Ads

Selasa, 22 Maret 2016

Kisah si Bangau Merah Jilid 023

Suma Ceng Liong adalah seorang pendekar sakti yang hidup bersama isterinya di dusun Hong-cun, di luar kota Cin-an Propinsi Shan-tung, di lembah Huang-ho yang subur dan indah. Pendekar ini merupakan cucu Pendekar Sakti yang paling lihai, putera dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil.

Memang Suma Ceng Liong selain lihai juga amat gagah perkasa. Usianya sudah empat puluh enam tahun namun dia masih nampak gagah, tinggi besar dengan dagu lonjong dan wajahnya selalu cerah gembira. Pendekar ini bukan saja mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Istana Pulau Es, akan tetapi juga dia pernah digembleng oleh Hek I Mo-ong, seorang datuk sesat yang amat lihai.

Juga disamping ilmu silat, dia pernah mempelajari ilmu sihir karena ibunya Teng Siang In almarhum, adalah seorang ahli sihir yang ampuh. Oleh karena itu, maka pada waktu itu, boleh dianggap bahwa diantara keturunan keluarga Istana Pulau Es, pendekar Suma Ceng Liong ini merupakan cucu yang paling lihai di antara tiga orang cucu dalam mendiang Pendekar Super Sakti, yaitu Suma Ciang Bun, Suma Hui, dan Suma Ceng Liong.

Pendekar Suma Ceng Liong ini menikah dengan seorang wanita yang sakti pula, bahkan dalam hal ilmu kepandaian silat tingkatnya seimbang dengan tingkat kepandaian suaminya. Wanita ini bernama Kam Bi Eng, puteri dari Pendekar Sakti Kam Hong, pewaris dari ilmu-ilmu hebat dari Pendekar Suling Emas!

Suami isteri ini semenjak menikah hidup berbahagia, saling mencinta, saling menghormat dan saling setia. Mereka hanya mempunyai seorang keturunan, yaitu seorang anak perempuan yang bernama Suma Lian. Puterinya itu juga seorang pendekar yang lihai dan kini sudah menikah dengan seorang pendekar murid Suma Ciang Bun, bernama Gu Hong Beng yang kini tinggal di daerah Heng-san, sebelah selatan Po-teng.

Demikianlah sedikit riwayat pendekar sakti Suma Ceng Liong. Kini setelah puterinya yang menjadi anak tunggal itu menikah enam tahun yang lalu, Suma Ceng Liong hidup berdua saja dengan isterinya dan kadang merasa kesepian. Untuk melewatkan waktu menganggur, mereka membuka toko obat di dusun Hong-cun itu. Mereka tadinya bertahan tidak mau menerima murid karena mereka merasa sayang kalau ilmu kepandaian yang mereka peroleh dari keluarga itu, yang merupakan ilmu silat keturunan, baik dari Suma Ceng Liong maupun dari isterinya, Kam Bi Eng.

Akan tetapi, setahun yang lalu, ketika di rumah keluarga Liem di dusun mereka terjadi kebakaran hebat yang menewaskan seluruh isi rumah, kecuali seorang anak laki-laki mereka yang selamat karena kebetulan berada di luar rumah, suami isteri pendekar itu merasa kasihan sekali kepada Liem Sian Lun, anak itu.

Melihat betapa anak laki-laki berusia tujuh tahun itu demikian tabahnya menghadapi malapetaka yang menimpa keluarganya sehingga dia menjadi yatim piatu dan sama sekali tidak mempunyai anggauta keluarga lagi, melihat anak itu hanya berlutut di depan makam ayah ibunya seperti patung, tidak menangis, tergerak hati mereka.

Suami isteri ini lalu mengajak Sian Lun pulang. Mula-mula mereka hanya ingin menolong saja, menjadikan Sian Lun sebagai pembantu rumah tangga dan pembantu toko rempa-rempa mereka. Akan tetapi, melihat betapa anak itu amat pendiam, penurut dan berwatak baik sekali, juga setelah mendapat kenyataan bahwa anak itu berbakat dan bertulang baik, keduanya sepakat untuk mengambil Sian Lun sebagai murid, bahkan dianggap sebagai anak karena setelah Suma Lian pergi mengikuti suami, mereka berdua seringkali merasa kesepian.

Dan biarpun tahu bahwa dia disayang, digembleng ilmu silat bahkan dianggap sebagai anak angkat, Sian Lun tetap bersikap rendah hati, rajin bekerja sehingga suami isteri pendekar itu menjadi semakin sayang kepadanya.

Karena sikapnya yang rendah hati ini, walaupun para pegawai toko obat dan rempa-rempa itu tahu belaka bahwa Sian Lun diperlakukan seperti anak angkat oleh majikan mereka, namun tak seorang pun merasa iri. Sian Lun membantu pekerjaan di toko, di rumah, tidak malas dan tidak segan untuk melakukan pekerjaan dan mengepel, bahkan membantu pekerjaan pelayan di dapur. Pendeknya, di mana ada kesibukan, di situ tentu ada Sian Lun maka dia pun disayang oleh seisi rumah.

Diam-diam pendekar Suma Ceng Liong dan isterinya merasa sayang sekali kepada murid ini dan menaruh harapan besar kepada diri anak itu bahwa kelak akan dapat mewarisi kepandaian mereka dan menjunjung tinggi nama mereka sebagai seorang pendekar budiman.

Sejak berusia tujuh tahun saja sudah nampak bahwa Sian Lun selain berotak terang, mudah menghafal pelajaran baik sastra maupun silat, bertubuh tinggi tegap, pendiam dan tabah sekali, wajahnya cerah.

Ketika utusan dari Kao Cin Liong tiba, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng sedang duduk di ruangan depan. Hari masih pagi dan toko obat mereka masih tutup, para pegawai sedang membersihkan toko dan bersiap-siap untuk membukanya. Sian Lun sejak pagi tadi sudah bangun, sudah menyapu pekarangan dan kini sedang sibuk menyirami tanaman kembang kesukaan subo-nya (ibu gurunya).

Penunggang kuda yang memasukkan kudanya ke pekarangan itu, kemudian meloncat turun tergesa-gesa, amat menarik perhatian. Melihat betapa pria berusia empat puluhan tahun itu nampak lelah, pakaiannya penuh debu dan jelas bahwa dia melakukan perjalanan jauh, Suma Ceng Liong dan isterinya memandang dengan hati tertarik.

Bahkan Sian Lun yang sedang menyiram kembang cepat menurunkan ember airnya dan lari menghampiri orang yang meloncat turun dari punggung kudanya.

“Paman mencari siapakah, dari mana Paman datang dan siapa nama Paman? Aku akan melaporkan kepada Suhu dan Subo,” kata Sian Lun dengan sikap hormat, akan tetapi sepasang matanya yang tajam mengamati wajah pendatang itu penuh selidik.






Mendengar anak itu menyebut suhu dan subo, utusan ini pun bersikap ramah.
“Anak yang baik, tolonglah beritahu kepada Locianpwe Suma Ceng Liong dan Nyonya bahwa saya datang sebagai utusan dari keluarga Kao di Pao-teng.”

Dari suhu dan subonya, Sian Lun pernah mendengar akan nama para keluarga dan kenalan mereka yang terdiri dari para pendekar, maka mendengar bahwa orang ini utusan dari keluarga Kao di Pao-teng, dia cepat berlari menuju ke ruangan depan di mana suhu dan subonya sedang duduk minum teh pagi.

“Suhu dan Subo, maafkan kalau teecu mengganggu. Akan tetapi penunggang kuda itu mengaku utusan dari keluarga Kao di Pao-teng. Katanya membawa berita yang amat penting untuk Suhu dan Subo”.

Tentu saja suami isteri pendekar itu terkejut mendengar bahwa penunggang kuda itu utusan keluarga Kao di Pao-teng. Kalau tidak ada urusan penting sekali, tentu Kao Cin Liong tidak akan mengirim utusan. Isteri Kao Cin Liong, yaitu Suma Hui, adalah kakak sepupu Suma Ceng Liong, maka dia pun cepat bangkit dan memandang ke arah penunggang kuda itu.

“Saudara utusan dari Pao-teng, harap lekas datang ke sini menyampaikan berita itu kepada kami!” Lalu kepada murid mereka Suma Ceng Liong berkata, “Sian Lun, cepat kau rawat kuda itu, beri makan dan minum di kandang kuda!”

Sian Lun mentaati perintah gurunya. Dia menerima kendali kuda yang nampak kelelahan itu, membawanya ke kandang di bagian belakang, sedangkan tamu itu dengan sikap hormat lalu menghampiri tuan dan nyonya rumah yang menanti di serambi depan.

Setelah dipersilakan duduk, dan memperkenalkan diri, tamu itu lalu mengeluarkan sesampul surat yang ditulis oleh Tan Sin Hong, mantu keponakan mereka dan begitu membaca isinya, suami isteri itu mengerutkan alis dengan kaget. Surat itu memberitahu bahwa kakak sepupu Suma Ceng Liong, yaitu Sum Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, terluka parah karena pukulan-pukulan beracun dari para tosu Bu-tong-pai dan bahwa mereka berdua diminta untuk segera datang berkunjung ke Pao-teng untuk memberi pertolongan.

Suma Ceng Liong memandang utusan encinya itu dengan pandang mata penuh selidik dan minta kepadanya untuk menceritakan sejelasnya apa yang telah terjadi. Pelayan toko itu tidak dapat bercerita banyak. Dia hanya menceritakan apa yang telah didengarnya saja, yaitu bahwa pada beberapa hari yang lalu, malam-malam rumah majikannya diserbu beberapa orang tosu Bu-tong-pai yang berkelahi dengan ketua kuil, yaitu Thian Kwan Hwesio di atas rumah majikan mereka.

Majikan mereka suami isteri berusaha melerai akan tetapi mereka juga menjadi korban pemukulan para tosu Bu-tong-pai yang marah itu. Akhirnya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li yang kebetulan berada di sana, berhasil mengusir para tosu Bu-tong-pai dan kini keadaan kedua orang majikan mereka terluka parah, sedangkan hwesio Siauw-lim-pai itu tewas.

“Kami akan berangkat sekarang juga!” kata Ceng Liong dan kepada utusan itu dia sarankan untuk beristirahat dulu sebelum pulang, dan dia menyuruh seorang pembantunya untuk menyambut tamu itu.

Dia memanggil Sian Lun dan memesan kepada anak itu agar baik-baik menjaga rumah karena dia, dan isterinya akan pergi ke Pao-teng.

Sian Lun mematuhi perintah suhunya tanpa berani banyak bertanya. Akan tetapi setelah suhu dan subonya pergi, Sian Lun mendapat banyak kesempatan untuk bicara dan bertanya-tanya kepada utusan dari Pao-teng itu.

Karena anak itu merupakan murid tuan rumah, utusan itu tidak menganggapnya orang luar dan dia pun menceritakan semua hal yang terjadi. Diam-diam Sian Lun mencatat dalam ingatannya dan merasa heran sekali. Menurut keterangan suhu dan subonya, di dalam dunia persilatan terdapat dua golongan, yaitu golongan putih atau para pendekar, dan golongan hitam atau para penjahat. Dan Bu-tong-pai termasuk golongan putih.

Kenapa sekarang Bu-tong-pai membunuh seorang hwesio Siauw-lim-pai, bahkan melukai suami isteri yang terkenal menjadi pendekar itu? Dia mendengar dari suhunya, siapa adanya pendekar besar Kao Cin Liong dan siapa pula isterinya yang bernama Suma Hui. Pendekar Kao Cin Liong adalah keturunan keluarga Istana Gurun Pasir, dan Suma Hui adalah kakak sepupu suhunya, keturunan keluarga Istana Pulau Es!

Kedatangan Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, disambut dengan gembira oleh Kao Cin Liong dan Suma Hui, juga oleh Tan Sin Hong dan Kao Hong Li yang masih berada di situ. Sebaliknya, Suma Ceng Liong dan isterinya juga girang melihat bahwa kakaknya telah sembuh, demikian pula kakak iparnya.

"Kami masih dilindungi Thian dan bertemu dengan Yok-sian Lo-kai sehingga kami dapat disembuhkan dengan cepat," kata Suma Hui kepada adiknya, Suma Ceng Liong, setelah dua orang tamu itu dipersilakan duduk di ruangan dalam.

"Yok-sian Lo-kai? Ah, sudah pernah kudengar nama besarnya, Enci Hui, akan tetapi aku belum pernah bertemu dengan dia. Sungguh kebetulan sekali dia dapat mengobati Enci dan juga Cihu. Akan tetapi, bagaimana mungkin kalian sampai terluka oleh penjahat, padahal di sini terdapat pula puteri kalian dan mantu kalian yang amat lihai ini?"

Suma Ceng Liong memandang kepada Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, seolah hendak menegur kenapa mereka itu tidak mampu melindungi orang tua mereka.

Kao Cin Liong menghela napas panjang.
"Semua terjadi di luar persangkaan. Begitu tiba-tiba. Lima orang tosu itu memang amat lihai, dan biarpun demikian, mereka pasti tidak akan mungkin dapat melukai kami kalau saja di samping kelihaian mereka, mereka itu tidak amat licik dan curang. Mereka menggunakan kecurangan sehingga kami lengah dan terluka."

"Hemm, kalau lain kali aku bertemu dengan mereka, akan kuhancurkan kepala mereka itu satu demi satu!" kata Suma Hui yang wataknya keras.

"Tidak, Bo-bo, Bo-bo sudah tua, biarlah aku yang akan mencari mereka dan membasmi mereka yang jahat itu!"

Tiba-tiba terdengar suara anak kecil dan Sian Li memasuki ruangan itu. Semua orang menengok dan Suma Ceng Liong dan isterinya memandang kagum. Anak berpakaian merah itu biar baru berusia empat tahun nampak begitu lincah dan gagah.

"Siapakah anak manis ini?" tanya Kam Bi Eng.

Kao Hong Li segera berkata,
"Sian Li, hayo cepat memberi hormat kepada kakek dan nenekmu ini. Kakek Suma Ceng Liong ini adalah adik dari nenekmu dan nenek Kam Bi Eng ini isterinya." Hong Li memperkenalkan paman dan bibinya.

Sepasang mata yang lebar dan bening itu mengamati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng dengan heran.

"Ibu, mereka itu masih muda dan gagah, bagaimana aku harus menyebut Kakek dan Nenek? Mereka belum pantas disebut Kakek dan Nenek, pantasnya Paman dan Bibi."

Semua orang tertawa mendengar ucapan yang jujur dan lucu itu. Kam Bi Eng meraihnya dan merangkul Sian Li, menciumi pipinya. Sian Li memandang wajah Bi Eng dan berkata,

"Bibi ini cantik dan gagah sekali, seperti Ibu!"

Kam Bi Eng tertawa.
"Ih, engkau ini perayu. Aku ini nenekmu, usiaku sudah tua, sudah dua kali ibumu. Ibumu adalah keponakanku." Ia membelai tubuh anak itu dan berseru kagum, "Aihhh, anakmu ini memiliki tulang dan bakat yang amat baik, Sin Hong" Lalu kepada suaminya ia berkata, "Coba kau periksa sendiri!" Dan dengan lembut ia mendorong anak itu kepada Suma Ceng Liong yang juga merangkulnya.

Suma Ceng Liong mengangguk-angguk.
"Kalian memang beruntung. Anak ini memiliki bakat yang amat baik. Hemm, kami akan merasa berbahagia sekali kalau kelak dapat memberi sedikit bimbingan kepadanya."

"Aih, kenapa tidak?" kata Suma Hui. "Kalau adikku Ceng Liong yang memberikan bimbingan, aku yakin kelak Sian Li akan menjadi seorang gadis pendekar yang hebat, dan pantas dijuluki Si Bangau Merah Sakti! Sian Li, cepat kau memberi hormat dan terima kasih kepada kakek dan nenekmu itu!"

Sian Li memang seorang anak yang amat cerdik. Ia sudah pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian paman kakeknya ini amat hebat, maka mendengar seruan neneknya, ia pun cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang duduk bersanding.

"Kakek dan Nenek, aku menghaturkan terima kasih kepada Kakek dan Nenek!"

Kao Hong Li dan Tan Sin Hong saling pandang, lalu Sin Hong tertawa.
"Ha-ha-ha, anak kami itu masih kecil, baru berusia empat tahun akan tetapi sudah banyak yang menjanjikan akan mengambilnya sebagai murid. Ketika Yok-sian Lo-kai mengobati Ayah dan Ibu, dia pun minta agar kelak Sian Li boleh mewarisi ilmu-ilmunya, dan sekarang ini Paman dan Bibi juga menjanjikan demikian."

Kao Hong Li cepat memberi hormat kepada Suma Ceng Liong, dan Kam Bi Eng.
"Paman dan Bibi sungguh berbudi, dan atas nama anakku, aku menghaturkan banyak terima kasih."

Sin Hong juga bangkit memberi hormat dan suasana menjadi gembira sekali. Hal ini tentu saja tidak akan mungkin terjadi kalau Kao Cin Liong dan Suma Hui masih terancam bahaya seperti tempo hari.

Mereka lalu membicarakan tentang permusuhan yang timbul antara para partai persilatan besar.

"Sungguh menyebalkan sekali kalau diingat," kata Suma Ceng Liong. "Bagaimana sih jalan pikiran para pimpinan partai persilatan besar itu? Bangsa kita dijajah orang Mancu, dan betapapun besar usaha pemerintah Mancu untuk memakmurkan rakyat jelata tetap saja bangsa kita dijajah, menjadi budak dan para pembesar semua adalah orang-orang Mancu, atau kalau ada orang Han juga mereka adalah anjing-anjing penjilat yang tidak segan menindas bangsa sendiri demi kesetiaan mereka kepada pemerintah Mancu. Akan tetapi, kini partai-partai besar bahkan ribut saling bermusuhan sendiri sehingga tentu saja rakyat jelata menjadi semakin menderita, golongan sesat merajalela tanpa ada yang menentangnya. Aihh, sungguh menyedihkan sekali!"

"Adik Liong, kenapa engkau bisa bilang begitu? Lupakah engkau bahwa darah kita ini pun merupakan darah campuran. Kakek kita Suma Han memang seorang Han tulen, akan tetapi bagaimana dengan Nenek kita? Puteri Nirahai, Nenekmu, dan puteri Lulu, Nenekku, bukan orang Han." Suma Hui memperingatkan.

Suma Ceng Liong mengerutkan alisnya,.
"Tidak kusangkal kebenaran hal itu, Enci. Memang kenyataannya demikian. Akan tetapi, Kakek kita, Ayah kita, sejak dahulu adalah orang-orang gagah yang menjadi pembela rakyat jelata walaupun tidak pernah mencampuri urusan kenegaraan. Bahkan suamimu, Cihu (Kakak Ipar Kao Cin Liong) juga mengundurkan diri dari jabatan panglima karena sungkan untuk mengabdi kepada orang-orang Mancu. Kita tidak perlu menentang pemerintah Mancu, akan tetapi kita harus tetap menjadi pendekar yang membela kepentingan rakyat jelata yang tertindas, menentang semua penindas tidak peduli dari bangsa apapun! Kalau kini perkumpulan para pendekar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai saling serang sendiri, bukankah itu amat menyedihkan?"

"Sudahlah, hal itu tidak cukup hanya disesalkan saja. Melihat cara para tosu Bu-tong-pai itu melakukan kecurangan ketika menyerang kami, aku yakin bahwa ada suatu rahasia tersembunyi di balik ini semua. Aku bahkan mempunyai dugaan bahwa mereka itu bukan orang-orang Bu-tong-pai yang asli!"

"Tapi, bukankah sudah lama kita mendengar bahwa memang terdapat permusuhan antara Siauw-lim-pai, dan Bu-tong-pai?" Suma Hui mencela. "Juga sebelum tewas, Thian Kwan Hwesio sendiri mengaku bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Bagaimana dia bisa keliru sangka?"

"Keadaan itu memang aneh dan mencurigakan," kata Sin Hong. "Harap Ibu dan Ayah mertua suka menenangkan hati. Sudah menjadi kewajiban saya untuk melakukan penyelidikan. Siapa tahu ada oknum luar yang menyelundup ke dalam Bu-tong-pai. Saya mengenal baik para pimpinan Bu-tong-pai dan sudah saya surati ke sana untuk minta pertanggungan jawab mereka."

Dua utusan yang lain beberapa hari kemudian pulang. Yang diutus mengundang Suma Ciang Bun tidak berhasil karena pendekar itu tidak berada di rumah dan tak seorang pun tahu ke mana perginya.

Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun bertemu dengan Gangga Dewi dan keduanya melakukan pengejaran dan pencarian untuk menolong Yo Han yang dilarikan Ang I Moli dan kawan-kawannya. Akan tetapi utusan dari Bu-tong-pai datang membawa surat dari Ketua Bu-tong-pai. Seperti telah diduga oleh Sin Hong, di dalam suratnya itu Ketua Butong-pai menyangkal telah menyerang keluarga Kao di Pao-teng!

Memamg terdapat sedikit pertentangan dan kesalah pahaman antara Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai, demikian antara lain surat itu mengatakan, akan tetapi itu hanya terbatas di kalangan murid-murid yang tinggal di luar pusat saja. Para pimpinan kedua pihak sedang melakukan penyelidikan dan belum terdapat pertentangan resmi atau berterang.

Maka, Ketua Bu-tong-pai menyangsikan bahwa yang membunuh Thian Kwan Hwesio kepala kuil Pao-teng, bahkan melukai pendekar besar Kao Cin Liong dan isterinya adalah para murid Bu-tong-pai.

Keluarga pendekar itu kini mengadakan perundingan.
"Keadaannya sungguh gawat, dan perlu penyelidikan," kata Suma Ceng Liong. "Kalau dibiarkan berlarut-larut, tentu akan timbul pertentangan hebat dan akan rusak binasalah para pendekar dari partai-partai besar karena permusuhan yang tidak menentu ujung pangkalnya ini."

"Pendapat Paman itu memang tepat sekali. Saya sendiri sudah mendengar bahwa bukan hanya Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai saja yang dilanda pertentangan, bahkan juga Go-bi-pai dan Kun-lun-pai. Agaknya di antara empat partai besar ini timbul suatu kesalah pahaman besar yang membuat mereka saling curiga, dan di antara murid-murid mereka terdapat permusuhan. Saya kira, sudah sepantasnya kalau kita semua berusaha mendamaikan."

"Tepat sekali!" Kao Cin Liong juga berseru. "Memang kita harus berusaha menjernihkan segala kekeruhan ini agar tidak berlarut-larut!"

Isterinya, Suma Hui cemberut.
"Terlalu enak kalau para pengecut itu didiamkan saja. Bu-tong-pai harus bertanggung jawab dan mencari para pengecut itu sampai dapat, baru aku mau menghabiskan urusan ini dengan Bu-tong-pai!"

Suaminya menghiburnya.
"Kita harus bersabar dan tidak semakin mengeruhkan suasana. Sudah jelas bahwa Bu-tong-pai dipalsukan orang, dan tentu saja kita tidak bisa menyalahkan Bu-tong-pai. Aku yakin bahwa Bu-tong-pai sendiri juga akan bertanggung jawab dan akan mencari pengacau itu sampai dapat. Sebaiknya kalau kita, keluarga kita, mengundang mereka semua ke sini."

"Bukankah beberapa bulan lagi hari ulang tahun Ayah yang ke enam puluh empat? Bagaimana kalau kita mengundang mereka untuk menghadiri ulang tahun itu? Dengan demikian tidak akan menyolok dan mereka tentu akan datang semua, mengingat akan hubungan baik antara Ayah dan para pendekar," kata Kao Hong Li.

Semua orang setuju dan segera diatur undangan kepada para tokoh persilatan, terutama empat partai besar itu untuk menghadapi pesta perayaan ulang tahun Kao Cin Liong yang akan jatuh pada tiga bulan lagi.

Setelah bermalam di situ selama satu minggu, Suma Ceng Liong dan isterinya pulang ke dusun Hong-cun di kota Cin-an, sedangkan Tan Sin Hong, isteri dan anaknya kembali ke Ta-tung setelah mereka berjanji kepada Suma Ceng Liong bahwa kelak puteri mereka Sian Li, akan diantar ke Hong-cun untuk belajar silat dari pendekar sakti itu.

**** 023 ****