Ads

Kamis, 28 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 033

“Plak! Plak! Plak! Bukk!”

Tongkat itu mengamuk, menghantami punggung dan pinggul Bong Gan. Anak itu terkejut bukan main, dan juga ngeri melihat ada tongkat dapat bergerak sendiri memukulinya. Dan pukulan-pukulan itu mendatangkan perasaan nyeri yang cukup hebat, apalagi kalau pukulan itu mengenai kepalanya.

Dia menutupi kedua kepalanya dan kini punggungnya, pahanya, pinggul, kaki dan lengannya menjadi sasaran pukulan tongkat. Hampir saja Bong Gan berteriak kesakitan dan menjerit minta tolong. Akan tetapi, anak yang cerdik ini tahu benar bahwa dia sedang diuji, maka diapun menggigit bibir dan biarpun perasaan nyeri membuat dia terpelanting dan menggeliat-geliat di atas tanah di bawah hujan pukulan tongkat, namun tidak sedikitpun keluhan keluar dari bibir yang digigitnya sendiri itu.

Bajunya sudah robek-robek dan basah oleh keringat dan darah. Kulit punggungnya pecah-pecah berdarah. Akan tetapi dia tetap tidak mau mengeluh, bahkan setiap kali terpelanting, dia tergopoh bangkit dan mencoba untuk berlutut kembali ke arah kakek itu. Melihat betapa tubuh Bong Gan sudah berlepotan darah, hati Bi Sian merasa tidak tega.

“Cukup, suhu, cukup! Apakah suhu hendak memukulinya sampai mati?” teriaknya.

“Ha-ha-ha!” Koay Tojin tertawa bergelak dan di lain saat tongkat itu sudah kembali ke tangannya. Hatinya gembira karena melihat Bong Gan benar-benar memegang janji dan sama sekali tidak mengeluh. Diam-diam diapun mulai suka kepada bocah itu. “Mari kita pergi, Bi Sian!” katanya dan sekali sambar, tangan Bi Sian sudah dipegangnya dan sekali melompat keduanya lenyap dari situ.

Tentu saja Bong Gan menjadi terkejut dan kecewa sekali. Dia sudah membiarkan tubuhnya dihajar babak belur dan berdarah-darah, sakitnya tidak kepalang dan kini kakek itu meninggalkannya begitu saja. Ingin dia menangis, ingin dia memaki.

Akan tetapi dalam kepalanya yang cerdik terdapat dugaan dan harapan bahwa kakek aneh itu tetap masih mengujinya! Dia tahu bahwa kakek itu aneh dan sakti, dan anak perempuan itu manis bukan main, juga amat baik kepadanya. Dia harus dapat menjadi murid kakek itu. Kalau tidak, dia akan hidup sebatangkara dan selalu terancam bahaya. Dia ingin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat menjaga diri. Dia harus berhasil menjadi murid kakek itu, atau kalau perlu dia akan mengorbankan nyawanya. Dia harus tahan uji!

Dengan pikiran ini, Bong Gan terus berlutut menghadap ke arah tempat kakek tadi berdiri, dengan nekat dia berlutut terus sampai kedua kakinya kesemutan dan tidak merasa apa-apa lagi, dan rasa nyeri di tubuhnya makin menghebat karena sengatan sinar matahari. Dia bertahan terus, bahkan ketika matahari terbenam dan tempat itu mulai gelap dengan tibanya malam, dia tetap berlutut di tempat itu!

Memang patut dipuji kekerasan hati anak ini. Dia tersiksa bukan main, tidak saja seluruh tubuh nyeri karena luka pukulan tongkat, juga tersiksa oleh hawa dingin yang menyengat tulang, dan ditambah lagi perasaan ngeri karena di tepi hutan itu gelap dan sunyi.

Kadang-kadang terdengar suara binatang dari dalam hutan dan mau tidak mau, seluruh bulu di tubuh Bong Gan meremang seram. Akhirnya, lewat tengah malam, dengan kenekatan yang masih bertahan, tubuhnya yang tidak kuat lagi dan dia terguling dan pingsan!

Ketika Bong Gan siuman, dia mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput tebal, di tepi sebuah sungai kecil yang jernih, di dalam sebuah hutan. Bagaikan mimpi dia melihat seorang anak perempuan yang manis sedang mengobati luka-luka di punggungnya dengan menempelkan daun-daun hijau yang lebar. Terasa dingin dan nyaman sekali.

Agaknya anak perempuan itu mengerjakan dengan kelembutan dan dia melihat anak itu memilin dan menggosok daun-daun baru diantara kedua telapak tangannya sehingga daun itu menjadi lemas dan mengeluarkan air kehijauan. Kemudian daun-daun itu ditempelkan di atas kulit yang terluka oleh pukulan tongkat. Anak perempuan yang manis, anak perempuan yang berjasa membujuk gurunya untuk menerimanya sebagai murid!






“Terima kasih, kini sudah terasa nyaman....”

Katanya dan diapun mengenakan bajunya, dan melihat kakek aneh itu duduk pula di situ, memandang anak perempuan itu mengobatinya dengan sikap acuh, Bong Gan cepat berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu.

“Suhu, teecu (murid) menghaturkan terima kasih dan hormat....” sikapnya penuh hormat dan suaranya mantap.

Melihat suhunya masih melenggut seperti orang mengantuk, Bi Sian berseru,
“Suhu ini bagaimana sih? Ini, muridmu yang baru menghaturkan terima kasih dan hormat, kenapa suhu diam saja?”

Kakek yang melenggut itu membuka mata, memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh, kemudian berkata,

“Heh, karena bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan tetapi awas, kalau kulihat engkau malas dan tidak tekun atau tidak taat, engkau akan kuusir. Dan kalau kelak engkau menyeleweng, engkau akan kubunuh dengan tongkat ini!” Dia mengacungkan tongkatnya.

Dengan hati yang girang bukan main Bong Gan memberi hormat dengan sembah sampai delapan kali kepada gurunya.

“Suhu, teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu.” Kemudian dia menghadap Bi Sian dan juga memberi hormat kepada anak perempuan itu. “Suci, saya menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan suci kepada saya, dan saya tidak akan melupakan budi kebaikanmu itu....”

Bi Sian terbelalak.
“Eh, eh, nanti dulu! Kenapa engkau menyebut aku suci (kakak seperguruan)?”

Bong Gan tersenyum.
“Bukankah suci yang lebih dulu menjadi murid suhu?”

“Bukan begitu! Aku tidak mau cepat tua dengan disebut kakak! Coba sekarang kita lihat, siapa yang lebih tua diantara kita. Berapa umurmu tahun ini?”

“Tiga belas tahun.”

“Nah, itu!” Bi Sian berteriak. “Aku baru sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak boleh menyebut suci padaku. Aku tidak mau!”

“Habis, lalu bagaimana?”

“Karena engkau lebih tua, engkau menyebut sumoi padaku dan aku menyebutmu suheng (kakak seperguruan).”

Wajah Bong Gan menjadi merah, akan tetapi hatinya girang walaupun dia merasa kikuk.

“Baiklah sumoi.”

“Nah, begitu baru benar, suheng! Nama keluarga siapa sih? Apakah Bong?”

Bong Gan menggeleng kepalanya.
“Tadinya aku memakai nama keluarga Coa, akan tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui lagi sebagai anak, aku tidak mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih kecil, aku hanya tahu bahwa namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi namaku, tanpa nama keturunan atau boleh juga disebut nama keturunanku Bong.”

Koay Tojin kelihatannya tidak mendengarkan percakapan mereka, dan andaikata dia mendengarkan pun, agaknya dia hanya acuh saja. Akan tetapi, lambat laun sikapnya yang acuh terhadap Bong Gan ini berubah saking pandainya Bong Gan membawa diri.

Dia amat rajin dan amat memperhatikan keperluan suhunya dan sumoinya, dia ringan kaki dan tangan, mengerjakan apa saja untuk keperluan mereka. Juga dia amat tekun dan rajin ketika mulai diajar dasar-dasar ilmu silat. Bahkan dia mau mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada Bi Sian sehingga sikapnya yang amat baik ini selain membuat Bi Sian menyayangnya, juga Koay Tojin mau tidak mau mulai menyukainya.

Bahkan dengan adanya Bong Gan sebagai murid Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu untuk memegang janjinya kepada Bi Sian, yaitu anak perempuan ini tidak mau menjadi pengemis. Ada saja akal dari Bong Gan untuk mendapatkan makanan bagi mereka bertiga tanpa mengemis. Dengan menjual hasil buruan, atau rempa-rempa yang amat berharga, Bong Gan bisa mendapatkan hasil untuk biaya hidup mereka.

**** 033 ****




Pendekar Bongkok Jilid 032
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar