Ads

Rabu, 27 November 2019

Pendekar Bongkok Jilid 022

Sementara itu, tiga orang pendeta Lama yang kini menghadapi tiga orgng kakek Himalaya, tentu saja merasa berat kalau melawan seorang dengan seorang. Dua orang rekannya meninggalkan mereka dan sibuk mengurusi kakek jembel!

“Si-sute dan Ngo-sute (adik seperguruan ke empat dan ke lime), hayo bantu kami!” teriak Thay Ku Lama.

Dua orang itu, Thay Hok Lama dan Thay Bo La mengelus-elus kepala mereka yang benjol, akan tetapi mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang jembel yang amat sakti, maka merekapun kini hendak membantu rekan-rekan mereka yang agaknya kewalahan juga menghadapi Himalaya Sam Lojin. Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan yang halus.

“Siancai....! Tidak malukah kalian ini lima orang pendeta yang mestinya menjahui kekerasan, kini malah mempergunakan kekeranan untuk menyerang orang lain?”

Lima orang pendeta Lama itu terkejut karena suara yang halus itu mengandung wibawa yang amat besar, bahkan mengandung getaran tenaga khi-kang yang terasa menggetarkan jantung, maka merekapun berloncatan mundur untuk mamandang siapa yang muncul itu.

Kiranya seorang kakek tua renta, usianya tentu sudah tujuh puluh lima tahun, rambutnya putih semua riap-riapan, kumis dan jenggotnya juga putih, tubuhnya tinggi kurus dan tegak, wajahnya segar, pakaiannya berwarna kuning yang hanya dilibatkan dan dililitkan pada tubuhuya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut.

“Supek....!” Himalaya Sam Lojin cepat memberi hormat kepada kakek itu.

“Heh-heh-heh, kalau suheng yang muncul, semua akan menjadi beres penuh damai, heh-heh-heh!”

Kakek jembel barseru sambil terkekeh dan kembali Sie Liong kehujanan! Himalaya Sam Lojin memberi hormat kepada kakek jembel itu.

“Terima kasih atas bantuan susiok!”

“Heh-heh, siapa yang bantu siapa? Aku hanya membuat ruangan untuk anak bongkok ini, ternyata ada Lama jubah merah berani melanggar, tentu saja kukemplang kepalanya, heh-heh!”

Lima Harimau Tibet terkejut bukan main. Mereka belum mengenal Pek-sim Sian-su, kakek berpakaian kuning itu, dan juga tidak mengenal Koay Tojin, kakek jembel yang aneh itu, akan tetapi mendengar bahwa dua orang itu adalah supek (uwa perguruan) dan susiok (paman perguruan) dari Himalaya Sam Lojin, tentu saja mereka merasa gentar.

Baru Himalaya Sam Lojin saja sudah merupakan lawan yang sukar dirobohkan, apalagi muncul paman guru dan uwa gurunya! Apa lagi Thay Hok Lama dan Thay Bo Lama yang masih merasa bekas ketukan tongkat pada kepala mereka yang menjadi benjol. Masih terasa berdenyutan kepala itu!

“Kalian ini para tosu sombong selalu menentang kami!” bentak Thay Ku Lama dengan marah, akan tetapi juga gentar untuk turun tangan.

“Siancai....!” Pek-in Tosu yang terluka pundaknya, berdarah sedikit, berkata sambil menarik napas panjang. “Thay Ku Lama, bukankah omonganmu itu sengaja kau putar-balikkan? Sejak kapan kami memusuhi kalian? Siapakah yang menyerang, membunuhi para pertapa yang tidak bersalah apapun di Himalaya? Kami sudah mengalah, mengungsi ke Kun-lun-san. Siapa pula yang mengundang kalian datang untuk menangkapi bahkan mengancam untuk membunuh kami dan para pertapa disini pula?”

“Kami hanya menerima perintah dari Yang Mulia Dalai Lama!” bentak Thay Ku Lama. “Kami harus menangkap Himalaya Sam Lojin untuk mempertanggung-jawabkan pemberontakan dan pembunuhan yang dilakukan mendiang guru kalian!”

“Siancai....!”

Pek-sim Sian-su berkata, suaranya halus namun kembali lima orang Lama itu bergidik karena isi dada mereka tergetar hebat. Mereka terpaksa mencurahkan perhatian dan mengerahkan tenaga untuk melindungi diri sambil memandang kepada kakek tinggi kurus itu.

“Sungguh aneh sekali! Mendiang sute menentang para Lama yang hendak memaksa seorang anak dusun dan hendak diculik. Dalam pertempuran itu, tiga orang Lama tewas. Apa anehnya dalam hal itu? Kalau sute kalah, tentu dia yang tewas! Dan anak yang dilindungi mendiang sute itu adalah Dalai Lama yang sekarang! Bagaimana mungkin dia yang menyuruh kalian untuk menangkapi atau membunuh murid-murid sute? Sungguh janggal!”






Mendengar ini, lima orang Lama itu saliag pandang. Kemudian Thay Ku Lama berseru,
“Kami adalah utusan Dalai Lama akan tetapi telah gagal. Biarlah kami akan melapor kepada beliau dan kalian tunggu saja pembalasan dari kami!”

Setelah berkata demikian, Thay Ku Lama berkelebat pergi dikuti oleh empat orang adik seperguruannya.

“Heh-heh-heh, suheng, kenapa sampai sekarang engkau masih menjadi seorang yang lemah? Anjing-anjing itu gila dan membahayakan, bagaimana kalau aku mewakili suheng mengejar dan membasmi mereka?” kata Koay Tojin.

Kakek ini adalah sute (adik seperguruan) dari Pek-sim Sian-su, akan tetapi kalau Pek Sim Sian-su hidup sebagai seorang yang memperdalam kemajuan jiwanya, hidup sebagai seorang yang membersihkan diri lahir batin bahkan mengasingkan diri dari keramaian duniawi, sebaliknya Koay Tojin suka berkeliaran dan memang ada kelainan pada dirinya.

Dia dikenal sebagai seorang yang sinting! Padahal dalam ilmu kepandaian silat maupun kekuatan sihir, dia tidak kalah dibandingkan suhengnya itu. Mungkin justeru karena dia terlampau banyak mempelajari ilmu sihir dan gaib, terlalu dalam menjenguk ke dalam rahasia kegaiban, dan batinnya tidak kuat, maka dia menjadi sinting seperti itu.

Hidupnya berkeliaran seperti jembel dan kadang-kadang melakukan hal aneh-aneh yang tidak lumrah. Dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, berkeliaran sampai jauh ke empat penjuru dan muncul secara tiba-tiba saja tanpa berita lebih dulu. Akan tetapi diapun tidak pernah menonjolkan diri sehingga jarang ada yang mengenalnya sebagai seorang sakti, lebih dikenal sebagai seorang sinting.

“Sute, engkaupun sampai sekarang masih belum menanggalkan sikapmu yang ugal-ugalan. Siapakah dirimu ini maka engkau mempunyai niat untuk membunuh orang? Apakah engkau tidak melihat bahwa tidak ada perbedaan antara engkau dan mereka?”

“Heh-heh-heh, heei, anak bongkok. Engkau dengar itu? Bukankah pendirian suheng itu aneh sekali? Tadi dia sendiri datang, dan kalau lima ekor monyet gundul itu tidak pergi, aku yakin dia akan turun tangan melindungi tiga orang murid keponakan yang baik ini dan akan mengalahkan mereka berlima. Akan tetapi sekarang, coba dengar, dia berceramah menguliahi aku agar aku tidak membunuh lima orang Lama itu! Heh-heh-heh, lelucon yang tidak lucu bukan?”

Biarpun jembel tua itu nampak ugal-ugalan, namun diam-diam Sie Liong membenarkan pendapatnya. Maka diapun lupa diri dan sambil memandang kepada kakek berpakaian kuning itu, dia berkata,

“Memang benar, kek. Lima orang pendeta itu tadi jahat bukan main, lebih jahat karena mereka itu berjuluk pendeta. Membasmi mereka merupakan kewajiban, karena akan menolong manusia dari ancaman kejahatan mereka. Andaikata aku kuat, tentu aku akan membasmi mereka!”

“Siancai.... Siapakah bocah ini?” tanya Pek-sim Sian-su kepada Himalaya Sam Lojin.

Pek In Tosu lalu menceritakan tentang Sie Liong, seorang bocah gelandangan yang pernah menyelamatkan dirinya secara tanpa disengaja ketika dia diserang oleh dua orang Lama, kemudian betapa bocah itu terkena pukulan beracun dari Thay Ku Lama dan mereka bertiga sudah berusaha mengobatinya namun gagal ketika tiba-tiba muncul Tibet Ngo-houw tadi.

“Kebetulan supek telah datang, maka mohon supek menyembuhkan penderitaannya,” kata Pek In Tosu kepada supeknya.

Memang aneh hubungan antara mereka itu. Himalaya Sam Lojin berusia kurang lebih tujuh puluh tahun, sedangkan Pek-sim Sian-su lima tahun lebih tua, akan tetapi dia telah menjadi uwa seperguruan mereka! Hal ini adalah karena ketika mempelajari ilmu di Himalaya, Himalaya Sam Lojin sudah berusia tiga puluh tahun lebih dan guru mereka, yaitu seorang sute dari Pek-sim Sian-su, berusia tiga tahun lebih tua dari mereka.

Pek-sim Sian-su memang memiliki banyak macam kepandaian, di antaranya ilmu pengobatan. Mendengar bahwa anak bongkok itu telah menyelamatkan nyawa Pek Im Tosu, dan menderita luka pukulan beracun, diapun lalu mendekati Sie Liong dan memeriksa punggung dan dadanya. Dia mengerutkan alisnya dan berkata.

“Ah, biarpun hawa beracun sudah bersih, akan tetapi isi perutnya mengalami guncangan hebat dan ada racun tertinggal di dalam darahnya. Dia dapat diobati akan tetapi akan memakan waktu yang cukup banyak. Biarlah dia ikut dengan pinto, dan perlahan-lahan pinto sembuhkan dia.”

“Lihat, anak bongkok. Orang tua itu menyelewengkan percakapan dan pura-pura tidak mendengar perkataan tadi. Menggelikan, heh-heh-heh!” kata Koay Tojin.

Biarpun di dalam hatinya Sie Liong merasa gembira bahwa dia akan diobati oleh kakek berpakaian kuning, nanun mendengar ucapan Koay Tojin, dia merasa tidak puas juga.

“Locianpwe, maafkan aku. Kalau locianpwe tidak mau menjelaskan mengapa locianpwe melarang kakek jembel ini membasmi lima orang Lama yang jahat, terpaksa aku tidak mau ikut dengan locianpwe untuk diobati.”

“Hushh! Anak baik, kalau tidak diobati engkau akan mati,” kata Pek-sin Tosu.

“Heh-heh-heh, kau benar, anak bongkok. Kalau dia tidak mau menerangkan, biar engkau ikut aku saja. Kalau harus mati, kita mati bersama dan melanjutkan perjalanan ke neraka atau ke sorga, he-he-heh!”

Pek-sim Sian-su menarik napas panjang.
“Kalian berdua ini sama-sama ingin mengerti, itu baik sekali walaupun sesungguhnya engkau harus malu untuk mengajukan pertanyaan yang kekanak-kanakan itu, sute. Anak baik, siapakah namamu?”

“Namaku Sie Liong, locianpwe.”

“Sie Liong? Nama yang baik. Nah, dangarkanlah, Sie Liong, dan engkau juga, sute. Semua perbuatan itu dinilai dari yang menjadi pendorongnya. Orang bertentangan, berkelahi, juga harus dilihat dari apa yang menjadi pendorongnya. Jelas bahwa kita tersesat jauh kalau kita berkelahi dengan orang lain karena kemarahan, kebencian atau dendam. Engkau tadi melihat sendiri betapa tiga orang murid keponakan kita ini berkelahi melawan orang Lama hanya untuk membela diri saja, tanpa sedikitpun dikuasai nafsu kebencian, kemarahan atau keinginan membunuh lawan.

Tentu saja sudah menjadi hak mereka untuk mempertahankan diri dan melindungi dirinya apabila terancam kesakitan atau kematian. Sebaliknya, engkaupun melihat sendiri bagaimana keadaan batin lawan-lawan itu dalam perkelahian. Mereka itu jelas berkelahi dengan nafsu dendam dan kebencian, keinginan untuk membunuh. Kalau sekarang kita mengejar mereka dengan niat hati untuk membasmi mereka, bukankah keinginan itupun didasari oleh kebencian? Karena itu, setiap perbuatan manusia haruslah dilihat dari pamrihnya atau dari sebab yang mendorongnya melakukan perbuatan itu, karena biarpun perbuatannya itu nampaknya serupa atau sama, namun sesungguhnya berbeda, seperti bumi dan langit.”

Koay Tojin terkekeh-kekeh, sedangkan Sie Liong diam-diam mengakui kebenaran pendapat Pek-sim Sian-su. Walaupun masih belum dewasa, namun anak itu memang memiliki kecerdasan. Melihat betapa sutenya masih hahah-heheh, Pek-sim Sian-su tersenyum.

“Sute, sudah belasan tahun kita tidak saling jumpa, kulihat engkau masih sama saja. Aku dapat membaca semua isi hatimu. Engkau tentu masih belum puas, bukan? Nah, selagi jodoh mempertemukan antara kita sekarang ini, kau boleh keluarkan semua isi hatimu dan mari kita bahas bersama, biar didengarkan juga oleh tiga orang murid keponakan kita yang bijaksana ini, dan juga biarlah anak yang baik ini berkesempatan mendengarnya.”

Koay Tojin bertepuk tangan tanda gembira.
“Heh-heh-heh, bagus, bagus! Memang aku belum puas, suheng. Akan kukeluarkan semua rasa penasaran dalam hatiku ini. Selama bertahun-tahun aku melihat kepalsuan-kepalsuan dunia dan aku muak, suheng, aku sedih....”

Dan tiba-tiba kakek itupun menangis terisak-isak seperti anak kecil! Tentu saja Sie Liong terkejut melihat hal ini dan dia memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, tiga orang kakek Himalaya itu yang kini juga sudah duduk bersila seperti dua orang supek dan susiok mereka, hanya menundukkan muka saja, sedangkan Pek-sim Sian-su memandang sutenya sambil tersenyum.

“Lanjutkan, sute.”




Pendekar Bongkok Jilid 021
Pendekar Bongkok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar