Ads

Rabu, 27 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 025

Gadis cilik itu membalapkan kudanya naik ke bukit itu. Seorang gadis mungil, berusia antara sebelas dan dua belas tahun dengan wajah yang manis dan sepasang mata yang jeli dan indah. Anak perempuan itu mengenakan pakaian cukup indah dan cara dia menunggang kuda membuktikan bahwa ia sudah biasa dengan permainan ini.

Kudanya juga seekor kuda yang baik sekali, dengan tubuh panjang dan leher panjang. Anak perempuan itu seperti berlumba saja ketika melarikan kudanya semakin cepat, padahal jalan itu tidak rata dan mendaki. Namun, agaknya ia memang sudah biasa dengan daerah ini, dan kudanyapun bukan baru sekali itu saja membalap ke arah puncak bukit dimana terdapat banyak rumput hijau segar yang gemuk dan yang akan dinikmatinya sebagai hadiah kalau mereka sudah tiba di puncak.

Akhirnya tibalah mereka di puncak bukit yang merupakan tanah datar dengan padang rumput yang luas. Gadis cilik itu meloncat turun, ia dan kudanya bermandi keringat, dan keduanya nampak gembira. Apalagi setelah anak perempuan itu melepaskan kendali kuda dan membiarkan kudanya makan rumput dan ia sendiri menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang tebal, keduanya sungguh meniknati keindahan alam, hawa udara yang berbau harum itu, bau tanah dan tumbuh-tumbuhan yang segar. Kicau burung menambah semarak suasana.

Beberapa lamanya anak perempuan itu rebah telentang di atas rumput, melepaskan lelah dan memejamkan mata. Alangkah nikmatnya telentang di atas rumput seperti itu! Lebih nikmat daripada rebah di atas kasur yang paling lunak dengan tilam sutera yang paling halus.

Akan tetapi seekor semut yang agaknya tertindih olehnya, menggigit tengkuknya. Ia bangkit dan menepuk semut itu, membuangnya sambil bersungut-sungut.

“Semut jahil kau!” katanya dan kini ia menoleh kepada kudanya.

Ketika ia melihat betapa kuda itu makan rumput dengan lahapnya, nampak enak sekali dengan mata yang lebar itu berkedap-kedip melirik ke arahnya, ia menelan ludah dan perutnya tiba-tiba saja merasa lapar sekali.

Anak perempuan itu adalah Yauw Bi Sian. Seperti telah kita ketahui, Bi Sian tinggal bersama ayahnya, Yaw Sun Kok, di kota Sung-jan, di ujung barat Propinsi Sin-kiang. Di tempat tinggalnya banyak terdapat penduduk asli Suku Bangsa Kirgiz, Uigur, dan Kazak yang ahli menunggang kuda.

Oleh karena keadaan lingkungan ini, sejak kecilpun Bi Sian pandai menunggang kuda. Apalagi ia memang menerima latihan ilmu silat dari ayahnya, maka menunggang kuda merupakan satu diantara kepandaian yang cocok untuknya. Ayahnya yang amat sayang kepadanya bahkan membelikan seekor kuda yang baik untuknya dan sudah biasa Bi Sian membalapkan kudanya pergi seorang diri ke lembah-lembah dan padang-padang rumput.

Kepergian Sie Liong membuat anak perempuan ini berduka dan berhari-hari ia menangis dan mendesak ayah ibunya agar mencari Sie Liong sampai dapat dan mengajaknya pulang. Ia merasa kehilangan sekali karena ia tumbuh besar di samping pawan kecilnya itu yang merupakan paman, juga kakak, juga sahabat baiknya. Semua hiburan ayah ibunya tidak dapat mengobati kesedihannya ketika ayahnya gagal menemukan kembali Sie Liong.

Akan tetapi, lambat laun ia manpu juga melupakan Sie Liong dan pada hari itu, setengah tahun setelah Sie Liong pergi, ia membalapkan kuda seorang diri menaiki bukit itu. Matahari sudah condong ke barat dan Bi Sian yang merasa perutnya tiba-tiba menjadi lapar sekali melihat kudanya makan rumput, bangkit dan menghampiri kudanya. Dirangkulnya leher kudanya. Kuda itu dengan manja mengangkat kepala dan mengusapkan pipinya ke kepala gadis cilik itu.

“Hayo kita pulang, hari telah sore,” bisik Bi Sian dan iapun memasangkan kembali kendali kudanya.

Pada saat itu, muncul lima orang laki-laki kasar. Mereka itu berusia rata-rata tiga puluh tahun dan mereka menghampiri Bi Sian sambil tersenyum menyeringai. Karena tidak mengenal mereka, Bi Sian mengerutkan alisnya dan tidak memperdulikan mereka. Akan tetapi ketika melihat gadis cilik itu hendak meloncat naik ke punggung kuda, tiba-tiba seorang diantara mereka melangkah maju dan merampas kendali kuda dari tangan Bi Sian.

“Perlahan dulu, nona. Kuda ini berikan kepada kami!” katanya.

Bi Sian terkejut dan marah. Ia sama sekali tidak merasa takut, sama sekali tidak ingat bahwa ia berada di tempat yang sunyi sekali dan lima orang itu jelas bukan orang baik-baik. Telunjuknya menuding ke arah muka orang yang merampas kudanya.

“Siapa kalian? Berani kalian mengambil kudaku?” bentaknya.






“Ha-ha-ha, bukan hanya kudamu, nona, akan tetapi segala-galanya yang ada padamu. Hayo lepaskan semua pakaianmu, kami juga minta semua pakaianmu itu.”

Bi Sian terbelalak, bukan karena takut melainkan karena marahnya. Saking marahnya, ia tidak mengeluarkan kata-kata lagi melainkan ia sudah meloncat ke depan dan memukul ke arah perut orang yang bicara itu, seorang laki-laki brewokan yang agaknya menjadi pemimpin mereka.

Serangannya cepat sekali datangnya. Maklum, biarpun usianya baru hampir dua belas tahun, akan tetapi sejak kecil Bi Sian sudah menerima gemblengan ayahnya yang pandai sehingga dalam usia sekecil itu ia sudah memiliki ilmu silat yang lumayan, terutama gerakannya cepat sekali walaupun dalam hal tenaga, ia masih belum kuat benar. Si brewok itu sambil tertawa-tawa mencoba untuk menangkap, akan tetapi dia kalah cepat.

“Bukkk!”

Perutnya kena dihantam tangan yang kecil itu dan diapun terjengkang. Biarpun tidak terlalu nyeri, akan tetapi dia terkejut dan juga merasa malu. Kawan-kawannya segera menubruk dan tentu saja Bi Sian tidak mampu melawan lagi ketika mereka itu meringkusnya.

“Lepaskan ia!”

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun lebih, muncul di tempat itu.

Bi Sian segera mengenal pemuda ini yang bukan lain adalah Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan, pemuda yang pernah berkelahi dengan ia dan Sie Liong. Pemuda yang oleh ayahnya dicalonkan menjadi suaminya!

Lima orang itu membalik dan memandang kepada Lu Ki Cong tanpa melepaskan kedua lengan Bi Sian yang mereka telikung ke belakang.

“Hemm, bocah lancang, siapa kau?” bentak si brewok sambil menghampiri Ki Cong dengan sikap mengancam.

Akan tetapi pemuda remaja itu tidak menjadi gentar. Diapun melangkah maju, membusungkan dada dan menjawab dengan lantang,

“Namaku Lu Ki Cong, putera dari Lu-ciangkun komandan keamanan di Sung-jan!”

“Ahhh....!”

Si brewok terkejut dan melangkah mundur mendekati teman-temannya yang juga terkejut dan memandang ketakutan.

“Maaf.... maafkan kami.... kongcu....” Si brewok berkata dengan suara gemetar.

Lu Ki Cong melangkah maju lagi.
“Kalian tidak tahu siapa gadis ini? Ia adalah puteri Yauw Taihiap, seorang pendekar besar di Sung-jan, dan ia tunanganku, mengerti?”

“Maaf.... maaf....” Kini lima orang itu melepaskan Bi Sian dan mereka menggigil ketakutan.

“Kalian patut dihajar!”

Ki Cong lalu melangkah maju dan tangan kakinya bergerak, menampar dan menendang. Lima orang itu jatuh bangun lalu mereka melarikan diri tunggang langgang, meninggalkan kuda tunggangan Bi Sian.

Sejenak dua orang muda remaja itu saling pandang dan dalam pandang mata Bi Sian ada sinar kagum. Tak disangkanya pemuda yang nakal itu memiliki keberanian dan kegagahan!

“Terima kasih....”

Katanya lirih, agak malu-malu mengingat bahwa tadi pemuda itu memperkenalkan ia sebagai tunangannya kepada para penjahat.

Ki Cong tersenyum bangga, lalu mendekati gadis cilik itu.
“Sian-moi, perlu apa berterima kasih? Sudah semestinya kalau aku membela dan melindungimu, kalau perlu dengan jiwa ragaku, bukankah engkau ini tunanganku dan calon isteriku?”

Berkata demikian, Ki Cong mendekat dan tangannya lalu memegang lengan Bi Sian dengan mesranya. Merasa betapa lengannya diraba dengan mesra, meremang rasanya bulu tengkuk Bi Sian dan iapun menarik tangannya dengan renggutan, dan iapun melangkah mundur, alisnya berkerut.

“Aku tidak minta pertolonganmu, dan aku bukan tunanganmu!” bentaknya marah.

“Aihh, jangan bersikap seperti itu kepadaku, calon suamimu, Sian-moi. Ingat, antara orang tua kita sudah setuju akan perjodohan kita....”

“Aku tidak perduli! Aku tidak sudi!” kembali Bi Sian membentak.

“Sian-moi, jangan begitu. Mengapa engkau membenci aku? Apakah aku tidak menang segala-galanya dibandingkan anak bongkok itu?”

Tiba-tiba sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang seperti bernyala.

“Jangan menghina paman Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik dari padamu!”

Karena pertolongannya tadi agaknya tidak mendatangkan perasaan berterima kasih dan bersukur dari gadis cilik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar,

“Sian-moi, engkau sungguh tidak tahu budi! Kalau tidak ada aku, apa yang terjadi padamu? Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil orang, mungkin juga engkau telah diperkosa! Dan engkau sedikitpun tidak berterima kasih kepadaku!”

“Hemm, sudah kukatakan aku tidak minta pertolonganmu dan tadi aku sudah bilang terima kasih. Mau apa lagi?”

“Setidaknya engkau harus memberi ciuman terima kasih!”

Kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan gadis cilik itu dan hendak merangkul dan mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.

“Plakkk!” Pipi pemuda remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah.

“Kau memang tidak tahu terima kasih!”

Lalu dia menangkap kedua pergelangan tangan Bi Sian. Gadia cilik itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong sudah berhasil merangkulnya, mendekap dan mencari muka anak perempuan itu dengan hidungnya. Akan tetapi Bi Sian meronta dan membuang muka ke kanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai sasaran.

Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak ke arah kepala Ki Cong dan memukul kepala pemuda remaja itu.

“Tokk!”

Seketika kepala itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong berteriak mengaduh sambil meraba kepalanya yang rasanya berdenyut-denyut. Dia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik. Ketika dia melihat seorang kakek jembel yang tua berdiri sambil memegang sebatang tongkat butut, dia marah sekali.

“Kau.... kau berani nemukul aku?” bentaknya sambil melangkah maju mendekati kakek tua renta itu dengan sikap mengancam.

Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia kebetulan saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian mengemplang kepala Ki Cong dengan tongkatnya. Kini dia tertawa terkekeh-kekeh.

“Aku! Memukulmu? Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!”

“Jembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kau pukulkan?”




Pendekar Bongkok Jilid 024
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar