Ads

Selasa, 24 September 2019

Mutiara Hitam Jilid 133

Di dalam kamar tahanan orang-orang muda yang terbelenggu disitu, kecuali Kiang Liong yang tetap tenang, sudah hampir kehilangan harapan. Apalagi keadaan Pangeran Talibu, sungguh amat mengenaskan. Biarpun keselamatannya tidak terancam bahaya, namun ia sungguh menderita. Kulitnya pecah-pecah matang biru, terasa panas perih dan nyeri bukan main. Kadang-kadang Pangeran ini siuman, mengerang dan seringkali pingsan lagi, tubuhnya lemas menggantung pada kedua tangan yang terbelenggu di atas kepalanya.

Melihat keadaan Pangeran ini, Puteri Mimi memandang dengan air mata bercucuran. Kasihan sekali kakaknya. Agaknya penderitaan yang hebat itu membuat kakaknya berubah ingatan. Tadi kakaknya mengaku cinta kepadanya, hendak mengawininya. Mengatakan bahwa mereka bukan sanak kadang, apalagi saudara kandung! Dan pandang mata kakaknya itu, pandang mata penuh cinta kasih dan amat mesra. Puteri Mimi menangis.

Kwi Lan juga beberapa kali menoleh ke arah Pangeran ia gemas, marah, penasaran, benci dan.... cinta! Hatinya seperti ditusuk-tusuk menyaksikan keadaan pria yang dicintanya ini, akan tetapi mengingat akan kata-kata yang diterjemahkan Siang Ki, hatinya panas bukan main. Kalau diberi kesempatan, ia akan membunuh Puteri Mimi!

Yu Siang Ki menyesal sekali kalau mengingat akan kawan-kawannya. Pasukan yang dibawanya itu adalah tokoh-tokoh pengemis di kota raja dan di Lok-yang, kini mereka telah dibasmi habis! Sungguhpun tewas sebagai patriot yang membela negara menghadapi bangsa Hsi-hsia, akan tetapi semua itu adalah karena kesalahannya! Ia terlalu memandang rendah kekuatan Bou Lek Couwsu.

Hanya Kiang Liong yang tetap tenang. Pemuda ini selain pada dasarnya memiliki watak yang tenang, juga ia lebih tahu akan duduknya persoalan, lebih tahu akan suasana dan politik negara. Ia telah yakin bahwa nyawa mereka belum terancam bahaya. Kalau Bouw Lek Couwsu hendak membunuh mereka, tentu sudah dibunuhnya dan tidak perlu ditahan seperti sekarang ini.

Dengan cara menahan, berarti tidak menghendaki mereka mati dan selama nyawa mereka masih ada, harapan untuk lolos pun selalu akan tetap ada. Apalagi bagi Talibu dan Mimi, ia tidak perlu khawatir. Bangsa Hsi-hsia bukanlah bangsa yang besar dan kuat, akan tetapi mereka memiliki ambisi besar, hendak menaklukkan Sung. Untuk ini tentu saja Hsi-hsia tidak sekali-kali berani membunuh Pangeran Mahkota dan puteri Panglima Khitan yang diharapkan oleh mereka menjadi sekutu, bukan musuh!

Tentang Kwi Lan ia pun mempunyai keyakinan takkan dibunuh karena bukankah Kwi Lan ini murid wanita aneh yang disebut Sian-toanio dan menjadi seorang diantara Bu-tek Ngo-sian? Betapapun juga, guru itu tentu tidak membiarkan muridnya terbunuh, apalagi disana masih ada Suma Kiat, suheng gadis itu yang menurut penglihatannya, mencinta Mutiara Hitam. Dan dia sendiri masih ada dan masih hidup. Ia tidak akan membiarkan Mutiara Hitam terbunuh! Heeii, apa pula ini? Kiang-Liong ingin menampar kepalanya sendiri, akan tetapi kedua tangannya terbelenggu sehingga ia hanya dapat menarik napas panjang dan kembali melirik ke arah Kwi Lan.

Sejak tadi ia memperhatikan Kwi Lan dan makin dipandang, makin jatuh hatinya. Entah bagaimana, gadis itu seakan-akan mempunyai hawa yang menyedot dan menarik perhatiannya, kemudian menimbulkan rasa suka dan cinta yang belum pernah dirasakannya terhadap gadis lain.

Ia memang selalu suka akan gadis cantik, akan tetapi rasa suka ini seperti rasa suka seseorang akan benda-benda indah, akan bunga-bunga harum, tidak pernah lebih mendalam daripada itu. Kini ia mempunyai rasa suka dan cinta yang lain terhadap Mutiara Hitam. Seperti ada dorongan dalam hati bahwa ia harus membela gadis ini, harus menolongnya, dan kalau perlu mengorbankan nyawa sendiri untuknya!

Kalau biasanya terhadap gadis-gadis cantik yang pernah menjadi kekasihnya ia ingin mendengar pengakuan cinta gadis itu kepadanya, kini sebaliknya. Ia ingin menyatakan cinta kasihnya kepada gadis ini! Alangkah akan bahagia rasa hatinya kalau gadis ini mau menerima cintanya!

“Kiang Liong, kau sudah gila....!”

Pikiran ini tanpa ia sadar, ia ucapkan melalul mulutnya sehingga semua tahanan, kecuali Pangeran Talibu, memandang kepadanya dengan penuh,keheranan termasuk Kwi Lan.

“Orang yang gila tidak akan mengaku gila!”, tiba-tiba Kwi Lan berkata, suaranya mengejek.

Memang gadis ini sedikit banyak merasa gemas kepada Kiang Liong. Bukankah Puteri Mimi tertawan bersama Kiang Liong? Berarti bahwa Kiang Liong murid Suling Emas ini yang membawa datang Puteri Mimi ke tempat tahanan! Kalau Kiang-kongcu ini tidak tertawan, tentu Puteri Mimi juga tidak dan kalau begitu, tentu Mimi tidak datang ke sini dan Talibu tidak jatuh cinta kepada gadis itu!

Kiang Liong memandang gadis ini, matanya bersinar-sinar wajahnya berseri.
“Betulkah, Nona? Pendapatmu membesarkan hatiku, terima kasih.”






“Engkau memang tidak gila, akan tetapi engkau merasa gila karena.... takut! Huh, dan beginikah murid perkasa dari Suling Emas?”

Senyum di bibir Kiang Liong lenyap, berubah menjadi masam karena hati kecewa.
“Aku.... ? Takut....? Aku tidak takut, Nona dan....”

Terpaksa Kiang Liong menghentikan ucapannya karena pada saat itu terdengar suara pintu dibuka. Semua mata memandang hwesio gundul jubah merah berwajah tampan yang memasuki ruangan tahanan itu.

“Eh, kau.... Berandal...!”

Suara Kwi Lan ini membuat semua orang menoleh dan memandang kepadanya dengan heran. Apa pula sekarang maksud Mutiara Hitam yang menyebut berandal kepada seorang hwesio jubah merah, dengan suara bukan seperti orang memaki, bahkan dengan mata bersinar-sinar dan muka tersenyum geli?

“Sssttt...., matamu selalu tajam, Mutiara Hitam.” Hwesio muda itu berbisik dan menaruh telunjuk ke depan bibir, kemudian melanjutkan sambil mendekati Kwi Lan, “Aku terpaksa menyamar. Aku datang untuk membebaskanmu. Kau bersiaplah, aku akan mematahkan belenggu tangan dan kakimu.”

Pemuda itu bukan lain adalah Si Berandal Tang Hauw Lam! Dia datang memasuki markas mempergunakan akalnya, menyamar sebagai wanita cantik, kemudian sebagai orang Hsi-hsia dan terakhir ini sebagai seorang hwesio gundul berjubah merah. Kini Hauw Lam mengeluarkan goloknya dan empat kali bacokan kuat, belenggu kaki tangan yang mengikat Kwi Lan terlepas.

“Mari kita cepat pergi dari sini!”

Bisik Hauw Lam sambil menyambar lengan Kwi Lan yang sedang menggosok-gosok pergelangan tangannya yang terasa sakit.

“Kau bebaskan dulu yang lain-lain” bisik Kwi Lan merenggut lengannya.

“Kita harus lekas lari....“ bantah Hauw Lam.

“Berandal! Kalau mereka ini tidak dibebaskan, aku pun tidak ingin bebas!” kata Kwi Lan marah.

Hauw Lam mengangkat alis dan pundak, lalu menghampiri Kiang Liong dengan golok di tangan.

“Kiang-kongcu,” katanya. “Bagaimana selama kita berpisah, engkau baik-baik sajakah? Maaf, bukan maksudku tadi tidak mau membebaskan kalian, hanya makin banyak orang yang lari makin sukar dan....”

“Saudara tak perlu sungkan-sungkan. Aku pun sudah bebas dari belenggu.”

“Apa?”

Kiang Liong menggerakkan kaki tangannya dan.... benar saja, kedua kaki dan tangannya terlepas daripada belenggu tanpa mematahkan belenggu itu. Hauw Lam terbelalak, memandang ke arah belenggu dan mengangguk-angguk.

“Hebat! Ilmu Sia-kut-hoat (Lepaskan Tulang Lemaskan Diri) yang luar biasa!”

Melihat ini, Kwi Lan yang menghampiri Pangeran Talibu dan menggunakan kekuatan sin-kangnya mematahkan belenggu, berkata mengomel.

“Kalau bisa melepaskan diri kenapa tidak dari tadi? Aksinya!”

Kiang Liong hanya tersenyum dan juga mulai membantu melepaskan belenggu kaki tangan Siang Ki sedangkan Hauw Lam membebaskan Puteri Mimi.

“Ah, kalau terlepas dari belenggu, apa artinya? Pintu tertutup kuat dan penjagaan amat kuat, belum waktunya mencoba bebas. Akan tetapi setelah Saudara Tang datang, terpaksa kita harus berusaha menerobos keluar!”

“Kita harus keluar berpencar.” kata pula Kiang Liong yang kini sikapnya sungguh-sungguh.

Yang lain-lain, kecuali Kwi Lan, tunduk kepadanya karena maklum bahwa selain dia yang paling lihai diantara mereka, juga memiliki pengalaman yang dalam.

“Kalau keluar bersama, sekali ketahuan akan kena tawan semua. Kita masih kurang kuat untuk menghadapi mereka yang berjumlah besar, apalagi banyak orang sakti disini. Dengan berpencar, ada harapan seorang diantara kita bebas untuk pergi mencari bantuan menyerbu kesini.”

“Benar,” kata Hauw Lam. “Aku pun tadi mendahului pasukan Khitan yang agaknya hendak menyerbu dan menyusup dalam usaha mereka menolong Pangeran Talibu dan Puteri Mimi.”

Mendengar ini, timbul semangat Pangeran Talibu. Ia diam saja karena Puteri Mimi menggosok-gosok tubuhnya yang telanjang dan penuh luka itu dengan obat bubuk pemberian Hauw Lam. Obat ini manjur dan mendatangkan rasa dingin. Kwi Lan hanya memandang dengan penuh iri dan cemburu. Dalam keadaan seperti itu, ia menahan diri dan tidak mungkin mengumbar amarah urusan cinta. Apalagi ia tahu bahwa Puteri Mimi memang sahabat Pangeran, bahkan saudara.

“Pangeran biarlah bersama aku,” kata pula Kiang Liong membagi tugas. Pemuda ini menahan pula keinginan hatinya untuk berusaha lolos di samping Kwi Lan. “Mutiara Hitam bersama Saudara Tang, dan Puteri Mimi bersama Saudara Yu-pangcu. Tiga rombongan kita mencari jalan masing-masing, sebaiknya melalui kanan, kiri, dan belakang markas karena di depan adalah tempat yang terjaga kuat.”

“Baik, pendapat Kiang-kongcu tepat. Aku pun tidak perlu lagi menyamar!”

Sambil berkata demikian, Hauw Lam meraba dahinya dan membuka “kulit” dahi terus ke belakang. Lenyaplah gundulnya dan kini tampak rambuthya hitam panjang yang segera digelung ke atas belakang dan dibungkus kain sutera. Jubah merahnya dibuka dan kini ia sudah berganti pakaian, yaitu pakaiannya sendiri yang ringkas, goloknya ia gantung di pinggang.

“Berapa orang penjaga di luar?” bisik Kiang Liong kepada Hauw Lam.

“Hanya tiga. Aku tadi membohongi mereka, mengatakan bahwa aku khusus diperintah Couwsu membujuk para tahanan.”

“Baik, mereka bagianku, Mutiara Hitam, dan Yu-pangcu. Kau menjadi pengawas kalau-kalau ada muncul yang lain.”

Biarpun Kiang Liong hanya berbisik dan ucapannya singkat-singkat, namun mereka sudah tahu akan kewajiban masing-masing. Pintu dibuka perlahan oleh Kiang Liong, kemudian melihat tiga orang hwesio jubah merah menjaga di depan pintu, ia membukanya serentak lebar-lebar dan empat bayangan berkelebat keluar dengan gerakan amat cepat laksana empat ekor burung terbang.

Bayangan pertama adalah Hauw Lam yang sudah menghunus goloknya dan meloncat jauh ke depan untuk berjaga, sedangkan tiga orang kawannya dengan kecepatan kilat sudah menerjang tiga orang hwesio itu. Tiga orang hwesio ini kaget setengah mati karena tidak menyangka akan hal ini. Mereka berusaha menangkis namun tiga orang muda itu terlampau cepat gerakannya. Hampir berbareng mereka roboh tanpa mendapat kesempatan untuk berteriak sedikit pun.

“Aman....“ bisik Hauw Lam memberi tanda dengan tangan.

“Berpisah, sampai jumpa!”

Kata Kiang Liong yang menujukan kata-kata ini kepada semua temannya akan tetapi matanya memandang kepada Kwi Lan yang sebaliknya memandang kepada Pangeran Talibu.

Mereka segera meloncat pergi, Kiang Liong menggandeng tangan Pangeran Talibu meloncat melalui jurusan belakang markas, Yu Siang Ki dan Mimi lari ke jurusan kanan, sedangkan Kwi Lan dan Hauw Lam yang bergerak paling akhir menuju ke kiri.

Hauw Lam dan Kwi Lan menyusup-nyusup melalui bangunan kecil, makin menjauhi bangunan besar.

“Bagaimana kau tiba-tiba bisa muncul, Berandal?”

Hauw Lam terkekeh. Girang bukan main hatinya, kegirangan yang selama ia berpisah dari samping Kwi Lan tak pernah ia rasakan lagi.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar