu-satunya orang yang dihormatinya secara berlebihan karena dia tahu bahwa hanya seorang ini sajalah yang memungkinkan dia mempertahankan kemuliaannya!
Biarpun usianya baru tiga belas tahun, namun Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa banyak diantara anggauta keluarga ayah angkatnya merasa iri hati dan tidak suka kepadanya. Dia tahu pula bahwa mereka yang tidak suka kepadanya selalu memata-matainya, menyebar banyak mata-mata yang bekerja sebagai pelayan-pelayan, untuk mencari kesalahannya agar kesalahannya itu dapat dilaporkan kepada ayah angkatnya.
Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati sekali. Malam itu, biarpun dia tahu bahwa ayah angkatnya sedang berkunjung ke kota lain dan malam itu tidak akan pulang, dia tetap saja menghafalkan pelajarannya membaca kitab kuno dengan suara yang berirama dan merdu pada malam hari itu. Ini berarti bahwa biarpun ayah angkatnya tidak berada di rumah, tetap saja dia belajar dengan tekun!
Setelah dia selesai membaca, dia mendengar langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia menengok dan ketika melihat siapa yang memasuki kamarnya, jantung pemuda remaja ini berdentam penuh ketegangan. Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda dan tersayang dari ayah angkatnya.
Pek Lan baru berusia tujuh belas tahun dan ia seorang peranakan Kirgiz-Han yang amat manis. Wajahnya lonjong seperti wanita Kirgiz umumnya, kulitnya kuning putih mulus seperti kulit wanita Han, akan tetapi bulu-bulu halus pada lengannya menambah daya tarik seorang wanita berdarah Kirgiz. Tentu saja ia menjadi selir tersayang Coa-wangwe karena ia paling muda dan paling cantik, dan ia diperoleh hartawan itu dengan tebusan uang yang amat mahal!
Karena ia amat disayang dan dimanja oleh hartawan itu, tentu saja hal ini menimbulkan perasaan iri kepada para selir lain, walaupun perasaan iri itu hanya mereka simpan dalam hati saja karena pengaruh selir muda itu terhadap Coa-wangwe amat kuat sehingga hartawan itu pasti membela sang selir termuda kalau sampai terjadi pertengkaran terbuka.
Perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita harus berdasarkan cinta di antara mereka. Tanpa perasaan ini, sudah pasti akan terjadi pertentangan dan penyelewengan. Di dalam hati Pek Lan, sedikitpun tidak terdapat rasa sayang kepada suaminya yang jauh lebih tua itu, dan yang menjadi suaminya karena ia telah dibeli dari orang tuanya yang miskin dan banyak hutang. Ia menjadi selir Coa-wangwe bukan dengan suka rela, melainkan karena terpaksa.
Oleh karena itu, baru saja diboyong ke dalam rumah gedung Coa-wangwe, dan melihat betapa hampir semua isi rumah kelihatan tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik oleh pemuda remaja yang tampan itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya karena pemuda remaja ini tampan, juga karena ia mendengar bahwa pemuda ini bukan putera kandung suaminya, dan juga ia melihat betapa orang-orang serumah itu juga tidak suka kepada pemuda itu.
Hal ini saja mendatangkan perasaan suka dalam hatinya terhadap pemuda itu, perasaan senasib sependeritaan. Sudah lama ia bersikap manis kepada Bong Gan, memperlihatkan rasa sukanya pada pandang mata dan suaranya, namun agaknya Bong Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda untuk menangkap isarat dan menanggapinya.
Sesungguhnya, biarpun usianya baru tiga belas tahun, Bong Gan bukan seorang pemuda yang dungu. Ia banyak membaca, di antaranya ia membaca cerita-cerita percintaan sehingga ia sudah dapat membayangkan tentang perasaan mesra antara pria dan wanita ini.
Ketika Pek Lan menjadi keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi kecantikan wanita ini. Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui kerling mata dan senyum manisnya, Bong Gan bukan tidak tahu dan diapun merasa suka sekali kepada wanita itu. Hanya tentu saja, dia tidak berani bersikap tidak hormat kepada isteri ayah angkatnya, dan dia selalu bersikap sopan, tidak memperlihatkan tanda bahwa dia sebenarnya sudah mengerti betapa selir muda ayahnya itu bersikap menantang padanya. Juga dia masih terlalu muda untuk berani memperlihatkan tanggapan.
Dan pada malam hari itu, di luar dugaan dan harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki kamarnya! Melihat bahwa yang memasuki kamarnya dengan langkah halus adalah selir ayahnya, maka Bong Gan cepat bangkit berdiri. Bong Gan berusia tiga belas tahun dan Pek Lan tujuh belas tahun akan tetapi tinggi badan mereka sama, bahkan Bong Gan lebih tinggi sedikit. Pemuda remaja itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada memberi hormat.
“Ah, kiranya ibu yang datang malam-malam begini....”
“Hushh, jangan sebut ibu kepadaku, Bong Gan. Sungguh tidak enak sekali mendengarnya....”
“Tapi, ibu adalah isteri ayah. Apa lagi harus saya sebut kalau bukan ibu?”
“Usia kita hanya berselisih dua tiga tahun, janggal rasanya kalau engkau menyebut ibu. Engkau patut menjadi adikku dan aku enci-mu, biarpun aku menjadi isteri ayahmu. Sebut saja enci kepadaku, kecuali.... tentu saja di depan orang lain boleh saja engkau menyebut ibu.”
Bong Gan tersenyum, hatinya girang sekali karena wanita cantik itu bersikap amat manis. Belum pernah mereka berkesempatan bicara panjang dan berduaan saja seperti sekarang ini. Ayahnya tidak berada di rumah, dan hari sudah agak larut, semua penghuni rumah itu agaknya sudah tidur sehingga tidak ada orang lain yang melihat ibu muda ini memasuki kamarnya.
“Baiklah, enci. Silakan duduk, dan maaf, kursinya hanya sebuah,” katanya menunjuk ke arah kursi yang tadi dia duduki.
“Terima kasih,”
Pek Lan tersenyum dan duduk di atas kursi itu. Di atas meja terdapat beberapa buah buku dan diambilnya sebuah. Kebetulan buku itu adalah buku cerita tentang percintaan romantis. Akan tetapi, Pek Lan hanya dapat membaca sedikit saja.
“Kau duduklah, Bong Gan,” katanya melihat pemuda itu hanya berdiri saja.
“Biar saya berdiri saja, enci. Kursinya hanya sebuah.”
“Ahhh!” Pek Lan bangkit berdiri, membawa bukunya dan duduk di atas pembaringan. “Biarlah aku duduk disini. Kau duduklah.”
Bong Gan duduk di atas kursi, jantungnya berdebar tegang melihat betapa wanita cantik itu duduk di atas pembaringannya. Beberapa kali Pek Lan yang membaca buku itu melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi serba salah tingkah.
“Bong Gan, huruf apakah ini....?”
Pek Lan bertanya, menunjuk ke lembaran buku yang dipegangnya. Karena dari tempat dia duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa dia bangkit dan menghampiri, lalu membacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan tetapi beberapa kali Pek Lan memanggilnya untuk menanyakan huruf yang tidak dikenalnya sehingga beberapa kali pemuda itu menghampiri, membacakan hurufnya dan duduk kembali.
“Ah, terlalu sukar bagiku, Bong Gan. Tolong kau bacakan untukku. Kesinilah dan duduklah disini, kita baca bersama. Kau ajari aku membaca, Bong Gan.”
Tentu saja Bong Gan menjadi gemetar dan tidak berani duduk berjajar di atas pembaringan itu. Walaupun dia sudah menghampiri dekat, namun dia berdiri saja di depan wanita itu, tidak berani duduk bersanding. Pek Lan memegang tangannya dan menariknya duduk di dekatnya, di tepi pembaringan.
“Aih, mengapa engkau malu-malu dan takut?”
“Enci.... aku.... aku tidak berani.... nanti dianggap tidak sopan....” kata Bong Gan gemetar, walaupun hatinya berdebar girang dan tegang.
“Aih, siapa bilang tidak sopan? Aku adalah juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan adik, apa salahnya duduk berdekatan? Hayo, jangan takut!”
Dan kini Bong Gan membiarkan dirinya ditarik dan diapun duduk di dekat Pek Lan. Tepi pinggul dan paha mereka bersentuhan dan Bong Gan merasakan kelembutan yang hangat, yang membuat tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup keras.
Ketika dia membacakan buku itu, suaranya juga gemetar dan parau. Apalagi, ketika dia merasa betapa jari-jari tangan yang halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang hangat lembut dengan sentuhan-sentuhan mesra.
Makin lama, suara bacaannya semakin lemah bahkan kacau dan akhirnya, buku yang tadi dibaca Bong Gan itu sudah menggeletak di atas lantai di depan pembaringan sedangkan di atas pembaringan itu, Bong Gan dan Pek Lan sudah bergumul. Pek Lan seorang guru yang penuh gairah, sedangkan Bong Gan menjadi murid yang taat dan pandai.
Nafsu, dalam bentuk apapun juga, tak pernah mengenal kepuasan. Kepuasan yang didapat hanya merupakan pendorong untuk mengejar kepuasan yang lebih mendalam lagi. Orang yang menjadi hamba nafsu tidak pernah merasa kenyang, tak pernah merasa cukup! Kekenyangan yang dirasakan hanya sebentar dan segera berubah menjadi kelaparan yang makin menghebat. Baik itu yang dinamakan nafsu seks, nafsu mengejar harta kekayaan, nafsu mengejar kekuasaan dan sebagainya. Makin diberi, semakin merasa kurang dan menghendaki yang lebih!
Kalau orang mengintai ke dalam kamar itu, dia akan kagum. Anak laki-laki itu memang tampan, ganteng dan rapi, baik rambutnya, seluruh tubuhnya yang terpelihara baik-baik, maupun pakaiannya. Jelas seorang anak terpelajar dari keluarga bangsawan atau hartawan! Cara dia duduk saja menghadapi kitab di atas meja itupun menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang pandai membawa diri, sopan santun.
Memang anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sejak kecil sudah di gembleng dengan pelajaran sastera. Yang dimaksud pelajaran sastera pada waktu itu adalah pelajaran membaca dan menulis huruf, juga membaca kitab-kitab kuno dimana terdapat pelajaran filsafat, kebudayaan, sajak dan pelajaran kebatinan yang berat-berat menjadi santapan anak-anak remaja!
Tentu saja hanya sedikit yang mampu meresapi benar akan isinya, sebagian besar hanya mampu menghafal saja dengan lancar akan tetapi mengenai inti artinya, jarang yang dapat mengerti secara mendalam. Apa lagi menghayatinya!
Anak itu bernama Coa Bong Gan, berusia tiga belas tahun dan dia adalah anak angkat dari Coa-wangwe (Hartawan Coa), seorang yang kaya raya di kota Ye-ceng, sebuah kota di kaki pegunungan Kun-lun-san sebelah barat. Coa Hun atau Hartawan Coa adalah seorang pedagang besar yang berdagang segala macam barang dengan negara-negara barat di perbatasan barat.
Kurang lebih delapan tahun yang lalu, ketika terjadi keributan karena adanya gerombolan perampok dari Nepal yang merusak dusun-dusun di perbatasan selatan dan barat, rombongannya yang baru pulang dari barat menemukan seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlarian seorang diri sambil menangis di antara para pengungsi.
Karena bocah itu mungil dan tampan, dan tidak ada seorangpun mengakuinya sebagai anggauta keluarga, maka Coa Hun lalu membawanya pulang dan semenjak itu, anak itu diakui sebagai anak angkat. Anak berusia lima tahun itu hanya mengenal nama sendiri sebagai Bong Gan, maka sejak itu dia bernama Coa Bong Gan, menggunakan nama keluarga Coa-wangwe.
Karena Coa-wangwe sendiri tidak mempunyai anak laki-laki, hanya beberapa anak perempuan, maka Bong Gan disayang oleh keluarga itu. Hanya Coa-wangwe tidak merahasiakan bahwa anak itu adalah anak angkat, bukan anak kandung karena dia masih mengharapkan untuk memperoleh seorang keturunan anak laki-laki.
Untuk itu dia berusaha dengan mengambil beberapa orang selir yang masih muda dan sehat, sedangkan dia sendiri ketika membawa Bong Gan pulang baru berusia empat puluh dua tahun. Karena itu, biarpun Bong Gan disayang, akan tetapi tetap saja semua orang menganggapnya bukan sebagai anak kandung Coa-wangwe dan sikap hormat para pelayan terhadapnya hanya kalau berada di depan hartawan itu.
Bahkan para selir dan juga Nyonya Coa merasa iri dan tidak suka kepada Bong Gan yang dianggap bukan suku bangsa Han. Melihat bentuk wajah anak itu, ketampanannya merupakan ketampanan suku Uigur atau Kazak dan anak itu tidak ketahuan siapa orang tuanya.
Agaknya dua hal ini, yaitu kemuliaan yang diterima seorang anak yang tidak dikenal asal-usulnya, ketampanan dan kecerdikannya, kecakapannya belajar ilmu kesusasteraan, mendatangkan rasa iri hati dan banyak orang tidak suka kepada Bong Gan. Baru namanya saja, yang diakui anak kecil itu ketika ditemukan, Bong Gan, berbau nama suku bangsa Uigur atau Kazak. Mungkin nama aslinya Munggan atau Bo-angana!
Bong Gan kini telah menjadi seorang pemuda remaja berusia tiga belas tahun yang amat cerdik, pandai sekali mengatur sikap dan bersikap manis dan rendah hati terhadap yang berada di atasnya, bersikap anggun dan berwibawa terhadap yang tidak suka kepadanya. Pakaiannya selalu baru dan rapi sekali, tubuhnya selalu dirawat baik-baik dari rambutnya sampai kuku kakinya. dan dalam setiap penampilannya, dia hanya mendatangkan rasa bangga kepada ayah angkatnya, satu-satunya orang yang dihormatinya secara berlebihan karena dia tahu bahwa hanya seorang ini sajalah yang memungkinkan dia mempertahankan kemuliaannya!
Biarpun usianya baru tiga belas tahun, namun Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa banyak diantara anggauta keluarga ayah angkatnya merasa iri hati dan tidak suka kepadanya. Dia tahu pula bahwa mereka yang tidak suka kepadanya selalu memata-matainya, menyebar banyak mata-mata yang bekerja sebagai pelayan-pelayan, untuk mencari kesalahannya agar kesalahannya itu dapat dilaporkan kepada ayah angkatnya.
Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati sekali. Malam itu, biarpun dia tahu bahwa ayah angkatnya sedang berkunjung ke kota lain dan malam itu tidak akan pulang, dia tetap saja menghafalkan pelajarannya membaca kitab kuno dengan suara yang berirama dan merdu pada malam hari itu. Ini berarti bahwa biarpun ayah angkatnya tidak berada di rumah, tetap saja dia belajar dengan tekun!
Setelah dia selesai membaca, dia mendengar langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia menengok dan ketika melihat siapa yang memasuki kamarnya, jantung pemuda remaja ini berdentam penuh ketegangan. Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda dan tersayang dari ayah angkatnya.
Pek Lan baru berusia tujuh belas tahun dan ia seorang peranakan Kirgiz-Han yang amat manis. Wajahnya lonjong seperti wanita Kirgiz umumnya, kulitnya kuning putih mulus seperti kulit wanita Han, akan tetapi bulu-bulu halus pada lengannya menambah daya tarik seorang wanita berdarah Kirgiz. Tentu saja ia menjadi selir tersayang Coa-wangwe karena ia paling muda dan paling cantik, dan ia diperoleh hartawan itu dengan tebusan uang yang amat mahal!
Karena ia amat disayang dan dimanja oleh hartawan itu, tentu saja hal ini menimbulkan perasaan iri kepada para selir lain, walaupun perasaan iri itu hanya mereka simpan dalam hati saja karena pengaruh selir muda itu terhadap Coa-wangwe amat kuat sehingga hartawan itu pasti membela sang selir termuda kalau sampai terjadi pertengkaran terbuka.
Perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita harus berdasarkan cinta di antara mereka. Tanpa perasaan ini, sudah pasti akan terjadi pertentangan dan penyelewengan. Di dalam hati Pek Lan, sedikitpun tidak terdapat rasa sayang kepada suaminya yang jauh lebih tua itu, dan yang menjadi suaminya karena ia telah dibeli dari orang tuanya yang miskin dan banyak hutang. Ia menjadi selir Coa-wangwe bukan dengan suka rela, melainkan karena terpaksa.
Oleh karena itu, baru saja diboyong ke dalam rumah gedung Coa-wangwe, dan melihat betapa hampir semua isi rumah kelihatan tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik oleh pemuda remaja yang tampan itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya karena pemuda remaja ini tampan, juga karena ia mendengar bahwa pemuda ini bukan putera kandung suaminya, dan juga ia melihat betapa orang-orang serumah itu juga tidak suka kepada pemuda itu.
Hal ini saja mendatangkan perasaan suka dalam hatinya terhadap pemuda itu, perasaan senasib sependeritaan. Sudah lama ia bersikap manis kepada Bong Gan, memperlihatkan rasa sukanya pada pandang mata dan suaranya, namun agaknya Bong Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda untuk menangkap isarat dan menanggapinya.
Sesungguhnya, biarpun usianya baru tiga belas tahun, Bong Gan bukan seorang pemuda yang dungu. Ia banyak membaca, di antaranya ia membaca cerita-cerita percintaan sehingga ia sudah dapat membayangkan tentang perasaan mesra antara pria dan wanita ini.
Ketika Pek Lan menjadi keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi kecantikan wanita ini. Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui kerling mata dan senyum manisnya, Bong Gan bukan tidak tahu dan diapun merasa suka sekali kepada wanita itu. Hanya tentu saja, dia tidak berani bersikap tidak hormat kepada isteri ayah angkatnya, dan dia selalu bersikap sopan, tidak memperlihatkan tanda bahwa dia sebenarnya sudah mengerti betapa selir muda ayahnya itu bersikap menantang padanya. Juga dia masih terlalu muda untuk berani memperlihatkan tanggapan.
Dan pada malam hari itu, di luar dugaan dan harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki kamarnya! Melihat bahwa yang memasuki kamarnya dengan langkah halus adalah selir ayahnya, maka Bong Gan cepat bangkit berdiri. Bong Gan berusia tiga belas tahun dan Pek Lan tujuh belas tahun akan tetapi tinggi badan mereka sama, bahkan Bong Gan lebih tinggi sedikit. Pemuda remaja itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada memberi hormat.
“Ah, kiranya ibu yang datang malam-malam begini....”
“Hushh, jangan sebut ibu kepadaku, Bong Gan. Sungguh tidak enak sekali mendengarnya....”
“Tapi, ibu adalah isteri ayah. Apa lagi harus saya sebut kalau bukan ibu?”
“Usia kita hanya berselisih dua tiga tahun, janggal rasanya kalau engkau menyebut ibu. Engkau patut menjadi adikku dan aku enci-mu, biarpun aku menjadi isteri ayahmu. Sebut saja enci kepadaku, kecuali.... tentu saja di depan orang lain boleh saja engkau menyebut ibu.”
Bong Gan tersenyum, hatinya girang sekali karena wanita cantik itu bersikap amat manis. Belum pernah mereka berkesempatan bicara panjang dan berduaan saja seperti sekarang ini. Ayahnya tidak berada di rumah, dan hari sudah agak larut, semua penghuni rumah itu agaknya sudah tidur sehingga tidak ada orang lain yang melihat ibu muda ini memasuki kamarnya.
“Baiklah, enci. Silakan duduk, dan maaf, kursinya hanya sebuah,” katanya menunjuk ke arah kursi yang tadi dia duduki.
“Terima kasih,”
Pek Lan tersenyum dan duduk di atas kursi itu. Di atas meja terdapat beberapa buah buku dan diambilnya sebuah. Kebetulan buku itu adalah buku cerita tentang percintaan romantis. Akan tetapi, Pek Lan hanya dapat membaca sedikit saja.
“Kau duduklah, Bong Gan,” katanya melihat pemuda itu hanya berdiri saja.
“Biar saya berdiri saja, enci. Kursinya hanya sebuah.”
“Ahhh!” Pek Lan bangkit berdiri, membawa bukunya dan duduk di atas pembaringan. “Biarlah aku duduk disini. Kau duduklah.”
Bong Gan duduk di atas kursi, jantungnya berdebar tegang melihat betapa wanita cantik itu duduk di atas pembaringannya. Beberapa kali Pek Lan yang membaca buku itu melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi serba salah tingkah.
“Bong Gan, huruf apakah ini....?”
Pek Lan bertanya, menunjuk ke lembaran buku yang dipegangnya. Karena dari tempat dia duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa dia bangkit dan menghampiri, lalu membacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan tetapi beberapa kali Pek Lan memanggilnya untuk menanyakan huruf yang tidak dikenalnya sehingga beberapa kali pemuda itu menghampiri, membacakan hurufnya dan duduk kembali.
“Ah, terlalu sukar bagiku, Bong Gan. Tolong kau bacakan untukku. Kesinilah dan duduklah disini, kita baca bersama. Kau ajari aku membaca, Bong Gan.”
Tentu saja Bong Gan menjadi gemetar dan tidak berani duduk berjajar di atas pembaringan itu. Walaupun dia sudah menghampiri dekat, namun dia berdiri saja di depan wanita itu, tidak berani duduk bersanding. Pek Lan memegang tangannya dan menariknya duduk di dekatnya, di tepi pembaringan.
“Aih, mengapa engkau malu-malu dan takut?”
“Enci.... aku.... aku tidak berani.... nanti dianggap tidak sopan....” kata Bong Gan gemetar, walaupun hatinya berdebar girang dan tegang.
“Aih, siapa bilang tidak sopan? Aku adalah juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan adik, apa salahnya duduk berdekatan? Hayo, jangan takut!”
Dan kini Bong Gan membiarkan dirinya ditarik dan diapun duduk di dekat Pek Lan. Tepi pinggul dan paha mereka bersentuhan dan Bong Gan merasakan kelembutan yang hangat, yang membuat tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup keras.
Ketika dia membacakan buku itu, suaranya juga gemetar dan parau. Apalagi, ketika dia merasa betapa jari-jari tangan yang halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang hangat lembut dengan sentuhan-sentuhan mesra.
Makin lama, suara bacaannya semakin lemah bahkan kacau dan akhirnya, buku yang tadi dibaca Bong Gan itu sudah menggeletak di atas lantai di depan pembaringan sedangkan di atas pembaringan itu, Bong Gan dan Pek Lan sudah bergumul. Pek Lan seorang guru yang penuh gairah, sedangkan Bong Gan menjadi murid yang taat dan pandai.
Nafsu, dalam bentuk apapun juga, tak pernah mengenal kepuasan. Kepuasan yang didapat hanya merupakan pendorong untuk mengejar kepuasan yang lebih mendalam lagi. Orang yang menjadi hamba nafsu tidak pernah merasa kenyang, tak pernah merasa cukup! Kekenyangan yang dirasakan hanya sebentar dan segera berubah menjadi kelaparan yang makin menghebat. Baik itu yang dinamakan nafsu seks, nafsu mengejar harta kekayaan, nafsu mengejar kekuasaan dan sebagainya. Makin diberi, semakin merasa kurang dan menghendaki yang lebih!
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar