Ads

Kamis, 28 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 032

“Ho-ho, tidak dibunuh, tidak dibunuh!”

Kata nenek itu dan benar saja, begitu tubuh Bong Gan hampir terbanting ke atas tanah, tiba-tiba ada sinar hitam panjang menyanbutnya dan tubuh itu kini terlempar kembali ke atas lebih tinggi daripada tadi! Tentu saja Bong Gan dengan ketakutan menjerit-jerit seperti seekor anjing digebuki.

Melihat kenyataan bahwa nenek itu benar-benar tidak membunuh Bong Gan, hanya menghajarnya saja, legalah hati Pek Lan dan iapun bertepuk tangan dan bersorak. Lupalah ia akan kedukaannya.

“Bagus! Hi-hi-hik, bagus! Nah, tahu rasa sekarang engkau, Bong Gan! Hayo cepat kau minta ampun padaku, baru aku mau minta kepada nenek yang mulia ini untuk menghentikan permainannya!”

Bong Gan boleh jadi ketakutan setengah mati, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan juga keras hati. Mendengar ucapan Pek Lan, dia mengeraskan perasaannya dan menutup mulutnya, tidak lagi mau menjerit ketakutan, melainkan menutup mata rapat-rapat.

Pada saat tubuhnya meluncur turun untuk ke dua kalinya, tiba-tiba saja tubuhnya itu berhenti di udara seperti tertahan oleh tenaga yang tidak kelihatan, kemudian tubuh itu bukan meluncur ke bawah melainkan ke samping dan tahu-tahu leher bajunya sudah berada di ujung tongkat yang mengaitnya, dan tongkat itu dipegang oleh seorang kakek jembel!

Kakek yang muncul itu bukan lain adalah Koay Tojin, yang kebetulan tiba di tempat itu bersama muridnya yang baru, yaitu Yauw Bi Sian! Melihat seorang anak laki-laki menjerit-jerit dan tubuhnya dilempar-lempar ke atas oleh seorang nenek yang menyeramkan, Bi Sian sudah merengek kepada gurunya.

“Suhu, tolonglah anak laki-laki itu dan hajar nenek yang jahat itu. Biar aku menghajar gadis yang kejam itu!”

Mula-mula Koay Tojin memandang ke pada nenek itu dan nampak terkejut.
“Waaahhh! Menghajar nenek itu? Mana aku berani? Ia adalah Hek-in Kui-bo (Biang Iblis Awan Hitam)....! Hiiiih.... aku ngeri melihatnya....”

Dan kakek jembel itu bergidik kengerian. Melihat sikap gurunya, Bi Sian cemberut. Tentu saja ia tidak percaya kalau gurunya jerih terhadap nenek yang kurus kering dan hampir mati itu!

“Kalau suhu tidak berani, biarlah aku yang melawannya! Aku tidak takut!”

Berkata demikian, Bi Sian meloncat ke depan menghadapi nenek buruk itu dengan kedua tangan terkepal.

“Hei, nenek iblis yang jahat! Kenapa engkau menyiksa orang? Hayo pergi dari sini, kalau tidak akan kupukul engkau!”

Nenek itu menyeringai lalu menoleh kepada Pek Lan,
“Ho-ho, bagaimana ini? Apakah aku harus menghajarnya juga?”

Pek Lan marah sekali kepada anak perempuan yang muncul bersama kakek jembel itu karena mereka menghentikan hajaran nenek itu terhadap Bong Gan.

“Nenek yang mulia, bocah itu mencampuri urusan kita, sebaiknya kau bunuh saja!”

Disini sudah nampak perwatakan yang menguasai batin Pek Lan. Ia dapat berlaku kejam sekali terhadap orang yang tidak disukainya, atau orang yang mendatangkan kemarahan dalam hatinya seperti gadis cilik itu.

“Bunuh? Heh-heh, benar sekali, memang bocah ini layak dibunuh!” jawab nenek itu sambil terkekeh tanpa membuka mulut dan tiba-tiba ia menggerakkan tongkat ularnya ke arah Bi Sian. Sinar hitam meluncur ke arah gadis cilik itu, mengeluarkan suara mendesir.

“Wirrrr.... takkkk!”

Tongkat ular itu terpental, bertemu dengan sebatang tongkat butut di tangan Koay Tojin. Benturan antara kedua tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga terasa oleh Pek Lan dan Bi Sian, dan nenek itu mengeluarkan suara menggereng marah, matanya yang bersembunyi di lipatan kulit itu mencorong menatap kepada kakek yang berdiri di depannya.






“Ho-ho-ho! Bukankah engkau ini kakek jembel gila dari Himalaya?” teriaknya marah.

Koay Tojin menyeringai pula. Dia tidak berpura-pura kalau tadi kepada muridnya dia mengatakan takut kepada nenek itu, bukan takut karena kepandaian si nenek iblis, melainkan ngeri karena dia sudah mengenal akan kejahatan dan kekejaman hati nenek yang berjuluk Hek-in Kui-bo itu!

“Dan engkau Biang Iblis Awan Hitam yang sudah tidak bergigi lagi, ha-ha-ha! Hayo buka mulutmu, perlihatkan kepadaku, pasti tidak ada sepotongpun gigimu maka engkau malu membuka mulutmu!”

Nenek itu semakin marah. Kata-kata “tidak bergigi lagi” bukan hanya dimaksudkan untuk mengejek keburukan rupa, akan tetapi juga boleh diartikan sebagai ajakan bahwa nenek itu tidak berbahaya lagi, seperti seekor macan ompong yang tidak bergigi lagi!

“Koay Tojin keparat! Tidak bergigi lagi, ya? Nah, rasakan gigitanku!”

Nenek itu sudah menyerang dengan cara yang amat aneh. Ia melontarkan tongkat ularnya ke atas dan tongkat itu meluncur ke arah Koay Tojin dan menyerang kalang-kabut seperti digerakkan oleh tangan yang tidak nampak!

Koay Tojin tertawa bergelak, melompat ke belakang dan diapun melempar tongkat bututnya ke depan. Seperti tongkat ular si nenek, maka tongkat butut Koay Tojin itu kinipun “hidup” dan melawan tongkat ular itu dan terjadilah pertandingan yang amat aneh antara dua batang tongkat itu! Keduanya “bersilat” tanpa ada yang memegangnya, saling hantam dan saling tangkis sehingga terdengar bunyi nyaring berkali-kali, dibarengi menyambarnya angin pukulan dahsyat.

Melihat betapa tongkat ularnya tidak mampu mendesak tongkat butut lawan melalui kekuatan sihir, nenek itu lalu mengangkat tangannya dan tongkat ularnya terbang kembali ke tangannya.

Koay Tojin juga sudah “memanggil” kembali tongkat bututnya dan kini Hek-in Kui-bo menyerang Koay Tojin dengan tongkat itu, menggunakan tangannya. Koay Tojin menangkis dan membalas sehingga terjadilah perkelahian yang seru antara dua orang tua aneh itu.

Melihat betapa kini gurunya sudah melawan nenek iblis, hati Bi Sian girang sekali dan melihat gadis yang menyuruh nenek tadi membunuhnya, iapun meloncat ke depan Pek Lan dan tanpa banyak cakap lagi Bi Sian menyerang Pek Lan dengan pukulan dan tendangan!

Biarpun Pek Lan sudah berusia tujuh belas tahun sedangkan Bi Sian baru berusia sebelas tahun, namun Pek Lan selamanya tidak pernah berkelahi atau belajar silat. Sebaliknya, sejak kecil Bi Sian digembleng dengan ilmu atau dasar ilmu silat oleh ayahnya sendiri, maka tentu saja ketika diserang oleh anak perempuan itu, Pek Lan menjadi repot sekali dan beberapa kali perutnya kena dipukul dan kakinya ditendang. Ia mencoba untuk melawan dengan cubitan, jambakan dan tamparan, akan tetapi ia tidak berhasil dan semakin lama, serangan Bi Sian semakin ganas dan menyakitkan. Akhirnya Pek Lan menjerit-jerit minta tolong.

“Nenek yang mulia.... tolong aku.... tolooooonggg!” Ia terpelanting jatuh oleh sebuah tendangan Bi Sian yang mengenai perutnya.

Sementara itu, pertandingan antara Koay Tojin melawan Hek-in Kui-bo berlangsung dengan seru dan ramai. Mula-mula, Koay Tojin kewalahan juga menghadapi hujan serangan dari nenek itu yang memang lihai dan berbahaya bukan main. Nenek itu selain memiliki ilmu silat tongkat yang aneh dan gerakannya mirip ular, juga tongkat itu sendiri mengandung hawa beracun, selain tenaga nenek keriputan itupun kuat dan kecepatan gerakannya juga membingungkan.

Akan tetapi begitu Koay Tojin mengeluarkan ilmu silat tongkat ciptaannya yang baru dan amat lihai, yang bahkan dipuji oleh suhengnya, yaitu Pek-sim Sian-su, yaitu Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Iblis), kini Hek-in Kui-bo menjadi repot bukan main.

Ia selalu terdesak dan beberapa kali nyaris terkena hantaman tongkat butut, maka ketika mendengar suara Pek Lan minta tolong, ia mempunyai alasan untuk melarikan diri. Ia meloncat ke belakang, tongkat ularnya menyambar dan mengait baju Pek Lan yang tiba-tiba merasa tubuhnya diterbangkan dan nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil membawa tubuh Pek Lan.

Bi Sian masih mengepal kedua tangannya dan ia mengamangkan tinjunya ke arah Pek Lan yang dilarikan nenek itu.

“Hemm, kalau tidak lari, tentu akan kupukuli sampai kapok perempuan jahat itu!”

“Ha-ha, Bi Sian, sudallah, mari kita pergi, jangan melayani nenek iblis yang mengerikan itu. Hihh....!” Koay Tojin bergidik. “Hayo pergi....!”

Akan tetapi pada saat itu, Bong Gan yang sejak tadi melihat segala yang terjadi dengan hati penuh kagum terhadap anak perempuan itu dan kakek jembel, kini menjatuhkan diri di depan kaki Koay Tojin.

“Locianpwe yang mulia.... mohon kemurahan hati locianpwe untuk sudi menerima saya sebagai murid....!”

Kakek itu mengerutkan alisnya, memandang kepada anak itu dan menyeringai.
“Heh-heh, aku tidak sudi! Aku sudah mempunyai murid yang jauh lebih baik, ha-ha! Mari Bi Sian, kita pergi!” katanya sambil membalikkan tubuh mambelakangi Bong Gan dan melangkah pergi.

“Suhu, nanti dulu!”

Bi Sian berkata sehingga kakek itu menahan langkah dan menoleh. Bi Sian mengamati Bong Gan yang masih berlutut dan anak laki-laki itu menangis sesenggukan, kelihatannya sedih bukan main.

“Siapa namamu?” Bi Sian bertanya.

“Nama saya Bong Gan....” jawab anak laki-laki itu sambil menahan tangisnya dan memandang kepada Bi Sian dengan mata agak kemerahan dan penuh kedukaan.

“Kenapa engkau hendak dibunuh mereka tadi?”

“Saya adalah seorang anak yatim piatu yang dipungut oleh keluarga hartawan Coa di kota Ye-ceng,” Bong Gan bercerita dengan suara yang memelas sekali. “Perempuan jahat tadi adalah selir ayah angkat saya. Pada suatu hari, ayah kehilangan barang-barang perhiasan berharga. Saya tahu bahwa yang mencurinya adalah perempuan tadi, akan tetapi ia berbalik menjatuhkan fitnah dan sebagian dari barang curiannya ia sembunyikan ke dalam kamar saya. Karena itu, ayah angkat saya marah dan kami berdua diusir. Ketika kami tiba disini, perempuan itu menyalahkan saya dan memukuli saya. Saya melawan dan muncul nenek iblis tadi yang membela perempuan jahat itu.”

Bong Gan yang pandai, membuat karangan yang masuk di akal ini secara tiba-tiba begitu sudah membuktikan bahwa dia memang seorang anak yang cerdik sekali. Setelah selesai bercerita, dia lalu menangis lagi.

“Nona, mohon belas kasihan nona dan guru nona.... sudilah menerima saya menjadi murid. Saya mau bekerja apa saja.... saya sudah tidak mempunyai seorang keluargapun, dan saya takut kalau.... perempuan jahat dan nenek iblis tadi datang lagi membunuh saya....”

“Sudahlah, Bi Sian. Hayo kita pergi, jangan layani anak cengeng itu!” Koay Tojin berkata tidak sabaran lagi.

“Nanti dulu, suhu,” kata Bi Sian yang sudah tertarik sekali akan cerita Bong Gan dan ia merasa kasihan kepada anak itu. “Aku mau pergi kalau suhu juga mengajak dia ini!”

“Apa??” Koay Tojin terbelalak. “Untuk apa mengajak anak cengeng ini?”

“Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau perlu, saya dapat menjadi anak yang sama sekali tidak cengeng! Kalau locianpwe sudi menerima saya menjadi murid, biar menghadapi ancaman maut, saya tidak akan takut dan tidak akan menangis sama sekali!”

Ucapan itu bernada menantang dan Koay Tojin yang memiliki watak aneh itu sekali ini tertarik.

“Ha-ha-ha-ha, benarkah itu? Engkau tidak akan takut, tidak akan menangis menghadapi ancaman maut?”

“Benar, locianpwe,” kata Bong Gan, girang bahwa kakek jembel yang dia tahu amat lihai itu kini mau memperdulikannya.

“Aku ingin melihat buktinya!” berkata demikian, Koay Tojin lalu melemparkan tongkatnya dan tongkat itu kini meluncur ke arah Bong Gan, dan mulailah tongkat itu memukuli dan mencambuki Bong Gan.




Pendekar Bongkok Jilid 031
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar