Himalaya Sam Lojin tentu saja cepat mengelak dan terjadilah perkelahian mati-matian. Akan tetapi, tiga orang kakek itu sama sekali tidak bersenjata. Biarpun mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, pandai mempergunakan segala macam senjata namun sudah sejak belasan tahun mereka tidak pernah menyentuh senjata, apalagi membawa-bawa senjata. Memikirkan tentang perkelahian sajapun tidak pernah. Selain itu, juga bagi seorang yang sudah ahli benar dalam ilmu silat, menggunakan senjata ataukah tidak sama saja karena kaki tangan mereka sudah merupakan senjata yang paling ampuh.
Tiga orang kakek Himalaya ini sudah memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, baik ilmu silatnya, maupun tenaga sakti mereka yang sudah matang. Selain itu, juga mereka memiliki kekuatan batin yang mampu menghadapi segala macam kekuatan sihir atau ilmu hitam.
Akan tetapi, mereka telah puluhan tahun tidak pernah berkelahi, tidak pernah mempergunakan ilmu-ilmunya untuk bertentangan apa lagi saling serang dengan orang lain. Bahkan selama ini mereka hanya tekun memerangi semua nafsu sendiri dalam kerinduan mereka kepada Tuhan, keinginan mereka untuk kembali kepada “sumbernya”, bagaikan titik-titik air yang ingin kembali ke lautan.
Maka, kini menghadapi serangan lima orang lawan yang sakti, mereka itu kurang gairah dan kurang semangat, hanya lebih banyak membela atau melindungi diri mereka sendiri saja, sama sekali tidak ada nafsu untuk merobohkan lawan walaupun andaikata ada nafsu itupun tidak akan mudah bagi mereka untuk merobohkan Tibet Ngo-houw.
Di lain pihak, lima orang pendeta Lama dari Tibet itupun merupakan orang-orang yang sudah matang ilmu kepandaian mereka. Bukan hanya keahlian ilmu silat tingkat tinggi mereka miliki, akan tetapi juga tenaga sin-kang mereka amat kuat dan disamping itu, merekapun pandai ilmu sihir.
Thay Ku Lama memiliki pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang mengeluarkan tenaga dari pusat dasar perutnya yang gendut dan pukulannya ini amat berbahaya, selain kuat mampu merontokkan isi perut lawan, juga mengandung hawa beracun yang ganas. Adapun orang ke dua, Thay Si Lama, disamping permainan cambuknya yang dahsyat, juga memiliki ilmu Sin-kun Hoat-lek, ilmu silat yang mengandung kekuatan sihir. Orang ke tiga, Thay Pek Lama merupakan ahli sepasang pedang yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa, membuat dia dapat bergerak seperti terbang saja. Thay Hok Lama, orang ke empat yang bermata tunggal itu, selain berbahaya sekali permainan senjata rantai bajanya, juga merupakan seorang ahli racun yang mengerikan. Kemudian orang ke lima, Thay Bo Lama, biarpun kurus kering, namun tenaganya raksasa dan dia pandai sekali memainkan senjata tombaknya. Dan yang lebih daripada semua itu, ke lima orang Lama ini berkelahi penuh semangat, penuh gairah untuk merobohkan lawan. Inilah yang membuat mereka berbahaya sekali.
Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian masing-masing hampir seimbang, namun pihak Himalaya Sam Lojin masih lebih tinggi. Andaikata mereka itu bertanding satu lawan satu, kiranya tidak ada seorangpun dari para Lama itu mampu mengalahkan kakek-kakek Himalaya itu.
Akan tetapi, mereka bertanding berkelompok, lima melawan tiga sehingga Himalaya Sam Lojin dikeroyok, dan seperti telah disebutkan tadi, tiga orang kakek itu kalah jauh dalam hal gairah dan semangat untuk merobohkan lawan. Oleh karena itu, setelah melalui pertandingan selama puluhan jurus, tiga orang kakek Himalaya itu mulai nampak terdesak.
Diantara mereka bertiga, nampaknya hanyalah Pek Bin Tosu yang bermuka hitam, yang berkelahi dengan semangat, membalas setiap serangan lawan dengan serangan pula. Memang, orang ketiga dari Himalaya Sam Lojin ini terkenal memiliki watak yang keras, jujur dan terbuka, tidak seperti dua orang kakek lainnya yang lemah lembut, ramah dan halus.
Hanya Sie Liong seorang yang menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini. Anak berusia tiga belas tahun ini sejak tadi masih duduk bersila dan menonton dengan bengong. Matanya tak berkedip sejak tadi, mulutnya ternganga. Matanya yang tidak terlatih itu sukar untuk dapat mengikuti gerakan delapan orang kakek yang sakti itu. Seolah-olah hanya melihat tari-tarian aneh yang dilakukan oleh delapan bayangan, tiga bayangan putih dan lima bayangan merah.
Bahkan kadang-kadang gerakan mereka itu demikian cepat sehingga yang nampak olehnya hanyalah warna putih dan merah berkelebatan sehingga dia tidak tahu apakah yang sedang mereka lakukan, dan kalau mereka itu berkelahi, diapun tidak tahu siapa yang unggul dan siapa pula yang terdesak. Akan tetapi satu hal dia merasa pasti bahwa tiga orang kakek berpakaian putih itu adalah orang-orang yang baik. Sedangkan lawan mereka, lima orang berpakaian merah adalah orang-orang yang jahat. Otomatis hatinya condong berpihak kepada tiga orang kakek berpakaian putih walaupun dia tidak tahu bagaimana dia akan dapat membantu mereka.
Saking tertarik hatinya, penuh ketegangan dan kekhawatiran kalau-kalau tiga orang kakek yang didukungnya itu akan kalah, Sie Liong sampai lupa akan keadaan dirinya sendiri. Biarpun tiga orang kakek berpakaian putih itu telah berusaha untuk mengobatinya, namun dadanya yang sebelah kiri masih terasa nyeri dan napasnya kadang-kadang sesak. Pukulan yang mengenai tubuhnya, sebetulnya hanya angin pukulannya saja, amatlah hebat dan menurut percakapan antara tiga orang kakek berpakaian putih itu dia mengerti bahwa dia telah terkena hawa pukulan beracun yang amat ampuh dari seorang diantara lima orang pendeta Lama itu.
Pertempuran itu kini sudah mencapai puncaknya. Delapan orang kakek itu agaknya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, yang tiga orang untuk membela diri, yang lima orang berkeras hendak merobohkan mereka.
Kalau tadi Sie Liong dibuat pusing oleh bayangan putih dan merah yang barkelebatan, kini dia terpaksa bangkit berdiri dan karena dia masih lemah dan kepalanya pening, dia terhuyung. Namun dia tetap memaksa dirinya melangkah menjauhkan diri karena ada angin pukulan menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya. Tidak urung, masih ada juga angin dahsyat menyambar dan tak dapat dicegah lagi, tubuh Sie Liong terkena sambaran angin dahsyat ini dan diapun terjungkal dan terguling-guling!
Tubuhnya berhenti karena tertahan oleh sesuatu. Ketika dia membuka matanya untuk memandang, mata yang melihat segala sesuatu agak kabur, dia melihat bahwa dia berhenti terguling-guling karena tertahan oleh sepasang kaki dan sebatang tongkat butut!
Dia membelalakkan matanya agar dapat memandang lebih jelas lagi. Memang sepasang kaki, akan tetapi kaki yang buruk sekali. Kaki telanjang, jari-jari kakinya jelek, kotor, kasar dan merenggang seperti jari kaki ayam. Makin ke atas, semakin jelek karena kaki itu hanya kulit kering kerontang membungkus tulang dan sampai ke betis mulai tertutup celana yang terbuat dari kain kasar dan penuh tambalan pula.
Ketika Sie Liong menengadah, dia melihat bahwa sepasang kaki itu adalah milik seorang kakek berpakaian jembel yang wajahnya buruk, yang menyeringai dengan mulut yang tidak bergigi lagi, rambutnya riap-riapan berwarna putih, sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh sekali. Sie Li-ong terkejut dan berusaha untuk bangkit berdiri, akan tetapi dia terguling lagi dan roboh. Maka diapun lalu duduk saja bersila, tidak memperduilkan lagi apakah dia akan terancam ataukah tidak.
“Heh-heh-heh....!” Kakek itu terkekeh geli dan tongkat bututnya bargerak ke sekeliling tubuh Sie Liong, membuat guratan di atas tanah mengelilingi Sie Liong dan nampaklah garis yang cukup dalam, lingkaran dengan garis tengah dua meter lebih. “Engkau tinggallah saja di dalam ruangan ini dan siapapun tidak akan mampu mengganggumu, anak bongkok!”
Sie Liong mendongkol. Agaknya dia bertemu dengan seorang jembel tua yang gila. Akan tetapi kepalanya terlalu pening, tubuhnya sakit-sakit karena terguling-guling tadi dan diapun tidak menjawab, hanya membuka mata mononton pertempuran yang masih berjalan terus.
Agaknya kakek jembel itupun kini tidak memperdulikan dia, melainkan ikut pula menonton sambil kadang-kadang mengeluarkan suara terkekeh aneh. Dia berdiri pula di dalam lingkaran itu, di sebelah belakang Sie Liong. Ketika kakek itu terkekeh-kekeh geli menonton pertempuran, tiba-tiba Sie Liong merasa kepalanya, leher dan mukanya kejatuhan air.
Wah, hujankah? Pikiran ini membuat dia menengadah, akan tetapi sungguh sial, pada saat itu, entah mengapa, si kakek jembel tertawa semakin keras. Sie Liong basah semua! Kiranya hujan itu turun dari mulut si kakek. Karena mulut itu tidak bergigi lagi, agaknya ketika tertawa-tawa, maka air ludahpun memercik keluar dari mulut yang tidak dilindungi pagar gigi lagi itu!
Sie Liong makin mendongkol. Dia mengusap muka, leher dan kepalanya, menggunakan lengan bajunya, dan biarpun kepalanya pening, dia memaksa diri untuk bangkit dan untuk pergi menjauhi kakek gila itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya diketuk dengan tongkat.
“Tokk!”
Dan diapun jatuh terduduk kembali! Ketukan dengan tongkat itu tidak mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi seolah-olah kepalanya ditekan oleh sesuatu yang amat berat dan kuat, yang membuatnya jatuh lagi. Beberapa kali dia mencoba bangun, namun setiap kali kepalanya diketuk tongkat! Akhirnya, biar dia marah dan mendongkol, Sie Liong duduk dan tidak lagi bangkit, apalagi karena pertempuran itu kini mulai mendekati tempat dia duduk di atas tanah dalam lingkaran garis itu.
Memang terjadi perubahan dalam pertempuran tingkat tinggi itu. Akhirnya Himalaya Sam Lojin kewalahan juga menghadapi desakan lima orang lawan mereka yang mempergunakan segala daya, ilmu silat, sihir, bahkan racun, untuk mengalahkan mereka.
Mereka bertiga terdesak dan sambil mengelak ke sana-sini kadang-kadang menangkis dengan kebutan ujung lengan baju atau juga dengan tangan mereka yang kebal, mereka terus mundur. Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring keluar dari mulut para pendeta Lama dan Sie Liong melihat betapa tiga orang kakek berpakaian putih terhuyung dan ada tanda merah di pakaian mereka yang putih. Darah!
Tiga orang kakek itu agaknya terluka! Akan tetapi, mereka masih terus melawan. Kini pertempuran makin mendekati garis lingkaran dan tiba-tiba seorang diantara kakek berpakaian putih meloncat dan kakinya menginjak sebelah dalam lingkaran.
Tiba-tiba tongkat butut kakek jembel itu bergerak mendorong punggung kakek yang “melanggar” lingkaran itu dan tubuh kakek berpakaian putih itupun tordorong keluar!
Ketika para anggauta Tibet Ngo-houw dengan penuh semangat dan nafsu mendesak terus, tiga orang kakek berpakaian putih itu berlompatan dan agaknya mereka tidak berani menginjak lingkaran!
Tidak demikian dengan para pendata Lama. Ada dua orang yang tanpa sengaja menginjak garis lingkaran, yaitu Thay So Lama dan Thay Hok Lama. Begitu melihat Thay So Lama, si kurus kering yang bertenaga raksana itu memasuki lingkaran, kakek jembel lalu menggerakkan tongkat bututnya, seperti tadi mendorong dan tubuh pendeta Lama itupun terdorong keluar. Pada saat itu, Thay Hok Lama juga masuk ke dalam lingkaran, kembali dia terdorong keluar oleh tongkat butut.
Keduanya menoleh dan Thay Bo Lama marah sekali. Dia memutar tombaknya dan karena dia mengira bahwa anak bongkok itu yang usil tangan, tombaknya menyerang ke arah Sie Liong. Bagaikan anak panah meluncur dari busurnya, tombak itu menusuk ke arah leher Sie Liong. Anak ini tidak tahu bahwa bahaya maut mengancam nyawanya.
“Trakkk!”
Tombak itu terpental ketika bertemu dengan tongkat butut. Thay Bo Lama terbelalak, tidak mengira sama sekali bahwa ada seorang kakek jembel yang mampu membuat tombaknya terpental dengan tangkisan tongkat butut. Padahal, dia memiliki tenaga gajah yang sukar dilawan.
Pada saat itu, Thay Hok Lama yang juga marah, mengayun rantai bajanya ke arah kakek jembel. Kakek jembel itu terkekeh keras dan kembali kepala Sie Liong kehujanan dan begitu kakek jembel itu menggerakkan tangan kiri, ujung rantai baja itu sudah ditangkap dan ditariknya. Thay Hok Lama tiba-tiba merasa ada tenaga dahsyat membetotnya sehingga tertarik mendekat dan tongkat butut itu menyambar ke arah kepalanya.
“Tokkk!”
Kepala Thay Hok Lama yang gundul kena dikemplang dan seketika muncul telur ayam di kepala yang gundul itu! Thay Hok Lama meraba kepalanya yang dikemplang itu dengan tangan kiri dan diapun terbelalak keheranan. Kepalanya sudah kebal, bahkan dibacok golok saja tidak akan terluka. Kenapa kini dikemplang sebatang tongkat butut saja dapat menjadi bengkak dan menjendol sebesar telur ayam? Nyeri sekali memang tidak, akan tetapi hatinya yang amat nyeri karena dia merasa dihina.
Thay Bo Lama yang melihat rekannya dikemplang, menjadi marah dan biarpun tadi dia terkejut oleh tangkisan tongkat butut, kini dia menyerang lagi dengan tusukan tombaknya ke arah perut kakek jembel.
“Waduh, jebol perut ini....”
Teriak kakek jembel dan tombak itu benar-benar mengenai perutnya dan tembus! Akan tetapi, tidak ada darah keluar, tidak ada usus keluar dan tiba-tiba kepala Thay Bo Lama kena dikemplang tongkat butut.
“Takkk!”
Dan seperti juga kepala Thay Hok Lama, kini kepala Thay Bo Lama yang gundul muncul pula sebuah telur ayam! Ketika Thay Bo Lama mengerahkan kekuatan batinnya memandang, ternyata tombaknya sama sekali tidak menembus perut kakek jembel itu, melainkan menembus baju jembel yang kedodoran dan tadi hanya merupakan suatu permainan sihir saja. Anehnya, kenapa dia yang ahli sihir sampai dapat dipermainkan seperti itu?
Tiga orang kakek Himalaya ini sudah memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi, baik ilmu silatnya, maupun tenaga sakti mereka yang sudah matang. Selain itu, juga mereka memiliki kekuatan batin yang mampu menghadapi segala macam kekuatan sihir atau ilmu hitam.
Akan tetapi, mereka telah puluhan tahun tidak pernah berkelahi, tidak pernah mempergunakan ilmu-ilmunya untuk bertentangan apa lagi saling serang dengan orang lain. Bahkan selama ini mereka hanya tekun memerangi semua nafsu sendiri dalam kerinduan mereka kepada Tuhan, keinginan mereka untuk kembali kepada “sumbernya”, bagaikan titik-titik air yang ingin kembali ke lautan.
Maka, kini menghadapi serangan lima orang lawan yang sakti, mereka itu kurang gairah dan kurang semangat, hanya lebih banyak membela atau melindungi diri mereka sendiri saja, sama sekali tidak ada nafsu untuk merobohkan lawan walaupun andaikata ada nafsu itupun tidak akan mudah bagi mereka untuk merobohkan Tibet Ngo-houw.
Di lain pihak, lima orang pendeta Lama dari Tibet itupun merupakan orang-orang yang sudah matang ilmu kepandaian mereka. Bukan hanya keahlian ilmu silat tingkat tinggi mereka miliki, akan tetapi juga tenaga sin-kang mereka amat kuat dan disamping itu, merekapun pandai ilmu sihir.
Thay Ku Lama memiliki pukulan Hek-in Tai-hong-ciang yang mengeluarkan tenaga dari pusat dasar perutnya yang gendut dan pukulannya ini amat berbahaya, selain kuat mampu merontokkan isi perut lawan, juga mengandung hawa beracun yang ganas. Adapun orang ke dua, Thay Si Lama, disamping permainan cambuknya yang dahsyat, juga memiliki ilmu Sin-kun Hoat-lek, ilmu silat yang mengandung kekuatan sihir. Orang ke tiga, Thay Pek Lama merupakan ahli sepasang pedang yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang luar biasa, membuat dia dapat bergerak seperti terbang saja. Thay Hok Lama, orang ke empat yang bermata tunggal itu, selain berbahaya sekali permainan senjata rantai bajanya, juga merupakan seorang ahli racun yang mengerikan. Kemudian orang ke lima, Thay Bo Lama, biarpun kurus kering, namun tenaganya raksasa dan dia pandai sekali memainkan senjata tombaknya. Dan yang lebih daripada semua itu, ke lima orang Lama ini berkelahi penuh semangat, penuh gairah untuk merobohkan lawan. Inilah yang membuat mereka berbahaya sekali.
Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, tingkat kepandaian masing-masing hampir seimbang, namun pihak Himalaya Sam Lojin masih lebih tinggi. Andaikata mereka itu bertanding satu lawan satu, kiranya tidak ada seorangpun dari para Lama itu mampu mengalahkan kakek-kakek Himalaya itu.
Akan tetapi, mereka bertanding berkelompok, lima melawan tiga sehingga Himalaya Sam Lojin dikeroyok, dan seperti telah disebutkan tadi, tiga orang kakek itu kalah jauh dalam hal gairah dan semangat untuk merobohkan lawan. Oleh karena itu, setelah melalui pertandingan selama puluhan jurus, tiga orang kakek Himalaya itu mulai nampak terdesak.
Diantara mereka bertiga, nampaknya hanyalah Pek Bin Tosu yang bermuka hitam, yang berkelahi dengan semangat, membalas setiap serangan lawan dengan serangan pula. Memang, orang ketiga dari Himalaya Sam Lojin ini terkenal memiliki watak yang keras, jujur dan terbuka, tidak seperti dua orang kakek lainnya yang lemah lembut, ramah dan halus.
Hanya Sie Liong seorang yang menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini. Anak berusia tiga belas tahun ini sejak tadi masih duduk bersila dan menonton dengan bengong. Matanya tak berkedip sejak tadi, mulutnya ternganga. Matanya yang tidak terlatih itu sukar untuk dapat mengikuti gerakan delapan orang kakek yang sakti itu. Seolah-olah hanya melihat tari-tarian aneh yang dilakukan oleh delapan bayangan, tiga bayangan putih dan lima bayangan merah.
Bahkan kadang-kadang gerakan mereka itu demikian cepat sehingga yang nampak olehnya hanyalah warna putih dan merah berkelebatan sehingga dia tidak tahu apakah yang sedang mereka lakukan, dan kalau mereka itu berkelahi, diapun tidak tahu siapa yang unggul dan siapa pula yang terdesak. Akan tetapi satu hal dia merasa pasti bahwa tiga orang kakek berpakaian putih itu adalah orang-orang yang baik. Sedangkan lawan mereka, lima orang berpakaian merah adalah orang-orang yang jahat. Otomatis hatinya condong berpihak kepada tiga orang kakek berpakaian putih walaupun dia tidak tahu bagaimana dia akan dapat membantu mereka.
Saking tertarik hatinya, penuh ketegangan dan kekhawatiran kalau-kalau tiga orang kakek yang didukungnya itu akan kalah, Sie Liong sampai lupa akan keadaan dirinya sendiri. Biarpun tiga orang kakek berpakaian putih itu telah berusaha untuk mengobatinya, namun dadanya yang sebelah kiri masih terasa nyeri dan napasnya kadang-kadang sesak. Pukulan yang mengenai tubuhnya, sebetulnya hanya angin pukulannya saja, amatlah hebat dan menurut percakapan antara tiga orang kakek berpakaian putih itu dia mengerti bahwa dia telah terkena hawa pukulan beracun yang amat ampuh dari seorang diantara lima orang pendeta Lama itu.
Pertempuran itu kini sudah mencapai puncaknya. Delapan orang kakek itu agaknya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka, yang tiga orang untuk membela diri, yang lima orang berkeras hendak merobohkan mereka.
Kalau tadi Sie Liong dibuat pusing oleh bayangan putih dan merah yang barkelebatan, kini dia terpaksa bangkit berdiri dan karena dia masih lemah dan kepalanya pening, dia terhuyung. Namun dia tetap memaksa dirinya melangkah menjauhkan diri karena ada angin pukulan menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya. Tidak urung, masih ada juga angin dahsyat menyambar dan tak dapat dicegah lagi, tubuh Sie Liong terkena sambaran angin dahsyat ini dan diapun terjungkal dan terguling-guling!
Tubuhnya berhenti karena tertahan oleh sesuatu. Ketika dia membuka matanya untuk memandang, mata yang melihat segala sesuatu agak kabur, dia melihat bahwa dia berhenti terguling-guling karena tertahan oleh sepasang kaki dan sebatang tongkat butut!
Dia membelalakkan matanya agar dapat memandang lebih jelas lagi. Memang sepasang kaki, akan tetapi kaki yang buruk sekali. Kaki telanjang, jari-jari kakinya jelek, kotor, kasar dan merenggang seperti jari kaki ayam. Makin ke atas, semakin jelek karena kaki itu hanya kulit kering kerontang membungkus tulang dan sampai ke betis mulai tertutup celana yang terbuat dari kain kasar dan penuh tambalan pula.
Ketika Sie Liong menengadah, dia melihat bahwa sepasang kaki itu adalah milik seorang kakek berpakaian jembel yang wajahnya buruk, yang menyeringai dengan mulut yang tidak bergigi lagi, rambutnya riap-riapan berwarna putih, sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh sekali. Sie Li-ong terkejut dan berusaha untuk bangkit berdiri, akan tetapi dia terguling lagi dan roboh. Maka diapun lalu duduk saja bersila, tidak memperduilkan lagi apakah dia akan terancam ataukah tidak.
“Heh-heh-heh....!” Kakek itu terkekeh geli dan tongkat bututnya bargerak ke sekeliling tubuh Sie Liong, membuat guratan di atas tanah mengelilingi Sie Liong dan nampaklah garis yang cukup dalam, lingkaran dengan garis tengah dua meter lebih. “Engkau tinggallah saja di dalam ruangan ini dan siapapun tidak akan mampu mengganggumu, anak bongkok!”
Sie Liong mendongkol. Agaknya dia bertemu dengan seorang jembel tua yang gila. Akan tetapi kepalanya terlalu pening, tubuhnya sakit-sakit karena terguling-guling tadi dan diapun tidak menjawab, hanya membuka mata mononton pertempuran yang masih berjalan terus.
Agaknya kakek jembel itupun kini tidak memperdulikan dia, melainkan ikut pula menonton sambil kadang-kadang mengeluarkan suara terkekeh aneh. Dia berdiri pula di dalam lingkaran itu, di sebelah belakang Sie Liong. Ketika kakek itu terkekeh-kekeh geli menonton pertempuran, tiba-tiba Sie Liong merasa kepalanya, leher dan mukanya kejatuhan air.
Wah, hujankah? Pikiran ini membuat dia menengadah, akan tetapi sungguh sial, pada saat itu, entah mengapa, si kakek jembel tertawa semakin keras. Sie Liong basah semua! Kiranya hujan itu turun dari mulut si kakek. Karena mulut itu tidak bergigi lagi, agaknya ketika tertawa-tawa, maka air ludahpun memercik keluar dari mulut yang tidak dilindungi pagar gigi lagi itu!
Sie Liong makin mendongkol. Dia mengusap muka, leher dan kepalanya, menggunakan lengan bajunya, dan biarpun kepalanya pening, dia memaksa diri untuk bangkit dan untuk pergi menjauhi kakek gila itu. Akan tetapi, tiba-tiba saja kepalanya diketuk dengan tongkat.
“Tokk!”
Dan diapun jatuh terduduk kembali! Ketukan dengan tongkat itu tidak mendatangkan rasa nyeri, akan tetapi seolah-olah kepalanya ditekan oleh sesuatu yang amat berat dan kuat, yang membuatnya jatuh lagi. Beberapa kali dia mencoba bangun, namun setiap kali kepalanya diketuk tongkat! Akhirnya, biar dia marah dan mendongkol, Sie Liong duduk dan tidak lagi bangkit, apalagi karena pertempuran itu kini mulai mendekati tempat dia duduk di atas tanah dalam lingkaran garis itu.
Memang terjadi perubahan dalam pertempuran tingkat tinggi itu. Akhirnya Himalaya Sam Lojin kewalahan juga menghadapi desakan lima orang lawan mereka yang mempergunakan segala daya, ilmu silat, sihir, bahkan racun, untuk mengalahkan mereka.
Mereka bertiga terdesak dan sambil mengelak ke sana-sini kadang-kadang menangkis dengan kebutan ujung lengan baju atau juga dengan tangan mereka yang kebal, mereka terus mundur. Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring keluar dari mulut para pendeta Lama dan Sie Liong melihat betapa tiga orang kakek berpakaian putih terhuyung dan ada tanda merah di pakaian mereka yang putih. Darah!
Tiga orang kakek itu agaknya terluka! Akan tetapi, mereka masih terus melawan. Kini pertempuran makin mendekati garis lingkaran dan tiba-tiba seorang diantara kakek berpakaian putih meloncat dan kakinya menginjak sebelah dalam lingkaran.
Tiba-tiba tongkat butut kakek jembel itu bergerak mendorong punggung kakek yang “melanggar” lingkaran itu dan tubuh kakek berpakaian putih itupun tordorong keluar!
Ketika para anggauta Tibet Ngo-houw dengan penuh semangat dan nafsu mendesak terus, tiga orang kakek berpakaian putih itu berlompatan dan agaknya mereka tidak berani menginjak lingkaran!
Tidak demikian dengan para pendata Lama. Ada dua orang yang tanpa sengaja menginjak garis lingkaran, yaitu Thay So Lama dan Thay Hok Lama. Begitu melihat Thay So Lama, si kurus kering yang bertenaga raksana itu memasuki lingkaran, kakek jembel lalu menggerakkan tongkat bututnya, seperti tadi mendorong dan tubuh pendeta Lama itupun terdorong keluar. Pada saat itu, Thay Hok Lama juga masuk ke dalam lingkaran, kembali dia terdorong keluar oleh tongkat butut.
Keduanya menoleh dan Thay Bo Lama marah sekali. Dia memutar tombaknya dan karena dia mengira bahwa anak bongkok itu yang usil tangan, tombaknya menyerang ke arah Sie Liong. Bagaikan anak panah meluncur dari busurnya, tombak itu menusuk ke arah leher Sie Liong. Anak ini tidak tahu bahwa bahaya maut mengancam nyawanya.
“Trakkk!”
Tombak itu terpental ketika bertemu dengan tongkat butut. Thay Bo Lama terbelalak, tidak mengira sama sekali bahwa ada seorang kakek jembel yang mampu membuat tombaknya terpental dengan tangkisan tongkat butut. Padahal, dia memiliki tenaga gajah yang sukar dilawan.
Pada saat itu, Thay Hok Lama yang juga marah, mengayun rantai bajanya ke arah kakek jembel. Kakek jembel itu terkekeh keras dan kembali kepala Sie Liong kehujanan dan begitu kakek jembel itu menggerakkan tangan kiri, ujung rantai baja itu sudah ditangkap dan ditariknya. Thay Hok Lama tiba-tiba merasa ada tenaga dahsyat membetotnya sehingga tertarik mendekat dan tongkat butut itu menyambar ke arah kepalanya.
“Tokkk!”
Kepala Thay Hok Lama yang gundul kena dikemplang dan seketika muncul telur ayam di kepala yang gundul itu! Thay Hok Lama meraba kepalanya yang dikemplang itu dengan tangan kiri dan diapun terbelalak keheranan. Kepalanya sudah kebal, bahkan dibacok golok saja tidak akan terluka. Kenapa kini dikemplang sebatang tongkat butut saja dapat menjadi bengkak dan menjendol sebesar telur ayam? Nyeri sekali memang tidak, akan tetapi hatinya yang amat nyeri karena dia merasa dihina.
Thay Bo Lama yang melihat rekannya dikemplang, menjadi marah dan biarpun tadi dia terkejut oleh tangkisan tongkat butut, kini dia menyerang lagi dengan tusukan tombaknya ke arah perut kakek jembel.
“Waduh, jebol perut ini....”
Teriak kakek jembel dan tombak itu benar-benar mengenai perutnya dan tembus! Akan tetapi, tidak ada darah keluar, tidak ada usus keluar dan tiba-tiba kepala Thay Bo Lama kena dikemplang tongkat butut.
“Takkk!”
Dan seperti juga kepala Thay Hok Lama, kini kepala Thay Bo Lama yang gundul muncul pula sebuah telur ayam! Ketika Thay Bo Lama mengerahkan kekuatan batinnya memandang, ternyata tombaknya sama sekali tidak menembus perut kakek jembel itu, melainkan menembus baju jembel yang kedodoran dan tadi hanya merupakan suatu permainan sihir saja. Anehnya, kenapa dia yang ahli sihir sampai dapat dipermainkan seperti itu?
Pendekar Bongkok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar