Hek Bin Tosu, orang ketiga dari Himalaya Sam Lojin membantah.
“Akan tetapi masih kalah oleh supek. Buktinya tongkatnya patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan tongkat supek!”
“Hemmm, begitukah pendapatmu? Lihat tongkatku ini....” kata Pek-sim Sian-su lirih.
Tiga orang kakek itu melihat dan.... begitu tongkat di tangan itu digerakkan perlahan, maka runtuhlah tongkat itu dalam keadaan hancur berkeping-keping! Himalaya Sam Lojin terkejut. Kiranya tenaga Koay Tojin sedemikian hebatnya sehingga pertemuan antara dua tongkat itu membuat tongkat di tangan Pek-sim Sian-su hancur, hanya berkat ilmu yang tinggi dari Pek-sim Sian-su, maka tongkat itu masih dapat dipegangnya dalam keadaan yang utuh.
“Siancai.... Bukan main hebatnya susiok....” kata Pek-in Tosu sambil menarik napas panjang. “Dan berbahaya sekali....!”
Pek-sim Sian-su dapat membaca isi hati murid keponakan ini.
“Engkau benar, memang berbahaya sekali kalau sampai ilmu-ilmunya itu diwariskan kepada seorang manusia yang menjadi budak nafsu. Orang seperti dia itu, yang tidak waras dan memang sinting, dapat saja melakukan hal yang aneh-aneh, dan mungkin juga lengah sehingga keliru menerima murid. Bagaimanapun juga, segala sesuatu memang sudah digariskan oleh Kekuasaan Tertinggi, dan manusia hanya dapat memilih akan berpihak yang baik ataukah yang buruk, yang benar ataukah yang salah.”
“Supek, kalau sampai susiok memiliki murid yang murtad dan sesat, tentu akan lebih berbahaya dari pada Tibet Ngo-houw tadi! Dan kita sudah semakin tua. Siapakah yang akan menahan kejahatannya kelak?” kata Swat Hwa Cinjin.
Pek-sim Sian-su tersenyum.
“Di atas Puncak Himalaya masih ada awan dan di atas awan masih ada langit! Betapapun kuat dan tingginya kejahatan masih ada kekuasaan lain yang lebih kuat dan lebih tinggi untuk mengatasinya! Hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Pula, bukankah kita masih hidup sekarang? Dan kalau sute dapat mempunyai murid, kitapun bisa saja memilih seorang murid yang baik, agar kelak dia dapat menahan kejahatan yang datang dari manapun juga.”
Pada saat itu, terdengar suara memelas,
“Locianpwe.... harap suka tolong saya....”
Pek-in Tosu bangkit dan hendak menghampiri pohon itu untuk menurunkan Sie Liong, akan tetapi Pek-sim Sian-su mencegahnya.
“Jangan diturunkan dulu! Biarkan racun itu habis seperti yang dikehendaki oleh sute tadi!”
Sie Liong marasa tersiksa sekali. Dia tergantung dengan kedua kaki terjepit tongkat, kepalanya di bawah dan dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut seperti kebanjiran darah dan mulai merasa pening, juga isi perutnya seperti masuk ke dalam rongga dadanya, kedua kaki terasa kesemutan dan seperti tidak ada rasanya lagi, mukanya terasa panas. Mendengar ucapan kakek berpakaian kuning tadi, diapun merasa mendongkol.
“Locianpwe, kenapa begitu kejam membiarkan aku tersiksa begini?”
Kini Pek-sim Sian-su mendekati pohon itu, berkata dengan lembut,
“Sie Liong, ketahuilah bahwa sute Koay Tojin tadi telah membantuku mengobatimu. Dengan caranya sendiri yang aneh dia telah membantu dan mengeluarkan racun dari tubuhmu. Bukan untuk menyiksamu kalau dia menggantungmu seperti ini. Sesungguhnya tergantung dengan kepala di bawah ini merupakan suatu cara latihan yang amat hebat hasilnya, ditambah dengan tepukannya pada punggungmu tadi telah membuat engkau langsung memuntahkan darah beracun dari tubuhmu. Sebagai kelanjutannya, engkau harus bertahan selama satu jam tergantung disitu, dan semua racun akan keluar dari tubuhmu sehingga untuk menyembuhkanmu kembali hanya merupakan hal mudah, hanya memulihkan tenagamu saja.”
Mendengar ini, Sie Liong merasa girang sekali.
“Ah, kalau begitu, maafkan saya, locianpwe, dan terima kasih. Jangankan satu jam, biar sepuluh jam saya akan pertahankan sekuat saya.”
Pek-sim Sian-su mengangguk-angguk dan diapun duduk kembali bersila di depan tiga orang murid keponakannya.
“Supek tadi menyebut tentang betapa baiknya kalau kita mempunyai seorang murid, apakah supek maksudkan dia itu?”
Pek-in Tosu menuding ke arah tubuh anak kecil bongkok yang sedang tergantung dengan kepala di bawah itu. Pek-sim Sian-su tersenyum dan diam-diam dia memuji ketajaman pandangan murid keponakan yang telah memperoleh kemajuan pesat ini.
“Benar, dialah calon yang kulihat cocok sekali untuk menjadi tumpuan harapan kita,” jawabnya.
“Akan tetapi...., dia cacat! Apa yang dapat diharapkan dari seorang yang cacat, apalagi cacatnya bongkok seperti dia?” Hek Bin Tosu mencela dengan alis berkerut.
“Hemm, agaknya engkau belum memeriksa anak itu dengan seksama,” kata Pek-sim Sian-su. “Sute tadi sekali melihat saja sudah tahu akan keistimewaan anak itu sehingga dia mau turun tangan mengobatinya.”
“Supek benar, sute. Dia memang seorang anak yang berbakat tinggi, dan baik sekali. Cacatnya itu tidak akan menjadi penghalang besar, karena itu hanya merusak bentuknya saja, tidak mempengaruhi dalamnya,” kata Pek In Tosu.
Mereka lalu bercakap-cakap tentang sepak terjang lima orang pendeta Lama dari Tibet yang mengadakan pengacauan di Kun-lun-san, memburu para pertapa yang pindah dari Himalaya puluhan tahun yang lalu.
“Supek, kalau dugaan teecu bertiga benar, memang tentu ada hal-hal aneh terjadi di Tibet. Rasanya tidak masuk di akal kalau Dalai Lama sendiri yang mengutus mereka untuk melakukan pembunuhan dan perburuan itu, apalagi mengutus mereka untuk menangkap atau membunuh teecu bertiga. Bagaimanapun juga tentu Dalai Lama tahu bahwa mendiang suhu dahulu adalah pembela dan pelindungnya, menyelamatkan banyak penduduk dusun asalnya yang diamuk oleh para Lama yang akan menculiknya.” kata Pek In Tosu.
“Memang agaknya bukan Dalai Lama yang mengutus mereka. Pinto lebih condong menduga bahwa mereka itu tentu merupakan hubungan dekat sekali dengan para Lama yang tewas di tangan mendiang gurumu dan mereka memang sengaja menuntut balas. Bukankah ketika terjadi keributan dan pertentangan tiga puluh tahun yang lalu di Tibet itu, lima orang Lama ini belum muncul? Keributan dahulu itu memang dipimpin oleh Dalai Lama yang dahulu, yang marah oleh perlawanan mendiang suhu kalian sehingga menjatuhkan korban diantara para pendeta Lama yang dahulu menganggap para pertapa, terutama para tosu di Himalaya memberontak. Akan tetapi, Dalai Lama yang sekarang ini, yang bahkan menjadi penyebab perkelahian antara suhu kalian dan para Lama, tidak mempunyai permusuhan apapun dengan kita.”
“Memang mencurigakan sekali dan teecu kira hal ini patut untuk diselidiki, supek,” kata Hek Bin Tosu yang masih penuh semangat.
Supeknya tersenyum.
“Hek Bin Tosu, lupakah engkau berapa sudah usiamu? Orang-orang setua kita ini, tidak memiliki tenaga dan keuletan lagi untuk melakukan pekerjaan besar itu. Memasuki Tibet untuk melakukan penyelidikan bukanlah pekerjaan yang ringan. Apalagi kita sudah mereka kenal, bahkan mereka musuhi. Tidak, sebaiknya kalau kita menyerahkan tugas itu kepada muridku itu.” Dia menunjuk kepada tubuh anak bongkok yang tergantung di pohon.
“Baiklah, supek. Kalau begitu, biarlah kelak teecu bertiga juga akan mewariskan ilmu-ilmu kami yang terbaik untuk sute kami itu,” kata Swat Hwa Cinjin.
Hanya sampai disitu Sie Liong mampu menangkap percakapan mereka karena selanjutnya dia tidak mendengar apa-apa lagi, sudah pingsan dengan tubuh masih tergantung seperti kelelawar.
“Akan tetapi masih kalah oleh supek. Buktinya tongkatnya patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan tongkat supek!”
“Hemmm, begitukah pendapatmu? Lihat tongkatku ini....” kata Pek-sim Sian-su lirih.
Tiga orang kakek itu melihat dan.... begitu tongkat di tangan itu digerakkan perlahan, maka runtuhlah tongkat itu dalam keadaan hancur berkeping-keping! Himalaya Sam Lojin terkejut. Kiranya tenaga Koay Tojin sedemikian hebatnya sehingga pertemuan antara dua tongkat itu membuat tongkat di tangan Pek-sim Sian-su hancur, hanya berkat ilmu yang tinggi dari Pek-sim Sian-su, maka tongkat itu masih dapat dipegangnya dalam keadaan yang utuh.
“Siancai.... Bukan main hebatnya susiok....” kata Pek-in Tosu sambil menarik napas panjang. “Dan berbahaya sekali....!”
Pek-sim Sian-su dapat membaca isi hati murid keponakan ini.
“Engkau benar, memang berbahaya sekali kalau sampai ilmu-ilmunya itu diwariskan kepada seorang manusia yang menjadi budak nafsu. Orang seperti dia itu, yang tidak waras dan memang sinting, dapat saja melakukan hal yang aneh-aneh, dan mungkin juga lengah sehingga keliru menerima murid. Bagaimanapun juga, segala sesuatu memang sudah digariskan oleh Kekuasaan Tertinggi, dan manusia hanya dapat memilih akan berpihak yang baik ataukah yang buruk, yang benar ataukah yang salah.”
“Supek, kalau sampai susiok memiliki murid yang murtad dan sesat, tentu akan lebih berbahaya dari pada Tibet Ngo-houw tadi! Dan kita sudah semakin tua. Siapakah yang akan menahan kejahatannya kelak?” kata Swat Hwa Cinjin.
Pek-sim Sian-su tersenyum.
“Di atas Puncak Himalaya masih ada awan dan di atas awan masih ada langit! Betapapun kuat dan tingginya kejahatan masih ada kekuasaan lain yang lebih kuat dan lebih tinggi untuk mengatasinya! Hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Pula, bukankah kita masih hidup sekarang? Dan kalau sute dapat mempunyai murid, kitapun bisa saja memilih seorang murid yang baik, agar kelak dia dapat menahan kejahatan yang datang dari manapun juga.”
Pada saat itu, terdengar suara memelas,
“Locianpwe.... harap suka tolong saya....”
Pek-in Tosu bangkit dan hendak menghampiri pohon itu untuk menurunkan Sie Liong, akan tetapi Pek-sim Sian-su mencegahnya.
“Jangan diturunkan dulu! Biarkan racun itu habis seperti yang dikehendaki oleh sute tadi!”
Sie Liong marasa tersiksa sekali. Dia tergantung dengan kedua kaki terjepit tongkat, kepalanya di bawah dan dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut seperti kebanjiran darah dan mulai merasa pening, juga isi perutnya seperti masuk ke dalam rongga dadanya, kedua kaki terasa kesemutan dan seperti tidak ada rasanya lagi, mukanya terasa panas. Mendengar ucapan kakek berpakaian kuning tadi, diapun merasa mendongkol.
“Locianpwe, kenapa begitu kejam membiarkan aku tersiksa begini?”
Kini Pek-sim Sian-su mendekati pohon itu, berkata dengan lembut,
“Sie Liong, ketahuilah bahwa sute Koay Tojin tadi telah membantuku mengobatimu. Dengan caranya sendiri yang aneh dia telah membantu dan mengeluarkan racun dari tubuhmu. Bukan untuk menyiksamu kalau dia menggantungmu seperti ini. Sesungguhnya tergantung dengan kepala di bawah ini merupakan suatu cara latihan yang amat hebat hasilnya, ditambah dengan tepukannya pada punggungmu tadi telah membuat engkau langsung memuntahkan darah beracun dari tubuhmu. Sebagai kelanjutannya, engkau harus bertahan selama satu jam tergantung disitu, dan semua racun akan keluar dari tubuhmu sehingga untuk menyembuhkanmu kembali hanya merupakan hal mudah, hanya memulihkan tenagamu saja.”
Mendengar ini, Sie Liong merasa girang sekali.
“Ah, kalau begitu, maafkan saya, locianpwe, dan terima kasih. Jangankan satu jam, biar sepuluh jam saya akan pertahankan sekuat saya.”
Pek-sim Sian-su mengangguk-angguk dan diapun duduk kembali bersila di depan tiga orang murid keponakannya.
“Supek tadi menyebut tentang betapa baiknya kalau kita mempunyai seorang murid, apakah supek maksudkan dia itu?”
Pek-in Tosu menuding ke arah tubuh anak kecil bongkok yang sedang tergantung dengan kepala di bawah itu. Pek-sim Sian-su tersenyum dan diam-diam dia memuji ketajaman pandangan murid keponakan yang telah memperoleh kemajuan pesat ini.
“Benar, dialah calon yang kulihat cocok sekali untuk menjadi tumpuan harapan kita,” jawabnya.
“Akan tetapi...., dia cacat! Apa yang dapat diharapkan dari seorang yang cacat, apalagi cacatnya bongkok seperti dia?” Hek Bin Tosu mencela dengan alis berkerut.
“Hemm, agaknya engkau belum memeriksa anak itu dengan seksama,” kata Pek-sim Sian-su. “Sute tadi sekali melihat saja sudah tahu akan keistimewaan anak itu sehingga dia mau turun tangan mengobatinya.”
“Supek benar, sute. Dia memang seorang anak yang berbakat tinggi, dan baik sekali. Cacatnya itu tidak akan menjadi penghalang besar, karena itu hanya merusak bentuknya saja, tidak mempengaruhi dalamnya,” kata Pek In Tosu.
Mereka lalu bercakap-cakap tentang sepak terjang lima orang pendeta Lama dari Tibet yang mengadakan pengacauan di Kun-lun-san, memburu para pertapa yang pindah dari Himalaya puluhan tahun yang lalu.
“Supek, kalau dugaan teecu bertiga benar, memang tentu ada hal-hal aneh terjadi di Tibet. Rasanya tidak masuk di akal kalau Dalai Lama sendiri yang mengutus mereka untuk melakukan pembunuhan dan perburuan itu, apalagi mengutus mereka untuk menangkap atau membunuh teecu bertiga. Bagaimanapun juga tentu Dalai Lama tahu bahwa mendiang suhu dahulu adalah pembela dan pelindungnya, menyelamatkan banyak penduduk dusun asalnya yang diamuk oleh para Lama yang akan menculiknya.” kata Pek In Tosu.
“Memang agaknya bukan Dalai Lama yang mengutus mereka. Pinto lebih condong menduga bahwa mereka itu tentu merupakan hubungan dekat sekali dengan para Lama yang tewas di tangan mendiang gurumu dan mereka memang sengaja menuntut balas. Bukankah ketika terjadi keributan dan pertentangan tiga puluh tahun yang lalu di Tibet itu, lima orang Lama ini belum muncul? Keributan dahulu itu memang dipimpin oleh Dalai Lama yang dahulu, yang marah oleh perlawanan mendiang suhu kalian sehingga menjatuhkan korban diantara para pendeta Lama yang dahulu menganggap para pertapa, terutama para tosu di Himalaya memberontak. Akan tetapi, Dalai Lama yang sekarang ini, yang bahkan menjadi penyebab perkelahian antara suhu kalian dan para Lama, tidak mempunyai permusuhan apapun dengan kita.”
“Memang mencurigakan sekali dan teecu kira hal ini patut untuk diselidiki, supek,” kata Hek Bin Tosu yang masih penuh semangat.
Supeknya tersenyum.
“Hek Bin Tosu, lupakah engkau berapa sudah usiamu? Orang-orang setua kita ini, tidak memiliki tenaga dan keuletan lagi untuk melakukan pekerjaan besar itu. Memasuki Tibet untuk melakukan penyelidikan bukanlah pekerjaan yang ringan. Apalagi kita sudah mereka kenal, bahkan mereka musuhi. Tidak, sebaiknya kalau kita menyerahkan tugas itu kepada muridku itu.” Dia menunjuk kepada tubuh anak bongkok yang tergantung di pohon.
“Baiklah, supek. Kalau begitu, biarlah kelak teecu bertiga juga akan mewariskan ilmu-ilmu kami yang terbaik untuk sute kami itu,” kata Swat Hwa Cinjin.
Hanya sampai disitu Sie Liong mampu menangkap percakapan mereka karena selanjutnya dia tidak mendengar apa-apa lagi, sudah pingsan dengan tubuh masih tergantung seperti kelelawar.
**** 024 ****
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar