Ads

Selasa, 24 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 134

“Aduh, serasa kita tidak pernah berpisah. Mutiara! Serasa kita masih seperti dulu ketika berlari-lari bersama melawan orang-orang jahat Thian-liong-pang dan pengemis-pengemis busuk berbaju bersih! Tahukah kau, Mutiara, selama ini tak pernah aku melupakan engkau sekejap mata sekalipun.”

“Bohong!” Mau tidak mau Kwi Lan terseret oleh kegembiraan teman yang jenaka ini. “Kalau kau tidur?”

“Tidur pun mimpi bersama engkau!”

“Ah, kau bisa saja. Aku tidak percaya.”

“Eh, tidak percaya? Perlukah aku membuka dadaku dengan golok ini?” Hauw Lam berhenti lari, mencabut golok dan bersikap seperti hendak membuka dada.

Kwi Lan tertawa.
“Ihhh, sudahlah jangan ngaco! Aku tadi tanya bagaimana kau tiba-tiba saja muncul seperti setan?”

“Memang aku setan! Heh-heh, setan cilik seperti kata Ibu.”

“Ibu? Kau bertemu Bibi Bi Li?”

Pemuda itu mengangguk, mengerutkan kening seakan-akan ada sesuatu yang tak menyenangkan teringat olehnya. Akan tetapi ia tersenyum lagi,

“Dan aku melihat istana di bawah tanah. Wah, pantasnya menjadi tempat tinggal setan-setan. Ibuku bertahun-tahun tinggal disana, bukankah patut aku menjadi setan pula? Aduhh....!” Ia menekan perutnya.

“Ada apa?” Kwi Lan kaget, khawatir.

“Perutku.... lapar amat, tak tertahankan!”

Ia masih menekan-nekan perutnya dan lapat-lapat terdengar oleh telinga Kwi Lan suara perut berkeruyuk. Kwi Lan tertawa geli.

“Dasar rakus! Kau tiada bedanya dengan cacing-cacing dalam perutmu!”

“Sstt....! Tuh disana....!” Telunjuknya menuding ke kanan, ke sebuah bangunan kecil.

“Ada apa disana?”

Hidung Hauw Lam kembang-kempis menyedot-nyedot.
“Benar-benarkah kau tidak mencium sesuatu? Begini sedap, begini gurih!”

Baru sekarang Kwi Lan tahu apa yang dimaksudkan. Memang dari bangunan itu tercium bau sedap masakan dan tampak asap mengebul. Agaknya tempat itu adalah sebuah dapur. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Perlu apa kesana? Kita lari saja. Kalau sudah terbebas, baru makan sekenyangnya.”

Hauw Lam menggeleng-geleng kepala.
“Makan saja tanpa kerja amat tidak baik, seperti babi. Akan tetapi kerja saja tanpa makan juga tidak mungkin. Kita menghadapi bahaya, membutuhkan tenaga, kalau perutku yang sudah dua hari dua malam tidak diisi karena mendekam terus di hutan ketika menyerbu kesini, mana aku ada sisa tenaga untuk bertempur? Kau pun harus makan, Mutiara Hitam.”

“Aku sudah kenyang!”

Jawab Kwi Lan mendongkol, akan tetapi mukanya menjadi merah karena teringat betapa ia makan kenyang di tempat tahanan lalu terjadi hal-hal luar biasa dan memalukan bersama Pangeran Talibu.

“Tapi kau tidak ingin melihat aku roboh bukan oleh pedang musuh karena kelaparan?”

“Sudahlah. Hayo, kalau memang kau sudah kelaparan!” ajak Kwi Lan dan mereka berindap-indap menghampiri dapur itu.

Ketika mereka mengintai dari jendela, benar saja dugaan Hauw Lam bahwa tempat itu memang sebuah dapur. Dua orang Hsi-hsia yang tinggi besar melayani dua orang koki yang pendek-pendek dan gemuk seperti babi. Dua orang koki itu adalah bangsa Han, agaknya anggauta kaum sesat yang menjadi kaki tangan sekutu-sekutu Bouw Lek Couwsu. Di meja sudah penuh dengan masakan-masakan lezat, mengebul panas dari mangkok-mangkok besar. Hampir tersedak kerongkongan Hauw Lam ketika ia menelan ludah.






Karena sudah tidak tahan lagi, Hauw Lam mengayun tangan melempar empat buah batu kerikil ke arah empat orang itu. Terdengar koki-koki itu berseru kaget dan tubuh mereka terhuyung-huyung. Dua orang Hsi-hsia sudah roboh pingsan karena batu-batu kecil itu tepat mengenai belakang telinga mereka.

Karena koki-koki itu tidak roboh pingsan, maklumlah Hauw Lam dan Kwi Lan bahwa sedikit banyak mereka mengerti ilmu silat. Kalau sampai mereka berteriak, keadaan akan menjadi berbahaya, maka bagaikan dua ekor burung walet, Hauw Lam dan Kwi Lan melayang lewat jendela. Sebelum dua orang koki itu tahu apa yang terjadi, mereka sudah roboh tertotok dan “ngorok” di atas lantai!

Tanpa banyak cakap lagi dan tanpa sungkan-sungkan Hauw Lam menyeret sebuah bangku, duduk menghadap meja lalu “menyapu” masakan-masakan yang tersedia di atas meja.

“Wah-wah,” serunya girang sambil mencoba ini mencaplok itu, ”dalam hal makanan ternyata Bouw Lek Couwsu tidak pelit! Tidak kalah dengan masakan orang-orang Thian-liong-pang!”

Sumpitnya sibuk bekerja menjepit potongan-potongan daging dan sayur. Hauw Lam memang mempunyai hobby (kegemaran) makan enak! Melihat lahapnya pemuda ini makan, Kwi Lan menelan ludah, dan tak dapat menahan keinginannya. Ia pun duduk dan mencicipi beberapa masakan yang memang lezat.

“Sudahlah,” akhirnya Kwi Lan berkata setelah beberapa lama mereka makan, melihat betapa banyaknya Hauw Lam memasukkan masakan-masakan itu ke dalam perut didorong aliran arak wangi. “Kalau kau makan terus sampai kekenyangan, kau bisa tertidur disini.”

Hauw Lam tertawa, bangkit berdiri, mengelus-elus perutnya yang anehnya tetap kempis dan ramping.

“Wah, kalau makan lupa segala! Bakso goreng ini luar biasa enaknya, entah terbuat dari daging apa! Perlu bawa sebanyaknya untuk bekal!”

Ia sibuk menggunakan kedua tangannya mengambil bakso-bakso goreng sebesar kepalan tangan itu. Kantung-kantungnya penuh. Ia masih belum puas dan mengambil semua sisa dalam panci, memasukkan panci kecil ini ke dalam celana dimana terdapat sebuah kantung besar tepat di depan perutnya!

Kwi Lan hanya tertawa dan menggeleng kepala. Kemudian mereka keluar dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu, terus ke jurusan kiri markas.

Setelah mereka meninggalkan kelompok bangunan dan mulai menuju ke jalan yang berbatu-batu melalui hutan kecil menuju sungai dan merasa bahwa kini sudah aman, terlewatlah bahaya, mendadak terdengar seruan-seruan dan derap kaki kuda dari belakang.

“Kita dikejar! Cepat!” seru Hauw Lam yang mulai “menancap gas” mempercepat larinya.

Kwi Lan yang tadi di dapur mengambil pedang milik koki yang dirobohkan, meraba gagang pedang dan siap untuk melawan. Akan tetapi melihat Hauw Lam berlari cepat, ia pun mempercepat larinya. Tempat itu berbatu-batu dan naik turun, maka sambil berlari mereka melompat-lompat.

Para pengejar itu terdiri dari seorang Hsi-hsia berpedang yang memakai topi dan lima orang berpakaian pengemis. Mereka adalah petugas-petugas yang menjaga di wilayah ini, dan kuda yang mereka tunggangi adalah kuda-kuda pilihan yang cepat-cepat larinya.

“Wah-wah-wah.... celaka bakso-bakso ini!” Tiba-tiba Hauw Lam berseru.

“Kenapa?”

Kwi Lan bertanya, masih lari di samping kiri Hauw Lam. Ketika gadis itu memandang, ia hampir tak dapat menahan tawanya. Kwi Lan menutupi mulutnya yang tertawa dan dengan mata terbelalak ia memandang temannya itu.

Kiranya ketika berlari cepat dan berloncat-loncatan, bakso-bakso dalam kantung ikut berloncatan dan yang berada di kantong kanan kiri baju sudah berloncatan keluar. Akan tetapi yang berada di dalam panci yang disembunyikan dalam kantung yang letaknya di dalam celana, berloncatan di dalam celana, keluar dari panci dan karena bakso itu digoreng, keluarlah minyaknya membasahi semua bagian bawah tubuh Hauw Lam.

Kini sambil berlari dan mengempit goloknya di ketiak kanan, terpaksa Hauw Lam membuka kolor celana dan berlompatanlah bakso-bakso besar bundar-bundar itu keluar dari dalam celana, menggelinding ke atas tanah seperti bola-bola karet!

Bersungut-sungut Hauw Lam membuang panci kosong dan pada saat terakhir tangannya masih sempat menyambar bakso penghabisan dan memasukkan bakso ini ke dalam mulutnya. Ia mengeluarkan suara ha-ha-hu-hu saking kecewa. Ia tak dapat bicara karena mulutnya penuh bakso, kini ia mengikatkan kembali kolor celana dan tiba-tiba ia berhenti lari dan membalikkan tubuh. Bakso itu pun sudah ditelannya.

“Percuma lari. Kita lawan!” katanya.

Kwi Lan masih tersenyum. Dia tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda ini tiba-tiba marah dan hendak melawan. Mungkin sekali karena kecewa dan marah bahwa pengejar-pengejar itu membuat bakso-baksonya hilang. Ia pun tidak gentar dan mencabut pedangnya.

Ketika para pengejar melihat dua orang itu berhenti dan menanti, mereka meloncat turun dari kuda. Akan tetapi bukan mereka yang menyerbu, melainkan Hauw Lam dan Kwi Lan yang langsung menerjang dengan lompatan jauh dan senjata diputar di tangan.

Terjadi pertandingan yang hebat dan seru, akan tetapi yang hanya berlangsung beberapa menit saja. Dua orang muda itu seakan berlumba dan pertempuran berakhir dengan robohnya keenam orang, tiga oleh Hauw Lam dan tiga oleh Kwi Lan dalam waktu hampir bersamaan!

Hauw Lam tersenyum memandang mayat-mayat musuh. Ia membersihkan golok pada baju mereka lalu mengangguk-angguk kagum melihat betapa tiga orang lawan Kwi Lan tewas tanpa luka bacokan.

“Kau makin hebat saja, Mutiara Hitam!”

“Dan kau makin gila!” kata Kwi Lan tersenyum, teringat akan bakso-bakso tadi.

Mereka menyarungkan senjata dan membalik, lalu melanjutkan lari mereka. Akan tetapi belum seratus meter mereka lari, tiba-tiba mereka berhenti dan wajah Kwi Lan berubah ketika gadis ini mengeluarkan suara tertahan. Di depan mereka telah berdiri Kam Sian Eng, Suma Kiat, dan Pak-sin-ong! Dan di belakang mereka berdiri belasan orang Hsi-hsia yang membawa kuda tunggangan mereka.

Hauw Lam terkejut sekali, apalagi melihat wanita berkerudung yang sikapnya begitu menyeramkan. Ia sudah mendengar nama Bu-tek Ngo-sian, namun baru sekali ini bertemu dengan Kam Sian Eng maupun dengan Pak-sin-ong. Akan tetapi melihat sikap Kwi Lan, ia menduga bahwa tentu dua orang ini, dan pemuda tampan pesolek itu, merupakan lawan berat. Maka ia cepat mencabut goloknya.

“Srattt....!”

Begitu goloknya tercabut, golok itu sudah terbang terlepas dari tangannya. kaget sekali. Ia hanya melihat sinar menyambar dari tangan kakek bertopi tinggi, bertubuh kurus dan berwajah angkuh. Kiranya sinar itu adalah sehelai tali pancing yang sudah melibat goloknya dan pancingnya mengancam tangannya yang memegang golok sehingga terpaksa ia lepaskan dan golok itu terbang, kini terpegang kakek yang sama sekali tidak tersenyum itu!

Hebat bukan main! Biarpun perampasan golok terjadi di kala ia lengah dan tidak menduga namun melihat ini saja sudah menimbulkan keyakinan bahwa kakek ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh! Ia mengharapkan gerakan bantuan Kwi Lan, akan tetapi gadis ini sama sekali tidak bergerak, bahkan memandang ke arah wanita berkerudung dengan kening berkerut gelisah.

“Kwi Lan, apakah engkau hendak melawan aku?”

Wanita berkerudung itu bertanya, suaranya dingin seperti suara dari balik kubur, membuat bulu tengkuk Hauw Lam meremang.

Kwi Lan menggeleng kepala. Ia bukan tidak berani, sungguhpun ia tahu percuma saja melawan gurunya ini, melainkan tidak mau. Kalau ia pernah melawan ketika gurunya hendak membunuh Siang Ki, hal ini lain lagi. Kini tidak ada siapa-siapa yang harus ia bela, maka untuk dirinya sendiri tentu saja ia tidak mau melawan gurunya yang betapapun juga sudah berlaku amat baik terhadap dirinya, seperti seorang Ibu sendiri. Apalagi kalau diingat bahwa guru ini adalah bi-binya, bagaimana ia dapat melawannya?

Pak-sin-ong berkata kepada Hauw Lam,
“Orang muda, kau benar-benar tak takut mampus, berani membikin huru-hara disini. Kalau kau menyerah, kau akan kuhadapkan Bouw Lek Couwsu dalam keadaan hidup seperti dikehendakinya, kalau melawan, terpaksa kuhadapkan sebagai mayat!”

Hauw Lam juga seorang pendekar muda yang tak takut mati. Akan tetapi ia bukan seorang bodoh yang nekat dan tidak melihat kenyataan. Dalam keadaan lain, tentu ia akan mati-matian melawan.

Akan tetapi kini keadaannya berbeda. Kwi Lan sendiri tidak melawan, dan melawan berarti mati. Kalau hanya tertawan, masih ada harapan membebaskan diri, terutama sekali membebaskan Kwi Lan. Apa artinya ia bebas kalau Kwi Lan tertawan? Ia tertawa, ketawanya begitu wajar dan gembira sehingga diam-diam Pak-sin-ong kagum dan harus mengakui bahwa pemuda ini ada “isinya”.

“Ha-ha-ha, seorang bijaksana mengetahui akan saat ia tak berdaya. Aku menyerah, seperti juga Mutiara!”

“Ikat dia di kuda!”

Perintah Pak-sin-ong dan dua orang Hsi-hsia tinggi besar menghampiri Hauw Lam dan menarik serta mengikatnya tanpa perlawanan sama sekali dari Hauw Lam yang masih tertawa-tawa.

Ia diikat di atas kuda, kepalanya di belakang dekat pantat kuda, tubuhnya dilibat-libat ikatan dari kaki, tangan dan leher! Ia tak dapat berkutik akan tetapi masih menyeringai dan tertawa-tawa mengejek.

Kwi Lan dengan muka tunduk tak melawan pula ketika gurunya menyuruh ia naik kuda. Di samping kuda yang membawa Hauw Lam, ia digiring kembali ke markas oleh Kam Sian Eng yang mengerutkan kening, Suma Kiat yang tersenyum-senyum, dan Pak-sin-ong yang cemberut angkuh.

**** 134 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar