Ads

Selasa, 24 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 135

Dapat dibayangkan betapa kaget dan kecewa hati Kwi Lan dan terutama sekali Hauw Lam ketika mereka digiring masuk ke dalam kamar tahanan, mereka melihat semua teman yang tadi melarikan diri sudah tertawan pula dan berada di situ! Bahkan Kiang Liong dan Yu Siang Ki terluka, sungguhpun tidak berat namun membutuhkan waktu untuk istirahat karena mereka terkena pukulan orang-orang sakti.

Ketika Kiang Liong lari bersama Pangeran Talibu lari melalui jurusan belakang markas, di tengah jalan mereka dicegat oleh.... Bouw Lek Couwsu sendiri bersama Thai-lek Kauw-ong. Karena maklum akan kelihaian Kiang Liong, maka Bouw Lek Couwsu bersama Thai-lek Kauw-ong segera menerjang dan akhirnya merobohkan pemuda ini dengan pukulan jarak jauh.

Sia-sia saja Kiang Llong melawan. Menghadapi seorang diantara mereka, mungkin ia masih mampu menandingi, akan tetapi dikeroyok dua merupakan pertandingan berat sebelah. Apalagi Pangeran Talibu sama sekail tidak dapat diharapkan bantuannya karena keadaannya masih payah.

Adapun Yu Siang Ki bersama Puteri Mimi yang lewat di jurusan kanan, dicegat oleh Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo. Tentu saja Yu Siang Ki tidak kuat pula menghadapi dua orang kakek sakti ini. Untung bahwa Bouw Lek Couwsu sudah berpesan kepada sekutu-sekutunya agar para tawanan yang lari itu ditangkap kembali dan tidak dibunuh, maka Siang Ki pun hanya terluka yang ringan saja.

Mereka kini dibelenggu lagi seperti tadi, dibelenggu kaki tangan mereka dengan rantai besi yang lebih kuat, dengan kaki tangan diikat dengan besi yang berada di dinding. Akan tetapi tidak demikian dengan Tang Hauw Lam. Karena marah sekali oleh perbuatan pemuda ini yang hampir saja berhasil membebaskan tawanan dan sudah membunuh banyak penjaga, Bouw Lek Couwsu menyuruh algojo-algojonya untuk menggantung Hauw Lam di dalam ruangan itu pada kakinya!

Pemuda ini digantung dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kedua lengannya dibelenggu! Dia benar-benar seperti seekor kambing yang digantung setelah disembelih untuk dikuliti dan dikerat dagingnya. Bedanya, ia tidak mengembik dan tidak berteriak-teriak, bahkan selalu tertawa-tawa!

Setelah para penjaga meninggalkan ruangan tahanan dan mengunci pintu dari luar, Hauw Lam kembali terkekeh dan berkata,

“Ha-ha-ha, alangkah lucunya. Kita seperti sekumpulan bocah-bocah nakal yang dihukum gurunya yang galak. Sungguh aku harus malu, usahaku sia-sia belaka malah kalian menjadi lebih sengsara!”

Kiang Liong menghela napas.
“Tidak bisa menyalahkan engkau atau siapa saja, Saudara Tang. Siapa kira bahwa Bouw Lek Couwsu begitu cerdik. Inilah kesalahan kita, tidak memperhitungkan kecerdikannya yang luar biasa.”

“Ha-ha-ha! Ia tidak cerdik tapi bodoh, buktinya ia menggantung aku seperti ini, memberi keenakan kepadaku saja. Di dalam kantung bajuku sebelah dalam ada obat-obat untuk luka-luka kalian, sayangnya tanganku dibelenggu, tapi kalau kugerak-gerakkan karena aku digantung membalik, agaknya dapat keluar.”

Mulailah Hauw Lam membuat gerakan-gerakan dengan tubuhnya, meliuk-liuk, menggeliat-geliat sehingga pemandangan yang menyedihkan itu tampak lucu. Semua orang merasa kelucuan ini, akan tetapi hanya Kwi Lan seorang yang tertawa terang-terangan.

“Hi-hi-hik....!”

“Aihhh, kenapa tertawa, Mutiaraku?”

“Berandal! Kau seperti seekor ular digantung. Untung bakso-bakso itu sudah habis, kalau tidak tentu menggelinding keluar semua! Hi-hik!”

Hauw Lam tertawa.
“Ha-ha-ha, memang Bouw Lek Couwsu manusia sinting. Ingin aku mengadu kecerdikan dengan dia kalau ada kesempatan!”

Akhirnya Hauw Lam berhasil. Semua isi sakunya keluar dan di antaranya terdapat bungkusan obat yang dimaksudkan. Obat itu terjatuh ke dekat kaki Siang Ki. Jari-jari kaki Siang Ki yang dapat digerakkan menjepit bungkusan ini dan sekali jari-jari itu bergerak, bungkusan mencelat ke atas, diterima dengan jari-jari tangan.

Ia membuka bungkusan itu, dan kembali menggunakan lwee-kang, menjemput bubuk obat dan melontarkan dengan jari-jari ke arah luka di bahunya. Setelah selesai, ia membungkus kembali obat itu menggunakan tenaga lwee-kang menyentuh bungkusan ke arah Kiang Liong. Pemuda ini pun mulai mengobati lukanya dengan cara yang sama.






“Eh, dia sudah tidur! Dasar manusia malas!”

Kwi Lan berkata ketika mendengar dengkur orang dan melihat bahwa yang mengorok adalah Hauw Lam. Pemuda ini dalam keadaan bergantung dengan kepala di bawah seperti itu ternyata sudah tidur nyenyak sampai mendengkur!

Akan tetapi Kiang Liong mengeluarkan suara kagum.
“Dia tentu pernah mempelajari ilmu samadhi secara jungkir balik. Entah siapa gurunya yang tentu amat hebat itu.”

“Siapa lagi? Gurunya seorang badut tua bangka, julukannya Bu-tek Lo-jin,” kata Kwi Lan, teringat akan cerita pemuda lucu itu.

“Aahhh....? Betulkah itu? Betulkah bahwa Locianpwe yang luar biasa itu masih hidup? Suhu pernah bercerita tentang Bu-tek Lo-jin, akan tetapi bahkan Suhu sendiri mengira beliau sudah meninggal dunia....“

Pada saat itu terdengar suara. Suara ini aneh sekali, terdengar lapat-lapat seperti dari jarak amat jauh, akan tetapi jelas mereka semua mendengar suara ketawa terbahak-bahak.

“Huah-hah-hah¬hah! Suling Emas bocah tolol itu mana tahu....?”

Para tawanan saling pandang, saling bertanya dalam pandang mata. Keadaan menjadi sunyi. Suara setankah itu? Akan tetapi mereka tak dapat berpikir dan berheran lebih lama lagi karena pada saat itu pintu kamar tahanan terbuka lebar dan masuklah Bouw Lek Couwsu bersama Bu-tek Ngo-sian dan Suma Kiat!

Para orang muda tawanan, kecuali Hauw Lam yang tidur mendengkur, menoleh dan memandang penuh perhatian dan ketegangan. Jelas bahwa pimpinan orang Hsi-hia datang dengan maksud tertentu, dan agaknya saatnya telah tiba untuk menerima keputusan hidup mati mereka. Tampak jelas di mata Bouw Lek Couwsu ketika ia memandang para tawanan itu seorang demi seorang.

“Pinceng datang untuk bicara dengan kalian semua, pembicaraan terakhir! Kali ini pinceng tidak akan bicara kepada seorang demi seorang, melainkan pinceng tujukan untuk semua. Maka pilihlah seorang saja yang mewakili kalian, karena segala keputusan diambil menurut jawaban seorang wakil itu. Satu mati semua mati, seorang menolak berarti semua harus mati. Nah, siapa wakilnya?”

Otomatis semua tawanan memandang kepada Kiang Liong. Biarpun tak seorang pun diantara mereka bicara, namun pandang mata yang ditujukan kepada Kiang Liong ini sudah berkata jelas.

“Oho, agaknya Kiang-kongcu pula yang harus bicara. Apakah Pangeran Talibu juga setuju mewakilkan dia?”

“Jawaban Kiang-kongcu sama dengan jawabanku!” kata Talibu dengan suara gagah.

“Bouw Lek Couwsu, bicaralah agar kami semua mendengar. Aku mewakili teman-teman ini demi kepentingan kami bersama, dan sama sekali bukan demi kepentinganku. Bagi aku pribadi, aku tidak peduli lagi mau kau bunuh atau kau siksa atau perbuatan pengecut dan rendah apa lagi yang hendak kau lakukan. Bicaralah!”'

Kata Kiang Liong, menentang pandang mata pimpinan orang Hsi-hsia itu dengan tenang.

Bouw Lek Couwsu tersenyum.
“Kau memang sombong, Kiang-kongcu. Nah, dengarlah. Pangeran Talibu harus menulis sepucuk surat kepada ibunya, Ratu Khitan yang minta supaya Khitan membantu Hsi-hsia dalam penyerbuan terhadap Kerajaan Sung. Juga Puteri Mimi harus melampirkan surat untuk ayahnya, Panglima Kayabu di Khitan. Yu-pangcu ini harus berjanji untuk membantu kami dengan pasukan pengemis baju kotor membantu untuk gerakan dari dalam kalau saatnya tiba. Mutiara Hitam sudah berkali-kali melakukan kekacauan dan pelanggaran, namun masih diampuni asal mulai sekarang suka membantu kami di samping gurunya yang kami hormati. Adapun kau sendiri, harus berjanji untuk melanjutkan usaha mengadakan gerakan dari dalam kota raja apabila saatnya tiba, mengumpulkan para pembesar dan panglima Sung.”

Hening sejenak, semua orang diam tegang, yang terdengar hanya dengkur Hauw Lam yang masih tergantung kakinya.

“Kalau kami menolak?”

“Kalian berikut anjing yang tergantung itu akan mampus!”

Eh, tiba-tiba saja mendengar dirinya dimaki anjing, Hauw Lam yang tadinya mendengkur itu tiba-tiba mengeluarkan suara seperti anjing kecil,

“Nguiiikk, nguikk, nguikkk!”

Suasana tegang menjadi lenyap sama sekali dan Kwi Lan bahkan tertawa, sedangkan yang lainnya tersenyum. Hauw Lam membuka mata, menggeliat dengan pinggangnya dan berkata,

“Mutiaraku, kau tahu aku mimpi aneh sekali!”

“Mimpi apa?” Kwi Lan bertanya, maklum bahwa temannya itu tentu tidak hanya bicara asal bicara.

“Aku mimpi menjadi anjing kecil yang indah dan bersih bulunya, akan tetapi celaka sekali, aku digigit seekor anjing besar yang selain buruk, juga gundul dan buntung. Sialan!”

Kwi Lan tertawa, juga, Puteri Mimi dan Siang Ki. Mereka tahu siapa yang dimaki anjing besar gundul buntung. Siapa lagi kalau bukan Bouw Lek Couwsu?

“Bagaimana jawabanmu, Kiang-kongcu?” tanya Bouw Lek Couwsu, pura-pura tidak mengerti dan tidak mempedulikan Hauw Lam.

“Bagaimana kalau seorang diantara kami menolak?”

“Harus menurut semua. Seorang saja menolak, semua dihukum mati!”

“Kalau begitu kami menolak!” teiak Pangeran Talibu.

“Kami menolak!” seru Puteri Mimi.

“Aku pun menolak!” kata Yu Siang Ki.

“Aku suka menurut Subo, akan tetapi membantumu? Aku menolak!” kata Kwi Lan.

“Nah, Bouw Lek Couwsu, kau boleh bunuh kami. Jawaban kami sudah jelas!” kata Kiang Liong.

Kembali hening sesaat. Wajah Bouw Lek Couwsu keruh sekali. Dia sudah menduga akan kekerasan hati orang muda ini, akan tetapi tidak mengharapkan jawaban ini. Apa untungnya kalau mereka ini mati? Ruginya jelas. Khitan akan memusuhinya, para pendekar akan memusuhinya, para pengemis baju butut akan memusuhinya. Tiba-tiba keheningan dipecahkan suara Hauw lam.

“Haii!, Bouw Lek Couwsu! Aku kok tidak ditanya? Apa aku bukan orang?” Hauw Lam berteriak-teriak.

Akan tetapi, Bouw Lek Couwsu tidak mempedulikan Hauw Lam, sebaliknya berkata kepada Kiang Liong, suaranya penuh ancaman,

“Hemm, kau kira begitu enak hukumannya? Sebelum mati kalian harus menyaksikan dan menderita siksaan batin. Terlalu sayang kalau dua orang gadis jelita itu dibunuh begitu saja.” Bouw Lek Couwsu menoleh ke arah Bu-tek Siu-lam dan berkata, “Kau memilih yang mana?”

“Heh-heh, biar hitam, mutiara namanya. Tetap cemerlang dan indah, tentu saja aku memilih dia.”

“Baik, biar Sang Puteri untuk pinceng. Nah, kau mulailah, seperti kita sudah setujui, kita harus berani melakukan di depan semua orang.”

Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh matanya memandang ke arah Kwi Lan, menjelajahi tubuh gadis itu dengan pandang mata lahap dan haus.

“He, dengar kalian ini pimpinan orang-orang Hsi-Hsia. Kau Bouw Lek Couwsu, dan kalian Bu-tek Ngo-sian! Dimana kegagahan kalian? Huh, menyebut tokoh-tokoh kang-ouw yang jempolan! Bouw Lek Couwsu, orang seperti engkau ini mana patut membimbing bangsa Hsi-hsia yang gagah perkasa?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar